Prof Syamsul Anwar (kiri) bersama Presiden Badan Urusan Agama Turki |
Alhamdulilah,
bulan suci Ramadhan 1437 H telah sama-sama kita mulai secara serempak. Kali ini
tidak ada perbedaan yang terjadi antara pemerintah, Muhammadiyah, NU dan
ormas-ormas yang lain. Di satu sisi, ini tentu harus disyukuri. Bagaimanapun keseragamaan
dalam memulai ibadah Ramadhan antara pihak-pihak terkait menciptakan suasana
emosional dan psikologis tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Namun di sisi
lain, keseragaman seperti tahun ini kemungkinan besar tidak kita jumpai pada
beberapa tahun yang akan datang. Berdasarkan analisis para pakar, pada tahun 2023
umat Islam Indonesia akan menyaksikan kembali perbedaan dalam penetapan
bulan-bulan ibadah. Pada tataran elit, perasaan saling memahami satu sama lain
barangkali sudah dapat dirasakan dan karenanya tidak ada ketegangan berarti
yang akan terjadi sebagaimana yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Tapi
tidak demikian dengan masyarakat akar rumput yang tidak tahu menahu duduk
persoalannya. Perbedaan itu tidak jarang menciptakan ketegangan, bahkan
kekisruhan, di tengah masyarakat. Di sinilah kehadiran kalender pemersatu umat
Islam menemukan arti pentingnya.
Belum
lama ini, tepatnya 28-30 Mei 2016, diselenggarakan Kongres Penyatuan Kalender
Hijriah di kota Istanbul, Turki. Kongres ini merupakan upaya untuk mewujudkan
kalender Islam pemersatu yang amat dirindukan itu. Diadakan oleh Badan Urusan
Keagamaan Turki atau Presidency of Religious Affairs, kongres ini mengundang sekitar
150-an pakar syariah dan pakar astronomi
dari lebih 60 negara di seluruh dunia. Kongres ini menghasilkan sebuah
keputusan penting dalam sejarah peradaban umat Islam, yaitu dipilihnya kalender
unifikatif tunggal sebagai kalender umat Islam. Dengan berprinsip satu hari
satu tanggal di seluruh dunia, kalender ini diyakini akan menjadi panacea
bagi seluruh penyakit yang timbul dari tidak serempaknya sistem tata waktu umat
Islam di seluruh dunia.
Dalam
kongres itu buah pemikiran dari salah satu wakil Indonesia turut mewarnai perumusan
draf awal rancangan konsep kalender. Adalah Syamsul Anwar, seorang pakar
syariah sekaligus pakar ilmu falak, yang menjadi ketua Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Pusat Muhamamdiyah. Makalah bahasa Arab yang ia beri judul “al-Tawajjuh
Nahwa Tauhid al-Taqwim al-Qamari ‘inda al-Muslimin wa Dharuriyah al-Shighah al-Ahadiyah”
(Jalan Kearah Penyatuan Kalender Hijriah Umat Islam dan Pentingnya Bentuk
Kalender Unifikatif) menjadi salah satu dari 15 yang diterima komite resmi dan
menjadi bahan dalam perumusan draf awal konsep kalender. Adanya kontribusi
Indonesia dalam kongres bersejarah itu tentu sangat membanggakan, dan kelak bila
kalender tersebut terealisasi, sudah pasti akan mejadikan Indonesia dicatat dalam
tinta emas sejarah pengkalenderan.
Dalam
catatan perjalanan sejarah pemikiran umat Islam Indonesia - tanpa bermaksud
membangga-banggakan - Muhammadiyah bisa dikatakan menjadi organisasi Islam yang
paling aktif dalam mewacanakan, mempromosikan dan mengikhtiarkan terwujudnya
kalender Islam internasional. Tahun 2007 Muhammadiyah mengadakan konferensi
kalender hijriah internasional di Jakarta dengan mengundang para pakar,
termasuk Jamaluddin Abdurraziq, seorang konseptor kalender global. Setahun
berikutnya, tahun 2008, Muhammadiyah hadir dalam Temu Pakar II untuk perumusan Kalender Hijriyah Global yang diadakan oleh ISESCO di
Rabat, Maroko. Untuk lebih mengembangkan dan menyebarluaskan wacana
penyatuan kalender, pada tahun 2015 Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan
Tajdid juga telah menerbitkan buku yang berjudul Unifikasi
Kalender Hijriyah. Bahkan puncak dari itu
semua, pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 Agustus tahun lalu, kalender Islam pemersatu
menjadi poin penting dari salah satu rekomendasi pertemuan akbar tersebut, “Berdasarkan kenyataan itulah maka Muhammadiyah
memandang perlu untuk adanya upaya penyatuan kalender hijriah yang berlaku
secara internasional.”
Upaya
Muhammadiyah ini sayangnya kurang ditangkap dengan baik oleh beberapa kalangan
di Indonesia. Bahkan seringkali mengakibatkan Muhammadiyah selalu dijadikan
pihak yang paling bertanggungjawab dan pihak yang patut dipersalahkan atas
perbedaan yang selama ini terjadi. Berkutatnya para pakar nasional pada
penyatuan lokal (hanya di Indonesia) mengaburkan masalah krusial yang
sesungguhnya berada pada tempat lain, yaitu pada tidak adanya sistem tata waktu
yang menyatukan. Kenyataan bahwa Muhammadiyah selama ini bersisikuh pada prinsipnya
dan karenanya sering kali berbeda dengan pemerintah dan ormas lain, harus
diterjemahkan sebagai upaya pembelajaran dan penyadaran kepada umat dan pakar
agar memikirkan akar masalah dari itu semua, dan tidak melulu berkutat pada
penyatuan lokal. Penyatuan kalender lokal hanya akan mengobati masalah pada
permukaan, sementara akar dari masalah itu tetap tumbuh dan tidak mati. Kini
setelah adanya ijmak dari Kongres Internasional Penyatuan Kalender Hijriah di
Turki, sudah saatnya semua elemen terkait mau membuka diri. Tidak ada istilah dan
alasan lagi untuk mengkambinghitamkan siapa yang patut dipersalahkan dan
bertanggungjawab. Semuanya harus mendukung dan menerima kalender itu jika
persatuan yang selama ini dicita-citakan memang betul-betul yang dijadikan tujuan.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.