Karya-karya beliau yang ikut terbang ke Malaysia |
“Syamsul
Anwar, nama dari seorang ‘alim yang tawadhu lagi bersahaja.”
Keputusan
saya untuk membawa semua buku-buku karya beliau yang saya miliki benar-benar
tidak keliru. Entah kenapa, setiap kali membaca tulisan-tulisan beliau, selalu
ada inspirasi yang lahir dari dalam kepala. Seperti belakangan ini, saat saya
menulis draft proposal tesis saya. Dulu, saat saya menulis risalah akhir dan
skripsi, peran karya-karya beliau juga tidak sedikit. Membaca karya beliau
seperti menyelami lautan ilmu yang dalam sembari merasakan kerendahan hati yang
mengagumkan.
Ismun ‘Alā Musammā,
nama itu cocok dengan penyandangnya. Barangkali pepatah Arab itu sangat pantas
disematkan dalam diri Syamsul Anwar. Matahari yang bersinar, begitu kurang
lebih makna dari nama beliau. Berasal dari dua kata bahasa Arab: syamsun
yang berarti matahari dan al-anwār jamak dari nūr yang berarti
cahaya. Jika diterjemahkan secara literal, selain memiliki arti matahari yang
bersinar, juga dapat dimaknai sebagai matahari yang memiliki banyak cahaya.
Terlepas dari perbedaan makna itu, kata “syamsul anwar” menunjukkan pada sebuah
entitas yang memiliki daya dan kekuatan untuk memberikan pencerahan. Jika itu
dipakai sebagai nama orang, berarti orang tersebut adalah orang yang mampu
memberikan pecerahan kepada yang lain. Di sinilah kemudian pepatah Arab di atas
menemukan maknanya, ketika kita melihat sosok Syamsul Anwar.
Jika
kita menelusuri lebih jauh makna dari nama beliau, kita akan semakin menjumpai
kesesuaian nama dengan penyandangnya. Kita dapat memulainya dengan menelusuri
tafsir surat Yūnus ayat 5 yang berbicara tentang penciptaan matahari dan bulan.
Berikut petikan ayat tersebut:
هُوَ الَّذِى جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ
نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا
خَلَقَ اللَّهُ ذاَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq. Allah menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Dalam
ayat di atas ada dua kata yang memiliki arti hampir mirip, yaitu ḍiyā’
(bersinar) dan nūr (bercahaya). Dalam beberapa kitab tafsir, kata ḍiyā’
hanya bisa mensifati al-syams (matahari), karena ia mempunyai arti spesifik
yang hanya cocok disandingkan dengan kata al-syams. Ibnu ‘Āsyūr dalam al-Taḥrīr
wa al-Tanwīr menjelaskan bahwa kata ḍiyā’ itu memiliki makna cahaya
yang terang benderang (al-nūr al-sātiʻ al-qawī), karena ia dapat menyilaukan
siapa saja yang memandangnya. Berbeda dengan kata nūr, menurutnya, makna
bercahaya yang terkandung di dalam kata nūr lebih lemah (baca: redup) daripada
yang terkandung dalam makna ḍiyā’. Hal ini dapat dipahami karena seperti
yang diterangkan al-Syaʻrāwī bahwa matahari itu bersinar dengan cahaya yang
dihasilkannya sendiri. Sementara cahaya bulan tidak dihasilkan oleh dirinya
sendiri, tapi ia adalah pantulan dari sinar matahari. Oleh karena itu sinar
matahari bersifat panas membara (al-ḥarārah wa al-daf’u) dan cahaya bulan
bersifat lembut (inārah ḥalīm).
Kata
nūr sendiri, menurut Ibnu ‘Āsyūr, maknanya lebih bersifat umum daripada kata
ḍiyā’. Ia bisa berarti cahaya yang terang benderang (al-syuʻāʻ al-qawī)
dan bisa juga bermakna cahaya yang redup (al-syuʻāʻ al-ḍaʻīf). Bersinarnya
matahari dapat dikatakan nūr. Tapi bercahayanya bulan tidak dapat
dikatakan ḍiyā’. Dari sini dapat diketahui mengapa nama beliau adalah
Syamsul Anwar bukan Syamsu Ḍiyā’.
Menurut
saya pribadi kata al-anwār (bentuk jamak dari nūr) yang terdapat
dalam nama Syamsul Anwar bukan berarti maknanya adalah cahaya yang redup, akan
tetapi ia tetap bermakna cahaya yang terang benderang, hanya saja konteks
penggunaan kata Syamsul dalam sebuah nama di Indonesia lebih cocok disandingkan
dengan kata Anwar daripada kata Ḍiyā’. Jadi, ini merupakan soal selera orang
Indonesia ketika memberi nama bagi anaknya – tentu dengan tetap berpegang pada
makna yang tidak keluar konteks. Terbukti kata nūr atau anwār itu
dalam penafsiran para ulama juga tetap dapat dimaknai sebagai cahaya yang
terang benderang.
Dengan
melihat makna bahasa yang dikaitkan dengan tafsir surat Yūnus ayat 5 di atas,
dapat disimpulkan bahwa nama Syamsul Anwar dapat dimaknai sebagai orang yang
menjadi sumber pencerahan bagi orang lain. Saya mengambil kesimpulan makna ini
dengan mempertimbangkan bahwa syamsun (matahari) adalah sumber
kehidupan, sementara anwār adalah bercahaya atau bersinar yang identik
dengan pencerahan.
Berdasarkan
pengalaman saya pribadi beserta kesaksian beberapa orang yang pernah berinteraksi
dengan beliau, makna yang terkandung di dalam namanya sangat sesuai dengan
penyandangnya. Ia selalu bisa menjadi sumber pencerahan bagi orang lain. Paling
tidak ada tiga sumber pencerahan yang dapat diambil dari sosok Syamsul Anwar.
Pertama,
sumber keilmuan yang mencerahkan. Seperti yang saya ceritakan pada awal tulisan
ini, saya termasuk satu dari sekian banyak orang yang merasa tercerahkan ketika
membaca karya-karya beliau, baik dalam bentuk buku, artikel atau makalah.
Meskipun sebenarnya saya sudah khatam, tapi membacanya ulang tidak menjadikan
inspirasi itu habis, justru semakin mengalir menjadi-jadi. Di kalangan
akademisi sendiri, nama Syamsul Anwar merupakan sosok yang sangat disegani
secara keilmuan. Bahkan ia menjadi simbol keilmuan tersendiri di tempatnya
mengajar, UIN Sunan Kalijaga, di samping beberapa sosok yang lain yang sudah
akrab di telinga karena menjadi ikon kampus tersebut. Sebagai guru besar yang
menjadi ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, keilmuannya tidak hanya
pada tataran teoritis tapi juga menyentuh tataran aplikatif. Hal tersebut dapat
terbaca dari berbagai tulisannya. Sosok seperti beliau memang sangat cocok
menjadi ketua dari sebuah Majelis yang menjadi pelayan dan pembimbing umat, di
mana hal-hal yang bersifat aplikatif lebih dibutuhkan masyarakat untuk dijadikan
pedoman. Tentu dengan tetap berpegang pada teori-teori mapan yang telah diperkenalkan
para sarjana.
Kedua,
sumber keharmonian yang mencerahkan. Membaca karya Syamsul Anwar juga akan
menjadikan kita merasakan keharmonian yang padu antara tradisi turats dan
tradisi kesarjanaan kontemporer. Berbeda dengan orang yang kukuh hanya berpegang
pada turats atau orang yang sangat silau dengan teori-teori kesarjanaan
kontemporer sehingga lupa dengan kekayaan turatsnya sendiri, Syamsul Anwar
berbeda dengan dua kecenderungan tersebut. Ia mampu memadu-harmonikan dua
tradisi tersebut dengan apik: tetap berpegang kokoh pada tradisi turats di satu
sisi, dan tidak enggan untuk menengok tradisi kesarjanaan kontemporer. Jika
kita membaca tulisan-tulisannya, maka kita akan dimanjakan dengan
referensi-referensi dari dua tradisi keilmuan tersebut. Ada harmonisasi yang
tercipta dari setiap karya yang ia tulis. Harmonisasi ini telah banyak menginspirasi para penerusnya di Majelis Tarjih maupun di UIN Sunan Kalijaga.
Papan tulis di rumah beliau yang menjadi saksi kebersahajaannya |
Ketiga,
sumber teladan kepribadian yang mencerahkan. Ini pengalaman pribadi saya
mengenal beliau. Suatu hari saya pernah silaturahmi ke rumah beliau di Kalasan,
Yogyakarta. Waktu itu saya dimintai tolong untun menginstalkan satu program
untuk komputernya. Karena memakan waktu yang cukup lama, kami bercerita ‘cukup
banyak.’ Kata ‘cukup banyak’ ini perlu saya bubuhi tanda kutip, karena bagi
sosok pendiam seperti beliau, obrolan kami waktu itu termasuk cukup banyak,
menurut saya. Kami ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari buah duku dan teh
manis yang kami nikmati waktu itu, karya beliau berikutnya hingga rencana studi
saya ke depan. Di tengah obrolan itu, saat buah duku di meja sudah mau habis,
Pak Syamsul beranjak ke dalam untuk mengambil buah duku lagi. Saat beliau masuk
ke dalam itulah, saya menengok beberapa koleksi buku yang ada di almari dekat
kami duduk. Di almari itu ada papan tulis hitam kecil yang digantung. Masih ada
sisa-sisa coretan tulisan Arab, yang saya tahu itu adalah pelajaran Sharaf tingkat dasar. Awalnya saya biasa-biasa saja. Mungkin istri beliau di rumah
mengajar ngaji anak-anak, batin saya. Tapi ternyata dugaan saya itu keliru.
Saat beliau kembali ke ruangan, saya iseng bertanya: “Ustadz, ini siapa yang
belajar bahasa Arab di sini?.” “Ooh, itu ada anak yang tinggal di masjid
sebelah pengen belajar bahasa Arab.” Karena saya penasaran, saya kembali
menimpali dengan pertanyaan selanjutnya, “Yang ngajar Ustadz?”. Jawab
beliau, “Iya saya yang ngajar.”
Mendengar
jawaban beliau itu rasa kagum saya pada beliau semakin menjadi. Di tengah
kesibukannya yang begitu padat, beliau masih menyempatkan waktu untuk mengajar
orang, yang dia itu bukan siapa-siapa beliau. Hanya anak yang tinggal di masjid
yang kebetulan ingin belajar bahasa Arab. Di situlah kemudian menurut saya
sosok seperti beliau sangat patut diteladani, tidak hanya dalam aspek keilmuan
tapi juga kerpibadian.
Di
waktu yang lain saya pernah punya pengalaman menarik juga dengan beliau. Saat
itu saya sedang dalam proses menulis sebuah artikel tentang pemikiran beliau
dalam bidang hisab-rukyat untuk sebuh jurnal astronomi. Sore itu saya menghubungi
beliau bahwa saya akan ke rumahnya, untuk meminta beberapa tulisan beliau
tentang hisab-rukyat yang belum pernah dipublikasikan secara umum. Saya tentu
semangat karena selain akan bertemu dengan beliau lagi, saya juga akan
mendapatkan beberapa tulisannya dengan cuma-cuma. Ternyata sesampainya di rumah
beliau tidak ada, dan memberitahu saya untuk langsung saja menuju salah satu warung
bakmi di jalan Solo. Awalnya saya tidak enak karena beliau ternyata sedang
pergi bersama istri. Sesampainya di sana, ternyata saya tidak hanya mendapatkan
tulisan beliau secara gratis, tapi juga mendapatkan bakmi gratis juga. Saya
dipersilahkan bebas untuk memesan apapun yang saya ingin. “Ayo silahkan mau
pesan apa mas?”, begitu beliau menawari. Guru besar mana yang mau mengajak
mahasiswanya makan bakmi bersama di pinggir jalan? Itulah sosok kepribadian Syamsul
Anwar. Di balik sosoknya yang pendiam, ada kemulian akhlak yang begitu memukau.
Beliaulah sang Profesor yang ‘alim, berakhlak, sederhana, dan juga bersahaja. Semoga
tetap menjadi sosok yang selalu mencerahkan orang lain, Prof!
Kuala
Lumpur, 24 April 2016