بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Tidak diragukan
lagi bahwa kitab al-Muwafaqat karya Abu Ishaq asy-Syatibi adalah salah satu
kitab yang paling luar biasa yang pernah dilahirkan peradaban Islam. Karya ini
adalah buah dari pohon rimbun peradaban Islam Barat yang berpusat di Kordoba,
Imam asy-Syatibi sendiri berasal dari Granada. Secara umum kitab ini membahas
tentang Maqashid as-Syari’ah, atau maksud-maksud dibalik setiap perintah
syariat. Teori maslahah juga dielaborasi dengan hebatnya. Tidak salah jika kemudian
kitab ini menjadi salah satu bacaan yang direkomendasikan oleh sang pembaharu
Muhammad Abduh untuk dibaca generasi Islam, agar mereka bisa tahu betapa canggih dan luar biasanya sistem
keilmuan yang pernah ada, juga agar mereka lebih mampu memahami agamnya. Namun bukan
tentang maqashid atau maslahat yang akan kita bicarakan sekarang, tapi hanya
obrolan ringan saja tentang sejarah pemberian judul bagi karya monumental ini.
al-Muwafaqat yg legendaris |
Awalnya Imam asy-Syatibi hendak menamai kitabnya “at-Ta’rif Bi asrar
at-Taklif” yang jika diartikan bebas maknanya adalah mengenal
rahasia-rahasia dibalik perinah Allah bagi mukallaf. Terus, mengapa kini kitab
ini lebih dikenal sebagai al-Muwafaqaat? Ceritanya cukup unik. Ketika hampir
menyelesaikan kitab ini, asy-Syatibi menemui salah satu gurunya yang paling
alim dan terhormat, terus belajar adalah ciri para ulama Islam dahulu. Namun ternyata
sesuatu yang aneh terjadi. Tiba-tiba sang guru berujar bahwa semalam ia melihat
Imam Syatibi di dalam mimpinya sedang memegang sebuah kitab. “Aku pun bertanya
padamu tentang kitab tersebut” lanjut sang syaikh bercerita. “Engkau lalu
menjawab bahwa kitabmu itu kau beri judul al-Muwafaqaat (kesepakatan),
sebab di dalamnya engkau memadukan dua mazhab besar yakni mazhab Abu
Hnaifah dan Ibnul Qasim”
Mendengar cerita tersebut, Imam Syatibi tentu terkesima, sebab ia belum
menceritakan tentang buku baru yang sedang ditulisnya itu kepada sang syaikh. Bagiamana
bisa beliau tahu tentang karya barunya? Bahwa di dalam karyanya itu ia berusaha
untuk mempertemukan hal-hal yang diperebutkan, berusaha merekatkan retak-belah
ummat yang bertikai soal mazhab? Tentu ini adalah ilham dari Allah pikir Imam
Syatibi. Bukankah Rasulullah memang pernah berpesan bahwa sepeninggal beliau
kabar baik dari langit masih bisa diterima langsung manusia, melalui mimpi
orang-orang mukmin yang salih. Maka Imam Syatibi pun berucap, “Anda telah
memperoleh anugrah mimpi yang bisa menerawang kebenran. Sebuah bagian tak
ternilai dari kabar gembira yang dibawa oleh Nabi. Aku memang tengah menyiapkan
karya semacam itu. Karya yang akan memaparkan pokok-pokok hukum yang disepakati
oleh para ulama serta kaidah-kaidah dasar yang telah dibangun para pendahulu
kita” Kini giliran guru Imam Syatibi lah yang terkejut, betapa aneh kecocokan (ittifaq)
ini.
Maka penamaam al-Muwafaqat bukan hanya soal isinya yang merangkum
pokok utama syariat yang disepakati para ulama. Ia juga secara ajaib adalah “kesepakatan”
antara mimpi seorang guru dengan tekad seorang murid. Mimpi sang guru adalah
bukti betapa ia memang salih dan berhati jernih, tidurnya bisa memantulkan
pesan langit. Tekad sang murid adalah bukti betapa ia memang jenius yang peka
zaman, dengan pena ia menjahit ukhuwah yang compang, menyeimbangkan cara
berfikir yang timpang, hingga ummat kembali berwibawa dan tercerahkan. Peristiwa
itu tejadi di Andalusia berabad-abad yang lalu, akankah di Indonesia akan lahri
pena serupa?