Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » , » Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Ibnu Sina dan al-Ghazali

Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Ibnu Sina dan al-Ghazali

Written By apaaja on Rabu, 13 April 2016 | 23.58.00

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Ibnu Rushd, bahasa Latin Averroes, nama Arab lengkapnya Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rushd. Lahir tahun 1126 di Cordoba, meninggal 1198 di Marrakech. Berarti beliu hidup 72 tahun. Seorang filsuf Islam berpengaruh yang menggabungkan tradisi Islam dengan pemikiran Yunani berdasarkan instruksi khalifah Ibnu Tufayl ia menulis beberapa ringkasan dan komentar tulisan Aristoteles dan karya Plato, Republic. Dia menulis risalat yang tegas bahwa dalil dan hukum agama dengan filsafat sesuai dan tidak ada pertentangan antara keduanya. Ibnu Rushd menulis sejak usia 31 tahun. Tulisannya mencapai 20,000 halaman dengan berbagai tema, termasuk filsafat Islam, logika dalam filsafat islam, pengobatan islami, matematik, astronomi, tatabahasa Arab, teologi Islam, syari’ah, dan fiqh. 
 
patung Ibnu Rusyd di Cordoba, Spanyol
Karya yang paling terkenal adalah komentar pada karya para filsuf untuk karya Aristoteles Posterior Analytics, De Anima, De caelo, dan Metaphysics. Dalam bidang politik dia tidak mendapatkan akses pada karya Aristoteles, maka ia menulis komentar pada karay Plato berjudul Republic. Ibnu Rushd mengkritik Al-Farabi yang menyaktukan filsafat Plato dengan Aristoteles, karena menurutnya filsafat Aristoteles menyimpang jauh dari filsafat Plato secara signifikan. Ibnu Rushd menolak pula pemikiran neoplatonisme dari Ibnu Sina berdasarkan Plotinus, yang salah mengatribusi pada Aristoteles. 
 
Dalam Metafisik, atau lebih tepatnya ontologi (pembahasan filososfis tentang hakikat), Ibnu Rushd menolak pandangan Ibnu Sina yang mengatakan bahwa eksistensi hanyalah kebetulan belaka. Ibnu Sena berpendapat essence is ontologically prior to existence’. Lebih utama esensi daripada eksistensi. Ibnu Rushd mengikuti Aristoteles bahwa esensi dan eksistensi itu satu paket. Pada setiap sesuatu ada substansi. Ini pemikiran yang berbeda denga Plato. Plato beranggapan lebih dulu ada idea/esensi sebelum ada benda ril/eksistensi yang partikular. Sedangkan Aristoteles berpendapat eksistensi dulu dab esensi datang berdasarkan proses abstraksi. Contoh. Menurut Ibnu Sina dan Plato. Sebenarnya di dunia ini tidak ada yang namanya kursi
 
Ibnu Rushd menulis The Incoherent of Incoherent (Tahafut Attahafut). Sebuah karya independen dari Ibnu Rushd yang berusaha mempertahankan filsafat dari kritik Al-Ghazali. Al-Ghazali menulis ­Attahafut al-Falasifah untuk mengkritik pandangan filsafat yang direpresentasikan oleh tulisan Ibnu Sina. Ibnu Rushd mengatakan bahwa Al-Ghazali salah sasaran dengan kritiknya, karena yang ditulis Ibnu Sina adalah distorsi dari pemikiran asli Aristoteles. 
 
Al-Ghazali beranggapan filsafat bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak bisa beriringan. Keduanya berkontradiksi. Al-Ghazali mengambil contoh pemikiran Aristoteles soal kausa (penyebab). Ada 4 kausa yaitu; materialis (bahan baku), formalis (sifat/design), efisien (proses), finalis (akibat/tujuan). Misalnya ketika kapas terbakar. Kausa materialis atau materi penyebabnya adalah api. Kausa formalis atau sifat penyebabnya adalah panas dari api. Kausa finalis atau penyebab tujuannya adalah menjadi abu. Kausa efisien atau proses penyebabnya adalah korek dinyalakan lalu api menyulut kapas. 
 
Menurut Al-Ghazali cara berpikir seperti itu bertentangan dengan ajaran Islam karena meniadakan kehendak dan peran Allah dalam kejadian kapas terbakar, padahal dalam ajaran Islam, Allah adalah kreator dan sebab dari segala sesuatu. Jadi seharusnya penyebab kapas terbakar oleh api hakikatnya karena Allah berkehendak dan mengizinkan kejadian yang demikian. Itulah yang sesuai dengan kepercayaan ajaran Islam. Diktum yang Al-Ghazali katakan "all earthly occurrences depend on heavenly occurrences". Atas seizin Allah api bisa saja dingin dan tidak membakar, seperti pada kisah Nabi Ibrahim ketika dibakar raja Namrud. Nabi Ibrahim selamat tanpa luka bakar sedikit pun.
 
Ibnu Rushd tidak setuju dengan pendapat Al-Ghazali. Tidak salah mengatakan ‘api menyebabkan kapas terbakar, bahkan lebih berguna dengan mengatakannya demikian. Alam semesta memiliki pola dan kebiasaan yang bisa kita cermati. Api membakar kapas itu adalah bagian dari hukum alam yang bisa kita lihat dan saksikan setiap saat. Hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena hukum alam yang ada di dunia ini adalah ketetapan dari Allah. 
 
Ibnu Rushd menulis Fasl Al-Ma’qal, The Decisive Treatise, karya yang menekankan pentingnya analisis rasional pada penafsiran Al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa wahyu (Al-Qur’an) tidak bertentangan dengan filsafat. Keduanya memiliki cara berbeda dalam mencapai kebenaran. Hal ini menjadi teori yang disebut double truth theory yang dikembangkan oleh para pengikut Ibnu Rushd. Meskipun kebenaran wahyu dengan filsafat tidak bertentangan, ia memperingatkan untuk berhati-hati dalam metode pengajaran filsafat pada masyarakat umum. Ia menulis buku di bidang Fiqh madzhab Maliki dengan judul Bidayatul Mujtahid wa Nihayat Al-Muqtasid

Tulisan ini merupakan seri dari tulisan Filsafat Islam, artikel hasil malak dari Ginan Aulia Rahman, mahasiswa Filsafat UI, yang kabarnya ganteng sekali :
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template