بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Identitas
Buku
Judul Buku : Metodologi Studi Islam
Pengarang : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.
Penerbit :
Rajawali Pers.
Cetakan : Juni 2014
Tebal halaman : 481 Halaman
Mukaddimah
Islam
merupakan agama samawi terakhir yang
diturunkan kepada seorang Rasul penutup bernama Muhammad di Jazirah Arab. Meski
turun di daerah gersang tersebut, Islam ditakdirkan menjadi penutup dan
penggenap misi tauhid untuk membawa kemaslahatan dan kebahagiaan dunai akhirat
pada ummat manusia (rahmatan lil ‘alamin). Namun demikian, dalam
kenyataannya, citra ideal tersebut tidak selalu dapat terwujud. Di kawasan yang
mayoritas penduduknya Muslim, banyak terjadi konflik mematikan. Belum lagi
Islam sulit memberikan solusi bagi berbagai persoalan kemanusiaan di masa
modern ini. Betapapun ia pernah menjadi jantung dari peradaban yang sangat
unggul dan berkontribusi besar bagi kemajuan peradaban umat manusia. Tapi kini,
hal itu tampak tidak terwujud lagi
Adanya
ketimpangan antara misi ideal Islam dan realitas keberagamaan umat dewasa ini,
oleh Abuddin Nata dianggap muncul sebab tidak dipahaminya Islam dengan
sebagaimana mestinya. Menurutnya, selama ini umat Islam
abai terhadap dimensi sosial ajaran Islam ketika mereka mencoba memahaminya.
Islam dipahami secara parsial sebab belum adanya metodologi pemahaman yang
komprehensif. Memang telah ada metode-metode tradisional yang mapan dan
operasional yang digolongkan Mukti Ali menjadi naqli, aqli, dan kasyaf,
tapi sayangnya selama ini ketiga metode tersebut berjalan sendiri-sendiri
(hal 4-5). Berangkat dari kegelisahan inilah buku setebal 481 ini ditulis oleh
Abuddin Nata. Beliau ingin menawarkan kerangka metodologis untuk memahami dan
mengkaji Islam agar hasil kajiannya bisa bernilai operasional dan menggerakan
peradaban ke arah yang lebih baik.
Buku
ini secara garis besar membahas tiga tema utama dalam studi Islam, yakni Pertama
hakikat dan posisi Islam sebagai salah satu agama dominan di dunia (bab 1
sampai bab 8, kecuali bab 3). Kedua berbagai metodologi yang diadopsi
dari humaniora modern untuk memahami Islam (bab 3, bab 9, dan bab 10 ). Ketiga
model penelitian agama Islam serta berbagai macam contoh aplikasinya (bab 11 –
bab 22) juga dibahas wacana Islamisasi Ilmu pengetahuan pada bab 23. Buku ini
diakhiri bab 24 sebagai kesimpulan dan penutup. Dalam uraian berikut, akan
disampaikan pokok-pokok gagasan dari ketiga tema tersebut.
.
Hakikat
Islam dan Posisinya di Antara Agama-Agama Dunia
Abduddin
Nata menampilkan berbagai pandangan sarjana Islam seputar pengertian serta
unsur-unsur agama. Ia lalu menyimpulkan bahwa ada 4 unsur yang menjadi karakteristik agama
sebagai berikut. Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kedua,
unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup didunia ini dan
diakhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib
yang dimaksud. Ketiga, unsur
respon yang bersifat emosional dari manusia. Keempat , unsur paham
adanya yang kudus (sacred ) Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa
agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang
terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi
ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia
agar mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat (hal 8 - 15).
Agama
menjadi kebutuhan manusia sebab beberapa faktor. Keberadaan fitrah pada diri
manusia yang membuatnya memang secara intrinsik butuh pada agama. Fitrah
beragama selain bisa dijelaskan secara teologis melalui ayat dan hadis juga
bisa dijelaskan secara psikologis antroplogis. Selain itu argumen lainnya
adalah kelemahan yang ada pada dirinya sehingga butuh agama, dan adanya
tantangan yang dihadapi umat manusia yang perlu ia hadapi dengan agama. (hal
16).
Abuddin
Nata menyebutkan bahwa Islam memiliki posisi tersendiri di hadapan agama-agama
besar yang ada. Islam mengakui keberadaan agama-agama tersebut sebagai risalah
Tuhan kepada nabi-nabi sebelumnya. Terhadap agama-agama itu, Islam bersifat
akomodatif, yakni menerima unsur-unsur ajaran agama terdahulu dan persuasif
yakni meluruskan kesalahan yang terjadi dengan cara yang baik (hal 125 -
127). Meski mengakui adanya
persamaan-persamaan ajaran, tapi Abuddin Nata juga menegaskan bahwa dalam hal
teologis, setiap agama tetap memiliki unsur ekslusifitas yang tidak bisa
dikompromikan klaim kebenarannya. Olehnya, dalam ranah itu harus saling
menghormati. Di sini Abuddin Nata menunjukan kecermatannya dalam perbandingan
agama, sehingga ia tidak terjatuh dalam perangkap pluralisme agama.
Metodologi
Memahami Islam
Tema kedua dalam buku Abuddin Nata adalah metode
studi Islam. Beliau membangun argumennya dari asumsi bahwa pemahaman islam yang
terjadi di masyarakat masig bercorak parsial, belum utuh dan belum pula
komprehensip. Olehnya dibutuhkan metode Study Islam sebagai urutan kerja yang
sistematis, terencana, dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Metode memahami Islam secara garis besar ada dua;
komparasi dengan ajaran agama lain dan sintesis yakni mengintegrasikan metode
ilmiyah untuk memahami Islam yang “historis“ (hal 160).
Dalam bahasannya metode studi Islam mengarah pada
cara pandang untuk melihat islam dari berbagai aspek. Guna melihat Islam dari
berbagai aspek tersebut, Abuddin Nata mengadopsi paradigma ilmu-ilmu humaniora.
Pengadopsian tersebut kemudian membentuk beragam pendekatan dalam studi Islam.
Di dalam bukunya, Abuddin Nata menyebutkan beberapa pendekatan dalam memahami beragam
aspek dari Islam. Pendekatan tersebut antara lain; teologis-normatif,
antropologis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan, dan psikologi (hal
27 - 50).
Multi-approach dalam
studi Islam ini adalah tren dalam diskursus kajian Islam saat ini. Ada banyak
kelebihan dibaliknya, tapi kita juga harus faham bahwa tiap-tiap disiplin ilmu
itu punya dasar-dasar asumsi yang kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Misalnya ketika kita mengkaji persoalan liwat dengan paradigma psikologi
modern, akan menjadi problematis. Dalam psikologi modern, homoseksual sudah
dianggap normal, bukan penyakit, sedangkan Islam jelas melarangnya. Jika
terjadi hal seperti ini, apakah Islam akan ditundukan pada kerangka paradigma psikologi
modern? Hal semacam ini perlu dijawab oleh mereka yang menawarkan alternatif multi-approach.
Model Penelitian Studi Islam
Bahasan ketiga menurut kami adalah uraian Abuddin
Nata yang cukup penting dan menarik, yakni tentang model penelitian agama
Islam. Penjelasan tentang penelitian ini dibahas mulai dari kerangka teoritik
penelitian hingga hal-hal teknis seperti penyusunan draf penelitian. Diberikan
pula contoh model penelitian di beberapa bidang kajian studi Islam. Model yang
dijabarkan antara lain penelitian filsafat Islam, model penelitian tafsir,
hadis, ilmu kalam, tasawuf, fikih (hukum Islam), politik, pendidikan Islam, sejarah
kebudayaan Islam, pemikiran modern dalam Islam, dan sosiologi serta antropologi
agama Islam. Dalam uraiannya disebutkan contoh-contoh karya penelitian dalam
tiap bidang yang dilakukan oleh sarjana-sarjana ternama.
Abuddin Nata sekali lagi menegaskan bahwa pemakaian
berbagai teori dalam meneliti Islam bukanlah untuk mencari benar atau tidaknya
Islam secara normatif-teologis, tapi untuk meneliti aspek pengemalan dari
ajaran Islam oleh pemeluknya (hal 202). Mungkin karena alasan inilah, Abuddin
Nata memilih untuk mengadopsi ilmu-ilmu sosial dan humaniora sebagai kerangka
teoritik penelitian agama Islam. Pilihan ini kemudian membuatnya abai terhadap
hal-hal yang bersifat abstrak dan filosif namun penting. Dalam model penelitian
pendidikan Islam misalnya, ia hanya mengulas hal-hal yang berkaitan dengan
problema guru, sejarah, dan budaya pendidikan Islam sembari menyatakan bahwa
filsafat pendidikan sudah cukup banyak dilakukan (hal 345). Padahal diskurusus
filsafat pendidikan Islam sangat penting dan masih menarik untuk diteliti.
Bagian terakhir adalah bahasan tentang wacana
Islamisasi ilmu pengetahuan. Abuddin Nata tidak banyak terlibat dalam diskusi,
ia hanya memaparkan pendapat setiap pemikir baik yang pro maupun kontra
terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan. Catatan kami di sini adalah, Abuddin Nata
sangat sedikit mengutip langsung penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang
membahasnya cukup medalam yakni Syed Naquib al-Attas. Akibatnya, penjabaran
Abuddin Nata kurang menyentuh aspek filosofis yang menjadi poin penting
al-Attas. Meski demikian, ada akhirnya ia berkesimpulan bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan adalah sesuatu yang memang mendesak, tapi metodenya masih
diperdebatkan (431).
Penutup
Buku berjudul “Metodologi Studi Islam” buah pena
Abuddin Nata ini adalah sumbangan penting dari seorang guru besar studi Islam
yang reputasinya telah cukup meyakinkan. Di
dalamnya dibingkai hampir semua aspek dari diskursus metodologi studi Islam
dewasa ini. Sayangnya, karena cakupannya yang luas itu pula maka setiap bab
tidak dibahas secara lebih mendalam. Abuddin Nata mencukupkan diri menulis
penjelasan singkat dan pandangan umum terhadap topik-topik bahasannya. Namun
demikian, penjelasannya telah cukup memberikan
pemahaman awal dan mendasar yang memadai. Olehnya, terpelas dari kritik yang
sangat mungkin bisa diajukan, buku ini tetap sangat penting untuk ditelaah oleh
siapa saja yang hendak memahami Islam secara komprehensif dan mendalam.