بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dan Ust Anton Ismunanto |
Alhamdulillah, di bulan April 2016 ini teman-teman di Jogja berhasil
menyelenggarakan acara Intellectual Youth Summit 2016 (IYS-16), sebuah acara
kumpul-kumpul untuk belajar bareng tentang berbagai konsep mendasar dalam
Islam. Salah satu pematerinya adalah Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi. Untuk
memaksimalkan kehadiran beliau di Jogja, malam Jumat 21/4/2016 kemarin, beliau
didaulat untuk mengisi kajian kecil diluar jadwal resmi IYS -16. Saya
sempat mencatat beberapa hal dari pesan-pesan beliau kepada mahasiswa di Jogja.
Silakan disimak dan direnungkan bersama, jika masih jomblo ya sudah
renungkan saja sendirian.. hehe
Gus Hamid memulai dengan menjelaskan keadaan mahasiswa Muslim sekarang ini.
Menurut pengamtan beliau, mahasiswa Muslim pasca Orba seperti melempem, tak
seperti dulu yang solid, aktif, dan militant. Di Salman misalnya, ketika saya
tanyakan hal yang ini kepada Pembina Salman, sang dosen mengelak menyatakan
bahwa mahasiswa sekarang “aktif tapi tak terlihat”. Entahlah apa
maksudnya.
Ketiadaan orba sepertinya membuat lengah, padahal ada banyak tantangan baru
yang lebih masif. Keterbukaan kran informasi dan setiap orang bebas menyampaikan
pendapat. Salah satu hasilnya adalah lahirnya “pemimpin posmo” yakni mereka
yang lahir, dibesarkan dan diangkat ke tahta oleh sosial media. Sehingga dia
terkenal karena analisa dangkal, dan hasil “hipnotis” karena kebanjiran
informasi.
Kita perlu mengamati posmo ini. Awalnya lahir dari para elitis yang suka
berbicara apa saja. Olehnya posmo memang datang menggugat semuanya. Di dunia
Islam, tampaknya akan lahir pula Islam posmo ; wajah Islam yang dibawa,
ditampilkan oleh mereka yang suka membangkitkan wacana cair, tak teratur,
dangkal, tapi menghantam apa saja.
Di satu sisi, dipeliharalah fundamentalisme yang berciri absolutis dalam
semua hal. Sehingga alasan kehadiran posmo yang bekerja membongkar semua
absolutisitas tetap ada. Alhasil, semakin susahlah kita berbicara dengan
teratur, membangun kembali tradisi berpikir Islam yang solid sebab di dalamnya
pasti perlu ada hal absolut selain yang relative.
Kenapa ini perlu diwaspadai, sebab Islam adalah sebuah peradaban ilmu. Dan
sikap berpikir posmo akan menghambat kebangkitannya. Padahal dengan peradaban
ilmulah masalah umat bisa teratasi. Bahkan friksi sunni-syiah pun ternyata
bisa mendinging dalam iklim keilmuan. Lihatlah, kita menghormati Ibnu Sina sama
seperti mereka.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah menghidupkan forum-forum yang
membicarakan keilmuan. Jamaah-jamaah keilmuan dimana di dalamnya ada maratib ;
mereka yang berilmu dalam hingga yang hanya ikut meramaikan. Penggembira ilmu
itu baik, jauh lebih baik, daripada penggembira dangdut?
Di forum-forum itu, konsentrasi keilmuan juga beragam, lintas focus kajian.
Di forum itulah nanti keberpihakan pada ummat dan basis pandangan hidup Islam
mereka akan tertanam. Hingga kelak lahirlah pemimpin beragam bidang yang peduli
pada urusan umat Islam. Para pemimpin lintas keahlian yang tahu persis apa
masalah kita di bidangnya, dan tahu solusi berwawasan Islam yang bisa
diambil.
Sesi Diskusi
Apakah posmo hadir sebagai penyokong
baru kapitalisme neolib. Bagaimana dengan Cak Nur?
Secara genealogis, sebenarnya tidak juga. Meski
elitism memang produk kapitalisme. Secara filosofis, posmo memiliki induk dari
nihilimse Nietzche, yang nanti akan berkembang menjadi equality. Padahal
kita tahu kapitalisme tidak menghendaki ini. Lah, malah lebih cocok ke selera
sosialis. Maka posmo memang lahir memberontak pada hal-hal lama (narasi lama).
Terkait Cak Nur, satu yang jelas bahwa dia sangat
dipengaruhi oleh Harvey Cox yang menjustifikasi sekularisme Barat dengan bangunan wacana
teologi Kristen yang baru. Saya membaca buku-buku Cak Nur dan tidak menemukan
sesautu yang benar-benar baru. Pembaruan yang ia inginkan secara teoritis tidak
nampak. Secara praktis di Paramadina pun
demikian. Pemikiran beliau yang justru kontraproduktif adalah pemikiran
seminalnya tentang pluralism agama.
Saya dapat tesis bahwa ide pluralism agama akan menghasilkan dunia yang terbagi dua. Mereka yang pro dan kontra. Maka saya pun curiga apakah ide-ide semacam ini dimunculkan untuk menyuburkan dan menghidupkan konflik identitas. Kita pun lupa pada isu-isu real, seperti isu kedaulatan pangan, konflik agraria, pertambangna dan lainnya.. ada alternative menghidupkan kembali sosialisme Islam. Sebuah islam kiri sebagai lawan Islam liberal dan kapitalisme yang menjadi induknya.
Focus ke pemikiran bukannya mengabaikan isu real. Tapi kita peduli pada kemuculan kerancuan pemikiran yang membingungkan. Adapun munculnya efek konflik itu, lalu kelengahan dari masalah kerakyatan seperti agraria dan lainnya, bisa saja efek samping yang mungkin tak disengaja, tapi mereka suka juga. Kita juga perlu curiga pada kemucnulan kelompok fundamentalis yang menghidupkan kembali konflik-konflik yang sudah selesai, misalnya furu’iyah Muhammadiyah – NU dan lainnya.
Kita tidak teralihkan dari masalah real seperti itu. Tapi kita sedang mengatasi maslaah pemikiran, dan tidak semua orang mau dan mampu konsentrasi pada masalah seperti ini.
Soal alternative itu, saya melihatnya tidak demikian. Sebab jika kita menyatakan Islam itu kiri, artinya kita harus memberikan hak pada orang untuk menyatakan Islam itu kanan. Ada banyak justifikasi normative pada hal-hal yang berbau “kiri” tapi Islam juga punya sinyal-sinyal normaif untuk mendukung aspirasi kaum kapitalis. Para pembawa Islam Kiri ini pun sebenarnya punya ancaman mereka sendiri, misalnya pada ranah isu-isu perempuan.
Saya lihat, wacana gazwul fikr ala INSISTS banyak ditolak oleh kalangan aktivis sebab diannggap wacana para pembawa kebencian yang saklek. Mereka bahkan bilang al-Attas mengajarkan kebencian pada Barat.
Bagaiamana mungkin INSITS disebut saklek, padahal kita mengembangkan filsafat dan terbuka untuk umum. Kita ingin membangkitkan peradaban Islam, dan itu hanya bisa terwujud pertama-tama dengan menunjukan Islam dengan segala atributnya, tidak mecampur baurkannya dengan basic believe Barat.
Jika masalah saklek, maka sebenarnya semua orang punya titik sakleknya tersendiri, yakni ilmu a priori yang bersifat basic believe. Mereka perlu hadir di kajian worldview pasti banyak yang belum dia tahu.
Saya melihat di UIN, girah untuk mengkaji pemikiran ulama klasik berkurang tapi lebih ke tokoh Barat. Bagaimana dengan paradigm interkoneksi yang dikembangkan di UIN?
Kita lihat masalah di UIN dengan interkoneksinya adalah ia menempatkan Islam dibawah pisau analisa ilmu-ilmu humaniora yang dikembangkan di Barat. Kita justru berbeda, sebab kita malah memulainya dari Islam, lalu melihat ilmu-ilmu yan dikembangkan di Barat dari kacamata Islam. Olehnya sebelumnya Islam dirumuskan dahulu sebagai worldview yang menjadi basis filsafat ilmu.
Mereka mencoba menbangun “peradaban Islam” tapi sebenarnya justru cloning dari masyarakat Barat. Lalu ada pula gelombang anti-Arab. Bagaimana itu, ustadz?
Ini jelas bermasalah sebab kata-kata kunci dalam Islam itu memanfaatkan kekayaan jaringan makna Bahasa Arab. Bahkan Bahasa Arab pun telah diislamkan. Jadi tidak semua hal yang berunsur Arab dalam islam itu adalah kearab-araban. Berpikir Islami, tetap perlu memakai terminology yang diungkap dalam Bahasa Arab.
Lalu mereka menganggap bahwa INSISTS hanya mengkritik dan tidak ada solusi?
INSISTS punya obsesi untuk menghidupkan kembali apa yang dumulai di ISTAC dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan tinggi. Pertama-tama memang konsep dasar yang harus dimatangkan agar perguruannya nanti tidak bersifat eksperimental saja. Berubah-ubah dan tidak jelas visinya. Solusi yang kita tawarkan adalah Islamisasi Ilmu pengetahuan kontemporer yang pernah ditawarkan al-Attas. Ada yang bilang ini adalah model Islmaisasi Malaysia. Aneh sekali, sebab gagasan ini justru mengkristal ketika al-Attas sedang berada di Kanada dan Inggris. ISTAC terbukti telah menghasilkan cendekiawan Islam yang aktif membimbing ummat di negara mereka masing-masing.
NB : tulisan ini bukanlah kutipan langsung tapi paraprase dari diskusi santai di gedung GIP jogja antara Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dan beberapa anak muda lintas organisasi.