بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Kepada Para
Aktivis Muslim
Suatu
hari saya pernah mengikuti kajian al-qur’an. Peserta kajian al-qur’an tersebut
adalah ( bisa disebut ) para aktivis muslim. Kajian ini telah saya ikuti
beberapa kali dan qadarullah pada waktu itu tepat pembahasan hukum-hukum tajwid
awal. Kami dikenalkan hukum-hukum tajwid sederhana dan tentunya disertai dengan
praktik bacaan.
Undangan
kajian tersebut sebelumnya tak disebutkan jika ada praktik membaca al-qur’an.
Mungkin jika disebutkan akan ada ‘praktik membaca al-qur’an’, banyak para
peserta kajian yang tak datang dengan berbagai alasan. Bukan bermaksud berburuk
sangka, hal ini terbukti ketika kajian selanjutnya jumlah peserta menurun
banyak, dan ketika pekan selanjutnya diberi keterangan ‘hanya materi saja’ ,
jumlah peserta kembali normal. Dan setiap kajian yang disertai dengan praktik
membaca al-qur’an pesertanya selalu sedikit. Allahu’alam.
Yang
mengejutkan pada kajian hari itu adalah sebagian besar peserta ternyata belum
bisa lancar membaca al-qur’an. Apalagi mempraktikan kaidah-kaidah hukum tajwid,
sangaat jauh. Padahal peserta kajian tersebut adalah para aktivis muslim yang
telah malang melintang kesana-kemari di dunia keaktivisan. Peserta adalah
mahasiswa/pelajar yang masih aktif. Hari itupun menjadi kajian yang sangat lama
bagi beberapa teman karena harus membaca terbata-bata didepan umum.
Bukan
maksud Ustadz untuk mempermalukan didepan umum, toh jika belum lancar itulah
gunanya mengikuti daurah al-qur’an. Dan jikalau sudah lancar maka akan ada
pembenaran pada tahsinnya, makharijul hurufnya atau pada hal lainnya. Namun
pada hari itu beberapa teman terlihat malu. Ada petinggi salah satu organisasi
mahasiswa bacaannya tak selancar bacaan anak baru organisasi mahasiswa tersebut.
Sepulang
dari kajian itu saya termenung. Fokus perenungan saya terletak pada
permasalahan kejadian. Kenapa banyak aktivis muslim yang telah lama berkecimpung
dalam dunia dakwah ternyata pada belum lancar membaca al-qur’an. Padahal
biasanya para aktivis menyeru kepada teman-teman untuk membaca al-qur’an.
Padahal mereka menyeru untuk berakrab-ria dengan al-qur’an. Padahal mereka
mengaku al-qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum Islam. Bukan ingin
mengkerdilkan semangat dan tindakan saling megingatkan dalam kebaikan. Namun
saya berpikir, sepertinya ada yang salah dengan interaksi para aktivis ini
dengan al-qur’an.
Pun
pikiran saya melesat lebih jauh lagi melebar ke amalan-amalan harian. Sholat
malamnya, dhuhanya, rawatibnya, puasa-puasa sunnahnya dan lain-lain. Hari itu
saya teringat cerita teman-teman yang pernah saya terima, ada yang bercerita
sulit untuk bangun malam, sulit untuk puasa, sholat dhuhanya. Bahkan saya
pernah dengar cerita ada seorang aktivis muslim laki-laki sulit untuk sholat
jamaah di masjid, padahal laki-laki! Hari itu saya tak memikirkan personal,
namun saya memikirkan kejadian umum. Ternyata banyak para aktivis yang
meninggalkan ‘idealnya’ seorang aktivis muslim. Bacaan al-qur’an boleh belum
lancar, namun semangat untuk melancarkan harus mengalahkan malunya tidak lancar
membaca al-qur’an. Jalan terbaik orang yang tidak bisa adalah belajar. Boleh
saja aktivis sulit untuk bangun malam, aktivis juga manusia, tapi semangat bangun
malam harusnya menggebu-gebu mengalahkan rasa kantuk.
Padahal
Allah Memberikan anugrah kemenangan bukan karena jumlah pasukan, atau
perlengkapan perbekalan. Allah Memberi kemenangan karena alasan ketaatan
kepadaNya. Perang Badar jumlah kaum muslimin hanya 313 saja dengan perlengkapan
minimal. Namun karena keyakinan dan ketaatan pada Allah dan RasulNya bisa
mengalahkan 1000 pasukan dengan persenjataan jauh lebih lengkap. Khalifah Umar
bin Khattab saat melepas pasukannya pergi beliau berkata, “Aku tidak takut
dengan musuh-musuh kalian. Aku hanya takut bila kalian berbuat maksiat. Sebab
bila kalian berbuat maksiat, Allah tidak akan menolong kalian “. Sholahuddin
Al-Ayubi lebih takut salah satu tenda pasukannya tidak sholat malam daripada
dikepung oleh musuh. Muhammad Al-Fatih memimpin pasukan yang ketaatan kepadaNya
luar biasa, pasukan yang tak pernah sepi dari dzikir, sholat malam, puasa dan
amalan sunnah lainnya. Allah Memberikan dia kenikmatan untuk membebaskan
Konstantinopel dan berhak atas gelar pemimpin pasukan dan pasukan terbaik (
saat itu ). Teladan diatas jadi bukti bahwa kemenangan datang bukan karena jumlah
atau perlengkapan perbekalan, namun karena ketaatan.
Saya
bukanlah perfect. Saya pun masih butuh banyak bimbingan, ilmu,
arahan, saya masih banyak kekurangan. Pun dalam soal ibadah, saya adalah orang
yang lemah yang butuh untuk diingatkan. Tulisan ini adalah perenungan saya. Semacam
nasehat untuk diri saya khususnya.
Ah, betapa
kita ini masih jauh dari Allah. Mungkin sebab inilah Allah belum Memberikan
kemenangan pada kita. Mungkin bagian inilah yang Allah Tuntut untuk
ditingkatkan agar pertolongan dan kemenangan itu datang. Kemenangan dakwah,
kemanangan ukhuwah, kemanangan agamaNya.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” ( Muhammad:7 )
Sayyid Quthb dalam tafsirnya mengatakan tentang ayat ini, “Bagaimana
orang-orang beriman menolong Allah sehingga mereka menegakkan persyaratan dan
mendapatkan apa yang disyaratkan bagi mereka berupa kemenangan dan diteguhkan kedudukan
? Sesungguhnya mereka memurnikan Allah dalam hati mereka dan tidak
menyekutukan-nya dengan sesuatu baik syirik yang nyata maupun yang tersembunyi
serta tidak menyisakan seseorang atau sesuatu pun bersama-Nya didalam dirinya.
Dia menjadikan Allah lebih dicintai dari apapun yang dia cintai dan sukai serta
meneguhkan hukum-Nya dalam keinginan, aktivitas, diam, saat sembunyi-sembunyi,
terang-terangan maupun saat malunya, maka Allah akan menolongnya dalam diri
mereka”.
Mungkin kita kurang teguh dalam taat kepadaNya, sehingga
kemenangan yang membuahkan kemenangan belum juga Diberikan.
Perenenungan bagi kita semua, saya khususnya, kepada para
aktivis muslim…..