Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Islamisasi Ilmu Pengetahuan ; Memahami Pemikiran Ismail Raji' al-Faruqi

Islamisasi Ilmu Pengetahuan ; Memahami Pemikiran Ismail Raji' al-Faruqi

Written By Qaem Aulassyahied on Senin, 01 September 2014 | 17.51.00

           
Ismail Raji al-Faruqi (bukan saya..)
Islam sebagai agama yang universal tentu saja memberikan perhatian yang cukup besar kepada ilmu pengetahuan beserta perangkatnya, hal ini mula-mula dapat dilihat dari dalil-dalil naqli yang menyoroti tentang ilmu pengetahuan. Dalam Al-qur'an sendiri, menyatakan bahwa Allah memberikan derajat yang lebih bagi orang-orang yang beriman dan berilmu (Al-Mujadalah : 11). Juga terdapat beberapa ayat-ayat yang menyuruh untuk menggunakan akal fiikiran (Yunus, 10: 101; al-Rad, 13: 3) semua itu menunjukkan adanya upaya pencarian/analisis/penuntutan ilmu.

Oleh karenanya, pada masa perkembangan Islam, umat Islam sendiri, di bawah pemerintahan Khilafah, utamanya masa Bani Abbasiyah melakukan studi keilmuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani. Kegiatan keilmuan itu tidak hanya berhenti pada penerjemahan saja. Tetapi juga melakukan analisis lanjutan yang melahirkan kritikan, penjelasan dan tambahan dari apa yang telah dihasilkan oleh orang-orang terdahulu. 
 Menurut Islam, ajaran agama tidak bisa dipisahkan dari keilmuan, ungkapan ini mungkin bisa diwakili oleh pernyataan Einsten "iman tanpa ilmu buta dan ilmu tanpa iman pincang". Ketimpangan ini telah bisa dilihat pada sejarah manusia,dimana ilmu yang mendalam tanpa "kekangan" iman akan menimbulkan kerusakan, seperi pengguna bahan peledak,vnuklir dan bom atom. Sedangkan iman tanpa ilmu akan melahirkan kemandekan dalam kehidupan, kejumudan terpelihara, seperti yang dialami oleh Islam pada masa kemundurannya. Saat ulama memiliki asumsi bahwa segala sesuatunya telah mapan. Hal ini sejalan juga dengan apa yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme, kemunduran, takhayul dan kebodohan, sebaliknya, ilmu tanpa iman akan membuat manusia menjadi rakus dan berusaha memuaskan kerakusannya, kepongahannya, ambisi, penindasan dan lain sebagainya. Pemisahan dan pengotakan ilmu dan agama jelas akan menimbulkan kepincangan-kepincangan yang merugikan. Agama tanpa dukungan sains yang tidak dilandasi oleh asas-asas agama dan sikap keagamaan yang baik akan berkembang menjadi liar dan menimbulkan dampak yang mengancam keselamatan manusia itu sendiri.
Pada konteks Indonesia. Dapat dilihat dari adanya dua lembaga yang menaungi pendidikan di Indonesia yaitu DEPAG dan DEPDIKNAS, ini menunjukkan adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini diperparah dengan pengaruh imprealisme barat yang memasukkan pola-pola sekuler dalam keberagaman umat Islam di Indonesia, dimana pola-polanya menuntut adanya pemisahan antara agama dan keduniaan diberbagai aspek termasuk kelimuan. Akibat pemisahan ini dalam konteks Indonesia sudah bisa kita rasakan, dimana pendidikan masyarakat Indonesia yang notebenenya Islam lebih mementingkan pendidikan umum yang dilihat lebih menjamin dalam hal penghidupan dibanding pendidkan agama semata. Akibat selanjutnya Islam yang harusnya menjadi ideologi dan ruh semangat umat Islam seakan menjadi barang sekunder yang dikeluarkan bila perlu saja. Hal ini bisa dilihat gambarannya pada kebanyakan orang-orang Indonesia yang akan terlihat sangat sedih atau kecewa apabila timnas Indonesia mengalami kekalahan dibanding mengetahui saudara-saudara semuslimnya mengalami penderitaan di negara mereka.
Pada perkembangan selanjutnya, hubungan antara agama dan ilmu menjadi dua aliran, aliran integrasi dan sekularisasi. Aliran integrasi menuntut adanya penyatuan kembali antara ilmu dan agama, melihat banyaknya bencana yang terjadi. Berlawan dengan itu, aliran sekularisasi menghendaki adanya pemisahan, karena keterikatan antara ilmu dan agama menyebabkan keilmuan tidak bisa berkembang baik bahkan terkesan jumud dan tidak objektif akibat sabda-sabda agama yang terkesan otoriter dan doktriner. Pemahaman sekuler ini tidak terlepas dari pengalaman traumatik pada masa dark age. Aliran integrasi atau sekarang lebih dikenal sebagai Islamisasi pengetahuan pada dasarnya adalah respon kritis terhadap pola sekularisasi pengetahuan dan agama yang diupayakan oleh barat. Bahkan kritikan tidak hanya datang dari kubu Islam semata, melainkan oleh orang barat itu sendiri yang melihat akibat buruk keilmuan yang dilepaskan dari nilai-nilai agama.
Selain faktor tersebut, upaya Islamisasi pengetahuan yang dilakukan juga merupakan wujud menjawab tantangan modernitas oleh umat Islam, di mana ada semacam keguncangan umat Islam melihat realitas kemajuan barat yang dimulai semenjak masa pencerahan di tengah kemunduran berangsur yang terjadi dikalangan umat Islam. Padahal masih segar  di ingatan kaum muslimin kemegahan dan kemajuan di segala bidang yang dicapai. Sehingga umat Islam pada saat itu mendominasi pada ranah kebudayaan, politik maupun ekonomi. Dengan simbol kekuasaan politik kekhalifaan Abbasiyah di Baghdad, Dinasti Umayyah di Cordova dan kekhalifaan Turki Ustmani yang pernah menjadi superior pada saat barat terkungkung masa-masa kegelapan sejarah.

Pada dasarnya upaya menghubungkan antara agama dan ilmu telah dilakukan pada masa Ibnu Rusyd dengan memakai metode integralisitik-teosentrik. Hingga pada masa sekarang upaya ini masih terus dilaksanakan sebagai mana yang diungkapkan oleh Adian Husaini bahwa upaya ini bisa dilihat dari sistem UIN yang sudah mulai mengembangkan kelimuan yang tidak hanya berorientasi pada keilmuan umum tapi terlebih dahulu harus memiliki keilmuan agama setidaknya dasar-dasarnya.

Wacana ini kemudian digulirkan pada seluruh negara Islam dan menjadi wacana serius. Hingga tahun 1987. OKI (organsasi Konferensi Islam) telah melakukan lima kali konferensi dunia yang membahas tentang pendidikan Islam:
  1. Mekkah 1977: membahas berbagai masalah-masalah pendidikan formal dan non formal, dualisme pendidikan di negara-negara muslim, sistem pendidikan wanita serta pembagian konsep pengetahuan pada dua kategori yaitu pengetahuan yang diterima dan pengetahuan yang diperoleh
  2. Islamabad 1980: membahas persoalan kurikulum bagi pendidikan Islam ditingkat pertama, kedua dan ketiga atau tingkat Universitas. (telah dipakai sebagai model di Universitas King Abdul Aziz, tahun 1983)
  3. Dhaka 1981: membahasa tentang buku-buku dan konsep religius yang menggantikan konsep-konsep sekuler yang selama ini digunakan oleh negara-negara muslim.
  4. Jakarta 1982: membahasa model-model tipikal yang ideal dalam hubungannya dengan metodologi pengajaran dalam pendidikan Islam, yaitu perlunya pendekatan menyatu secara menyeluruh tanpa mengurangi metode yang ada ditiap-tiap disiplin kelimuan, baik tingkat dasar, lanjutan ataupun universitas.
  5. Kairo 1987 : membahas tentang evolusi dan implementasi pendidikan Islam dalam masyarakat masa kini.
Salah satu keberhasilan dari upaya ini adalah adaya redefinisi pendidikan Islam yang sebelumnya hanya diartikan sebagai hukum (fiqih) dan teologi belaka, kemudian diartikan lagi sebagai pendidikan di semua cabang pengetahuan yang disejajarkan dari sudut pandang Islam. Meski memiliki konsep yang jelas, namun upaya integrasi ini, -utamanya pada masa sekarang di mana keilmuan sudah mengkiblat pada kemajuan barat- memiliki dilema, Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras mentransformasikan normatifitas agama, melalui rujukan utamanya al-Qur‘an dan Hadits, ke dalam realitas  kesejarahannya secara empirik? Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik  epistemologis. 

Dari sebagian  banyak cendikiawan Muslim yang pernah memperdebatkan tentang  Islamisasi  ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad  Naquib al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar (Happy Susanto, 2008) Tokoh yang mengusulkan pertama kali secara resmi upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat Isma’il Raji al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman (Isma’il Raji al-Faruqi, 2003: 55-97).

Latar Belakang Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi:

Jika kita cari di google tulisan atau biografi Ismail Raji Al-Faruqi, maka akan kita dapat ratusan tulisan mengenai beliau. Dari sini saya ingin katakan, kalau biografinya semata kita sudah bisa mengetahuinya dari tulisan-tulisan itu secara lengkap, yang perlu kita perhatikan sebenarnya adalah latar belakang pemikiran beliau. Dari pembacaan penulis sendiri terhadap biografinya, penulis berasumsi setidakya ada dua potongan riwayat kehidupan beliau yang menjadi latar lahirnya pemikiran beliau:

pertama, pendidikan pertama beliau dilalui ketika Palestina masih keadaan damai baik secara politik, budaya dan kemasyarakatan di bawah pemerintahan Arab. Artinya mungkin saja (sekali lagi ini Cuma asumsi) ketika itu pendidikan yang didapatkannya merupakan pendidikan yang memakai pola integrasi agama dan ilmu. Melihat palestina merupakan salah satu negeri yang tingkat keberagamaannya tinggi, bahkan tanahnya diklaim sebagai tanah suci tiga agama Abraham (untuk hal ini bisa dibaca di buku "Perang Suci" karya Karen Amstrong) (sebenarnya bisa kita mulai dari pendidikan keluarga beliau yang taat pada agama, atau seperti ulama-ulama Indonesia, bahwa orang tua mereka merupakan pemuka agama, sehingga tentunya pendidikan kepada anaknya dititik beratkan pada pemahaman agama dan semangat memperjuangkannya. Tapi penulis tidak berasumsi pada pernyataan ini, karena sepembacaan penulis sendiri dari literature yang dimiliki, tidak ada yang menyinggung keluarganya secara jelas).

kedua, aktifitas pendidikan beliau di beberapa daerah yang memiliki suasana/iklim keilmuan yang berbeda, memberikan bahan bagi beliau untuk melakukan komparasi atau semacam analisis perbandingan antara kedua iklim tersebut, dan menciptakan sebuah resep baru yang ia sebut Islamisasi pengetahuan[1].
  
Konsep Ringkas Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi

Beliau mula-mula membeberkan kenyataan (sebagaimana yang telah kami tuliskan di atas) bahwa, barat dengan segala kemajuannya termasuk dalam hal teknologi dan pendidikan menjadikan setiap metodologi dan materi-materi yang dimapankannya dijadikan tolak ukur bagi setiap negara, tidak terlepas negara-negara muslim. Hal ini -khususnya buat negara muslim tersebut- berkibat buruk karena menghilangkan ruh dan esensi ajaran Islam, yang mana menuntut setiap umatnya mendasari segala hal tanpa terlepas dari sendi-sendi Islam sebagai agama yang mengatur secara komperhensif dan universal. Ini juga diperparah dengan pengajar-pengajar muslim yang juga ternyata tidak memiliki visi untuk mengenalkan dan menanamkan semangat Islam di dalam upaya pengajaran dan pendidikan anak murid. Hal ini mengakibatkan nantinya ketika mereka memasuki jenjang kuliah yang lebih "seram", maka mereka tidak memiliki dasar untuk setidaknya bersikap kritis secara objektif atas faham-faham nyeleneh yang akan mereka temui. Maka sangat wajar jika yang lahir adalah mahasiswa-mahasiswa yang liberal, sekuler atau setidaknya memahami ajaran agama yang didasari oleh subjektifitas mereka belaka.
Oleh karenanya, menurut beliau, dualisme sistem di dalam Islam yang saling bertolak belakang haram hukumnya. Yang dilakukan adalah perpaduan kelebihan sistem dan kemajuan pendidikan barat (bukan sekularis) dengan khazanah Islam yang ada, dengan memasukkan semangat Islam sebagai ruhnya. Adanya peniruan terhadap teori pendidikan secara membabi buta harus ditinggalkan. Buku-buku yang tidak memadai untuk bersikap kritis secara objektif harus dilengkapi dan para pengajar yang seyogyanya paham secara totalitas akan materi yang diajarkan. Yang tak kalah penting adalah memiliki visi yang bertujuan menanamkan nilai-nilai agama Islam dalam tiap aktifitas pendidikan . Untuk itu, setiap disiplin ilmu harus ditempa ulang dan dimasukkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologi-metodolgi, tujuan-tujuan, strategi dan aspirasi disiplin ilmu tersebut. Hingga pada akhirnya disiplin-disiplin ilmu yang diajarkan dapat merelevansikan ajaran Islam dalam pokok ajaran "tauhid" pada tiga landasan:

  1. berlandaskan pengetahuan, di mana pengetahuan ini harus bersikap kritis secara objektif dalam mencari kebenaran, dengan demikian dituntut adanya sumber yang bersifat akal (aqli) dan beberapa pengetahuan lainnya yang tidak bersifat rasional (naqli). Artinya menyadari adanya disiplin yang bersifat ilmiah, mutlak dogmatis dan relatif.
  2. kesatuan hidup, artinya setiap disiplin ilmu harus dilandaskan pada satu tujuan yaitu tujuan penciptaan itu sendiri, jadi tidak ada perbedaan nilai antara ilmu yang ada dalam hal tujuan penciptaan ini.
  3. kesatuan sejarah, artinya setiap disiplin ilmu tidak boleh terlepas dari semangat kemasyarakatan, disiplin ilmu harus diarahkan pada kemashlahatan secara umum, tidak individu.

Untuk kesemua itu, beliau kemudian merumuskan rencana sistematik dan langkah-langkah prioritas guna membangun kembali epistemologi pendidikan agar dapat mewujudkan Islamisasi pengetahuan: (1) penguasaan disiplin ilmu modern, (2) meninjau ulang setiap disiplin ilmu, (3) Penguasaan khazanah Islam,  (4) Penentuan relevansi Islam terhadap disiplin ilmu, (6) Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern, (7) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam, (8) survey permasalahan yang dihadapi umat manusia, (10) analisis kreatif dan sintesa, (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam, (12) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.

Respon Terhadap Islamisasi Pendidikan
Adanya upaya Islamisasi pengetahuan ternyata mendatangkan respon yang berbeda bahkan saling bertolak belakang. Berdasarkan penelitian Mashood Ahmed mengenai "etos Islam dan ilmuan Muslim serta isu sains Islam" pada tahun 1985, maka respon-respon tersebut, secara umum bisa golongakan menjadi tiga kelompok:

Pertama, muslim apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Oleh karenanya, mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains dengan mencari ayat-ayat yang sesuai dengan teori tersebut. Meski apa yang diupayakan oleh kelompok ini merupakan hal yang bagus, tapi terdapat pula kritikan yang menyatakan bahwa, pada nantinya al-Qur'an hanya berisi konsep teori tentang struktur ilmu, tidak menjadi kitab suci yang mengatur prilaku hidup manusia. Kalaupun ada ayat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan, maka itu karena al-Qur'an adalah kitab petunjuk bagi kebahagian dunia dan akhirat sehingga tidak heran terdapat ayat-ayat yang menyiratkan ilmu pengetahuan.

Kedua kelompok yang masih bekerjasama dengan sains modern, tetapi juga berusaha memperlajari sejarah dan filsafat ilmuanya, sehingga dalam taraf ini, mereka bisa menyaring elemen-elemen yang tidak Islami. Mereka berpendapat bahwa ketika sains modern berada dalam masyarakat Islami, maka fungsinya dengan sendirinya akan termodifikasi sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-cita Islam. Oleh karena itu, bagi kelompok ini yang diperlukan saat ini bukan proses Islamisasi pengetahuan, melainkan proses Islamisasi perilaku masyarakat intelektual, yaitu proses mendekatkan diri kepada Allah, proses pengakuan kepada Tuhan yang Maha Esa sebagai dasar dari segala perilaku kehidupan individu atau masyarakat.

Ketiga kelompok yang merintis dan mengupayakan Islamisasi ilmu pengetahuan modern. Menurut mereka, tidak mungkin mengkompromikan Islam dengan sekularisme, dimana sekularisme berarti pendekatan ilmiah modern terhadap pengetahuan dan pola hidup. Bagaimana mungkin seseorang bisa menerima adam sebagai manusia yang pertama diciptakan oleh Tuhan tapi bersamaan dengan itu pula, percaya pada konsep Darwin?, bagaimana akan bisa ada sebuah ekonomi yang bebas bunga jika seluruh struktur ekonomi masyarakat berakar dalam bunga?. Pada sepak terjangnya kelompok ini memiliki argumen yang tak kalah kuatnya dalam menghadapi argumen-argumen yang dikemukakan dalam peradaban barat terhadap eksistensi pengetahuan, di mana mereka dapat mengemukakan bantahan-bantahan yang rasional. Hal ini wajar jika menilik latar belakang pendidikan mereka yang tak lepas dari pendidikan barat yang kuat sehingga membentuk kemampuan untuk mengkritisinya.

Penutup

Islamisasi pengetahuan secara makro bertujuan untuk mengkonsep kembali ilmu melalui upaya Islamisasi sebagai penguatan pada keyakinan Islam sebagai ajaran hidup yang rahmatan lil alamin, serta menolak struktur kelimuan barat modern (baca : sekularisme) yang sekarang menjadi paradigma keilmuan dunia.

Pada kenyataannya, upaya ini tidak dipahami secara baik dan menyeluruh, sehingga orang muslim yang mendukungnya tidak sedikit berangkat hanya dari sikap romantisme, suka kepada hal yang berbau pembelaan terhadap Islam dan tak jarang pula timbul kontradiksi dalam sikap dan tindakan yang berkenaan dengan gagasan ini. Bahkan gagasan Islamisasi pengetahuan ini tidak lebih dari sekedar simbol perjuangan dan kebencian terhadap dunia barat yang telah menjajah muslim selama berabad-abad.

Untuk itu perlu adanya pemahaman gagasan inti yang dikemukakan dalam konsep Islamisasi pengetahuan serta memahami latar belakangnya secara komperhensif. Agar tiap langkah yang diambil dalam mewujudkan gagasan tersebut betul-betul bisa mewujudkan umat Islam sebagai khairu ummah (sebaik-baik umat). Pada akhirnya, perlu ada upaya yang lebih lagi dalam mencari literatur-literatur mengenai masalah ini, karena apa yang disajikan oleh penulis yang ada ini, masih sangat kurang dan perlu banyak perbaikan.

Wallahu a'lam bisshawab   


DAFTAR BACAAN

Herry Muhammad, dkk, "Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20", cet : 1, Penerbit Gema Insani, Jakarta, 2006.

Karen Amstrong, "Perang Suci", cet: IV, Penerbit: Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2011

Faturrahman, "Islamisasi Pengetahuan; Pro Kontra Membangun Basis Keilmuan Islam", Jurnal Ilmiah "Kreatif", Vol. V, 2 Juli 2008, PDF

Adian Husaini "Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Beradab dan Berkarakter", PDF

Muhammad Solikin, "Integrasi Ilmu dan Agama Menurut Ismail Raji Al-Faruqi dan Kuntowijoyo" 2008, PDF

Abdul Latif, "Dikotomi Pendidikan Agama dan Umum di Indonesia", Jurnal "At-Tarbiyah", Vol. XX, 1 Juni 2007, PDF




[1] Pendidikan dasar al-Faruqi digelutinya di College Des Freses, libanon semenjak 1926 hingga 1936, lalu melanjutkan pendidikan tinggi di the America University, Beirut. Lulus sarjana, Ia kembali ke tanah kelahirannya. Menjadi gubernur Galilea Dibawah mandat pemerintahan Inggris. Hingga pada tahun 1947 wilayah itu jatuh ke tangan Israel dan beliau hijrah ke Amerika serikat. Hijrah tersebut merupakan titik tolak aktivitas akademis beliau yang semakin padat dilihat dari ketekunannya sehingga menyelesaikan studi di Universitas Indiana pada tahun 1949, dengan gelar master di bidang filsafat. Dan juga di unversitas Harvard, dengan judul tesis "on justifying the god: metafisika and epistemology of value" (tentang pembenaran kebaikan: metafisikan dan epistemologi ilmu), sementara gelar doktornya beliau dapatkan di universitas Indiana. Selain itu beliau juga memperdalam ilmu agama di universitas al-Azhar selama 4 tahun, dan mulai mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1962, beliau pindah di Karachi, Pakistan dan aktif dalam kegiatan Central Institute For Islamic Reseeach. Setelah itu beliau kembali ke AS untuk memberikan kuliah di fakultas agama Universitas Chicago dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di universitas Syracuse. Tepatnya tahun 1968, beliau pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan pusat pengkajian Islam di institusi tersebut.  Selain mengajar al-faruqi juga mendirikan international institute of Islamic thought (IIIT) tahun 1980 di amerika serikat. Pada perkembangannya lembaga ini semakin maju dan memiliki gengsi keilmuan yang tinggi, terbukti dengan berdirinya cabang-cabang dari lembaga ini di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya pula pada tahun 1972, beliau telah lebih dahulu mendirikan the association of muslim social scientist. Kedua lembaga ini menebitkan jurnal Amerika yang berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial Islam. Disamping itu beliau aktif menulis berbagai macam majalah ilmiah, popular, buku dan ratusan artikel yang telah dipublikasikan. Buku-buku yang terkenal dari beliau diantaranya: "historical atlas of the religion of the world" (atlas historis agama dunia) –buku ini sampai sekarang dipandang sebagai buku standar dalam bidan perbandingan agama-. "Trialoque Of Abraham Faiths" (trilogy agama-agama Abrahamis), "the cultural atlas of Islam" (atlas budaya Islam) dan lain sebagainya. Aktifitas pendidikan yang dilakukan oleh beliau semuanya merupakan wujud pemikiran dan cita-cita beliau untuk mengintegrasikan ilmu dan agama Islam. selengkapnya Bisa dilihat di buku karangan Herry Mohammad, dkk "tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh pada abad 20", penerbit gema insani press, halaman 208-212
Share this article :

1 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template