بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Jatuh cinta
adalah penyakit. Sakitnya menyiksa namun
manis rasanya. Obatnya macam-macam, tapi yang halal hanya satu ; menikah. Lalu
bagaimana jika kau jatuh cinta pada satu gadis yang ternyata juga dicintai
orang lain? Lalu karena kamu masih mau focus menganggur, kau menunda
meminangnya. Kau santai saja. Hingga suatu hari ketika kau sedang asyik nonton
Uttaran, tiba-tiba datanglah pesan lewat wassap, “Mas Aliando, aku udah dilamar si Boi” Kau pun
galau. Segera saja ingin melamarnya juga.
Namun detik
berikutnya, akal nuranimu mengambil kendali, dan kau pasti akan ragu dengan
niatmu sebab telah kau dengarkan bahwa ada hadis yang melarang melakukan itu. Yap,
betul memang ada hadis yang membahas masalah ini. Hadis-hadis itu disusun oleh
Imam Muslim dalam sebuah bab yang judulnya cukup seram bagi kamu yang sedang
dalam keadaan “kompetisi”, bab itu berbunyi “Bab larangan bagi seseorang untuk melamar
di atas lamaran saudaranya hingga ia diizinkan atau lamaran tersebut
ditinggalkan” hadis-hadis itu antara lain ;
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ
يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلاَ يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ
بَعْضٍ ».
Dari Ibnu
Umar, dari Nabi saw, “Janganlah kalian melakukan transaksi jual beli di atas
transaksi sebagian yang lain, dan janganlah kalian meminang perempuan yang
sedang dipinang oleh orang lain” (HR. Muslim)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ
يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ
أَنْ يَأْذَنَ لَهُ ».
Dari Ibnu
Umar dari Nabi saw, “Seorang lelaki tidak boleh melakukan transaksi atas barang
yang sedang dalam transaksi saudaranya, dan tidak boleh pula ia meminang di
atas pinangan saudaranya. Kecuali bila saudaranya itu telah mengizinkannya” (HR. Muslim)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شُمَاسَةَ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ
عَامِرٍ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
قَالَ « الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ
عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ ».
Dari
Abdurrahman bin Syumamah, ia berkata bahwa ia pernah mendengarkan Uqbah bin
Amir yang mengutip ucapan Rasulullah saw, “Seorang mukmin adalah saudara bagi
mukmin lainnya, maka tidak halal bagi seorang mukmin untuk melakukan transaksi
jual beli atas barang yang sedang ditawar oleh saudaranya, dan janganlah ia
melamar perempuan yang tengah dilamar saudaranya, kecuali bila lamaran itu
telah ditinggalkan” (HR. Muslim)
Dari tiga
hadis di atas plus judul bab yang diberikan oleh Imam Muslim, sebenarnya
jawaban bagi galaumu itu sudah agak jelas. Memang tidak boleh melamar perempuan
yang sedang dilamar orang, kecuali bila lamaran itu telah dibatalkan atau orang
tersebut mengizinkanmu melakukannya. Tapi biar makna hadis ini bisa ditangkap
dengan lebih paripurna, marilah kita bertanya kepada ulama yang saking cinta
ilmunya, tetap jomblo sampai akhir hayat ; Imam Nawawi.
Begini penjelasan
Imam Nawawi dalam Syarhul Muslim li an-Nawawi yang saya terjemahkan
dengan agak bebas. tanpa mengubah substansinya seperti perasaanmu yang akan
tetap utuh meski tak bisa merengkuh ;
Menurut Imam
Nawawi, hadis-hadis ini sudah jelas sekali menunjukan haramnya melamar di atas
lamaran orang lain. Para ulama pun telah bersepakat dengan ijma’ atas keharaman
lamaran semacam itu bila si pelamar pertama telah mendapatkan jawaban jelas
berupa “yes I do” dari pihak perempuan sedang ia sendiri tidak meninggalkan
lamarannya itu, juga tidak memberikan izin bagi pelamar kedua.
Bila si
pelamar kedua tetap nekat melamar dan perempuannya ternyata menerima juga lalu
terjadi pernikahan, maka pernikahan itu tetap sah dan tidak dilakukan fasakh alias pembatalan nikah. Inilah mazhab Imam
Nawawi dan jumhur ulama. Eits, jangan senang dulu, mblo, dengar pula pendapat
dari ulama-ulama lain. Daud az-Zahiri berpendapat pernikahan semacam itu harus
dibatalkan, mesti dilakukan fasakh. Dari Imam Malik, ada dua riwayat
soal pendapat beliau, salah satunya menyatakan bahwa perniakahan itu harus
dibatalkan. Sebagian pengikut Imam Malik memberikan perincian; jika belum
terjadi persetubuhan, maka pernikahannya dibatalkan. Tapi jika sudah terjadi,
ya tidak usah dibatalkan.
Ulama memang beda
pendapat soal apakah pernikahan orang yang nekat melamar di atas lamran
saudaranya itu sah atau batal. Namun bahkan Imam Nawawi yang menyatakan pernikahan
itu sah secara hukum tetap menegaskan,
hal itu adalah sebuah maksiat. Emang kamu mau nikahmu sudah maksiat sejak
sebelum malam pertama? Bisa dibayangin dong neraka seperti apa yang sedang kamu
bangun.
Itu tadi jika
si pelamar pertama sudah jelas mendapat jawaban “iyes” dan ia sendiri tidak
membatalkan lamarannya. Nah bagaimana jika si pelamar pertama belum mendapatkan
jawaban yang jelas dari pihak perempuan? Apakah kamu masih ada peluang? Hehe. Imam
Nawawi, sebagai seorang pengikut mazhab Syafiiyah, menyatakan ada dua pendapat
Imam Syafi’I soal ini. Pendapat yang paling sahih menyatakan bahwa lamaran semacam
itu boleh alias tidak haram.
Dalil yang
menunjukan bahwa lamaran yang belum jelas jawabannya boleh ditimpali lamaran
lain adalah hadis dari Fatimah binti Qais. Beliau berkisah bahwa ia pernah dipinang
oleh Abu Jahm dan Muawiyah, meski mengetahui hal itu Nabi saw tidak mengingkari
kenyataan bahwa telah terjadi tumpang tindih lamaran di antara dua orang tersebut (keduanya
adalah sahabat Nabi). Bahkan Nabi justru mengajukan ke Fatimah binti Qais
lamaran ketiga buat Usamah.
Gimana mblo? Kok
senyum-senyum sendiri. Lega ya? Oh jadi dia belum memberi jawaban ke pelamar
pertama itu? Tapi jangan terlalu lega dulu, sebab kata Imam Nawawi hadis
Fatimah binti Qais di atas ternyata bisa dipahami lain. Sebagian ulama menyatakan
bahwa bisa saja Abu Jahm dan Muawiyah tidak saling mengetahui soal lamaran
mereka sehingga tidak dianggap melamar di atas lamaran saudaranya. Soal lamran
ketiga itu, sebenarnya Nabi tidak melamarnya untuk Usamah, hanya saran/petunujuk
saja agar Fatimah binti Qais menolak dua lamaran itu dan menikahi Usamah.
Terlepas dari
interpretasi lain atas hadis Fatimah binti Qais itu, jika kamu mengikuti pendapat Imam Syafii, berarti lamaran
yang belum ada jawaban jelasnya dari pihak perempuan, masih boleh ditimpali
lamaran dari lelaki lain. Kecuali… nah
ada kecualinya nih hehe, Ini pengecualian dari Ibnul Qasim al-Maliki. Menurut beliau,
jika pelamar pertama ternyata orang yang fasik, maka lamarannya boleh saja ditimpali
sebab hadis-hadis soal ini memang bicara tentang etika sesama mukmin. Jadi jika
orangnya fasik, ya sudah langkahin aja!
Itu menurut Ibnul Qasim al-Maliki, tapi
menurut Imam Nawawi sih, hadis ini berlaku umum. Jadi gimana dong kalo ternyata
pelamar pertama orangnya fasik atau bahkan kafir? Ya sutra… si gadis dan
keluarganyalah yang menolak dengan tegas lalu berikan jalan bagi si jomblo
soleh rajin menabung dan hafal Pancasila itu untuk maju. Masalahnya, kamu masih
takut maju sih mblo, mana studi belum rampung lagi.. yah, nasib nasiiib…
Sekian, jelas
yak..
Wallahu a’lam.
Jadi, pembahasan ini diambil dari kitab al-Minhaj Syarhu Sahihi Muslim bin Hajjaj atau yang lebih kondang sebagai Syarhul Muslim lin Nawawi bab Nikah, juz V sekitar halaman 108. Kitabnya saya lihat di Maktabah Syamilah. l
Maksaih "Lensa Dakwah" untuk gambarnya yang memprovokasi itu..