Kang Jalal adalah salah satu intelektual
Islam Indonesia yang produktif menulis buku pada masanya. Salah satu karnya
adalah “Islam Aktual”, sebuah karya yang konon memberikan “pencerahan” kepada
beberapa orang yang membacanya. Isinya memang luar biasa, Kang Jalal menelaah
ulang terhadap beberapa perkara yang selama ini telah kita yakini bahkan
amalkan, lalu ia memberikan kesimpulan mengagetkan betapa keyakinan-keyakinan
tersebut ternyata salah.
Metode
yang banyak dipakai oleh Jalal dalam bukunya ini adalah kritik matan hadis. Dengan
kritik matan tersebut, salah satu amalan yang digugatnya adalah amalan Puasa
Asyura. Ia melakukan analisis historis terhadap hadis Ibnu Abbas yang menjadi
landasan amalan ini yang kesimpulannya adalah puasa asyura ternyata sesuatu
yang tidak jelas asal-muasalnya. Hadis yang menajdi landasannya problematis. Ia
lalu berkesimpulan bahwa amalan ini tidak disyariatkan. Ada apa gerangan?
Apakah semua itu ada hubungannya dengan “mazhab” Syiah yang ia peluk mesra?
Mungkin juga. Tapi terlepas dari semua itu, mari kita cermati dan telaah
tudingan-tudingan Kang Jalal terhadap hadis tersebut yang diklaimnya sebagai
buah dari kritik validitas yang lebih dari sekedar kritik otentisitas ala ulama
tradisional.
Puasa asyura dianggap oleh kang Jalal
di dalam buku tersebut bukanlah sunnah setelah melakukan beberapa analsis
terhadap hadis Ibnu Abbas yang populer sebagai landasan sunnahnya pausa asyura.
Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut ;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا
قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا
هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ
فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ
فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan
mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari 'Asyura (10 Muharam) dan mereka
berkata; "Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa
dan menenggelamkan Fir'aun. Lalu Nabi Musa 'Alaihissalam mempuasainya sebagai
wujud syukur kepada Allah". Maka Beliau bersabda: "Akulah yang lebih
utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka". Maka Beliau berpuasa pada
hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari)
Dari hadis di atas, kang jalal mengajukan
beberapa tudingan yang kami kelompokan menjadi lima poin ;
1.
Ibnu Abbas tidak mendengarnya langsung dari Nabi,
maka Ibnu Abbas adalah seroang mudallis dan hadisnya adalah hadisnya menjadi
lemah.
2.
Hadis ini bertentangan dengan sejumlah hadis
tentang puasa asyura dari riwayat Ibnu Abbas sendiri maupun dari sahabat
lainnya?
3.
Puasa asyura pada 10 Muharram, padahal Nabi tiba di
Madinah pada bulan Rabilul awal
4.
Mengapa Nabi meniru tradisi Yahudi?
5.
Tidak ada tradisi puasa 10 Muharram dalam agama
Yahudi (dari halaman 166 seterusnya)
Tudingan-tudingan di atas akan dibahas satu
persatu secara ringkas dalam uraian selanjutnya.
1)
Ibnu
Abbas Seorang Mudallis?
Ibnu Abbas dituding telah melakukan tadlis sebab
ia belum ada di Madinah ketika Nabi Muhammad saw tiba di sana. Ia ketika itu
masih kanak-kanak dan masih tinggal di Mekah. Olehnya Ibnu Abbas pastilah
mendaaptkan cerita di dalam hadis tersebut dari sahabat yang lain, tapi Ibnu
Abbas tidak menyebutkan nama sahabat tersebut, ia justru langsung merujuk
kepada Nabi Muhammad saw, Jalal menganggap tindakan tersebut adalah
sebuah tadlis. Sedangkan di dalam ilmu hadis tindakan tadlis dapat membuat
status sebuah hadis menajdi lemah. Maka meskipun hadis tersebut terdapat di
dalam Sahih Bukhari hadis ini tetap lemah menurutnya.
Permasalahan ini sesungguhnya telah dibahas
oleh Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam Thabaqat al-Mudallisin. Menurut
Ibnu Hajar, kasus seperti di atas disebut sebagai mursal sahabi dimana
memang ada beberapa sahabat yang melakukannya sebab usia mereka yang masih
muda, seperti Ibnu Abbas atau Anas bin Malik. Secara kebahasaan, tindakan ini
memang sama dengan tadlis. Namun demikian, tindakan ini tidak
boleh disbutkan sebagai tadlis. Alsaan yang dikemukakan Ibnu
Hajar adalah, pertama istilah tadlis berkonotasi buruk
sehingga tidak pantas disematkan kepada para sahabat. Kedua karena memang tadlis hanya
disebutkan kepada mereka yang menyembunyikan seorang rawi cacat yang bila
disebutkan akan menurunkan kualias hadis tersebut. Tindakan menyembunyikan rawi
lemah agar hadisnya diterima adalah praktik yang tidak dijumpai pada masa
sahabat.
Seorang sahabat, al-Barra’ diriwiyatkan
pernah berkata, “tidak semua yang kami sampaikan kepada kalian betul-betul kami
dengarkan langsung dari Nabi saw tapi ada yang disampaikan kepada kami oleh
sahabat yang lain, dan kami tidak pernah berdusta (atas nama Nabi)”, ucapan
senada juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Selain itu sudah jamak diketahui
bahwa kebiasaan para sahabat adalah yang hadir menyampaikan pelajaran
Rasulullah kepada yang tidak sempat hadir ketika itu. Dalam rangka melakukan
hal tersebut, tidak mungkin para sahabat melakukan kedustaan.
Olehnya Ibnu Hajar berkesimpulan bahwa
perbuatan para sahabat tersebut tidak sama sifatnya dengan praktik tadlis yang
disebutkan di dalam ilmu hadis. Pemeriksaan rawi hanya dilakukan kepada
para rawi setelah sahabat sebab sudah menjadi kesepakatan bawa semua sahabat
adalah adil sehingga bila mereka tidak disebutkan oleh sahabat lain dalam
rantai periwayatan, hadis tersebut tidak akan cacat.
Lebih dari itu, tuduhan bahwa di dalam
riawayat hadis ini ada sahabat yang tidak disebutkan antara Rasulullah saw dan
Ibnu Abbas ra bukanlah satu-satunya penjelasan terhadap “keganjilan” hadis ini.
Ada kemungkinan lain bahwa sebenarnya Ibnu Abbas memang telah mendengarkan
hadis ini secara langsung, tapi beliau menceritakan ulang kisah Nabi Muhammad
dengan gaya seperti di atas. Bila kejadiannya demikian berarti tuduhan tadlis
terhadap Ibnu Abbas tidak tepat. Alternatif penjelasan ini diberikan oleh Dr.
Zainuddin MZ di dalam kuliah kami. Beliah adalah guru besar Ilmu Hadis di UMS,
UNIDA dan insya Allah sebentar lagi di salah satu Univ di Arab Saudi.
2. Kontradiksi
Hadis Ibnu Abbas dengan Hadis Lain
Hadis dari Ibnu Abbas ini dituding
bertentangan isinya dengan hadis lainnya tentang pausa asyura. Di dalam hadis
ini disebutkan bahwa Nabi mulai melaksanakan puasa asyura setelah tiba di
Madinah padahal di hadis-hadis lain disebutkan bahwa beliau tidak sempat
melaksakannya sebab umur beliau tidak sampai pada hari asyura tahun
berikutnya. Di hadis lainnya dari Aisyah, disebutkan bahwa Nabi sudah
melaksanakan puasa ini sejak masa Jahiliyah. Sedangkan di hadis lain dari
Muawaiah disebutkan Nabi memerintahkan puasa asyura pada saat haji wada’.
Dalam menjawab tudingan ini, perlu untuk
menyampaikan hadis-hadis yang dimaksud oleh kang Jalal ini. Hadis yang dianggap
menyatakan bahwa Nabi tidak sempat melaksanakan puasa asyura sebab umur beliau
tidak sampai adalah hadis berikut ;
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنِي
إِسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا غَطَفَانَ بْنَ طَرِيفٍ
الْمُرِّيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا يَقُولُا : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin
Ali Al Hulwani telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepadaku Isma'il bin
Umayyah bahwa ia mendengar Abu Ghathafan bin Tharif Al Murri berkata, saya
mendengar Abdullah bin Abbas radliallahu 'anhuma berkata saat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari 'Asyura`dan juga memerintahkan
para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah,
itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani."
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada tahun depan
insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram)." Tahun
depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
wafat. (HR. Muslim)
Di dalam hadis ini disebutkan bahwa
puasa yang tidak sempat dilakukan oleh Nabi Muhammad saw karena umur beliau
tidak sampai adalah puasa pada hari tasu’ah, tanggal 9
Muharram. Jadi tudingan kang Jalal ini telah keliru, hadis ini sama sekali
tidak bertentangan dengan hadis Ibnu Abbas yang menyatakan Nabi melaksanakan
puasa pada tanggal 10 Muharram.
Hadis berikutnya yang dianggap bertentangan
dengan hadis Ibnu Abbas adalah hadis Aisyah di dalam Sahih Bukhari dan Muslim
yang menunjukan bahwa puasa asyura telah dilaksanakan oleh Rasulullah sebelum
hijrah ke Madinah. Hadis tersebut berbunyi ;
حدثنا قتيبة بن سعيد ، حدثنا الليث ، عن يزيد بن أبي
حبيب أن عراك بن مالك حدثه أن عروة أخبره ، عن عائشة ، رضي الله عنها ، أن قريشا
كانت تصوم يوم عاشوراء في الجاهلية ثم أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيامه
حتى فرض رمضان وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من شاء فليصمه ، ومن شاء أفطر.
Dari Aisyah RA, sesungguhnya orang-orang
Quraisy dulu pada masa jahiliyah berpuasa pada hari asyura. Rasulullah pun
memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu hingga turunnya perintah wajib puasa
Ramadhan. Rasulullah (setelah wajibnya puasa Ramadhan) berkata barang siapa
menghendaki maka ia boleh berpuasa asyura sedangkan yang tidak mau puasa maka
tidak mengapa. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sekilas memang hadis di atas tampak
bertentangan dengan isi hadis Ibnu Abbas, tapi sesungguhnya bila diteliti lebih
dalam tidaklah demikian, bahkan kedua hadis ini saling menguatkan tentang
sunnahnya puasa asyura. Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam Fath
al-Bari menjelaskan hal tersebut[1] ; ketika di Mekah, Nabi Muhammad
memang melaksanakan puasa asyura bersama dengan orang-orang suku Quraisy tapi
alasan mereka melakukan puasa berbeda dengan alasan orang-orang Yahudi. Menurut
Imam al-Qurtubi, sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Hajar, tradisi puasa hari
asyura orang-orang Quraisy diwarisi dari ajaran Nabi Ibrahim yang masih
bertahan seperti halnya haji. Di dalam hadis Aisyah yang lain disbutkan salah
satu sebab spesifiknya bahwa hari itu adalah hari ditutupinya Ka’bah ;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
: كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ وَكَانَ يَوْمًا
تُسْتَرُ فِيهِ الْكَعْبَةُ فَلَمَّا فَرَضَ اللَّهُ رَمَضَانَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ
فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ
Dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata:
"Orang-orang melaksanakan shaum hari kesepuluh bulan Muharam ('Asyura')
sebelum diwajibkan shaum Ramadhan. Hari itu adalah ketika Ka'bah ditutup dengan
kain (kiswah). Ketika Allah subhanahu wata'ala telah mewajibkan shaum Ramadhan,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsipa yang mau
shaum hari 'asyura' laksanakanlah dan siapa yang tidak mau tinggalkanlah".(HR Bukhari)
Nabi turut melaksanakan puasa pada hari
asyura tersebut tentu saja dengan izin dari Allah. Kemudian ketika Nabi
Muhammad saw berhijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi Madinah
juga melakukan puasa pada hari asyura. Rasulullah pun menanyakan hal tersebut
sebab sebelumnya beliau melaksanakan puasa asyura mengikut tradisi
Ibrahim yang masih tersisa. Ternyata keterangan dari orang-orang Yahudi Madinah
memberikan alasan lain bahwa hari asyura juga terjadi peristiwa diselamatkannya
Musa dari Fir’aun. Sebagai penutup risalah para nabi dan rasul, Nabi Muhammad
merasa lebih berhak melaksanakan puasa tersebut sehingga ia menegaskan kembali sunnahnya
puasa asyura. Demikian penjelasan Ibnu Hajar di dalam al-Fath.
3) Nabi Menirut Tradisi Yahudi?
Jawaban untuk gugatan ini sebenarnya telah
termuat di dalam penejasan sebelumnya. Nabi Muhammad sama sekali tidak
mengikuti tradisi Yahudi sebab sebelum bertemu dengan orang-orang Yahudi
Madinah pun beliua telah melakukan puasa asyura. Selanjutnya, bila kita
perhatikan memang ada aspek ibadah umat Islam yang awalnya sama dengan Yahudi
lalu berubah ketika ajaran Islam semakin purna pewahyuannya seperti kiblat.
Awalnya kiblat umat Islam adalah Baitul Maqdis, lalu berubah menjadi Ka’bah.
Puasa asyura masuk dalam kategori ini, awalnya Nabi Muhammad berpuasa pada hari
yang sama dengan Yahudi Madinah, tapi selanjutnya beliau memberikan pembedaan seperti
ditunjukan dalam hadis Ibnu Abbas yang telah disebutkan di atas dimana beliau
ingin puasa pada hari kesembilan tapi umurnya tidak sampai lagi.
4) Puasa asyura pada 10 Muharram,
padahal Nabi tiba di madinah Rabilul Awal
Keberatan semacam ini hanya didapatkan jika
kita memahami hadis Ibnu Abbas di atas dengan memakai terjemahan bahasa
Indonesianya. Di dalam hadis tersebut tidak ada indikasi Nabi menanyakan
perihal puasa kepada orang-orang Yahudi tepat ketika ia tiba di Madinah. Di
dalam riwayat-riwayat yang bercerita tentang peristiwa hijrah atau tibanya
Rasulullah di Madinah, tidak ada yang menyebutkan peristiwa percakan beliau
dengan Yahudi mengenai puasa asyura. Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan di
dalam Fath al-Bari bahwa di dalam ucapan Ibnu Abbas pada hadis
itu ada kalimat yang mahdzuf, yaitu kalimat yang tidak
disebutkan sebab sudah bisa difahami secara implisit. Kalimat tersebut adalah ;
قدم النبي صلى الله عليه و سلم المدينة فأقام إلى يوم
عاشوراء فوجد اليهود فيه صياما
Artinya ; Nabi tiba di Madinah lalu menetap
di sana hingga tiba hari asyura (10 Muharram), pada hari itu beliau mendapat
orang-orang Yahudi sedang berpuasa.
5) Tidak ada
tradisi puasa 10 Muharram dalam agama Yahudi.
Sebenarnya di dalam agama Yahudi terdapat
praktik yang memiliki kemiripan dengan puasa asyura, yakni
hari Yom Kippur. Hari Yom Kippur terletak pada tanggal 10 bulan ketujuh dalam
penanggalan Yahudi. Seorang Yahudi Dr. Eliezer Segal bahkan menyebut hari asyura sebagai
“Islamic Yom Kippur” di dalam bukunya yang berjudul “Holidays, History, and
Halakhah”. Dr. Eliezer Segal adalah profesor studi agama di
University Calgary yang merupakan pemegang gelar PhD dalam studi Talmud dari
Hebrew University Jerusalem. Analisanya tentang puasa asyura dan Yom Kippur
juga bisa dibaca di artikel di situs pribadinya di sini (http://people.ucalgary.ca/~elsegal/Shokel/880909_Islam_Kippur.html
Orang-orang Yahudi menanggap hari Yom Kippur sebagai hari pembebasan dan
melakukan puasa pada hari tersebut. Bisa saja masyarakat Yahudi di Madinah pada
masa hidupnya Nabi Muhammad saw merayakan hari tersebut pada bulan Muharram
sesuai penanggalan orang-orang Arab sebab mereka telah terasimilasi dengan
orang-orang Arab.
Setelah diskusi singkat mengenai buah pikiran dan hasil “kritik
matan” ala Kang Jalal terhadap hasis puasa Asyura di atas, kiranya jelsa bahwa
tudingan-tudingan beliau mengandung kecacatan. Kecacatan itu Nampak begitu argument-argumen
beliau dilatakkan di bawah terang ilmu hadis dan di hadapan sajian fakta
sejarah. Yah, hikmah yang diperoleh dari hadirnya tokoh-tokoh seperti beliau
ini adalah kita jadi termotivasi untuk kembali membuka-buka turats, mencermati
narasi-narasi riwayat, dan berlatih menyusun simpulan yang pas. Lalu tentu
saja, sebuah hadis sahih tidak layak langsung kita tolak hanya karena seseorang
yang dianggap cendekiawan menafikannya dengan dalih kritik matan, kritik validitas
dan sejenisnya.