Abstrak
Tulisan ini membahas pemikiran Syamsul Anwar dalam bidang ilmu falak, terutama dalam bidang hisab-rukyat. Di tengah minimnya ahli falak di Indonesia, terlebih di lingkungan Muhammadiyah, nama Syamsul Anwar terasa masih sangat asing di telinga kebanyakan orang. Akan tetapi jika kita melihat lebih seksama sesungguhnya dari tangan Syamsul Anwar-lah banyak pemikiran-pemikiran cemerlang tentang hisab-rukyat lahir dan sangat terasa kontribusinya bagi Muhammadiyah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tulisan ini memfokuskan pada beberapa pemikiran Syamsul Anwar dalam bidang hisab-rukyat, yaitu mengenai kontekstualisasi pemahaman hadis-hadis tentang rukyat, hisab hakiki sebagai metode penentuan awal bulan dan interkoneksi studi hadis dan astronomi.
Pendahuluan
Syafiq Mughni sebagaimana dikutip Azyumardi Azra mengatakan, “pada masa sekarang ini, ilmu falak atau hisab telah menjadi langka dan literatur-literatur yang berbahasa Indonesia sangat sulit didapatkan. Padahal, sesungguhnya ilmu ini sangat penting bukan saja karena dalam beberapa hal tetap diperlukan tetapi juga lebih dari itu memiliki makna yang sangat penting dalam mengapresiasi peradaban Islam.”[1]
Apa yang dikatakan Syafiq Mughni di atas barangkali mewakili pendapat sebagian orang Indonesia yang sadar akan pentingnya ilmu astronomi, terutama ilmu falak syar’i[2] yang menjadi bagian dari ilmu astronomi itu sendiri. Dalam konteks keindonesian, di mana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, ilmu falak syar’i benar-benar menjadi ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari setiap gerak langkah umat Islam. Dikatakan demikian karena ilmu ini sangat berkaitan erat dengan ibadah yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri, baik ibadah yang sifatnya harian, mingguan, bulanan dan juga tahunan. Namun sangat disayangkan karena pada kenyataannya urgensi ilmu ini tidak diimbangi oleh semangat umat Islam untuk mendalaminya.
Hal ini secara sekilas dapat dibuktikan dari prodi pada universitas-universitas Islam di Indonesia, baik negeri maupun swasta, yang seakan tidak memberikan porsi proposional kepada para mahasiswa dan siapa saja yang berminat untuk mempelajari dan mengembangkan keilmuan ini.[3] Padahal seperti diisyaratkan Syafiq Mughni di atas, ilmu ini tidak sebatas diperlukan dalam ranah praksis ibadah an sich, tapi juga sangat penting dalam mengapresiasi peradaban Islam. Sayangnya, terkait peradaban Islam ini kita harus mengakui bahwa sampai sekarang umat Islam masih belum mampu memiliki suatu sistem tata waktu (kalender) yang baik, reliabel dan bersifat global, yang dapat dijadikan sebagai identitas peradaban. Akibatnya, banyak problem yang timbul karena ketiadaan sistem tata waktu tersebut.[4] Pada titik ini tampak jelas bahwa kelahiran Observatorium Ilmu Falak di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU) merupakan kabar yang sangat menggembirakan dan sangat layak mendapat penghargaan serta apresiasi. Oleh karenanya sebelum memulai tulisan ini, izinkan penulis mengucapkan selamat dan sukses kepada OIF UMSU yang telah mengawali usaha untuk mewujudkan peradaban Islam.
Kembali kepada tema besar dalam judul tulisan ini. Apabila dibandingkan antara jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah ahli falak yang ada di negera ini, maka jumlah ahli falak kita tidak bisa dikatakan melimpah, terlebih di lingkungan Muhammadiyah. Hanya ada beberapa nama yang sering disebut bila mendiskusikan ahli falak Muhammadiyah - meskipun sesungguhnya tidak sedikit ahli falak Muhammadiyah di daerah-daerah yang mulai bermunculan dan memberikan kontribusi. Di antara nama-nama ahli falak Muhammadiyah tersebut ada satu nama yang sesungguhnya banyak memberikan sumbangsih pemikiran akan tetapi namanya kurang begitu popular di lingkungan Muhammadiyah, terlebih di luar perserikatan itu. Beliau adalah Syamsul Anwar, seorang Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sekaligus menjadi ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Meski spesialisasi keilmuan Syamsul Anwar adalah hukum Islam (usul fikih), tapi kepakarannya dalam bidang ilmu falak , khususnya yang terkait dengan hisab-rukyat, tidak dapat dipandang sebelah mata. Terbukti banyak pemikiran cemerlang tentang hisab-rukyat yang ia lontarkan yang sangat kontributif. Tulisan ini akan memfokuskan pada beberapa saja dari pemikiran Syamsul Anwar dalam bidang hisab-rukyat, yaitu mengenai kontekstualisasi hadis-hadis tentang rukyat, hisab hakiki sebagai metode penentuan awal bulan dan interkoneksi studi hadis dan astronomi.
Biografi Syamsul Anwar
Kampung Halaman dan Keluarga. Syamsul Anwar berasal dari sebuah kampung di sebuah pulau kecil bernama Midai yang sekarang merupakan sebuah kecamatan di dalam Kabupaten Natuna, Propinsi Kepulauan Riau. Syamsul Anwar pada masa kecilnya lebih akrab disapa dengan nama Syamsu oleh orang-orang di kampungnya.[5]
Pada masa kini, Orang Pesuku atau Orang Laut ini sudah tidak begitu dikenali lagi. Akibat kebijakan kependudukan Pemerintah Belanda di zamannya, mereka ini banyak yang dimukimkan di darat. Kemudian dengan pengaruh agama Islam dan akibat asimilasi, sebagian melalui perkawainan dengan orang Melayu, mereka kini sudah hampir tidak dikenali lagi dan menyatu dengan orang Melayu.[7]
Kehidupan agama di pulau Midai cukup semarak dan di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Riau dahulu, masyarakat pulau ini dikenal sangat santri. Tradisi keagamaan yang umum berlaku adalah faham modernis yang diusung oleh Muhammadiyah. Organisasi ini telah masuk ke pulau ini sejak zaman Belanda di sekitar akhir dasawarsa keempat abad yang lalu. Dapat dikatakan bahwa disinilah konsentrasi besar dan kuat dari Muhammadiyah di Kepulauan Riau.[8]
Syamsul Anwar adalah anak kedua dari tujuh bersaudara dan satu-satunya anak laki-laki. Kedua orang tua Syamsul Anwar adalah orang Melayu dari Riau Daratan dan mereka dengan demikian adalah perantau di pulau Midai, yang biasanya disebut “orang dagang.” Tidak diketahui dengan persis kapan kakek Syamsul Anwar dari pihak ibu datang ke Natuna. Mungkin sekali pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Ibu Syamsul Anwar sendiri, Hj. Maryam, lahir di Midai, akan tetapi ia tidak tahu tahun kelahirannya. Setelah ibunya meniggal ketika ia masih kecil, ia dibawa oleh bibinya ke kampung halaman ayahnya di Cerenti, Inderagiri dan di sanalah ia menjalani pendidikan dasarnya di Madrasah. Pada tahun 1937 ia melanjutkan sekolah ke Samratul Azhar yang didirikan oleh Tuan Guru Haji Musa, alumni al-Azhar di Kairo, yang karena itu sekolahnya dinamakan Samratul Azhar (Buah al-Azhar). Menurutnya ketika itu ia berusia 12 atau 13 tahun, yang berarti ia dilahirkan sekitar tahun 1925. Ia belajar di sekolah tersebut selama enam tahun, namun ia tidak sempat menamatkannya karena sekolah tersebut terpaksa bubar akibat kekuasaan Jepang yang semakin mengganas sehingga para gurunya banyak yang tidak dapat mengajar. Tuan Guru Haji Musa sendiri pergi ke Kuala Lumpur dan meninggal dunia di sana. Ibu Syamsul Anwar bercerita bahwa ketika sekolah di Samratul Azhar ia selalu mendapat juara dan nilai terbaik kecuali satu kali ketika ia sakit karena ujung jarinya putus kena parang sehingga ia tidak mengikuti pelajaran beerapa waktu lamanya. Sebab ia selalu mendapat nilai terbaik adalah karena penguasaan bahasa Arab-nya yang relatif baik dan ketika ujian ia selalu menjawab dengan bahasa Arab.[9]
Pada tahun 1951 ibu Syamsul Anwar pulang ke Midai, Natuna untuk kembali bersama orang tuanya dan anggota keluarga yang lain. Sekembalinya ke Midai, ibu Syamsul Anwar aktif dalam kegiatan Muhammadiyah bagian Aisyiyah dan untuk beberapa lama menjadi Ketua Aisyiyah Cabang Midai. Di Midai, sampai usianya yang amat lanjut pun, ia tetap aktif memberikan pengajian untuk Aisyiyah dan masyarakat pada umumnya.[10] Tahun 1977, bersama ayah Syamsul Anwar ia menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekah, sebagai jamaah haji dari Kabupaten Jepara (Jateng) karena oleh abang sepupu Syamsul Anwar yang bekerja sebagai anggota Angkatan Laut di Jepara ia didaftarkan untuk menjadi jamaah haji dari kota tersebut.[11] Sekarang ibu Syamsul Anwar tinggal dan menikmati usia senjanya di Yogyakarta.[12]
Ayah Syamsul Anwar, seperti ibunya, juga berasal dari Inderagiri, Riau Daratan. Menurutnya ia lahir pada tahun 1918. Tahun 1920 ia dibawa ayahnya (kakek Syamsul Anwar) ke Kelang, Malaysia. Pada tahun 1925 ayahnya naik haji dan ia dibawa pulang ke Inderagiri. Ia datang ke Midai pada permulaan tahun lima puluhan abad yang lalu. Pendidikannya setelah sekolah dasar menlanjutkan ke Samratul Azhar, namun lebih belakangan dari ibu Syamsul Anwar. Ia juga tidak sempat menamatkannya karena sekolah tersebut bubar pada zaman Jepang. Di Midai ia mewarisi dan melanjutkan pekerjaan kakek Syamsul Anwar dari sebelah ibu sebagai petani kelapa dan kemudian juga cengkeh. Sang ayah inilah yang kuat kehendaknya untuk menyekolahkan Syamsul Anwar pada jalur pendidikan agama.[13] Kini ayahandanya telah tiada. Beliau meninggal pada 08 Februari 2013 dan dimakamkan di Yogyakarta.[14]
Syamsul Anwar sendiri menikah pada tahun 1989 dengan seorang gadis asal Belinyu, Bangka, Dra. Suryani. Pasangan ini kini dikarunia dua orang buah hati; Fitri Prawitasari dan Jamal Fajri.[15]
Masa Kecil. Syamsul Anwar lahir pada tanggal 17 Rajab 1375 H pada hari Kamis sore pukul 17.30 yang bertepatan dengan 30 Maret 1956.[16] Masa kecil sejak lahir hingga usia 12 tahun dijalani Syamsul Anwar di kampung halaman bersama orang tuanya. Pada usia 5 tahun sebelum masuk sekolah dasar Syamsul Anwar kecil dibawa oleh orang tuanya mengunjungi kampung halaman leluhurnya di Inderagiri, Riau Daratan. Melalui kedua orang tuanya ini Syamsul Anwar sejak kecil mendapat bimbingan keagamaan dan dididik dalam suasana semangat religius yang dimiliki kedua orang tuanya dan lingkungan kampungnya.[17]
Tamat dari MII pada tahun 1968, Syamsul Anwar pada tahun 1969 meneruskan pelajaran ke Sekolah Menegah Pertama Negeri (SMPN) di kampung halamannya. Namun Syamsul Anwar hanya beberapa bulan saja belajar di sekolah tersebut. Syamsul Anwar kemdudian meninggalkan kampung halaman dan berangkat ke Tanjung Pinang di mana ia masuk Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). Di sekolah ini ia belajar selama enam tahun sampai tamat kelas enam pada tahun 1974.[19]
Selama belajar di Tanjung Pinang, Syamsul Anwar banyak memanfaatkan waktunya untuk menambah pelajaran di luar sekolah formal. Antara lain ia mengikuti pelajaran privat bahasa Arab kepada beberapa guru dan ustaz. Di antara yang paling banyak kontribusinya adalah Ustaz Abu Bakar Ali (w. 1981). Syamsul Anwar mengunjungi ustaz ini setiap minggu secara rutin, dan karena ketekunan serta kesungguhan yang diperlihatkan Syamsul Anwar dalam belajar bahasa Arab, sang ustaz merasa amat senang dan memberikan fasilitas pelajaran apa saja terutama meminjaminya buku-buku bacaan berbahasa Arab untuk menunjang pelajaran dan mempercepat pengembangan kosakata. Sang ustaz tidak memberikan pelajaran kepada Syamsul Anwar di rumahnya, melainkan di sebuah surau kecil miliknya di Kampung Bakar Batu, tidak jauh dari rumahnya. Ustaz ini selain berprofesi sebagai dai yang banyak berdakwah di tengah masyarakat, ia pada waktu itu juga adalah Ketua Pengadilan Agama Tanjung Pinang. Ia belajar di sekolah Arab di Singapura dan Malaysia serta sangat lancara berbahasa Arab. Ia memberi pelajaran bahasa Arab kepada Syamsul Anwar secara privat dengan menggunakan bahasa Arab dengan metode yang sangat efektif. Bahkan di luar pelajaran pun sang ustaz berbicara dalam bahasa Arab kepada Syamsul Anwar sekalipun di depan tamu-tamu penting. Dengan demikian, ketika tamat PGAN 6 Tahun Tanjung Pinang Syamsul Anwar telah mampu berbahasa Arab[20] dan membaca kita Arab.[21]
Syamsul Anwar juga aktif mengikuti kegiatan sekolah terutama di bidang olahraga. Ia adalah salah seorang anggota tim pemain sepak bola sekolah yang kerap ikut serta dalam pertandingan pada berbagai event, juga dalam pertandingan persahabatan dengan berbagai klub sepakbola seperti persatuan olahraga PN Aneka Tambang, persatuan sepak bola Angkatan Laut dan lain-lain. Syamsul Anwar juga tidak ketinggalan dalam aktifitas dakwah. Melalui pelajaran ekstra kurikuler dan keaktifan dalam Seksi Ubudiyah dalam organisasi intra sekolah, Syamsul Anwar berkesempatan belajar cara-cara berpidato dan khutbah. Sejak kelas 5 (PGAN 6 Tahun) ia telah sering melakukan kegiatan tablig dalam bentuk ceramah, pengajian dan khutbah.[22]
Setelah enam tahun tinggal di Tanjung Pinang dan meninmba pengetahuan menengah di kota tersebut, Syamsul Anwar pada akhir tahun 1974 berangkat menuju Yogyakarta untuk meneruskan kuliahnya di kota Gudeg ini. Pilihannya dijatuhkan ke kota Yogyakarta sebagai tempat melanjutkan pelajaran tidak lepas dari saran beberapa gurunya ketika di PGAN Tanjung Pinang yang sebagian adalah tamatan Yogyakarta. Atas dorongan guru bahasa Arabnya Ustaz Abu Bakar Ali, Syamsul Anwar masuk Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga pada awal tahun 1975. Pada tahun 1978 ia memperoleh gelar Sarjana Muda. Kemudian pada tahun itu juga ia melanjutkan studi pada tingkat doktoral dengan mengambil Jurusan Pidana dan Perdata Islam dan lulus pada tahun 1981 dengan skripsi berjudul “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Islam.”[23]
Selain dari mengikuti kuliah di kampus, Syamsul Anwar juga mengikuti berbagai pelajaran tambahan di luar kampus. Sejak pertama kali sampai di Yogyakarta ia mengikuti kursus pendidikan kader yang diselenggarakan oleh Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS) pada tahun 1975. Tahun berikutnya ia ikut serta menjadi pengurus PKMS sebagai Ketua Seksi Bahasa Arab. Selain itu Syamsul Anwar masih mengikuti pelajaran bahasa Arab privat kepada salah seorang dosen IAIN Sunan Kalijaga yang mahir berbahasa Arab, yaitu Ali Abu Bakar Basalamah (w. 1997). Ia secara rutin mendatangi rumah sang guru setiap minggu. Sedangkan pelajaran tambahan bahasa Inggris diikuti pada beberapa tempat kursus di Yogyakarta. Ia juga pernah mengikuti kursus bahasa Perancis di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta.[24]
Pendidikan Strata 2 (S-2) diselesaikan Syamsul Anwar di Jurusan Akidah dan Filsafat Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1991 dengan menulis tesis berjudul “Konsep Negara dalam Dunia Melayu: Kajian terhadap Pemikiran Ali Haji,” dibawah bimbingan Prof. Dr. H. A. Mukti Ali. Selain kuliah di S-2 IAIN Sunan Kalijaga, Syamsul Anwar juga mendapat beasiswa bersama sejumlah 13 orang dosen IAIN se-Indonesia lainnya untuk belajar di Universitas Leiden tahun 1989-1990. Untuk itu Syamsul Anwar harus belajar bahasa Belanda secara super intensif di Pusat Kebudayaan Belanda “Erasmus Huis” Keduataan Besar Belanda di Jakarta selama satu semester. Setelah itu berangkat ke Belanda untuk uliah di Universitas Negeri Leiden. Namun untuk memperlancar bahasa Inggris oleh Universitas Leiden dikirim ke School of Oriental and African Studies (SOAS) Universitas London di London selama dua bulan (Juli-Agustus 1989).[25]
Di Leiden Syamsul Anwar mengikuti kuliah dalam bidang Islamic Studies yang diberikan oleh sejumlah spesialis Islamic Studies di kota tersebut. Antara lain Prof. Dr. C. Van Dijk, Dr. Johannes den Heijer, Dr. Nico Kaptein. Selain itu juga ada kuliah-kuliah dari dosen tamu seperti Dr. G.H.A Juynboll, Dr. P.S. ban Koningsveld, serta para ahli dari negeri-negeri muslim sendiri. Selain mengikuti kuliah Syamsul Anwar juga melakukan penelitian untuk tesis masternya di IAIN. Oleh INIS selaku sponsor, untuk penelitian guna penyusunan tesis di Leiden ini ditunjuk Prof. Dr. C. Van Dijk selaku supervisor.[26]
Pendidikan S-3 diselesaikan pada tahun 2001 di Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga dalam bidang hukum Islam dengan disertasi berjudul “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustaṣfā Karya al-Gazzalī.” Disertasi ini sebagian ditulis di Hartford, Connecticut, pada tahun 1997 di mana Syamsul Anwar pada tahun itu mendapat kesempatan mengikuti Sandwich Program dalam rangka studi agama-agama di Hartford Seminary. Kesempatan ini digunakannya untuk mengumpulkan bahan dan menulis disertasi. Sebagian lagi ditulis di Jakarta karena Syamsul Anwar secara sengaja beruzlah selama delapan bulan ke IAIN Jakarta pada tahun 1998 untuk menyelesaikan penulisan disertasi. Penulisan disertasi ini berada di abwah bimbingan Prof. Dr. H. Rachmat Djatnika dan Dr. H. Satria Effendi M. Zein.[27]
Pekerjaan. Setelah menyelesaikan kuliah Sarjana Lengkap, Syamsul Anwar diterima sebagai dosen di Fakultas Syariah tempatnya belajar sebelumnya. Pekerjaan ini sesuai dengan minatnya yang menyenangi pekerjaan dalam pengembangan ilmu dan kegiatan pendidikan. Minat ini telah tertanam pada dirinya sejak bersekolah di PGAN Tanjung Pinang. Ia diangkat pertama kali pada tanggal 1 Maret 1983 sebagai Asisten Ahli Madya. Semula ia berkeinginan untuk menjadi dosen di IAIN Susqa Pekanbaru. Akan tetapi ketika sedang memproses lamarannya, ia menerima panggilan dari almamaternya untuk menjadi tenaga pengajar di sana. Ia memilih untuk ke Yogyakarta dengan alasan kota ini adalah kota budaya dan pendidikan sehingga dengan demikian minatnya dalam pengembangan ilmu dan mengabdikannya melalui pendidikan dapat direalisasikan dengan baik.[28]
Karir sebagai tenaga edukatif dijalani oleh Syamsul Anwar dengan tekun hingga akhirnya ia mencapai jenjang kepangkatan akademik tertinggi dalam pekerjaan tersebut, yaitu sebagai guru besar terhitung sejak 1 Oktober 2004. Untuk pengukuhan guru besarnya, pada tanggal 26 September 2005 Syamsul Anwar menyampaikan pidato ilmiah berjudul “Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syariah dengan Pendekatan Usul Fikih.”[30]
Sebagai dosen Syamsul Anwar tidak hanya mengajarkan ilmu yang dimilikinya di Fakultas Syariah tempat ia menjalankan tugas pokoknya. Menurutnya, mengajar di luar perguruan tinggi tempat tugas pokok dijalankan akan memberi tambahan wawasan melalui kontak dengan para mahasiswa dan sivitas akademika dari tradisi perguruan tinggi yang berbeda. Oleh karena itu, di samping memberikan kuliah di fakultasnya sendiri, ia juga memberikan kuliah di sejumlah perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.[31] Di samping menjalankan tugas pokok sebagai tenaga edukatif Syamsul Anwar juga pernah melaksanakan tugas-tugas tambahan (administratif) di lingkungan UIN Sunan Kalijaga, di mana salah satunya ialah menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, terhitung sejak 1 September 1999 s/d 31 Agustus 2003.[32]
Pengalaman. Syamsul Anwar di samping sibuk dengan kegiatan mengajar sebagai tugas pokok, juga sibuk dengan kegiatan-kegiatan ilmiah dan sosial. Ia banyak mengikuti seimnar, simposium, lokakarya atau sejeninsnya pada tingkat lokal, nasional atau internasional, baik sebagai perserta maupun sebagai pemateri. Ia juga menjadi salah seorang Project Leaders (bersama Prof. C. Van Dijk) untuk sub project ‘The Traditional Religious Authority: Ulama and Fatwa’ dari Program “Islam in Indonesia: Dissemination of Religious Authority in the 20th century” yang merupakan program penelitian bilateral dan salah satu dari lima priority programme yang dijalankan [1 Januari 2001 – 31 Desember 2005] dalam rangka Scientific Programme Indonesia-Netherlands (SPIN) di bawah tangggung jawab Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences (KNAW). Selain itu Syamsul Anwar juga merupakan salah seorang pakar Majelis Bahasa Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia (MABBIM) yang aktif mengikuti kegiatan institusi tersebut.[33]
Dengan melibatkan 150 pemuda dari 40 negara yang mwakili 13 agama dan dengan latar belakang yang amat beragam, program Religious Youth Service yang diikuti Syamsul Anwar ini menyediakan suatu forum bagi pemuda-pemuda agama untuk melakukan interaksi dan mencari titik temu di dalam keragaman kultur dan perbedaan agama yang mereka miliki. Program dalam kegiatan ini meliputi kuliah dan diskusi tentang agama-agama dan tentang kebudayaan Spanyol tempat acara diselenggarakan, bakti sosial dan rekreasi. Bakti sosial dan rekreasi ini dimaksudkan sebagai forum dialog non-verbal yang langsung dalam bentuk aksi. Dari situ diharapkan bagaimana para peserta dapat membinan kerja sama yang baik sekalipun berbeda latar belakang agama dan budaya, bagaimana bertenggang rasa terhadap orang lain yang bertindak menurut kebiasaan dan kepercayaan agamanya yang berbeda, dan juga bagaiamana para peserta dapat mengenali secara lebih dekat dan langsung bermacam-macam agama yang mungkin selama ini tidak dikenalnya dengan baik.[35]
Bagi Syamsul Anwar keterlibatan dalam program ini memberikan suatu wawasan baru dalam konteks upaya bagaimana membina semangat toleransi dan membangun dialog konstruktif antara penganut agama-agama. Ini adalah langkah awal bagi Syamsul Anwar dalam pengalamannya di bidang dialog antar agama. Langkah awal ini dilanjutkannya dengan studi hubungan Islam-Kristen di Hartford Seminary pada tahun 1997. Selama hampir satu tahin di Hartford, AS, Syamsul Anwar selain mengikuti perkuliahan mengenai berbagai teologi dan agama, ia juga terlibat dalam banyak acara-acara dialog langsung yang mirip dengan kegiatan RYS di atas, meskipun waktunya lebih singkat. Sebagai hasil dari ini semua ia menulis “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations: Toward a Reinterpretation.”[36]
Kegiatan sosial keagamaan dijalani Syamsul Anwar melalui keterlibatannya di dalam Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. ia bergabung dengan institusi ini sejak tahun 1986 ketika pertama kali ia menjadi anggota pengurus Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah DIY. Pada periode 1990-1995, ia masuk dalam kepengurusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat sebagai wakil sekretaris [Ketuanya adalah Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman]. Pada periode berikutnya tahun 1995-2000, ia menjadi Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di mana Ketuanya adalah Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah. Kemudian ia dipercayai untuk menjadi Ketua untuk masa kepengurusan 2000-2005, 2005-2010[37] dan 2010-2015.
Di saat menjadi Ketua inilah Syamsul Anwar mulai mendalami lebih jauh ilmu falak Syar’i dan mulai menelurkan banyak pemikiran yang ia tuangkan dalam buku, artikel dan sebagainya.[38]
Perkenalan Syamsul Anwar dengan ilmu falak syar’i dimulai ketika ia menjadi mahasiswa S-1 Fakultas Syariah di IAIN sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketika itu ilmu ini menjadi salah satu rangkain mata kuliah pada program studi yang di ambil Syamsul Anwar. Dosen yang mengajari Syamsul Anwar ilmu falak saat itu adalah Ustaz Drs. H. Abdur Rahim (1935-2004) (ahli falak Muhammadiyah) dan Drs. H. Marwazi NZ (w. 2010) selama dua semester. Setelah menyelesaikan program S-1, Syamsul Anwar tidak pernah berinteraksi kembali dengan ilmu ini, karena memang setelah itu ia memilih untuk mengambil spesifikasi ilmu usul fikih.[39]
Layaknya manusia biasa, setelah sekian lama tidak pernah berinteraksi dengan suatu disiplin ilmu tertentu, pasti akan banyak pengetahuan dari ilmu tersebut yang terbenam meski dulu telah didapatkan. Hal ini berlaku juga pada Syamsul Anwar. Setelah begitu lama tidak pernah membuka kembali ilmu ini banyak pengetahuan yang didapat Syamsul Anwar terkait ilmu tersebut yang dulunya ia kuasai menjadi lupa. Berkecimpungnya Syamsul Anwar di Muhammadiyah, khususnya di Majelis Tarjih, membuatnya termotivasi untuk kembali mendalami ilmu yang hampir ia lupakan ini. Motivasi tersebut semakin kuat setelah ia diamanahi sebagai Ketua Majelis Tarjih. Syamsul Anwar menyadari bahwa sebagai Ketua Majelis Tarjih, ia harus turut bertanggung jawab atas segala macam persoalan yang dihadapi masyarakat, di mana salah satu masalah yang sering muncul adalah masalah-masalah yang penyelesaiannya mau tidak mau harus menggunakan perangkat yang terdapat dalam ilmu falak ini, seperti masalah perbedaan dalam mengawali Ramadan dan perbedaan hari raya. Amanah ini menjadi dorongan paling kuat bagi Syamsul Anwar untuk mau membuka kembali buku-buku dan literatur-literatur astronomi, khususnya yang terkait dengan ilmu falak syar’i. Bahkan khusus untuk mengasah kembali dan memperlancar kemampuan dalam metode perhitungan, ia tidak malu-malu untuk duduk bersama dengan Thalabah PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) mengikuti kuliah Ilmu Falak yang diampu oleh Ustaz Drs. H. Oman Fathurrahmaman SW, M. Ag. (lahir 1957), ahli falak Muhammadiyah yang terkenal itu.[40] Padahal saat itu ia telah menjadi seorang Guru Besar.[41]
Diakui Syamsul Anwar ada tiga guru yang sangat berperan dalam pengembangan keilmuannya dalam bidang ilmu falak, khususnya dalam hal metode perhitungan, yaitu dua dosennya ketika menjadi mahasiswa: Ustaz Drs. H. Abdur Rahim dan Ustaz Drs. H. Marwazi NZ, dan satu guru lagi yang ia belajar darinya bersama Thalabah PUTM yaitu Ustaz Drs. H. Oman Fathurrahman SW, M. Ag. Adapun dalam hal pengembangan wacana dan pemikiran, Syamsul Anwar mengembangkannya dengan cara memperbanyak bacaan literatur-literatur astronomi dari berbagai bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa Inggris maupun bahasa Arab.[42]
Karya Terjemahan
1) Islam, Negara dan Hukum (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1993). Karya ini diterjemahkan dari kumpulan makalah yang menjadi bahan kuliah beberapa spesialis Islam di Kairo untuk ININ fellows tahun 1990 di mana Syamsul Anwar adalah salah seorang dari mereka. Makalah-makalah ini belum pernah diterbitkan, bahkan beberapa darinya masih dalam bentuk tulisan tangan.
Tentang teori dan metodologi hukum Islam serta epistemologi
1) “Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam,” Al-Mawarid, no. 1 (September-Desember 1993), h. 12-19.
1) “Al-Mawardi dan Teorinya tentang Khilafah,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 35 (1987), h. 16-34.
1) “Uṣūl at-Takhrīj: Teknik-Teknik Pelacakan Hadis,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 49 (1992), h. 81-102.
1) Hari Raya & Problematika Hisab-Rukyat (Yogyakrta: Suara Muhammadiyah, 2008).
Pemikiran-Pemikiran Syamsul Anwar Dalam Bidang Ilmu Falak
Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis tentang Rukyat
Ada sejumlah hadis yang sering dijadikan dasar untuk melegitimasi perintah rukyat. Hadis-hadis tersebut ialah:
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ
قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya: (Muḥammad ibn Ziyād
berkata): Aku mendengar Abū Ḥurairah berkata: Rasulullah atau Abū al-Qāsim saw
bersabda: Berpuasalah kamu ketika melihat hilal dan beridulfitrilah ketika
melihat hilal pula. Jika hilal di atasmu terhalang awan, maka genapkanlah
bilangan bulan Syakban tiga puluh hari.[43]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ
وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya: Dari Ibn ‘Umar ra
(diriwayatkan) bahwa Rasulullah menyebut-nyebut Ramadan, dan berkata: Janganlah
kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum
melihat hilal pula. Jika hilal di atasmu terhalang awan, maka estimasikanlah.[44]
أَنَّ
ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya: Sesungguhnya Ibn ‘Umar
ra berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu melihat hilal,
maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, beridulfitrilah! Jika bulan
terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah.[45]
Hadis-hadis di atas seringkali
dijadikan dasar oleh orang-orang yang berpandangan rukyat untuk melegitimasi pendapatnya
tersebut. Mereka memahami hadis-hadis tersebut secara tekstual tanpa
mempertimbangkan dalil-dalil yang lain.
Rukyat (ru’yah) secara harfiah
berarti melihat, atau yang lebih umum adalah melihat dengan mata kepala. Rukyat
dalam pengertian yang sering digunakan oleh ilmu Astronomi mengacu kepada
pengertian Ru’yah al-Hilāl. Yang terakhir ini mengandung pengertian
melihat atau mengamati hilal pada saat matahari terbenam menjelang awal bulan
kamariah dengan mata atau teleskop. Dalam astronomi hal ini dikenal juga dengan
istilah obeservasi.[46]
Dalam tradisi penentuan awal bulan
kamariah ada dua kubu yang berkembang; rukyat dan hisab.[47]
Kubu yang berpendapat bahwa penentuan awal bulan adalah dengan metode rukyat
tidak membolehkan penggunaan hisab sebagai metode penentuannya. Pendapat ini
mengharuskan obeservasi langsung untuk dapat melihat hilal. Adapun kubu yang
kedua, yaitu hisab, berpendapat bahwa penentuan awal bulan kamariah termasuk
juga bulan-bulan ibadah adalah dengan metode hisab, bahkan penggunaan metode
ini menurut orang-orang yang berpendapat demikian dianggap lebih akurat dan
dapat memberikan kepastian dibanding dengan rukyat, selain juga karena rukyat
itu adalah cara yang sukar dilakukan.[48]
Dalam hal ini Syamsul Anwar masuk dalam kubu yang kedua, yaitu orang yang
berpandangan hisab sebagai metode penentuan awal bulan.
Menurut Syamsul Anwar, tidak dapat
dipungkiri bahwa di antara dua kubu tersebut, kubu yang berpendapat rukyat
sebagai metode penentuan awal bulan masih menjadi mayoritas.[49]
Hal ini dapat dimaklumi, karena memang dalam sejumlah hadis - seperti
dikemukakan di atas - secara tegas Nabi memerintahkan untuk merukyat. Persoalannya
adalah bahwa di zaman Nabi penentuan awal bulan kamariah dengan menggunakan
rukyat tidak menimbulkan masalah. Hal itu karena umat Islam baru berkembang di
Jazirah Arab saja, belum ada di negeri-negeri lain yang jauh dari situ.
Terlihat dan tidaknya hilal di Jazirah Arab tidak berpengaruh bagi penetapan
jatuhnya waktu-waktu ibadah umat Islam di tempat lain yang jauh dari
Semenanjung Arabia tersebut. Berbeda halnya setelah umat Islam berkembang meluas
ke berbagai penjuru dunia seperti sekarang ini.[50]
Dalam keadaan umat Islam yang telah
ada di berbagai belahan bola bumi yang bulat ini, menurut Syamsul Anwar,
penggunaan rukyat tidak lagi memadai bahkan menimbulkan banyak problem. Hal itu
karena rukyat tidak mencakup seluruh permukaan bumi saat visibilitas pertama. Pada
saat itu mungkin hanya sebagian sangat kecil saja dari muka bumi yang dapat
mengalami rukyat, atau mungkin separohnya, atau mungkin sebagian besar. Akan tetapi
jelas mustahil seluruh muka bumi dapat mengalami rukyat pada hari pertama
penampakan hilal di muka bumi. Dengan kata lain, rukyat akan membelah bumi,
yang berakibat tidak dapatnya hari ibadah dijatuhkan satu hari di seluruh
dunia.[51]
Masalahnya bagaimana dengan
hadis-hadis yang secara tegas memerintahkan untuk merukyat? Apakah ada
pemahaman terhadap hadis-hadis tersebut yang lebih bisa mengakomodir kenyataan
alam seperti yang dijelaskan di atas? Di sinilah kemudian Syamsul Anwar, dengan
kapasitas yang dimilikinya dalam bidang Usul Fikih, menggunakan metode-metode
dalam ilmu tersebut untuk merekonstruksi pemahamaan hadis-hadis tentang rukyat
secara kontekstual.
Syamsul Anwar mengatakan ada dua
metode Usul Fikih yang bisa digunakan untuk meletakkan pemahaman hadis-hadis
tentang rukyat itu secara kontekstual, yaitu metode kausasi dan kaidah
perubahan hukum.[52]
Namun sebelum membahas kedua metode tersebut nampaknya perlu dikemukakan juga
beberapa penafsiran para ulama terhadap hadis-hadis rukyat, mengingat ada
anggapan bahwa penggunaan hisab itu agak jauh dari sunah Nabi saw.[53]
Dalam kitab-kitab fikih paling
tidak ada tiga kemungkinan makna yang terkandung dalam hadi-hadis tentang
rukyat:[54]
pertama, jumhur ulama berpendapat hadis-hadis tentang rukyat
memerintahkan melakukan rukyat dan dalam hal rukyat tidak dapat dilakukan
karena langit berawan, maka bulan berjalan digenapkan 30 hari. Kedua,
pendapat yang menyatakan bahwa apabila hilal tertutup awan saat langit mendung
sehingga tidak dapat dirukyat, maka bulan berjalan dicukupkan 29 hari, artinya
bulan Syakban bila akan memasuki Ramadan atau bulan Ramadan bila akan memasuki
Syawal disempitkan bilangannya, yakni cukup 29 hari saja. Ketiga,
pendapat yang mengatakan bahwa makna faqdurū lahu adalah perintah
melakukan hisab. Salah seorang ulama penganut pendapat ketiga ini mengatakan,
“Apabila hilal tertutup awan dan ada orang yang mengerti hisab dan manzilah
perjalanan bulan dan dengan hisab itu ia mengetahui bahwa bulan Ramadan telah
masuk, maka ada dua pendapat: Abū al-‘Abbās mengatakan orang itu wajib puasa
karena ia telah mengetahui masuknya bulan berdasarkan suatu dalil sehingga sama
dengan kesaksian (rukyat); menurut pendapat lain tidak wajib puasa...”[55]
Dari tiga pendapat di atas jelas
bahwa sesungguhnya hadis-hadis tentang rukyat mengandung salah satu kemungkinan
makna, yaitu perintah hisab, dan dalam hal ini Syamsul Anwar menarjihkan pendapat
ketiga tersebut sembari memperluas maknanya. Perluasan makna tersebut artinya
penggunaan hisab tidak hanya diberlakukan pada saat hilal tertutup awan saja,
melainkan digunakan dalam semua keadaan.[56]
Alasannya karena faktor alam pada zaman moodern ini bukan saja faktor awan yang
menutup hilal, melainkan juga faktor alam berupa tampakan hilal yang terbatas
di muka bumi.[57]
Di sinilah kemudian dua metode Usul
Fikih yang digunakan Syamsul Anwar untuk kontekstualisasi hadis-hadis tentang
rukyat menemukan peran pentingnya. Metode yang pertama adalah metode kausasi.
Metode kausasi adalah metode penemuan hukum syariah dalam hal tidak ada teks
syariah yang langsung berkaitan dengan kasusnya atau ada teks syariah terkait,
tetapi diperlukan perubahan hukum karena ketentuan hukum berdasarkan teks tersebut
tidak lagi memadai lantaran adanya perubahan kondisi yang menghendaki adanya
perubahan sehingga karena itu perlu ditemukan hukum baru. Metode ini juga bisa
disebut sebagai metode argumentasi.[58]
Cara kerja metode ini adalah dengan
melakukan analisis terhadap ilat (kausa, ratio legis) hukum dari kasus
yang sudah ada hukumnya yang masuk ke dalam satu himpunan yang sama dengan
kasus yang hendak dicari hukumnya. Kesamaan dalam himpunan itu ditandai dengan
kesamaan kausa (ilat) antara kedua kasus tersebut. Ada dua macam kausa dalam
ilmu Usul Fikih. Pertama, kausa efisien, yaitu sebab atau alasan mengapa
suatu hukum yang sudah ada itu ditetapkan hukumnya seperti itu. Kedua,
kausa finalis, yaitu alasan berupa tujuan hukum yang hendak dicapai melalui
penetapan hukum. Artinnya suatu hukum ditetapkan adalah karena penetapan hukum
demikian diharapkan akan dapat mewujudkan tujuan hukum tertentu.[59]
Syamsul Anwar mengutip pendapat
al-Gazzālī (w. 505/1111) yang mengatakan bahwa semua ketentuan hukum syariah
yang berkaitan dengan kepentingan manusia, selain ibadah, adalah tedas makna
(ma’qūlah al-ma’nā). Tindakan-tindakan Pembuat Hukum Syar’i pada dasarnya
berdasarkan rasionalitas. Sehingga berarti setiap ketentuan hukum syariah
- kecuali dalam beberapa aspek ibadah -
selalu ada ilat yang menjadi dasar legitimasinya. Juga ilat itu mempengaruhi
ada atau tidak adanya hukum tersebut. Kaidah fikih mengatakan,[60]
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وَ سَبَبِهِ وُجُوْدًا
وَ عَدَمًا
Artinya: Hukum itu berlaku
menurut ada atau tidak adanya ilat dan sebabnya.
Penerapan metode pertama ini dalam
kaitannya dengan hadis-hadis rukyat, menurut Syamsul Anwar, bisa ditelusuri
dengan terlebih dahulu mengajukan pertanyaaan: apakah perintah melakukan rukyat
untuk memulai Ramadan dan Syawal dalam hadis-hadis Nabi adalah suatu perintah
mutlak tanpa alasan apapun atau merupakan perintah karena alasan tertentu
(perintah berkausa/berilat)?[61]
Untuk menjawab pertanyaan tersebut Syamsul
Anwar melandaskan pada pernyataan al-Gazzālī di atas bahwa semua ketentuan
hukum syariah yang berkaitan dengan kepentingan manusia, selain ibadah, adalah
tedas makna. Sehingga oleh karenanya Syamsul Anwar berkesimpulan bahwa perintah
rukyat adalah suatu perintah yang disertai ilat. Ia menguatkan argumennya
tersebut dengan mengutip penegasan para ulama terkemuka, seperti Muḥammad
Rasyīd Riḍa (w. 1354/ 1935), Syaikh Aḥmad Muḥammad Syākir (w. 1377/ 1958) dan
Muṣṭafā az-Zarqā (w. 1420/ 1999) yang menyatakan bahwa perintah rukyat itu
merupakan perintah yang didasarkan atas suatu kausa (ilat), yaitu kondisi umat
pada saat itu masih ummi, di mana kebanyakan mereka belum mengenal tulis baca
dan hisab, sehingga untuk memudahkan Nabi saw memerintahkan sarana yang mungkin
dan tersedia saat itu, yaitu rukyat.
Metode kedua yang digunakan Syamsul
Anwar adalah terkait dengan metode penemuan hukum baru. Dalam hal ini ia
mengutip kaidah fikhiah yang sudah amat popular yang menyatakan,[62]
لَا يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْأَزْمَانِ
Artinya: Tidak diingkari
perubahan hukum karena perubahan zaman.
Menurut Syamsul Anwar, hukum Islam
bukanlah hukum yang kaku. Oleh karena itu dalam sejumlah hal hukum Islam dapat
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan kemaslahatan manusia pada zaman
tertentu. Namun hukum itu tidak boleh juga asal berubah. Di sini kemudian
Syamsul Anwar mengajukan empat syarat yang harus terpenuhi untuk suatu hukum itu dapat berubah, yaitu: pertama,
adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah, yang berarti bahwa apabila tidak
ada tuntutan dan keperluan untuk berubah, maka hukum tidak dapat diubah. Kedua,
hukum itu tidak mengenai pokok ibadah maḥḍah, melainkan di luar ibadah maḥḍah,
yang berarti ketentuan-ketentuan ibadah maḥḍah tidak dapat diubah karena pada
dasarnya hukum ibadah itu bersifat tidak tedas makna. Ketiga, hukum itu
tidak bersifat qaṭ’i; apabila hukum itu qaṭ’i, maka tidak dapat
diubah seperti ketentuan larangan makan riba, makan harta sesama dengan jalan
batil, larangan membunuh, larangan berzina, wajibnya puasa Ramadan, wajibnya
salat lima waktu, dan sebagainya. Keempat, perubahan baru dari hukum itu
harus berlandaskan kepada suatu dalil syar’i juga, sehingga perubahan hukum itu
sesungguhnya tidak lain adalah perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang
lain.[63]
Apakah perubahan dari rukyat kepada
hisab memenuhi empat syarat di atas? Menurut Syamsul Anwar empat syarat di atas
telah terpenuhi untuk dijadikan alasan kenapa harus berubah dari rukyat kepada
hisab. Pertama, sudah amat jelas bahwa terdapat tuntututan untuk
melakukan perubahan dari penggunaan rukyat kepada penggunaan hisab. Dalam
konteks modern kini, rukyat sudah tidak memadai karena tidak mengkaver seluruh
muka bumi pada hari pertama ia tampak dari bumi. Kenyataan ini membawa akibat
serius seperti tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah di seluruh dunia
secara serentak pada tahun tertentu, menghambat pembuatan kalender Islam
unifikatif di mana setelah hampir 1500 tahun usia peradaban Islam, umatnya
belum memliki kalender Islam terpadu dan komprehensif dan karenanya tidak dapat
menyatukan hari-hari raya Islam di seluruh dunia, serta tidak dapat menata
sistem waktu secara prediktif ke masa depan maupun ke masa lalu. Oleh karena
itu perubahan dari rukyat kepada hisab merupakan tuntutan yang sangat
imperatif.[64]
Kedua, rukyat bukan
ibadah, melainkan hanya sarana untuk menentukan waktu dan sarana dapat saja
berubah demi mencapai tujuan pokok secara lebih efektif. Ketiga,
perintah melakukan rukyat bukanlah perintah yang qaṭ’i karena perintah
itu berdasarkan kepada hadis ahad. Dalam kaidah ilmu hadis dan usul fikih,
hadis ahad tidak menimbulkan pengetahuan pasti (qaṭ’i), melainkan
menimbulkan hukum yang ẓanni. Oleh karena hukum menggunakan rukyat itu
bukan hukum yang qaṭ’i, maka ia tidak kebal terhadap kemungkinan
diadakan perubahan. Keempat, penggunaan hisab sebagai hukum hasil
perubahan mendapatkan dasar-dasarnya di dalam al-Qur’an dan sunnah. Dalam
al-Qur’an terdapat dua ayat yang mengandung isyarat yang jelas kepada hisab,
yaitu surat ar-Raḥmān ayat 5 dan surat Yūnus ayat 5. Kedua ayat ini menunjukkan
bahwa matahari dan bulan memiliki sistem peredaran yang ditetapkan oleh Sang
Pencipta dan peredarannya itu dapat dihitung. Penegasan bahwa peredaran
matahari dan bulan dapat dihitung bukan sekadar informasi belaka, melainkan
suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan
waktu secara umum.[65]
Hisab Hakiki
Sebagai Metode Penentuan Awal Bulan
Syamsul Anwar adalah orang yang
berpandangan hisab. Bahkan menurutnya penggunaan hisab pada zaman modern
sekarang ini adalah wajib dan sudah tidak bisa ditawar lagi.[66]
Pendapat Syamsul Anwar ini bukan tanpa sebab, karena menurutnya rukyat pada
zaman modern ini sudah tidak bisa lagi dipertahankan lantaran akan menimbulkan
banyak masalah serius.[67]
Masalah-masalah tersebut seperti dikemukakan Syamsul Anwar ialah: pertama,
problem puasa Arafah. Menurutnya merupakan sebuah kenyataan alam bahwa rukyat
itu terbatas liputannya dan tidak mengkaver seluruh permukaan bumi, sehingga
pada saat visibilitas pertama ada bagian muka bumi yang dapat melihat hilal,
ada bagian lain yang belum dapat melihatnya. Akibatnya bagian yang dapat
melihat hilal pada suatu sore akan memasuki bulan baru keesokan harinya,
sementara bagian yang belum dapat melihatnya harus menunda memasuki bulan baru
dan baru akan memasukinya lusa, sehingga terjadilah perbedaan awal bulan.
Apabila ini terjadi pada bulan Zulhijah, maka akan timbul masalah kapan
melaksanakan puasa sunah Arafah bagi kawasan yang tanggal 9 Zulhijahnya jatuh
berbeda dengan tanggal 9 Zulhijah di Arab Saudi yang diakibatkan perbedaan
rukyat.[68]
Kedua, Rukyat
berpotensi akibatkan puasa Ramadan 28 hari. Bila mengacu kepada hadis Nabi,
maka tidak mungkin suatu bulan kamariah berjumlah 28 hari. Dalam keterangan
hadis bulan kamariah itu kadang-kadang berjumlah 29 hari dan kadang kala
berjumlah 30 hari, tidak pernah lebih atau kurang dari itu. Inilah problem lain
yang diakibatkan karena penggunaan rukyat. Syamsul Anwar mengemukakan beberapa
contoh kasus Ramadan pada zaman dahulu yang berjumlah 28 hari, yaitu pada
Ramadan 35 H dalam masa pemerintahan Uṡmān ibn ‘Affān dan suatu kali Ramadan di
zaman pemmerintahan Ālī ibn ābī Ṭālib.[69]
Syamsul Anwar menambahkan bahwa kasus-kasus seperti itu bisa sangat mudah
terjadi di zaman modern ini. Hal tersebut dapat terjadi karena seseorang
bepergian melintasi satu negara ke negara lain, di mana negara-negara tersebut
menjatuhkan awal Ramadan mereka secara berbeda. Sebagai contoh adalah kasus
Ramadan 1503 H (2080). Tanggal 1 Ramadan 1503 H di Selandia Baru sesuai prinsip
rukyat, akan jatuh pada hari Kamis 20 Juni 2080 M setelah menggenapkan Syakban
30 hari, dan Idul Fitri 1 Syawal 1503 H di negeri tersebut akan jatuh pada hari
Jumat 19 Juli 2080 M dengan usia Ramdan 29 hari. Di Arab Saudi, sesuai prinsip
rukyat, tanggal 1 Ramadan 1503 H jatuh hari Rabu 19 Juni 2080 M dan 1 Syawal
1503 H jaruh hari Kamis 18 Juli 2080 M dengan usia Ramadan 29 hari. Apabila
seorang muslim di Willington, ibukota Selandia Baru, yang mulai puasa Ramadan
1503 H pada hari Kamis 20 Juni 2080 M pergi umrah ke Mekah pada bulan Ramadan
itu dan berlebaran di Mekah pada hari Kamis 20 Juli 2080 M, maka puasa
Ramadannya hanya 28 hari.[70]
Ketiga, penggunaan
rukyat tidak memungkinkan kita meramalkan tanggal jauh hari ke depan karena
kepastian tanggal baru diketahui sehari sebelum bulan baru pada setiap bulan.
Begitu pula kita tidak bisa menghitung tanggal mundur ke belakang secara tepat
karena tanggal di masa lalu tidak didasarkan kepada logika matematis
perhitungan, melainkan ditentukan oleh kenyataan pada hari apa rukyat secara
faktual terjadi. Keempat, penggunaan rukyat sebagai metode penetapan
awal bulan kamariah tidak memungkinkan umat Islam membuat suatu sistem penanggalan
Islam unifikatif karena keterbatasan cakupan rukyat di muka bumi.[71]
Salah satu akibatnya umat Islam di seluruh dunia tidak dapat menyatukan
momen-momen keagamaan mereka secara serentak dalam hari yang sama.[72]
Problem-problem yang diakibatkan
oleh penggunaan rukyat seperti di atas itulah yang membawa Syamsul Anwar sampai
pada suatu kesimpulan bahwa beralih dari rukyat kepada hisab untuk menentukan
awal bulan adalah harga mati yang tidak dapat ditawar lagi.[73]
Sayangnya, keluh Syamsul Anwar, kenyataan bahwa rukyat mangakibatkan sederet
masalah belum banyak disadari oleh masyarakat. Masih amat banyak yang tetap
bertahan pada rukyat dan memandang bahwa perbedaan antara hisab dan rukyat
adalah persoalan mazhab: mazhab penganut hisab dan mazhab penganut rukyat.
Sehingga beralihnya dari rukyat kepada hisab dianggap oleh mereka sebagai
peralihan dari satu mazhab kepada mazhab yang lain dan itu merupakan suatu
sikap inkonsisten. Padahal semestinya peralihan tersebut dipandang sebagai
suatu ijtihad guna mengatasi realitas alam dalam suatu konteks yang telah
berubah.[74]
Untuk kaitannya hisab apakah yang
seharusnya dipegangi, Syamsul Anwar tidak terlalu mempermasalahkannya. Dalam
artian hisab apa saja asalkan hisab itu dapat menjadi landasan dalam pembuatan
kalender Islam global, maka hisab itulah yang relevan untuk digunakan.[75]
Menurut penulis, apa yang dikatakan Syamsul Anwar tersebut mengandung maksud
bahwa asalkan hisab itu adalah perhitungan berdasarkan gerak faktual bulan di
langit dan perhitungan (hisab) tersebut dapat menjadi landasan pembuatan
kalender Islam global, maka itulah hisab yang relevan untuk digunakan. Ada kata
“berdasarkan gerak faktual bulan” yang harus menjadi catatan dalam pengertian
hisab yang dimaksud Syamsul Anwar, yang ini berarti adalah hisab hakiki. Ini
menjadi penting karena dalam pemikirannya yang lain Syamsul Anwar tidak
menerima konsep hisab urfi dan hisab dengan kriteria imkanu rukyat untuk
dijadikan landasan pembuatan kalender.
Hisab urfi adalah sistem
perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan
mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.[76]
Artinya, model hisab ini metode perhitungannya tidak berdasarkan gerak faktual
bulan di langit, melainkan dengan mendistribusikan jumlah hari dalam satu tahun
Hijriah ke dalam bulan-bulan hijriah berdasarkan pematokan usia bulan-bulan
tersebut berselang-seling 30 dan 29 hari antara bulan-bulan bernomor urut
ganjil dan bulan-bulan bernomor urut genap. Bulan-bulan bernomor urut ganjil
dipatok usianya 30 hari dan bulan-bulan bernomor urut genap dipatok usianya 29
hari.[77]
Menurut Syamsul Anwar kalender yang dibuat dengan berlandaskan pada hisab urfi
akan mengandung kelemahan teknis yang tidak sedikit. Pertama, dalam
hisab urfi pada umumnya ada sisa waktu yang belum dimasukkan ke dalam tahun,
yaitu sisa 2,8 detik setiap bulan. Waktu ini memang sangat kecil sehingga
dengan mudah bisa diabaikan. Namun, meskipun kecil, untuk waktu lama akan
terakumulasi jumlah yang besar. Sampai akhir tahun 1428 H jumlah tersebut telah
mencapai 13 jam 14 menit 40 detik. Jumlah satu hari akan tercapai pada akhir
bulan Jumadal Akhir tahun 2572 H, sehingga harus dilakukan lagi koreksi
kalender, dan setiap kelipatan 2571,5 tahun akan terakumulasi siswa waktu satu
hari.[78]
Kedua, di dalam
kalender hisab urfi tidak terdapat keseragaman tentang penjadwalan tahun
kabisat.[79]
Ada beberapa pendapat tentang rumus penghitungan tahun kabisat. Perbedaan ini
sudah barang tentu akan berakibat perbedaan penentuan tanggal hijriah.[80]
Ketiga, Syamsul Anwar mengutip ‘Abd ar-Rāziq bahwa kalender hisab urfi tidak
memenuhi tiga dari tujuh kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kalender
kamariah Islam unifikatif, yaitu: syarat kelahiran bulan, syarat imkanu rukyat
dan syarat tidak boleh menunda masuk bulan baru ketika hilal telah terlihat
jelas dengan mata telanjang.[81]
Keempat, kelemahan lain dari kalender berdasarkan hisab urfi adalah cara
menentukan awal bulan di belakang hari, karena untuk menentukan awal bulan,
misalnya awal bulan Muharram tahun 1430 H yang akan datang, harus diketahui
secara pasti tanggal 1 Muharram tahun 1 H. Hal itu karena penentuan suatu
tanggal di kemudian hari dilakukan dengan menjumlahkan seluruh hari yang telah
dilalui hingga tanggal bersangkutan. Oleh karena itu perlu diketahui secara
pasti hari yang merupakan tanggal 1 Muharram 1 H. Masalahnya adalah bahwa dalam
hal ini terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan mulainya tanggal 1 Muharram
tahun 1 H ini akan berakibat berbedanya hasil penentuan awal bulan-bulan
berikutnya. Kenyataan ini jelas merupakan kelemahan kalender berdasarkan hisab
urfi.[82]
Selain kelemahan-kelemahan teknis
tersebut, kalender berdasarkan hisab urfi menurut Syamsul Anwar, juga tidak
selaras dengan sunah Nabi saw. Ketidakselarasan tersebut karena dalam kalender
hisab urfi bulan Ramadan dipatok 30 hari, padahal dalam praktek yang dilakukan
Nabi sebagaimana tercermin dalam hadis-hadis yang valid, Nabi justru lebih banyak
melalui Ramadan dengan jumlah hari 29. Syamsul Anwar mengutip pendapat Ibn Ḥajar
al-‘Asqalānī yang menegaskan bahwa Rasulullah saw berpuasa Ramadan 30 hari
hanya dua kali dari sembilan kali Ramadan
yang dialaminya. Sehingga otomatis tujuh Ramadan lain yang dilalui Nabi
berjumlah 29 hari.[83]
Dari sini terlihat bahwa kalender berdasarkan hisab urfi tidak selaras dengan
praaktek yang dilakukan Nabi saw.
Hisab dengan kriteria imkanu rukyat
juga bukan tanpa masalah. Kriteria imkanu rukyat ini ada sebanyak pakar yang
mengusulkannya. Akan tetapi terlepas dari soal kriteria itu, menurut Syamsul
Anwar, hisab dengan kriteria imkanu rukyat yang ada sekarang masih belum dapat
menyatukan penanggalan umat Islam. Sebagai contoh adalah Kalender Hijriah
Universal yang dibuat oleh Muhammad Audah (Odeh). Kalender ini didasarkan
kepada kriteria imkanu rukyat Audah sendiri sebagai hasil analisis statistik
terhadap 737 hasil rukyat akurat dan teruji. Namun problemnya kalender ini
masih membelah dunia menjadi dua zona tanggal yang pada masing-masingnya
berlaku tanggal berbeda pada tahun tertentu. Akibatnya kalender ini tidak dapat
menyatukan jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan kawasan dunia lainnya.[84]
Itulah mengapa Syamsul Anwar selain tidak menerima konsep hisab urfi, juga
tidak menerima konsep hisab dengan kriteria imkanu rukyat sebagai landasan
dalam pembuatan kalender.
Interkoneski
Studi Hadis dan Astronomi
Pemikiran Syamsul Anwar yang bisa dikatakan
paling genuine di antara pemikiran-pemikirannya yang lain adalah tentang
interkoneksi studi hadis dan astronomi. Pemikirannya ini tertuang dalam salah
satu karya fenomenalnya berjudul Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi.[85]
Selain dalam buku tersebut, pemikirannya itu juga dapat dibaca dalam beberapa
tulisannya yang lain.[86]
Pemikiran Syamsul Anwar yang tertuang dalam buku Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi
ini, oleh seorang resensor buku, dianggap memiliki relevansi tersendiri karena
menjadi satu tawaran metodologi yang dapat dijadikan pertimbangan untuk
menyelesaikan pelbagai problematika yang tengah dihadapi umat Islam saat ini,
baik di ranah praktis, maupun di ranah teoretis. Di ranah praktis, satu problem
krusial yang sangat mendesak di tengah umat Islam saat ini adalah bagaimana
kita dapat menemukan suatu formula yang dapat dipertanggungjawabkan, baik
secara syar’i, maupun secara astronomi, mengenai masa depan penentuan awal
bulan hijriyah, bukan hanya dalam skala nasional dan regional, namun juga dalam
skala global. Buku ini mengandung suatu
gagasan yang bersifat futuristik, namun pada saat yang sama tetap berpijak pada
suatu landasan keilmuan yang mengakar ke warisan khazanah Islam klasik.[87]
Dalam ranah teoretis, buku ini menjadi jawaban
atas tuduhan yang selama ini disematkan kepada umat Islam, baik oleh
kalangan insider maupun outsider, berkenaan
dengan miskinnya metodologi (the lack of methodology) baru dalam studi
Islam. Studi Islam oleh sebagain kalangan dipersepsikan telah berada pada titik
kulminasi, mentok, alias naḍaja wa iḥtaraqa (matang kemudian
terbakar), sehingga tidak dapat berkembang lagi. Buku ini menjadi bukti bahwa
studi Islam secara general, diskusus ilmu hadis dan ilmu falak
secara spesifik, sesungguhnya tidaklah berjalan di tempat. Pemikiran Syamsul
Anwar yang tertuang dalam buku ini menunjukkan bahwa suatu pembaruan dapat
terus dilakukan terhadap teori dan metodologi keislaman, sehingga Islam tetap
dapat mempertahankan dimensi aktualitas dan kompatibelitasnya dengan ruang
kesejarahan manusia.[88]
Genealogi Pemikiran Syamsul Anwar ini berawal
dari upaya partisipasinya sebagai seorang dosen pada UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang telah merubah identitasnya dari IAIN menjadi UIN. Perubahan
dari IAIN ke UIN itu mengandung konsekuensi berubahnya filosofi keilmuan
lembaga pendidikan itu pula. Seperti dikutip Syamsul Anwar, dalam buku Kerangka
Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum Universitas Islam Negeri (Uin) Sunan
Kalijaga Yogyakarta ditegaskan bahwa UIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga
pendidikan tinggi Islam menawarkan pengembangan ilmu dan kurikulum dengan
menggunakan pendekatan integrasi-interkoneksi ilmu, yaitu pendekatan yang
menempatkan berbagai disiplin ilmu saling menyapa satu sama lainnya.[89]
Dalam konteks pemikiran Syamsul Anwar ini
disiplin ilmu yang saling menyapa itu adalah ilmu hadis dan ilmu astronomi.
Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan Syamsul Anwar, istilah astronomi di sini
digunakan dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu practical astronomy,
dan lebih dibatasi lagi dalam pengertian apa yang dalam literatur keislaman
dikenal dengan ilmu falak syar’i. Dimaksudkan yang terakhir ini adalah suatu
bagian dari astronomi yang mempelajari gerak dan posisi geometris benda-benda
langit tertentu - matahari, bulan dan
bumi - guna menentukan arah tempat dan waktu di atas bumi. Sedangkan pada ranah
hadis, hadis-hadis yang menjadi obyek kajiannya adalah hadis-hadis yang
berkaitan dengan waktu dan tanggal.[90]
Untuk menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud
dengan pendekatan interkoneksi, Syamsul Anwar memberi penjelasan gamblang
mengenai pendekatan tersebut. Menurutnya pendekatan interkoneksi adalah proses
pengkajian dalam suatu bidang ilmu dengan memanfaatkan data dan anailisis dalam
ilmu lain terkait di samping menggunakan data dan analisis ilmu bersangkutan
sendiri dalam rangka komplemetasi, konfirmasi, kontribusi atau komparasi (4 K).[91]
Komplementasi artinya bahwa data dan temuan
ilmu terkait (dalam kajian ini: astronomi) dapat melengkapi data dan analisis
dalam ilmu di mana pendekatan interkoneksi dilakukan (dalam kajian ini: ilmu
hadis) sehingga dimungkinkan menarik kesimpulan yang lebih valid. Tanpa data
itu suatu kesimpulan yang diambil masih akan mengandung kelemahan-kelemahan.
Dalam kajian ini, pada Bab III salah satu pertanyaan yang diajukan adalah kapan
hadis Kuraib tentang masalah matlak muncul? Jawaban atas pertanyaan ini tidak
mungkin diberikan semata berdasarkan data hadis dan sejarah. Data dan temuan
astronomi dapat melengkapi dan bersama dengan data hadis dan sejarah
memungkinkan untuk dilakukan penarikan suatu kesimpulan guna menjawab
pertanyaan tersebut.[92]
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Syamsul Anwar memperkirakan hadis
Kuraib tentang matlak tersebut muncul tahun 35 H menjelang terbunuhnya Khalifah
Uṡmān ibn ‘Affān.[93]
Konfirmasi artinya memperkuat hasil temuan
dalam kajian ilmu tertenut (di sini: ilmu hadis). Pada Bab IV, data dan temuan
astronomi mengkonfirmasi hasil analisis dalam ilmu hadis, yaitu bahwa Idul
Fitri di zaman Nabi saw tidak ada yang jatuh hari Jumat. Hadis yang menyatakan
Idul Fitri di zaman Rasulullah pernah jatuh hari Jumat tidak sahih dan temuan
analisis astronomi mengkonfirmasi kesimpulan itu. Sedangkan hadis yang menyatakan
bahwa hari raya pernah jatuh hari Jumat, tanpa menyebut nama hari raya
dimaksud, adalah sahih dan temua astronomi menunjukkan bahwa hari raya yang
jatuh hari Jumat di zaman beliau saw itu adalah Idul Adha tahun 8 H yang
bertepatan dengan tanggal 30 Maret 630 M.[94]
Kontribusi artinya suatu ilmu terkait dapat
menyumbangkan temuan-temuan sehingga dapat mempertajam temuan ilmu tertentu
(dalam kaitan ini: ilmu hadis). Beberapa pernyataan dalam hadis, yang dari
sudut analisis ilmu hadis merupakan sahih, dikoreksi oleh dan tidak sejalan
dengan temuan astronomi, sehingga hadis itu dari segi matan harus dinyatakan
sahih. Atau pada sisi lain temuan dalam ilmu terkait dapat dimanfaatkan untuk
menguji tingkat validitas data dalam ilmu tertentu di mana dengan semata metode
ilmu bersangkutan pengujian terhadap data tidak dapat dilakukan secara lebih
akurat. Pada Bab VI temuan astronomi berhasil mendeteksi waham
(ketidakakuratan) rawi dalam pelaporan hadis.[95]
Komparasi artinnya bahwa hasil-hasil analisis
ilmu terkait dapat menjadi bahan banding dalam analisis ilmu tertentu dalam
rangka perluasan cakrawala pengetahuan. Khusus dalam kajian ini, kebetulan tidak
ada unsur komparasi antara hasil-hasil temuan ilmu hadis dan temuan astronomi.
Menurut Syamsul Anwar komparasi semacam itu amat berguna bagi perluasan wawasan
pengetahuan mengenai suatu masalah yang dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang berbeda. Misalnya ketika berbicara tentang Hukum Perjanjian Syariah,
doktrin-doktrin perjanjian yang dibicarakan di dalamnya dihubungkan dengan doktrin-doktrin
yang sama atau sebanding di dalam Hukum Perjanjian Indonesia atau hukum
Perjanjian lainnya sehingga ada perluasan cakrawala pengetahuan yang dihasilkan
dari perbandingan tersebut.[96]
Kesimpulan
Syamsul Anwar merupakan salah seorang ahli
falak Muhammadiyah yang banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran cemerlang. Di
antara pemikiran cemerlangnya itu adalah kontekstualisasi pemahaman hadis-hadis
tentang rukyat, hisab hakiki sebagai metode penentuan awal bulan dan
interkoneksi studi hadis dan astronomi.
Dalam hal kontekstualisasi pemahaman hadis-hadis
tentang rukyat Syamsul Anwar menggunakan dua metode dalam ilmu usul fikih untuk
merekonstruksi pemahaman terhadap hadis-hadis tersebut secara kontekstual. Dua
metode itu adalah metode kausasi dan kaidah tentang perubahan hukum. Sedangkan
dalam hal penentuan awal bulan, Syamsul Anwar merupakan orang yang berpandangan
hisab. Menurutnya penggunaan hisab di zaman sekarang adalah harga mati dan
tidak bisa ditawar lagi. Adapun pemikiran Syamsul Anwar mengenai interkoneksi
studi hadis dan astronomi merupakan pemikiran paling genuine yang pernah ia
hasilkan. Menurutnya pendekatan interkoneksi ini adalah proses pengkajian dalam
suatu bidang ilmu dengan memanfaatkan data dan anailisis dalam ilmu lain
terkait di samping menggunakan data dan analisis ilmu bersangkutan sendiri
dalam rangka komplemetasi, konfirmasi, kontribusi atau komparasi (4 K).
Daftar Pustaka
Ahmad
Izzudin, “Pengembangan Kurikulum llmu Falak di PTAI (Belajar Pada Prodi AS
Konsentrasi Ilmu Falak IAIN Walisongo,” http://badilag.net/data/hisab%20rukyat/pengembangan%20kurikulum%20ilmu%20falak%20di%20PTAI.pdf.
Al-Bukhārī,
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, edisi Muḥammad Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir (Beirut: Dār Ṭauq
an-Najāh, 1422/2002).
Argumentasi Hisab Muhammadiyah
(Ttp.: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Muhammadiyah, 2014).
Jurnal Tarjih, vol. 11, 2013.
Khoiruddin
Nasution, Ahmad Pattiroy dan Slamet Khilmi (ed.), Dari Hasbi Ash-Siddiqeiqy
Hingga Malik Madany: Pemikiran Hukum Islam Dekan Fakutas Syari’ah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (1963-2007) (Yogyakarta: Syari’ah Press UIN Sunan
Kalijaga, 2009).
Muhammad Rofiq, “Pembaruan dalam Studi Hadis dan Astronomi,”
Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang
Penetapan Awal Ramadan. Syawal dan Zulhijah (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2009), edisi ke-2.
Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang
Penetapan Awal Ramadan. Syawal dan Zulhijah (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2012), edisi ke-3.
Syamsul
Anwar, Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2014).
Syamsul Anwar, “Sekali Lagi Mengapa Hisab,” http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/kalender_islam_falak/Sekali%20lagi%20Mengapa%20Hisab.pdf.
Syamsul Anwar, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat
(Yogyakarta: Suara Muhammadyah, 2008).
Syamsul Anwar, “Otoritas dan Kaidah Matematis: Refleksi atas
Perayaan Hari Raya Idul Fitri 1432 H,” http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/Otoritas%20dan%20sistem%20Matematis.pdf.
Syamsul Anwar, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011).
Susiknan
Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia: Studi Atas Pemikiran
Saadoe’ddin Djambek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008).
Tim
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1430/2009).
Niki Alma Febriana Fauzi
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI) Kebarongan dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh master dalam bidang al-Qur'an dan al-Sunnah pada Academy of Islamic Studies, University of Malaya, Malaysia.
* Tulisan ini dimuat dalam Al-Marshad: Jurnal Observatorium dan Astronomi Islam, vol. 1, no. 1, 2015.
[1] Lihat kata
pengantar Azyumardi Azra untuk buku Pembaharuan Pemikiran Hisab di
Indonesia: Studi Atas Pemikiran Saadoe’ddin Djambek karya Susiknan Azhari.
Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia: Studi Atas
Pemikiran Saadoe’ddin Djambek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. Vii.
[2] Istilah ilmu
falak syar’i adalah istilah yang digunakan untuk membedakan antara ilmu falak
dalam arti astonommi dengan ilmu falak yang khusus mengkaji gerak matahari dan
bulan untuk menentukan waktu-waktu ibadah dan arah kiblat. Yang terakhir inilah
yang disebut dengan ilmu falak syar’i. Lihat Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 1430/2009), h. 4. Dalam tulisan ini ketika disebut ilmu falak,
maka yang dimaksud adalah ilmu falak syar’i.
[3] Ahmad Izzudin,
“Pengembangan Kurikulum llmu Falak di PTAI (Belajar Pada Prodi AS
Konsentrasi Ilmu Falak IAIN Walisongo,”,
h. 1-2. http://badilag.net/data/hisab%20rukyat/pengembangan%20kurikulum%20ilmu%20falak%20di%20PTAI.pdf,
akses 24-12-2014.
[4] Lihat misalnya
Syamsul Anwar, Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014), h.1.
[5] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,” dalam
Khoiruddin Nasution, Ahmad Pattiroy dan Slamet Khilmi (ed.), Dari Hasbi
Ash-Siddiqeiqy Hingga Malik Madany: Pemikiran Hukum Islam Dekan Fakutas Syari’ah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1963-2007) (Yogyakarta: Syari’ah Press UIN
Sunan Kalijaga, 2009), h. 270.
[6] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 273.
[7] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 273-274.
[8] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 274.
[9] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 274-275.
[10] Ketika
biografi ini ditulis Supriatna, ibunda Syamsul Anwar masih hidup meski umurnya
sudah teramat lanjut. Ibunda Syamsul Anwar meninggal pada tahun 2012 di
Yogyakarta dan dikebumikan di sana.
[11] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 275.
[12] Korespondensi
penulis dengan Syamsul Anwar memalui email, 25-12-2014.
[13] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 276.
[15] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 276.
[16] Korespondensi
penulis dengan Syamsul Anwar melalui email, 25-12-2014.
[17] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 276-277.
[18] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 277.
[19] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h.
2277-278.
[20] Penulis
menyaksikan sendiri betapa baik kemampuan berbahasa Arab beliau ketika beliau
mengajar penulis saat masih menjadi Thalabah di Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta. Saat itu beliau mengajar mata kuliah Fikih
Siyasah dengan bahasa Arab fuṣḥā yang sangat baik.
[21] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 278-279.
[22] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 279.
[23] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 279-280.
[24] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 280.
[25] Supriatna, “Menulusuri
Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, H. 280-281.
[26] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 281.
[27] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 281-282.
[28] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 283.
[29] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 283-284.
[30] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 284.
[31] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 284.
[32] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 285-286.
[33] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 286-287.
[34] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 287.
[35] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 287-288.
[36] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 288-289.
[37] Supriatna,
“Menulusuri Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,”, h. 289.
[38] Wawancara
penulis dengan Syamsul Anwar, 14-12-2014.
[39] Wawancara
penulis dengan Syamsul Anwar, 14-12-2014.
[40] Wawancara
penulis dengan Syamsul Anwar, 14-12-2014.
[41] Syamsul Anwar
diangkat menjadi Guru Besar pada tahun 2004, sementara kuliahnya bersama-sama
Thalabah PUTM berlangsung sekitar tahun 2008-2009.
[42] Wawancara
penulis dengan Syamsul Anwar, 14-12-2014.
[43] Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī, edisi Muḥammad Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir (Beirut: Dār Ṭauq
an-Najāh, 1422/2002), III: 27, hadis no. 1909.
[44] Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī, III: 27, hadis no. 1906.
[45] Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī, III: 27, hadis no. 1900.
[46] Susiknan
Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.
183.
[47] Syamsul Anwar,
“Kontrovesi Hisab dan Rukyat,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah:
Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadan. Syawal dan Zulhijah
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009), edisi ke-2, h. 1.
[48] Syamsul Anwar,
“Kontrovesi Hisab dan Rukyat,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah,
h.1
[49] Syamsul Anwar,
“Kontrovesi Hisab dan Rukyat,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah,
h.1
[50] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,” dalam Jurnal
Tarjih, vol. 11, 2013, h. 113.
[51] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
114.
[52] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
125.
[53] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
124.
[54] Syamsul Anwar,
“Peralihan Kepada Hisab Adalah Pilihan yang Tidak Mungkin Ditawar Lagi dan Sah
Adanya,” dalam Argumentasi Hisab Muhammadiyah (Ttp.: Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Muhammadiyah, 2014), h. 11-13.
[55] Syamsul Anwar,
“Peralihan Kepada Hisab Adalah Pilihan yang Tidak Mungkin Ditawar Lagi dan Sah
Adanya,”, h. 13. Lihat pula Syamsul Anwar, “Alasan Penggunaan Hisab,” dalam
Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal
Ramadan. Syawal dan Zulhijah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012), edisi
ke-3, h. 39. Pendapat ini dikutip Syamsul Anwar dari Asy-Syīrāzī dalam al-Muhażab
fī fiqh al-Imām asy-Syāfi’ī.
[56] Syamsul Anwar,
“Peralihan Kepada Hisab Adalah Pilihan yang Tidak Mungkin Ditawar Lagi dan Sah
Adanya,”, h. 14.
[57] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
128.
[58] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
115.
[59] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
116.
[60] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
117.
[61] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
125.
[62] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
118.
[63] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
118.
[64] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
127.
[65] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
127-128.
[66] Wawancara
penulis dengan Syamsul Anwar, 14-12-2014.
[67] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
114.
[68] Syamsul Anwar,
“Problem Penggunaan Rukyat,”, h. 6-7.
[69] Syamsul Anwar,
“Problem Penggunaan Rukyat,”, h. 12-14.
[70] Syamsul Anwar,
“Problem Penggunaan Rukyat,”, h. 15-16.
[71] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
124.
[72] Syamsul Anwar,
“Sekali Lagi Mengapa Hisab”, h. 4. http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/kalender_islam_falak/Sekali%20lagi%20Mengapa%20Hisab.pdf,
akses 24-12-2014.
[73] Syamsul Anwar
pada suatu kesempatan lain dalam tulisannya mengistilahkannya dengan istilah conditio
sine quanon (syarat mutlak yang tidak terelakkan). Syamsul Anwar, Hari
Raya dan Problematika Hisab-Rukyat (Yogyakarta: Suara Muhammadyah, 2008),
h. 86.
[74] Syamsul Anwar,
“Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat,”, h.
124.
[75] Wawancara
penulis dengan Syamsul Anwar, 14-12-2014.
[76] Susiknan
Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia,h. 23.
[77] Syamsul Anwar,
Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, h. 92.
[78] Syamsul Anwar,
Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, h. 103.
[79] Syamsul Anwar,
Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, h. 103.
[80] Syamsul Anwar,
Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, h. 104.
[81] Syamsul Anwar,
Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, h. 104-105.
[82] Syamsul Anwar,
Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, h. 105.
[83] Syamsul Anwar,
Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, h. 107-110.
[84] Syamsul Anwar,
“Otoritas dan Kaidah Matematis: Refleksi atas Perayaan Hari Raya Idul Fitri
1432 H,”, h. 6-7. http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/Otoritas%20dan%20sistem%20Matematis.pdf,
akses 24-12-2014.
[85] Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2011).
[86] Misalnya dalam
salah satu tulisannya yang berjudul “Perhitungan Penanggalan Islam Versi Ustaz
Ismail Noer ” dalam buku Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global.
Dalam tulisan itu dengan pendekatan interkoneksi ia melacak kapan al-Qur’an itu diturunkan
pertama kali kepada Nabi Muhammad saw. Syamsul Anwar, Diskusi &
Korespondensi Kalender Hijriah Global, h. 94-105.
[87] Muhammad
Rofiq, “Pembaruan dalam Studi Hadis dan Astronomi,”
[88] Muhammad
Rofiq, “Pembaruan dalam Studi Hadis dan Astronomi,”
[89] Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, h. 1-2.
[90] Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, h. 2.
[91] Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, h. 2-3.
[92] Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, h. 3.
[93] Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, h. 115.
[94] Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, h. 3 dan 137.
[95] Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, h. 3-4.