Abstrak
This paper discussed the methods used by
‘Ā’isyah as benchmark in criticizing matan hadith. The accusation against Islam
about the lack of methodology in the study of hadith criticism, especially
matan criticism, has forced contemporary Islamic scholars to create a method
that can be used to criticize the substance of hadith. Indeed, the principles
in criticized matan hadith have been made and used by ‘Ā’isyah. The ‘Ā’isyah
manhaj of matan criticism has been tested the reliability. The writer concluded
that the methodology of ‘Ā’isyah manhaj of criticism was proven reliable for
tested the authenticity of hadith by used the correspondence of truth and
coherence theories in philosophical epistemology as the method of analysis.
Keywords: teori korespondensi, teori koherensi, kritik
matan.
Pendahuluan
Otentitas hadis telah menjadi perhatian para
sarjana Islam klasik sejak masa awal Islam. Untuk itu mereka membuat kriteria
bagi suatu hadis apakah hadis tersebut dapat diterima sebagai alat legitimasi
atau tidak. Kriteria itu mencakup kriteria eksternal (al-khārijī) dan
internal (al-dākhilī).[1]
Namun dalam perjalanan panjang diskursus hadis, kriteria ini mendapat sorotan
bahkan kritikan tajam dari para sarjana barat dan tidak sedikit pula sarjana
Islam,[2]
karena kriteria ini dianggap - meskipun mencakup dua unsur kriteria - hanya
menekankan pada uji eksternal, dan cenderung mengabaikan pada uji internal.
Hal demikian sesungguhnya dapat dimaklumi
karena memang para sarjana Islam klasik ketika melakukan uji validitas internal
hadis lebih menekankan pada format matan; apakah ada tambahan (ziyādah),
sisipan (idrāj), pembalikan (iqlāb) atau pengurangan (nuqshān)
yang dapat mengakibatkan adanya pertentangan dalam hadis atau antar hadis yang
kemudian akan berimplikasi terhadap lemahnya suatu hadis. Mereka (sarjana Islam
klasik) sedikit sekali - untuk mengatakan tidak sama sekali - memberikan
perhatian terhadap substansi matan hadis yang sebenarnya tidak kalah penting
untuk mendapat pengujian.[3]
Melihat kritikan-kritikan tajam tersebut,
sarjana Islam kontemporer tidak tinggal diam, dan kemudian mencoba merumuskan
sebuah metode (manhaj) untuk menguji aspek internal suatu hadis,
khususnya dari segi substansi matannya. Uji internal hadis semacam ini, dalam
perkembangannya, lazim disebut dengan nama kritik matan hadis. Ṣalāḥuddīn
al-Adlabī dan Musfir ad-Dumainī adalah dua nama sarjana Islam kontemporer yang
mencoba merumuskan kaidah-kaidah uji validitas internal hadis atau kaidah
kritik matan hadis. Dua karya mereka secara berurutan ialah Manhaj Naqd
al-Matn ‘inda ‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ an-Nabawī dan Maqāyīs Naqd Mutūn as-Sunnah.
Al-Adlabī dalam karyanya memaparkan bahwa
substansi dari suatu hadis tidak boleh bertentangan dengan (a) al-Qur’an, (b)
hadis yang telah diterima keotentikannya, (c) akal, dan (d) sejarah. Selain itu
juga harus mengindikasikan bahwa hadis itu adalah kalam Rasulullah.[4]
Sementara ad-Dumainī membedakan antara kriteria yang dimiliki ahli hadis dan
fukaha. Menurutnya, di kalangan ahli hadis suatu hadis akan menjadi daif karena
mengandung unsur inkoherensi, yaitu bertentangan dengan (a) al-Qur’an, (b) hadis
atau sunah yang telah terbukti otentik, (c) hadis atau sunah yang telah mapan,
(d) bahasa arab yang benar, (f) fakta sejarah, prinsip dan kaidah syariah yang
sudah tetap, dan (g) akal sehat.[5]
Sedangkan di kalangan fukaha, matan hadis adalah makbul apabila koheren, dan
sebaliknya ditolak apabila bertetangan dengan (a) al-Qur’an, (b) hadis yang
telah terbukti otentik, (c) ijmak, (d) praktik sahabat, (e) qiyas, (f) prinsip
umum syari’ah, dan (g) kelaziman dalam hal yang umum terjadi.[6]
Kriteria-kriteria inilah yang sekarang menjadi acuan utama para sarjana dan
ilmuwan dalam melakukan penelitian matan untuk mendapatkan suatu berita yang
benar dari suatu hadis. Kriteria-kriteria tersebut pada satu sisi dianggap bisa
memfilter berita-berita yang tidak otentik dan pada sisi yang lain dapat tetap
mengawal dan menjaga kebenaran suatu berita yang terkandung dalam suatu hadis.
Jauh sebelum dirumuskannya kriteria-kriteria
penelitian matan oleh sarjana Islam kontemporer seperti tersebut di atas,
sesungguhnya prinsip-prinsip dari kriteria tersebut telah diaplikasikan sejak
zaman sahabat dan dilakukan oleh sahabat sendiri. Dari sekian sahabat yang
menerapkannya, nama ‘Ā’isyah binti Abī Bakr adalah nama yang paling masyhur.
Istri baginda Rasul yang terkenal kritis dan cerdas ini bisa dikatakan
merupakan seorang sahabat yang memberikan kontribusi signifikan dalam
pengembangan ilmu hadis, khususnya yang berkaitan dengan kritik internal.
Bahkan berdasarkan pembacaan penulis selama ini, tidak berlebihan jika
dikatakan ‘Ā’isyah-lah orang pertama yang menjadi pendiri tonggak utama kaidah
kritik matan dalam dikursus ilmu hadis.[7]
Dalam tulisan ini penulis mencoba menguraikan
apa saja metode yang dijadikan tolok ukur ‘Ā’isyah dalam mengkritisi matan
hadis? dan kemudian setelah diketahui, pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimanakah reliabitas (mauṡūqiyyah) tolok ukur tersebut?
Biografi Singkat ‘Ā’isyah ra.
‘Ā’isyah adalah salah satu anak perempuan dari
Abū Bakr ibn Abū Quḥāfah Ūṡman ibn ‘Āmir ibn ‘Amr ibn Ka‘b ibn Sa‘ad ibn Taim
ibn Marrah ibn Ka‘b ibn Lu’ai, seorang sahabat besar yang diberi gelar aṣ-Ṣiddīq.[8]
Ibunya bernama Ummu Rūmān binti ‘Āmir ibn ‘Uwaimir ibn ‘Abd asy-Syams ibn ‘Ītab
Ażinah al-Kināyah.[9]
Nama ‘Ā’isyah diambil dari kata al-‘Aisy. Ada juga yang berpendapat diambil dari
kata ‘Aisyah.[10]
Ia dijuluki dengan beberapa laqab (julukan). Ḥumairā’, Binti aṣ-Ṣiddīq
dan Binti Abī Bakr adalah julukan-julukan yang biasa digunakan untuk
memanggilnya. Sementara kunyah-nya (nama panggilan) ialah Ummu
‘Abdillāh.[11]
‘Ā’isyah terlahir di tengah keluarga yang
telah diterangi cahaya gemilang Islam. Dia memiliki saudara perempuan bernama
Asmā’ binti Abī Bakr[12]
dan saudara laki-laki bernama ‘Abd ar-Rahmān ibn Abī Bakr.[13]
Kedua orang tuanya termasuk orang-orang yang paling awal masuk Islam (as-sābiqūna
al-awwalūn) setelah datang risalah Rasulullah kepada masyarakat Mekah saat
itu.[14]
‘Ā’isyah lahir di kota tersebut (Mekah) sekitar tahun keempat kenabian.[15]
Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga Arab asli yang terhormat. Kehormatan
tersebut didapat dari garis keturunan ayahnya yang masih tergolong keluarga
kabilah Taim, yang notabene salah satu kabilah bangsawan di Mekah. Keberadaanya
di tengah lingkungan tersebut, membuat ‘Ā’isyah tidak pernah menyentuh
kemusyrikan yang menjadi penyakit masyarakat Mekah ketika itu.[16]
Masa kecil yang dilalui ‘Ā’isyah sedikit
berbeda dengan masa kecil anak-anak sebayanya. Di umurnya yang masih amat
belia, ia sudah harus menjadi seorang istri bagi seorang lelaki yang sangat
mulia. Tepat ketika umurnya menginjak tahun ke-6, Rasulullah menjadikannya
istri.[17] Setelah
pernikahannya dengan Rasulullah dihelat, ‘Ā’isyah tidak kemudian langsung
tinggal bersama Nabi. Nabi dengan penuh kebijaksanaan melihat bahwa saat itu
‘Ā’isyah memang masih belum saatnya menjadi istri ‘seutuhnya’. Oleh karenanya
Rasulullah ketika itu mempersilahkan kepada ‘Ā’isyah untuk tinggal bersama
orang tuanya terlebih dahulu. Baru ketika umurnya 9 tahun, tinggallah ‘Ā’isyah
bersama Nabi di Madinah dalam satu atap rumah dan Nabi mulai ‘mempergaulinya’.
Dalam perjalanan rumah tangganya bersama
manusia terbaik, Muḥammad ibn ‘Abdullāh, ‘Ā’isyah bukan tanpa cobaan.
Predikatnya sebagai istri dari musuh nomor satu kaum kafir Quraisy dan orang
munafik, membuatnya menjadi sasaran empuk mereka. Cobaan paling berat yang menimpa
‘Ā’isyah adalah ketika ia difitnah oleh ‘Abdullāh ibn Ubai ibn Salūl, salah
seorang munafik di zaman Nabi. Oleh ‘Abdullāh ibn Ubai ibn Salūl, ‘Ā’isyah
difitnah melakukan serong dengan Ṣafwān ibn Mu‘aṭṭal. Peristiwa yang sering
disebut Ḥadīṡ al-Ifki (kejadian dusta) ini terjadi setelah kaum muslimin
selesai perang dengan Bani Muṣṭaliq pada bulan Syakban tahun ke-5 H, yang
diikuti pula oleh orang-orang munafik. Pada saat fitnah itu menyebar, Allah
membebaskannya dari tuduhan dusta tersebut dengan menurunkan firman-Nya surat
an-Nūr ayat 11-26.[18]
Firman Allah ini membebaskan dan membuktikan bahwa ‘Ā’isyah adalah seorang
wanita suci yang tidak pernah terkotori oleh perbuatan keji.[19]
Setelah diuji dengan berita dusta yang
dituduhkan kepadanya dalam Ḥadīṡ al-Ifki, selang beberapa waktu lamanya ‘Ā’isyah
mengalami kembali ujian yang tidak kalah besar dan berat dari peristiwa
tersebut. Adalah peristiwa yang dikenal dengan al-fitnah al-kubrā
(fitnah besar). Berawal dari terbunuhnya Khalifah ‘Uṡmān, timbullah perpecahan
di antara para sahabat. Di satu sisi ada kelompok Ṭalḥah dan Zubair yang
mendapat dukungan dari ‘Ā’isyah, dan di sisi lain ada kelompok ‘Alī ibn Abī Ṭālib.
Dua kelompok yang bertemu dalam pepeperangan sengit ini memperebutkan posisi
Khalifah.[20]
Peperangan inilah yang disebut dengan perang Jamāl, yang terjadi di Irak pada
pertengahan bulan Jumadil Akhir tahun 36 H. Satu peperangan yang berdampak
sangat besar terhadap peradaban Islam sampai saat ini.[21]
Akhirnya, pada hari selasa tanggal 17 Ramadan
tahun 58 H, Allah swt. memanggil ‘Ā’isyah untuk berjumpa dengan-Nya. Di atas
bumi Madinah, ‘Ā’isyah menghembuskan nafas terakhir dalam keadaannya sebagai
muslimah sejati. Ia dimakamkan di suatu daerah bernama Baqī‘ dan dihadiri oleh
banyak kaum muslimin ketika itu, dengan Abū Hurairah yang bertindak menjadi
imam atas permintaannya sendiri sebelum berpulang.[22]
‘Ā’isyah benar-benar telah memberikan
sumbangsih besar bagi umat Islam. Ia meninggalkan jejak-jejak gemilang untuk
diteladani umat Muḥammad. Semoga ampunan dan rida Allah selalu tercurah
padanya.
Sisi Keistimewaan ‘Ā’isyah ra.
‘Ā’isyah adalah perempuan yang istimewa dan
memiliki banyak keutamaan. Seorang ulama bernama Badruddīn Az-Zarkasyī,
menghimpun keutamaan-keutaman ‘Ā’isyah tersebut sebanyak 40.[23]
Selain itu, ‘Ā’isyah juga termasuk perempuan yang memiliki kecerdasan
intelektual yang tinggi. Kebersamaan ‘Ā’isyah yang cukup lama dengan Rasulullah
merupakan salah satu faktor dominan mengapa ia memiliki kecerdasan seperti itu.
Perempuan yang dinikahi Rasulullah sejak kecil ini, banyak menyerap dan menimba
ilmu langsung dari ayahnya sendiri, Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq dan sang suami,
Rasulullah.[24]
Keintelektualan ‘Ā’isyah itupun tidak terbatas
hanya dalam satu bidang ilmu an sich, namun mencakup beberapa bidang. Di
antara bidang ilmu yang dikuasai ‘Ā’isyah antara lain: faraid,[25]
kedokteran,[26]
genealogi,[27]
syair,[28]
fikih,[29]
tafsir[30]
dan hadis.[31]
Seseorang tidak mungkin akan memiliki
keutamaan dan kecerdasan intelektual di atas rata-rata orang pada umumnya,
tanpa didukung oleh kualitas keagamaan (kesalehahan) yang dimiliki. Hal
tersebut juga berlaku pada ‘Ā’isyah, istri baginda Rasul. Di balik keutamaan
dan kecerdasaanya, ‘Ā’isyah adalah seorang wanita yang sangat salehah. Ia
adalah seorang wanita yang taat beribadah, dermawan, zuhud dan warak.[32]
Keselarasan antara kecerdasan, keutamaan dan
kesalehahan ‘Ā’isyah inilah yang menjadikannya sebagai wanita yang begitu
istimewa dan menempati posisi yang tidak tergantikan di sisi Rasulullah saw..
‘Ā’isyah menjadi simbol wanita muslimah yang cerdas, salehah dan memiliki
kekritisan. Meskipun demikian harus tetap diakui bahwa ‘Ā’isyah juga adalah
manusia biasa yang pasti pernah berbuat kekeliruan dan kesalahan, karena ia
adalah manusia biasa yang tidak maksum.
Kritik Matan ‘Ā’isyah ra.
Dalam konteks penelitian hadis, menguji
validitas sanad adalah hal mutlak pertama yang harus dilakukan oleh seorang
peneliti. Penelitian seorang peneliti terhadap sebuah hadis akan sia-sia belaka
jika sebelumnya ia tidak melakukan uji validitas sanad terlebih dahulu.
Kalaupun matannya sahih dan terbebas dari pertentangan, namun jika sanad atau
jalur transmisi yang membawa materi hadis itu tidak valid, maka hadis tersebut
tidak dapat diterima dan dijadikan hujah. Oleh karenanya dalam hal ini
melakukan uji validitas sanad sebelum melakukan penelitian matan adalah
keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh seorang peneliti hadis.[33]
Lalu pertanyaannya, apakah pada periode
sahabat ketika sanad itu belum terlalu panjang, ‘Ā’isyah telah mempraktekan uji
validitas sanad atau kritik sanad? Penting untuk diketahui terlebih dahulu,
bahwa penelitan sanad pada masa awal Islam (periode sahabat) berbeda dengan
penelitian-penelitian sanad yang ada pada zaman sekarang. Bila sekarang seorang
peneliti harus menelusuri biografi dan penilaian para ulama al-jarḥ wa
at-ta‘dīl terhadap seorang perawi ke dalam berbagai kitab tarājim
dan ṭabāqāt (kitab biografi), maka pada periode sahabat hal-hal seperti ini tidak dilakukan. Beberapa
sebabnya, antara lain bahwa kitab-kitab biografi tersebut baru muncul pada
sekitar abad ke-2 H,[34]
jauh setelah periode sahabat berakhir. Selain itu, karena materi hadis yang
baru terdistribusi di antara para sahabat[35]
dan sedikit dari tabiin, serta predikat sahabat yang semuanya ‘ādil
(bermoral tinggi)[36]
membuat penelitian sanad pada periode tersebut belum terlalu detail dan
tersistem seperti sekarang. Namun demikian, benih-benih kritik sanad telah ada
sejak periode itu, dan dilakukan oleh para sahabat sendiri, khususnya juga oleh
‘Ā’isyah yang menjadi figur central dalam tulisan ini.
Para sahabat besar seperti Abū Bakr, ‘Umar ibn
al-Khaṭṭab, ‘Uṡman ibn ‘Affān dan ‘Alī ibn Abī Ṭālib telah mempraktekan kritik
sanad dengan metode mereka masing-masing untuk memastikan validitas dari sebuah
hadis. Misalnya ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubai ibn
Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dari Ubai, setelah para
sahabat yang lain, di antaranya Abū Żarr menyatakan telah mendengar pula hadis
Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubai tersebut.[37]
Tidak hanya itu, Abū Mūsā al-Asy‘arī ketika meriwayatkan sebuah hadis tentang
perintah kepada seseorang agar pulang apabila setelah tiga kali salam tidak
dijawab oleh empunnya rumah, juga dimintai saksi oleh ‘Umar. Ketika itu Ubai
ibn Ka‘ab yang menjadi saksi baginya.[38] Kemudian sikap ‘Alī ibn Abī Ṭālib juga tak
jauh berbeda ketika menerima riwayat hadis. Secara umum, ‘Alī barulah bersedia
menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayat hadis yang bersangkutan
mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal
dari Nabi.[39]
Dari sini dapat diketahui bahwa para sahabat
telah menggunakan beberapa metode untuk memastikan keotentikan sebuah hadis,
seperti dengan pengambilan sumpah dan meminta saksi dari sahabat yang lain.
Metode seperti ini merupakan bentuk kehati-hatian (iḥṭiyāṭ) mereka dalam
menerima suatu hadis dari seorang perawi.
Adapun yang dilakukan ‘Ā’isyah dalam hal ini
agak sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat. Kritik sanad
yang dilakukan oleh ‘Ā’isyah telah lebih ‘berani’ bila dibandingkan dengan yang
lain. ‘Ā’isyah menitikberatkan pada bagaimana ia mengungkapkan kekeliruan yang
dilakukan sahabat. Hal ini bukan berarti bahwa ‘Ā’isyah menuduh dusta kepada
para sahabat yang membawa hadis secara keliru. Akan tetapi dalam hal ini ia
hanya berusaha menjelaskan apa yang menurutnya benar, demi terjaganya sunah
Nabi. Terbukti para sahabat yang dikritisi ‘Ā’isyah adalah mereka yang tidak
diragukan lagi integritas akhlaknya.[40]
Mengenai kekeliruan sahabat tersebut disebabkan
karena beberapa faktor: (1) kesalahan sahabat dalam meriwayatkan hadis; (2) sahabat
lupa (kurang hafal) terhadap riwayat, sehingga mereka meriwayatkannya dengan
tidak benar; (3) Pemahaman yang kurang tepat terhadap sebagian hadis; (4) tidak
mengetahui asbāb al-wurūd hadis, sehingga tidak dapat membedakan mana
hadis yang sifatnya ‘ām (general word), khās (specific
term), muqayyad (confined) atau muṭlaq (unrestricted
word): (5) tidak mengetahui bahwa hadis yang diriwayatkannya telah di-mansūkh
(dihapus); dan (6) kurangnya pengetahuan sahabat terhadap hadis yang
diriwayatkannya, sehingga mereka salah dalam berfatwa.[41]
Satu contoh misalnya ketika ‘Ā’isyah
mengkritik Abū Hurairah dalam riwayat berikut.
عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَائِشَةَ
فَدَخَلَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقَالَتْ أَنْتَ الَّذِي تُحَدِّثُ أَنَّ امْرَأَةً
عُذِّبَتْ فِي هِرَّةٍ لَهَا رَبَطَتْهَا فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَسْقِهَا ؟ فَقَالَ سَمِعْتُهُ مِنْهُ يَعْنِي النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَبْد اللَّهِ كَذَا قَالَ أَبِي
فَقَالَتْ هَلْ تَدْرِي مَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ ؟ إِنَّ الْمَرْأَةَ مَعَ مَا
فَعَلَتْ كَانَتْ كَافِرَةً وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ مِنْ أَنْ يُعَذِّبَهُ فِي هِرَّةٍ فَإِذَا حَدَّثْتَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْظُرْ كَيْفَ تُحَدِّثُ[42]
“Dari ‘Alqamah, ia berkata: Kami sedang berada
bersama ‘Ā’isyah, lalu Abū Hurairah datang. ‘Ā’isyah lantas berkata
(kepadanya): Engkau yang mengatakan bahwa perempuan disiksa karena seekor
kucing yang ia ikat, lalu ia tidak memberinya makan dan minum? Abū Hurairah
menjawab: Aku mendengar darinya, yaitu Nabi saw.. ‘Abdullāh berkata: Ayahku
mengatakan yang demikian juga. ‘Ā’isyah berkata: Apakah engkau tahu siapa
perempuan itu? Sesungguhnya perempuan yang melakukan itu adalah perempuan
kafir, dan sungguh orang mukmin itu lebih mulia di sisi Allah dari pada orang
yang diazab karena kucing tersebut. Oleh karena itu ketika engkau berbicara
tentang Rasulullah saw. (hadis), perhatikanlah apa yang engkau katakan.”
‘Ā’isyah dalam hadis tersebut mengkritik sosok
Abū Hurairah sebagai perawi hadis (sanad). Abū Hurairah dianggapnya tidak
memperhatikan konteks ketika Nabi mengucapkan hadis tersebut (asbāb al-wurūd),
sehingga hadis yang seharusnya cakupannya muqayyad (confined)
dipahami Abū Hurairah menjadi muṭlaq
(unrestricted word). Dalam kesempatan lain, ‘Ā’isyah sering menggunakan
kata-kata seperti: akhṭa’a (ia telah salah), lam yaḥfaẓ (ia tidak
hafal) dan nasiya (ia lupa),[43]
untuk menilai sosok perawi (sanad) yang menyampaikan sebuah hadis. Kata-kata
tersebut bila dilihat dari perspektif ilmu al-jarḥ wa at-ta‘dīl dapat digolongkan
ke dalam bentuk jarḥ (celaan), meskipun sesungguhnya pada periode
sahabat ilmu ini belum lahir.
Menguji Hadis dengan al-Qur’an
Tolok ukur pertama yang digunakan ‘Ā’isyah dalam menilai matan hadis adalah
mengujinya dengan al-Qur’an.[44] Al-Qur’an
adalah kitab suci yang telah terjamin keotentikannya.[45]
Ia menjadi sumber utama ajaran Islam yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia. Ia tidak hanya sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan
Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta manusia
dengan alam sekitar.
Bila dilihat dari segi kekuatan hukum,
al-Qur’an berada di atas segalanya. Setiap yang menyimpang apalagi bertentangan
dengan al-Qur’an bisa dipastikan bahwa ia adalah sesuatu yang salah. Begitu
pula hadis, meskipun ia sama-sama menjadi sumber ajaran Islam, akan tetapi dari
segi otoritas, hadis berada di bawah al-Qur’an. Hal ini juga dipahami dengan
sangat baik oleh ‘Ā’isyah, bahwa sesuatu yang benar pasti tidak akan
bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu tolok ukur pertama yang digunakan
‘Ā’isyah dalam mengkritisi sebuah hadis adalah menguji materi yang terkandung
dalam hadis dengan apa yang termaktub di dalam al-Qur’an. Sehingga konsekuensi
dari penggunaan tolok ukur ini adalah menegasikan hadis-hadis yang bertentangan
atau menyimpang dari ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’an.
Contoh hadis yang dikritik ‘Ā’isyah dengan
menggunakan tolok ukur ini adalah hadis tentang perempuan, binatang ternak dan
rumah sebagai sumber kesialan.
عَنْ أَبِي حَسَّانَ الْأَعْرَجِ أَنَّ
رَجُلَيْنِ دَخَلَا عَلَى عَائِشَةَ فَقَالَا إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِنَّمَا
الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ قَالَ فَطَارَتْ شِقَّةٌ
مِنْهَا فِي السَّمَاءِ وَشِقَّةٌ فِي الْأَرْضِ فَقَالَتْ وَالَّذِي أَنْزَلَ
الْقُرْآنَ عَلَى أَبِي الْقَاسِمِ مَا هَكَذَا كَانَ يَقُولُ وَلَكِنَّ نَبِيَّ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ كَانَ أَهْلُ
الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّارِ وَالدَّابَّةِ
ثُمَّ قَرَأَتْ عَائِشَةُ { مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي
أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ[46]
“Dari Abū Ḥassān al-A‘raj, ia berkata: Ada dua
orang laki-laki mendatangi ‘Ā’isyah kemudian berkata (kepadanya): Sungguh Abū
Hurairah pernah bercerita bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
kesialan itu ada pada perempuan, binatang ternak dan rumah. Ia berkata:
Sebagiannya terbang ke langit dan sebagiannya di bumi. Lalu ‘Ā’isyah berkata:
Demi Dzat yang telah menurunkan al-Qur’an kepada Abū al-Qāsim (Rasulullah),
tidak seperti ini apa yang dikatakan Nabi, akan tetapi Nabi bersabda:
Orang-orang Jahiliyah itu berkata: Kesialan itu ada pada perempuan, rumah dan
binatang ternak. Kemudian ‘Ā’isyah membacakan ayat: “Tidaklah suatu musibah
yang menimpa bumi dan diri kalian kecuali telah ditetapkan di dalam kitab ...”
sampai akhir ayat ini.”
‘Ā’isyah dalam riwayat di atas mengkritik apa
yang telah diriwayatkan oleh Abū Hurairah mengenai sumber kesialan yang ada
pada tiga hal; perempuan, binatang ternak dan rumah. Menurut ‘Ā’isyah hadis
tersebut bertentangan dengan al-Qur’an surat al-Ḥadīd ayat 22 yang menyatakan
bahwa segala musibah yang menimpa manusia dan yang terjadi di dunia ini tidak
lain telah dituliskan oleh Allah sebelumnya. Apa yang datang dari Rasulullah
bersumber dari wahyu, sehingga tidak mungkin ia mengucapkan sesuatu yang
bertentangan dengan Kalamullah. Oleh karenanya untuk membuktikan bahwa hadis yang
diriwayatkan oleh Abū Hurairah itu keliru, ‘Ā’isyah mengujinya dengan ayat
al-Qur’an tersebut. Terbukti ada konteks atau latar belakang dari hadis
tersebut yang hilang, sehingga pembacaan terhadap hadis menjadi keliru.
‘Ā’isyah yang mengetahui kapan Rasulullah mengucapkan hadis tersebut
mengembalikan konteks yang hilang ke tempat asalnya.
Riwayat tersebut mencerminkan luasnya
pemahaman ‘Ā’isyah terhadap suatu hadis. Bahwa tidak mungkin suatu hadis yang
valid bertentangan dengan hukum-hukum atau penjelasan yang termaktub dalam
al-Qur’an.[47]
‘Ā’isyah juga memberikan contoh betapa kita harus dapat memahami sebuah hadis
secara komprehensif tanpa menggugurkan konteks kapan dan di mana hadis itu
terucap dari lisan Nabi.
Menguji Validitas Hadis dengan Hadis Lain
‘Ā’isyah adalah istri Nabi yang cukup lama hidup bersama Nabi. Apa yang ia
lihat, ia dengar dan ia dapat dari Nabi tentu berasal dari pergaulannya bersama
Nabi yang berkesinambungan dan holistis. Hal ini tentu berbeda dengan siapa
saja, termasuk para sahabat yang tidak memiliki kesempatan seperti apa yang
dimiliki ‘Ā’isyah tersebut. Dengan kesempatan yang dimiliki ‘Ā’isyah dan juga
ditunjang oleh kecerdasaan intelektualnya yang tinggi, membuat apa yang ia
peroleh dari Nabi lebih bisa dipertanggungjawabkan dan lebih dapat dipercaya.
Tolok ukur kedua yang dipakai ‘Ā’isyah dalam
menilai suatu matan hadis adalah dengan menguji hadis tersebut dengan hadis
lain yang ia ketahui.[48]
Dalam menggunakan tolok ukur ini, ‘Ā’isyah terkadang melakukannya dengan cara
mengkombinasikannya dengan al-Qur’an secara bersama-sama[49]
atau melakukannya murni dengan cara menguji hadis dengan hadis.[50]
Contoh hadis yang dikritik ‘Ā’isyah dengan
menggunakan tolok ukur ini adalah hadis tentang sai termasuk dari rukun haji.
قَالَ عُرْوَةُ سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا فَقُلْتُ لَهَا أَرَأَيْتِ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى {إِنَّ
الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوْ
اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} فَوَاللَّهِ مَا عَلَى
أَحَدٍ جُنَاحٌ أَنْ لَا يَطُوفَ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ بِئْسَ مَا
قُلْتَ يَا ابْنَ أُخْتِي إِنَّ هَذِهِ لَوْ كَانَتْ كَمَا أَوَّلْتَهَا عَلَيْهِ
كَانَتْ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَتَطَوَّفَ بِهِمَا وَلَكِنَّهَا
أُنْزِلَتْ فِي الْأَنْصَارِ كَانُوا قَبْلَ أَنْ يُسْلِمُوا يُهِلُّونَ لِمَنَاةَ
الطَّاغِيَةِ الَّتِي كَانُوا يَعْبُدُونَهَا عِنْدَ الْمُشَلَّلِ فَكَانَ مَنْ
أَهَلَّ يَتَحَرَّجُ أَنْ يَطُوفَ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَلَمَّا أَسْلَمُوا
سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا نَتَحَرَّجُ أَنْ نَطُوفَ بَيْنَ الصَّفَا
وَالْمَرْوَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ
شَعَائِرِ اللَّهِ} الْآيَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَقَدْ
سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا
فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَتْرُكَ الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا[51]
“‘Urwah berkata: Aku bertanya kepada ‘Ā’isyah ra., maka aku katakan kepadanya:
Apa pendapatmu mengenai firman Allah swt.: “Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah.
Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada
dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya.” Maka demi Allah, tidak ada dosa
pula bagi seorang pun untuk tidak melakukan tawaf antara Safa dan Marwah. ‘Ā’isyah
berkata : Sungguh jelek apa yang engkau katakan wahai anak
saudariku. Sesungguhnya ayat tersebut jika pengertiannya seperti yang engkau
takwilkan, (tentu itu akan berkonsekuensi) tidak ada dosa bagi siapa saja yang
tidak melakukan tawaf antara keduanya. Akan tetapi (sebenarnya) ayat tersebut
turun berkenaan dengan orang-orang Anshar ketika dahulu sebelum masuk Islam,
mereka berteriak sambil bertalbiyah kepada berhala Manat yang dulu
mereka sembah di daerah Musyallal; sehingga orang yang berihram merasa berdosa melakukan tawaf (sai) antara Safa dan
Marwah. Dan ketika mereka telah masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah saw. perihal tersebut. Mereka berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami merasa berdosa jika melakukan tawaf di Safa dan Marwah. Maka
(kemudian) Allah menurunkan ayat: “Sesungguhnya Safa dan Marwah
adalah sebagian dari syi’ar Allah (dan seterusnya ayat ini).” ‘Ā’isyah ra. berkata : “Dan sungguh Rasulullah saw. telah mentradisikan tawaf (sai) di antara keduanya. Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk
meninggalkan tawaf di antara keduanya.”
Dalam dialog antara ‘Ā’isyah dan
‘Urwah seperti yang tergambar dalam hadis tersebut, ‘Ā’isyah menggunakan metode
uji validitas hadis dengan hadis secara murni. Ia menguji riwayat yang
mengatakan tidak wajib sai dengan riwayat yang ia ketahui bahwa sai itu wajib,
sehingga menjadi salah satu rukun dalam haji. ‘Ā’isyah mengeliminir pendapat
‘Urwah dengan cara menyampaikan asbāb an-nuzūl ayat (latar belakang atau sebab turunnnya
ayat) tersebut.
Menguji Hadis dengan Qiyas dan Prinsip Dasar
Islam
Di samping al-Qur’an dan sunah (hadis), ‘Ā’isyah juga menggunakan tolok
ukur qiyas dan prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam ajaran Islam untuk
menguji validitas sebuah hadis.[52]
Qiyas yang dimaksud dalam hal ini bukanlah qiyas dalam pengertian Ushul Fikih,[53]
melainkan qiyas dalam arti bahasa, yang berarti membandingkan, mempersamakan
atau mengukur.[54]
Prisnip-prinsip dasar Islam juga digunakan oleh Ā’isyah, karena tolok ukur
ini termasuk dalam ketetapan Allah yang bersifat qaṭ‘ī (pasti, definitive
proof) dan tidak dapat terkalahkan oleh dalil yang sifatnya ẓannī
(dugaan, speculative). Prinsip dasar Islam yang digunakan oleh ‘Ā’isyah
dalam menguji suatu hadis bertujuan agar maksud-maksud syariat (Maqāṣid
asy-Syarī‘ah) dapat tercapai.[55]
Sehingga berdasarkan alur pikir Ā’isyah, apabila ada hadis yang dalam hal ini
sifatnya ẓannī bertentangan dengan prinsip dasar Islam, maka hadis
tersebut tidak dapat diterima atau paling tidak bermakna lain.
Contoh hadis yang dikritik ‘Ā’isyah dengan menggunakan tolok ukur ini adalah
hadis tentang lewatnya perempuan, anjing dan khimar yang dapat membatalkan
salat.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ الصَامِتِ قاَلَ سَمِعْتُ أَباَ ذَرٍّ يَقُوْلُ : قاَلَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَلَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ كَآخِرَةِ الرَّحْلِ أَوْ كَوَاسطَةِ الرَّحْلِ قَطَعَ صَلَاتَهُ الْكَلْبُ وَالْمَرْءَةُ وَالحِمَارُ ....[56]
“Dari ‘Abdullāh ibn aṣ-Ṣamiṭ berkata: Aku
mendengar Abū Żarr berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: Apabila seseorang
salat dan di depannya tidak ada semacam tiang setinggi pelana atau penanda
setinggi itu, maka batallah salatnya apabila seekor anjing, perempuan, dan
khimar melintas di depannya ...”
Hadis tersebut dikritik oleh ‘Ā’isyah dengan hadis berikut ini:
عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُ كِرَ
عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ
فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ ؟! وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ
فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ
رِجْلَيْهِ[57]
“Dari Masrūq, (ia meriwayatkan) dari Ā’isyah,
bahwa telah diceritakan kepadanya: Ada sesuatu yang bisa membatalkan salat,
yaitu: anjing, khimar, dan wanita. Kemudian ‘Ā’isyah berkata: Kalian menyamakan
kami (wanita) dengan khimar dan anjing!? Demi Allah, sungguh aku pernah melihat
Rasulullah saw. melakukan salat, sedangkan aku tiduran terlentang di atas
ranjang di antara beliau dan kiblat. Kemudian tampaklah keperluan bagiku (untuk
menyingkir), karena aku takut mengganggu beliau. Lalu aku pun berpindah dan
tidak menghalangi lagi kedua kakinya ...”
Hadis dari Abū Żarr yang menyatakan bahwa perempuan termasuk salah satu
dari tiga hal yang dapat membatalkan salat dikritik matannya oleh Ā’isyah.
Pertama kali yang dilakukan ‘Ā’isyah ketika mengkritik matan tersebut adalah
menganalogikan lewatnya perempuan di depan orang yang salat dengan peristiwa
riil yang pernah ia alami bersama Rasulullah. Bahwa ketika itu ‘Ā’isyah pernah
berbaring tiduran di depan Rasulullah yang sedang salat, sehingga posisinya
sampai menggangu Nabi.[58]
Jika memang benar lewatnya perempuan di depan orang yang salat dapat
membatalkan salat orang tersebut, maka kalau demikian berarti salat Rasulullah
juga batal. Pada kenyataannya, Rasulullah tetap melanjutkan salatnya dan dengan
berarti bahwa salat Rasulullah tidak batal.
Kritikan ‘Ā’isyah tidak cukup
berhenti di situ. Setelah ‘Ā’isyah melakukan uji validitas matan dengan
menggunakan tolok ukur qiyas, ia lalu mengujinya dengan prinsip dasar Islam[59]
yang telah menerangkan tentang bagaimana Islam memuliakan wanita. Salah satu
tujuan Islam datang adalah untuk mengangkat harkat wanita yang pada saat itu
benar-benar dalam kehinaan dan kerendahan. Islam benar-benar memberikan rahmat
dengan memposisikan wanita begitu mulia. Bahkan dalam nas-nas agama disebutkan
bahwa wanita yang notabene dalam hal ini juga merupakan kelompok manusia,
diciptakan dalam bentuk yang paling baik[60]
sekaligus menjadi khalifah Allah di muka bumi.[61]
Ini semua adalah prinsip dasar Islam yang ‘Ā’isyah gunakan untuk mengkritisi
suatu hadis.
Dalam hadis tersebut kritik ‘Ā’isyah menggunakan tolok ukur ini terindikasi
melalalui komentarnya “syabbahtumūnā bil-ḥumuri wal-kilāb (kalian
menyamakan kami dengan khimar dan anjing)”. Menyamakan wanita dengan khimar dan
anjing adalah salah satu bentuk pelecehan terhadap mereka. Kemulian yang telah
diberikan Islam, menjadi luntur ketika kaum wanita disamakan dengan kedua
binatang tersebut. ‘Ā’isyah yang menyadari bahwa maqāshid asy-syarī‘ah
harus terus dijaga, menjadikan prinsip dasar Islam menjadi tolok ukur dalam
menguji validitas hadis.
Teori Kebenaran Korespondensi dan Koherensi
dalam Studi Kritik Hadis
Hadis secara historis dapat diartikan sebagai
laporan sejarah yang dibingkai secara formal dalam berbagai macam kitab hadis.
Dalam filsafat epistemologi, dikembangkan beberapa teori kebenaran untuk
menguji suatu proposisi atau pernyataan (laporan) itu valid atau tidak. Namun
untuk mengkaji kebenaran laporan sejarah - seperti dikutip Syamsul Anwar - ada
dua teori yang dianggap relevan, yaitu teori korespondensi dan teori koherensi.[62]
Teori kebenaran korespondesi adalah teori yang
paling diterima oleh kelompok realis.[63]
Teori kebenaran ini mengatakan bahwa suatu pernyataan (berita) benar adalah
apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta; dan sebaliknya, apabila tidak
sesuai dengan fakta, maka pernyataan itu tidak benar. Intinya teori kebenaran
korespondensi adalah penekanan pada ekuivalensi kebenaran dengan kenyataan atau
fakta.[64]
John Hospers mengatakan,
“A proposition is true if it corresponds with a fact; for
instance, if it is a fact that you have a pet leopard, and if you say that you
have a pet leopard, your statement is true because it corresponds with the
fact. Truth is corresponds with fact.”[65]
Adapun menurut teori kebenaran koherensi,
ukuran kebenaran suatu pernyataan (berita) adalah kekoherensinya dengan
pernyataan-pernyataan terdahulu yang sudah diterima kebenarannya.[66]
Teori kebenaran ini sangat digemari oleh kelompok idealis.[67]
Robert C. Solomon dalam bukunya Introducing Philoshopy; A Text with
Integrated Readings menulis tentang pengertian teori kebenaran koherensi,
“The coherence theory of truth: which says that a
statement or a belief is true if and only if it “coheres” or ties in with other
statements and beliefs.”[68]
Pernyataan historis adalah pendapat yang
merupakan rekonstruksi yang dibuat oleh orang tidak sezaman mengenai suatu
bagian masa silam berdasarkan bukti-bukti yang ada. Sedangkan hadis bukan
rekonstruksi, melainkan laporan sezaman (dalam arti laporan dibuat oleh orang
yang langsung mengalami peristiwanya) yang dialirkan dari generasi ke generasi
secara apa adanya mengenai suatu peristiwa yang umumnya tunggal. Dengan kata
lain, hadis adalah laporan asli oleh saksi langsung terhadap peristiwa,
sementara pernyataan historis adalah pendapat yang dirumuskan oleh orang yang
tidak menyaksikan langsung peristiwa historis. Sudah barang tentu dalam
beberapa hal terdapat unsur opini dalam hadis itu, karena bagaimanapun laporan
sahabat itu dibuat sejauh kemampuan manusiawinya untuk menangkap peristiwa yang
dilaporkannya. Apalagi dalam banyak kasus hadis dilaporkan berdasarkan
maknanya, selain hurufnya. Namun demikian sifatnya tetap berbeda dengan
pernyataan historis yang direkonstruksi oleh sejarawan, karena dalam hadis
peristiwa yang dilaporkan dialami langsung: sahabat mendengar Nabi saw bersabda
dan melihatnya melakukan sesuatu atau memberikan persetujuan terhadap tindakan
sahabatnya.[69]
Untuk menentukan kebenaran hadis digunakan
metode otentikasi yang dimulai dengan penelitian sanad dan kemudian dilanjutkan
dengan penelitian matan. Sanad pada hakikatnya bukan sebuah teori yang
direkonstruksi, melainkan sebuah fakta yang terlepas dari subjek yang
mengkajinya; sanad itu ada (given), meskipun ia harus juga ditetapkan
keabsahannya (established). Namun sekali ia dinyatakan sah, maka ia
adalah sebuah fakta, dan kebenaran hadis diacukan kepadanya.[70]
Pada generasi sahabat, distribusi hadis baru
tersebar di kalangan para sahabat sendiri, dan oleh karenanya belum sampai
melewati generasi-generasi yang lain. Sahabat satu misalnya, dalam hal ini
menerima sebuah hadis dan kemudian menyampaikan hadis tersebut kepada sahabat
yang lain dan begitu terus sebaliknya. Artinya sanad yang ada pada generasi
tersebut adalah para sahabat itu sendiri, dan bukan yang lain.
Predikat sahabat yang telah terjamin
moralitasnya adalah satu kenyataan yang unik dalam pembahasan kali ini.
Bagaimanapun generasi sahabat adalah generasi terbaik yang pernah ada dalam
sejarah kehidupan manusia.[71]
Mereka tidak mungkin berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah.
Predikat sahabat yang telah terjamin
moralitasnya (‘adālah-nya) di satu sisi mengantarkan pada sebuah
kesimpulan sementara bahwa sanad pada zaman tersebut sebenarnya tidak perlu
diteliti, sehingga riwayat yang dibawa oleh mereka bisa dipastikan berasal dari
Nabi. Kenyataan bahwa ada sejumlah sahabat, dalam hal ini termasuk juga
‘Ā’isyah, yang mengkritik sosok sahabat yang meriwayatkan hadis adalah
persoalan lain. Kritik ‘Ā’isyah kepada sahabat bukan karena permasalahan pada
moralitas mereka, akan tetapi lebih kepada persoalan kualitas intelektual.
Kritiknya terhadap ‘Umar ibn Khaṭṭab misalnya, tentu bukan karena moralitas
‘Umar yang cacat, akan tetapi ada aspek lain di mana ‘Ā’isyah dalam hal ini
lebih ungggul dibanding ‘Umar.
Dalam konteks ini, ‘Ā’isyah memberikan kritik
kepada para sahabat yang menjadi sanad pembawa hadis. Kritiknya dilakukan
dengan mengoreksi dan menunjukkan riwayat yang dianggapnya benar, baik tanpa
pelabelan, maupun dengan cara melabeli salah, lupa atau tidak hafal kepada
mereka. Tujuannya untuk membuktikan apakah riwayat yang dibawa sahabat itu
sesuai dengan apa yang bersumber dari Nabi (fakta) atau tidak. Artinya,
‘Ā’isyah melakukan cross-check antara apa yang diberitakan sahabat
dengan fakta yang ada (sesuatu yang benar-benar bersumber dari Nabi). Oleh
karenanya tidak berlebihan jika dalam hal ini dikatakan bahwa ‘Ā’isyah menerapkan teori kebenaran korespondensi.
Ketika sanad telah diidentifikasi dan
ditemukan kekeliruan periwayatan bukan bersumber pada moralitas sahabat, tetapi
pada persoalan kualitas intelektual mereka, maka pertanyaan yang mengemuka
selanjutnya adalah bagaimana cara mengukur kebenaran riwayat tersebut bahwa itu
adalah otentik berasal dari Nabi?
Di sini diperlukan proposisi-proposisi yang
telah diterima kebenarannya. Proposisi-proposisi ini nantinya akan digunakan
untuk mengukur kebenaran suatu riwayat, yang indikasinya ialah kekoherensian
riwayat tersebut dengan proposisi-proposisi itu.
‘Ā’isyah dalam melakukan kritik matan
menggunakan tolok ukur yang secara kualitas telah diterima sebagai suatu
kebenaran, yaitu al-Qur’an, hadis-hadis yang lebih otentik, qiyas dan prinsip
dasar Islam. Hadis tentang sumber kesialan yang terdapat pada perempuan, rumah
dan binatang ternak dikritik oleh ‘Ā’isyah karena tidak sejalan dengan salah
satu ayat yang terdapat dalam surat al-Ḥadīd, yaitu ayat yang ke-22.
Selanjutnya, hadis yang menceritakan bahwa Nabi pernah melihat Allah dua kali
juga dikritik oleh ‘Ā’isyah, karena menurutnya hadis yang dibawa Ibn ‘Abbās itu
tidak sejalan dengan makna zahir dari ayat 103 dari surat al-An‘ām. Seharusnya
bila hadis itu benar dari Nabi, maka tidak mungkin Nabi mengucapkaan sesuatu
yang bertentangan dengan al-Qur’an. Maka dalam hal ini menurut ‘Ā’isyah hadis
yang isinya tidak selaras dengan al-Qur’an, tidak dapat diterima sebagai berita
yang berasal dari Nabi.[72]
Meskipun cara pandang ‘Ā’isyah terkesan
tekstualis ketika membandingkan suatu hadis dengan ayat al-Qur’an, akan tetapi
hal tersebut telah menjadi bekal bagi para penerus setelahnya agar senantiasa
memahami sebuah hadis di bawah payung kebenaran al-Qur’an yang telah mendapat
jaminan dari Allah swt..
Melangkah pada tolok ukur kritik matan ‘Ā’isyah yang kedua. Dalam hal ini
akan dianalisis hadis tentang disiksanya mayit karena tangisan keluarganya.
Dalam mengkritisi matan hadis tersebut ‘Ā’isyah menggunakan dua model kritik
secara bersamaan; pertama, menguji hadis dengan hadis; dan kedua,
menguji hadis dengan al-Qur’an. Uji validitas hadis dengan hadis yang dilakukan
‘Ā’isyah adalah dengan menyebutkan riwayat tersebut secara keseluruhan, dalam
artian ‘Ā’isyah mengembalikan konteks yang hilang dalam riwayat tersebut ke
tempat semula. Setelah menguji validitas hadis dengan hadis, ‘Ā’isyah
mengujinya dengan al-Qur’an, sehingga tampaklah kontradiksi antara hadis
tersebut dengan al-Qur’an. Kemudian hadis yang menjelaskan tentang tidak
wajibnya sai antara Safa dan Marwah juga dikritik oleh ‘Ā’isyah, karena
menurutnya riwayat ini bertentangan dengan riwayat lain yang ia ketahui, yang
menjelaskan bahwa sai itu wajib dan menjadi salah satu rukun dalam ibadah haji.
Riwayat yang ‘Ā’isyah ketahui itu adalah
riwayat yang ia peroleh langsung dari Nabi saw., sehingga akurasi kepastian
bahwa hadis tersebut berasal dari Nabi lebih dapat terjamin, atau dalam istilah
lain riwayat yang ia ketahui lebih bisa dipastikan keotentikannya. Artinya
‘Ā’isyah menguji hadis yang dibawa sahabat dengan hadis yang lebih otentik.
Selanjutnya tolok ukur terakhir yang digunakan
‘Ā’isyah adalah mengukur kebenaran hadis dengan qiyas dan prinsip dasar Islam.
Dalam hal ini sampel hadis yang digunakan adalah hadis tentang batalnya salat
seseorang yang dilewati salah satu dari 3 entitas; perempuan, khimar dan
anjing. Hadis ini dikritik oleh ‘Ā’isyah karena tidak sejalan dengan dua
proposisi sekaligus, yaitu qiyas dan prinsip dasar Islam tentang kemulian kaum
wanita. Peristiwa yang pernah ia alami dengan Nabi ketika ia tidur di hadapan
Nabi yang sedang salat, diqiyaskan dengan penyebab batalnya salat seseorang
yang dilalui oleh seorang wanita. Dalam peritiwa tersebut Nabi tidak
membatalkan salatnya, dan karenanya menurut ‘Ā’isyah berarti lewatnya wanita di
depan orang yang sedang salat juga tidak membatalkan salat seseorang tersebut.
Logika ini dipakai ‘Ā’isyah karena menurutnya apa yang terjadi dan dilakukannya
bersama Nabi adalah kenyataan empirik yang kebenarannya telah diterima. Selain
itu untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ‘Ā’isyah juga menguji hadis
tersebut dengan prinsip dasar Islam tentang kemulian wanita. Adalah menjadi
tidak atau kurang sempurna kemulian seorang wanita ketika ia disamakan dengan
binatang seperti anjing dan khimar. Tujuan ‘Ā’isyah melakukan kritik dengan menggunakan tolok
ukur prinsip dasar Islam adalah demi menjaga salah satu dimensi maqāshid
asy-syarī‘ah, yaitu ḥifẓ al-‘irḍ (menjaga kehormatan). Oleh
karenanya bila ada hadis bertentangan dengan prinsip dasar Islam, maka hadis
tersebut tidak dapat diterima. Tolok ukur terakhir yang digunakan ‘Ā’isyah,
yakni mengujinya dengan prinsip dasar Islam
inilah yang sekarang sedang diperkenalkan kembali oleh beberapa ulama
kontemporer. Benih-benih yang dulu dipraktekkan oleh ‘Ā’isyah secara sederhana
kini telah dielaborasi lebih jauh dengan mengambil ruh-ruh al-Qur’an dan sunah
yang mengandung prinsip-prinsip dasar Islam yang bersifat pasti. Oleh
karenanya, sebagaimana ditekankan Jasser Audah, sebuah hadis yang dulu sudah
pernah dinyatakan sahih oleh sebagian ulama bisa dipertanyakan kembali, jika
makna hadis tersebut bertentangan dengan nilai dan prinsip dasar Islam.[73]
Kesimpulan
Dalam mengkritik atau menilai validitas matan,
‘Ā’isyah menggunakan tolok ukur (a) al-Qur’an, (b) hadis, (c) qiyas dan prinsip
dasar Islam sebagai metode atau manhajnya. Dalam penggunaannya, ‘Ā’isyah
terkadang mengkombinasikan antara satu tolok ukur dengan tolok ukur yang lain.
Walaupun ‘Ā’isyah menitikberatkan
kritiknya pada matan, namun pada prakteknya sebelum melakukan kritik matan,
‘Ā’isyah mengawalinya dengan mengkritik sanad hadis terlebih dahulu.
Kemudian setelah diketahui tolok ukur apa saja
yang dijadikan ‘Ā’isyah sebagai metode dalam mengkritik hadis dapat diketahui
bahwa matode tersebut terbukti reliabel (mauṡūq) untuk membuktikan
kebenaran suatu hadis. Dimulai dengan kritik sanad ‘Ā’isyah yang selaras dengan
teori kebenaran korespondensi, kemudian dilanjutkan dengan kritik matannya yang
sejalan dengan teori kebenaran koherensi.
Daftar Pustaka
Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha,
Yogyakarta: Teras, 2004.
‘Abd al-Muṭallib, Jīhān Rif‘at Fauzī, As-Sayyidah ‘Ā’isyah wa Tauṡīquhā
li as-Sunnah, Kairo: Maktabah al-Khānjī, 1421/2001.
Adlabī, Ṣalāḥuddīn al-, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ
an-Nabawī, Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1403/1983.
Aḥmad, Musnad Aḥmad, edisi Syu‘aib al-Arna’ūṭ dan ‘Ādil Mursyid,
Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, 1416/1995.
Anwar, Syamsul, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2011.
Anwar, Syamsul, “Paradigma Pemikiran Hadis Modern”, dalam Fazlur
Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002.
Bukhārī, Muḥammad ibn ismā‘īl, al-, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, edisi Muḥammad
Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir, Beirut: Dār Ṭauq an-Najāh, 1422/2002.
Dārimī, Abū Muḥammad ‘Abdillāh ibn ‘Abd ar-Raḥmān ibn al-Faḍl ibn Bahrām
ad-, Sunan ad- Dārimī, edisi Ḥusain Salīm Asad, Riyad: Dār al-Mugnī li
al-Nasyr wa at-Tauzī‘, 1421/2000.
Dumainī, Musfir ‘Azmullāh Ad-, Maqāyīs Naqd Mutūn as-Sunnah, Riyādh:
Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Su’ud, t.t.
Fauzi, Nicky Alma Febriana, “Aisyah: Kritikus Hadis yang Romantis (1)
(Sebuah Review atas Buku al-Ijabah li Iradi ma Istadrakathu ‘Aisyah ‘ala
al-Shahabah karya Badrudin al-Zarkasyi),” dalam majalah Suara
Muhammadiyah, edisi 14 tahun 2012, h. 20-1.
Ibn aṣ-Ṣalāh, Taqiyyuddīn ‘Uṡmān ibn ‘Abd ar-Raḥmān, ‘Ulūm al-Ḥadiṡ,
Beirut: Dār al-Fikr, 1406/1986.
Ismail, Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Jabali, Fu’ad, Sahabat Nabi; Siapa, ke Mana, dan Bagaimana?,
Jakarta: Mizan Publika, 2010.
Jawābī, Muḥammad Ṭāhir al-, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ
an-Nabawī asy-Syarīf, Tunisia: Muassasāt al-Karīm ibn ‘Abdillāh, t.t.
Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2005.
Mukri, Barmawi, “Critical Study on The Concept of al-Ṣaḥāba Kulluhum
‘Udulun in ‘Ilm al-Ḥadīth,” Jurnal Al-Jāmi‘ah, vol. 42, no.2
(UIN Sunan Kalijaga: 2004), h. 313-331.
Mullākhāṭir, Khalīl Ibrāhīm, Zawāj as-Sayyidah ‘Ā’isyah wa Masyrū‘iyyah
az-Zawāj al-Mubakkir wa ar-Radd ‘alā Munkirī Żālik, Madinah: Tp.,
1405.
Nawawī, Muḥyiddīn ibn Syaraf an-, At-Taqrīb wa at-Taisīr li Ma‘rifah
Sunan al-Basyar wa an-Nażīr, edisi Muḥammad ‘Uṡmān al-Khasyat, Beirut: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī, 1405/1985.
Qaraḍāwī, Yūsuf al-, Kaifa Nata‘āmal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah,
Kairo: Dār asy-Syurūq, 1423/2002.
Qāsimī, Muḥammad jamāluddīn al-, Qawā‘id at-Taḥdīṡ min Funūn Muṣṭalaḥ
al-Ḥadīṡ, edisi Muṣṭafā Syaikh Muṣṭafā, Beirut: Mu’assasah ar-Risālah,
1425/2004.
Siddiqi, Muhammad Zubayr, “Ulūm al-Hadīts dan Kritik Hadis”, dalam
Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2002, h. 77-116.
Tirmiżī, Abū ‘Īsā Muḥammad ibn ‘Īsā ibn Saurah at-, Sunan At-Tirmiżī,
edisi Aḥmad Muḥammad Syākir, Beirut: Dār Iḥyā’ at-Turāṡ al-‘Arabī, t.t.
Zarkasyī, Muḥammad ibn ‘Abdillāh ibn Bahādur Abū ‘Abdillāh Badruddīn az-, Al-Ijābah
li Īrādi mā Istadrakathu ‘Ā’isyah ‘alā al-Shaḥābah, edisi Jīhān Rif‘at
Fauzī ‘Abd al-Muṭallib, Kairo: Maktabah al-Khānjī, 1421/2001.
Zuḥailī, Wahbah az-, At-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa asy-Syarī‘ah wa
al-Manhaj, Damaskus: Dār al-Fikr, 2009.
‘Audah, Jāser, Al-Maqāṣid Bagi Pemula, terj. ‘Ali Abdelmon‘im,
Yogyakarta: SUKA-Press, 2013.
Dakhīlī, Sa‘īd Fayīz ad-, Mausū‘ah Fiqh as-Sayyidah ‘Ā’isyah; Ḥayātuhā
wa Fiqhuhā, Beirut: Dār an-Nafā’is, 1409/1989.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; Kamus
Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Żahabī, Syamsuddīn Muḥammad ibn Aḥmad aż-, Tażkirah al-Ḥuffaẓ,
India: Dā’irah al-Ma‘ārif al-‘Usmānī, 1375/1955.
Ibn ‘Abd al-Barr, Abū ‘Umar Yūsuf ibn ‘Abdillāh ibn Muḥammad, Al-Istī‘āb
fī Ma‘rifah al-Aṣḥāb, edisi ‘Ādil Mursyid, Ttp.: Dār al-A’lām, 1423/2002.
Ibn al-Aṡir, ‘Izzuddīn Abū al-Ḥasan ‘Alī ibn Muḥammad, Usdu al-Gābah fī
Ma’rifah aṣ-Ṣaḥabah, edisi ‘Alī Muḥammad Mu‘awwid dan ‘Ādil Aḥmad ‘Abd
al-Maujūd, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Ḥifnī, ‘Abd al-Mun‘im al-, Mausū‘ah Ummu al-Mu’minīn ‘Ā’isyah binti Abī
Bakr, Kairo: Maktabah Madbūl, 1423/2003.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan
Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 2002.
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Al-Iṣābah fī Tamyīz aṣ-Ṣaḥābah, Ttp.: Tp.,
t.t.
Hospers, John, An Introduction to Philosophical Analysis, London:
Routledge, 1997.
Solomon, Robert C., Introducing Philoshopy; A Text with Integrated
Readings, Florida: Harcourt Brace College, 1992.
White, Alan R., Truth, Newyork: Anchor Books, 1970.
Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat,
terj. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Niki Alma Febriana Fauzi
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI) Kebarongan dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh master dalam bidang al-Qur'an dan al-Sunnah pada Academy of Islamic Studies, University of Malaya, Malaysia.
* Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Muwazah STAIN Pekalongan, vol. 5, no. 1, Juli 2013
[1] Kriteria-kriteria tersebut adalah, (a) ketersambungan sanad, (b)
diriwayatkan perawi yang ḍābiṭ, (c) diriwayatkan perawi yang ‘ādil,
(d) bebas dari syaż, dan (e) bebas dari ‘illah. Lihat misalnya
Ibn aṣ-Ṣalāh, ‘Ulūm al-Ḥadiṡ (Beirut: Dār al-Fikr, 1406/1986), h. 11-2;
[2] Salah satu sarjana Islam pada abad pertengahan yang mengkritik gaya ahli
hadis yang terkesan hanya menekankan pelelitian eksternal dan cenderung
mengabaikan penelitian internal adalah Ibnu Khaldūn, seorang sosiolog muslim
dalam karya monumentalnya, Muqaddimah Ibn Khaldūn. Setelah itu sarjana
Islam kontemporer mulai memberikan kritikan yang lebih tajam terhadap kriteria
penelitian hadis yang telah dibuat oleh sarjana Islam klasik. Misalnya saja Aḥmad
Amīn dalam dua karyanya; Fajr al-Islām dan Ḍuḥā al-Islām serta Maḥmūd
Abū Rayyah dalam karyanya Aḍwā’ ‘alā as-Sunnah al-Muḥammadiyah. Lihat
misalnya Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha
(Yogyakarta: Teras, 2004), h. 49. Bahkan al-Adlabī dan ad-Dumainī, dua sarjana
Islam yang penulis sebutkan dalam pembahasan selanjutnya bisa dikatakan memberi
kritikan tapi dalam hal ini kritikan yang sifatnaya konstruktif. Mereka berdua
di samping mengkritisi tapi juga menawarkan kriteria kritik matan yang dianggap
lebih bisa memberikan kepastian kebenaran secara metodologis.
[3] Dalam pengamatan Syamsul Anwar - dengan mencermati alur perkembangan
kritik matan hadis - ia mengklasifikasikan kriteria otentitas matan hadis
menjadi dua; kriteria formal otentitas matan dan kriteria substansial otentitas
matan. Kriteria pertama lebih menekankan kepada format matan sedangkan kriteria
kedua lebih kepada kekoherensian suatu makna hadis dengan makna-makna dasar
yang telah diterima dalam ajaran Islam. Lebih lanjut lihat Syamsul Anwar, Interkoneksi
Studi Hadis dan Astronomi (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), h. 32-44.
[4] Al-Adlabī, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ an-Nabawī
(Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1403, 1983), h. 238.
[5] Ad-Dumainī, Maqāyīs Naqd Mutūn as-Sunnah
(Riyādh: Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Su’ud, t.t.), h. 109-261. Lihat
juga Syamsul Anwar, Interkoneksi Studi ..., h. 44.
[6] Ad-Dumainî, Ibid, h. 263-482. Lihat juga Syamsul Anwar, Ibid,
h. 45.
[7] Jīhān Rif‘at Fauzī secara tersurat dalam kata pengantar untuk bukunya, As-Sayyidah
‘Ā’isyah wa Tauṡīquhā li as-Sunnah juga mengungkapkan hal yang demikian. Ia
mengatakan, “‘Ā’isyah menjadi pelopor (rā’idah) dalam masalah
otentikasi sunah. Bahkan ia menetapkan beberapa kaidah untuk melakukan
otentifikasi sunah ...”. Lihat kata pengantarnya dalam Jīhān Rif‘at Fauzī, As-Sayyidah
‘Ā’isyah wa Tauṡīquhā li as-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Khānjī, 1421/2001).
h. 3-5. Kecemerlangan ‘Ā’isyah ini selain tidak bisa dilepaskan dari
sosok Rasulullah, juga ada seorang Abū Bakr yang tidak kalah berpengaruh dalam
kehidupannya. Ayah Ā’isyah inilah orang pertama yang mula-mula sangat
berhati-hati dalam menerima hadis. Lihat Aż-Żahabī, Tażkirah al-Ḥuffaẓ
(India: Dā’irah al-Ma‘ārif al-‘Usmānī, 1375/1955), I: 2. Kehati-hatiaan Abū
Bakr tersebut tampaknya menular pada ‘Ā’isyah, sehingga ia menjadi
begitu kritis dan berhati-hati dalam menerima hadis. Apa yang dilakukan ‘Ā’isyah
inilah yang oleh ulama setelahnya diklasifikasikan menjadi beberapa kaidah
kritik matan hadis.
[8] Lihat biografi Abū Bakr dalam Ibn ‘Abd al-Barr, Al-Istī‘āb
fī Ma‘rifah al-Aṣḥāb, edisi ‘Ādil Mursyid (Ttp.: Dār al-A’lām, 1423/2002),
h. 779-781.
[9] Ibn al-Aṡir, Usdu al-Gābah fī Ma’rifah aṣ-Ṣaḥabah, edisi ‘Alī Muḥammad
Mu‘awwid dan ‘Ādil Aḥmad ‘Abd al-Maujūd (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.t.), VII: 186.
[10] Az-Zarkasyī, Al-Ijābah li Īrādi mā Istadrakathu ‘Ā’isyah ‘alā al-Shaḥābah,
edisi Rif‘at Fauzī ‘Abd al-Muṭallib (Kairo: Maktabah al-Khānjī, 1421/2001), h.
6.
[13] Lihat biografi ‘Abd ar-Rahmān ibn Abī Bakr dalam Ibn al-Aṡir, Usdu
al-Gābah ..., III: 362-5.
[15] Ibid., h. 16.
[17] Ada beberapa versi hadis yang menceritakan umur ‘Ā’isyah ketika menikah
dengan Nabi. Paling tidak ada tiga versi hadis yang menceritakan berbeda; yakni
usia enam, tujuh dan sembilan. Pembahasan lebih jauh mengenai hal ini lihat
selengkapnya dalam Mullākhāṭir, Zawāj as-Sayyidah ‘Ā’isyah wa Masyrū‘iyyah
az-Zawāj al-Mubakkir wa ar-Radd ‘alā Munkirī Żālik (Madinah: Tp.,
1405).
[18] ‘Abd al-Mun‘im al-Ḥifnī, Mausū‘ah Ummu al-Mu’minīn ‘Ā’isyah binti Abī
Bakr (Kairo: Maktabah Madbūl, 1423/2003), h. 336-7.
[20] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan
Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 2002), h. 6.
[21] Kisah lebih lengkap lihat misalnya
‘Abd al-Mun‘im al-Ḥifnī, Mausū‘ah Ummu al-Mu’minīn ..., h.
779-788.
[22] Az-Zarkasyī, Al-Ijābah ..., h. 11.
[25]
Lihat Ad-Dārimī, Sunan ad- Dārimī, edisi Ḥusain
Salīm Asad (Riyad: Dār al-Mugnī li al-Nasyr wa at-Tauzī‘, 1421/2000), IV: 1887,
hadis no. 291.
[26] Lihat misalnya Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Al-Iṣābah
fī Tamyīz aṣ-Ṣaḥābah (Ttp.: Tp, t.t.), VIII: 140.
[27] Aż-Żahabī, Siyar A‘lām an-Nubalā’,
edisi Basysyār ‘Awwād Ma‘rūf (Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, t.t.), II: 183.
[30] Lihat selengkapnya dalam Sa‘īd Fayīz
ad-Dakhīlī, Mausū‘ah Fiqh as-Sayyidah ‘Ā’isyah; Ḥayātuhā wa Fiqhuhā
(Beirut: Dār an-Nafā’is, 1409/1989), h. 567-572.
[33] Paradigma seperti ini, yaitu kritik hadis yang lebih menekankan terhadap
penelitian sanad dibanding penelitian matan pada perkembangannya mengalami
pergeseran paradigma. Tradisi mendahulukan sanad daripada matan pada era klasik
dianggap sebagai metode yang paling tepat untuk menutup gelombang pemalsuan
hadis. Namun di era post-modern seperti sekarang tradisi seperti ini dianggap
kurang efekrtif. Kegelisahan teolog feminis dengan banyaknya interpretasi
terhadap matan hadis yang sarat dengan muatan patriarkal membuat mereka lebih
mengedepankan pengujian matan daripada sanad. Lihat Kadarusman, Agama,
Relasi Gender & Feminisme (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h.
109-111.
[34] Muhammad Zubayr Siddiqi, “Ulūm al-Hadīts dan Kritik Hadis”, dalam Fazlur
Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, editor: Hamim Ilyas dan
Suryadi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h.
84.
[35] Para ulama memberikan pandangan berbeda-beda tentang siapakah sebenarnya
sahabat itu. Dari beberapa perbedaan yang ada, Fu’ad Jabali mencoba mengumpulkan
dan kemudian mendefinisikan ulang makna sahabat. Definisi yang dibuatnya bahwa
sahabat adalah “siapa saja yang pernah bertemu dengan diri Nabi, dalam keadaan
Islam, dan wafat dalam keadaan Islam, lepas dari apakah pada saat pertemuan itu
terjadi orang tersebut sudah masuk usia balig atau pernah mendengar apapun
darinya”. Lihat diskusi selengkapnya tentang ini dalam Fu’ad Jabali, Sahabat
Nabi; Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? (Jakarta: Mizan Publika, 2010), h.
39-62.
[36] Ada dua pendapat besar tentang ke-‘ādil-an sahabat. Pendapat pertama
mengatakan bahwa tidak semua sahabat itu ‘ādil (bermoral tinggi).
Menurut pendapat ini, ada beberapa sahabat yang fasik, munafik dan pendusta.
Jika mereka meriwayatkan hadis, mereka harus diteliti terlebih dahulu. Pendapat
kedua mengatakan bahwa semua sahabat berstatus ‘ādil. Mereka generasi
umat Islam terbaik, sehingga tidak mungkin bagi mereka menyebarkan ajaran Islam
secara dusta. Lihat Barmawi Mukri, “Critical Study on The Concept of al-Ṣaḥāba
Kulluhum ‘Udulun in ‘Ilm al-Ḥadīth” dalam Jurnal Al-Jāmi‘ah,
vol. 42, no.2 (UIN Sunan Kalijaga: 2004), h. 328-9. Dalam peneltian ini, penulis
lebih sependapat dengan kelompok yang kedua, yang mengatakan bahwa semua
sahabat itu ‘ādil.
[37] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 45-6.
[38] Al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī
asy-Syarīf (Tunisia: Muassasāt al-Karīm ibn ‘Abdillāh, t.t.), h. 103.
[40] Dalam perhitungan az-Zarkasyī ada kurang lebih
80 hadis yang ditanggapi oleh ‘Ā’isyah. Di dalamnya ada 22 nama sahabat
terkenal yang pernah dikritisi olehnya. Lihat lebih jelas dalam review yang
pernah penulis lakukan terhadap karya az-Zarkasyī tersebut, Nicky Alma Febriana
Fauzi, “Aisyah: Kritikus Hadis yang Romantis (1) (Sebuah Review atas Buku
al-Ijabah li Iradi ma Istadrakathu ‘Aisyah ‘ala al-Shahabah karya Badrudin
al-Zarkasyi)” dalam Suara Muhammadiyah, edisi 14 tahun 2012, h.
20-1.
[42]
Aḥmad, Musnad Aḥmad, edisi Syu‘aib al-Arna’ūṭ dan
‘Ādil Mursyid (Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, 1416/1995), XVI: 424, hadis no.
10727.
[43] Misalnya ketika ‘Ā’isyah mengkritik ‘Abdullāh ibn ‘Umar yang meriwayatkan
hadis tentang disiksanya seorang mayit karena tangisan keluarganya yang masih
hidup, ia mengomentari Ibn ‘Umar dengan kalimat, يَغْفِرُ اللَّهُ لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
أَمَا إِنَّهُ لَمْ يَكْذِبْ وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ . Lihat misalnnya Aḥmad, Musnad Aḥmad ..., XLI: 277, hadis no. 24758.
[44]
Jīhān Rif‘at Fauzī, As-Sayyidah ‘Ā’isyah ..., h.
116.
[46]
Aḥmad, Musnad Aḥmad ..., XLIII: 197, hadis no.
26088.
[47] Yūsuf al-Qaradhāwī, Kaifa Nata‘āmal ma‘a as-Sunnah an-Nabawiyyah
(Kairo: Dār asy-Syurūq, 1423/2002), h. 113.
[49] Ibid., h. 153.
[50] Ibid., h. 158.
[51] Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, edisi Muḥammad
Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir (Beirut: Dār Ṭauq an-Najāh, 1422/2002), II: 157-8,
hadis no. 1634.
[53] Qiyas dalam pengertian ushul fikih adalah menyatukan (menyamakan) sesuatu
yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan
hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illah hukum antara keduanya.
Lihat Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī (Damaskus: Dār al-Fikr,
1406/1986), I: 603.
[54] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h. 1177-8.
[55] Dari perspektif ini sesungguhnya menunjukkan kepada kita bahwa kesadaran
akan urgensi menjaga Maqāṣid asy-Syarī‘ah sebenarnya telah diperlihatkan
oleh ‘Ā’isyah. Hal tersebut dapat terlihat melalui kritik-kritiknya terhadap
hadis yang terkesan menegasikan dimensi Maqāṣid asy-Syarī‘ah. Contoh
yang paling jelas adalah hadis tentang lewatnya perempuan yang membatalkan
salat seseorang, yang akan penulis paparkan pada bagian berikutnya.
[56]
At-Tirmiżī, Sunan At-Tirmiżī, edisi Aḥmad Muḥammad
Syākir (Beirut: Dār Iḥyā’ at-Turāṡ al-‘Arabī, t.t.), II: h 161-2, hadis no.
338.
[59] Jīhān Rif‘at Fauzī, As-Sayyidah ‘Ā’isyah ..., h. 250.
[62] Syamsul Anwar, “Paradigma Pemikiran Hadis Modern”, dalam Fazlur
Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer ..., h. 158.
[63] Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 236.
[68] Robert C. Solomon, Introducing Philoshopy; A Text with Integrated
Readings (Florida: Harcourt Brace College, 1992), h. 232. Lihat juga
penjelasan lebih jauh dari kedua teori kebenaran tersebut dalam Alan R. White, Truth
(Newyork: Anchor Books, 1970), h. 102-9.
[69] Ibid., h. 161-2.
[70] Ibid., h. 162.
[71] Untuk menguatkan predikat sahabat sebagai orang-orang yang memiliki
moralitas tinggi, para ulama ahli hadis membuat satu kaidah, “aṣ-ṣaḥābah
kulluhum ‘udūl (semua sahabat itu ‘ādil {bermoralitas tinggi})”.
Lihat misalnya dalam An-Nawawī, At-Taqrīb wa at-Taisīr li Ma‘rifah Sunan
al-Basyar wa an-Nażīr, edisi Muḥammad ‘Uṡmān al-Khasyat (Beirut: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī, 1405/1985), h. 92-3 dan Al-Qāsimī, Qawā‘id at-Taḥdīṡ min
Funūn Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ, edisi Muṣṭafā Syaikh Muṣṭafā (Beirut: Mu’assasah
ar-Risālah, 1425/2004), h. 330-1. Lihat pula catatan kaki no. 9 pada bab II
risalah ini.
[73] Jāser ‘Audah, Al-Maqāṣid Bagi Pemula, terj. ‘Ali Abdelmon‘im
(Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), h. 82-4.