بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Tulisan ini adalah lanjutan dari seri tulisan berjudul "Melawan Eksploitasi Tubuh Perempuan ; Antara Feminisme Barat dan Islam" yang bisa dibaca di sini
Liberasi Islam ; Hijab
Islam menyelamatkan perempuan dengan cara yang unik dan efektif. Bukan
hanya mengajak untuk mengasihinya, Islam bahkan merombak total cara masyarakat
melihat perempuan. Eksploitasi terhadap tubuh perempuan berakar pada penilaian
atas perempuan hanya dari fisiknya semata. Titik salah inilah yang dirombak
oleh Islam. Al-Qur’an mengakui bahwa perempuan dengan segala pesonanya fisiknya
adalah hiasan dunia yang akan menimbulkan rasa ketertarikan dari lawan
jenisnya.[1]
Namun demikian, al-Qur’an dengan jelas memerintahkan baik
lelaki dan perempuan untuk menjaga pandangan.[2] Perintah
ini adalah penegasan bahwa nilai manusia, teruama perempuan bukan ditentukan oleh ukuran material, terutama tubuh. Hal ini dipertegas di tempat lain di dalam al-Qur’an ketika Allah
memaklumkan diversiti manusia mulai dari gender hingga suku bangsa, ditegaskan bahwa
manusia terbaik adalah dia yang paling bertakwa.[3] Sedangkan derajat manusia di sisi Allah ditentukan oleh ilmu dan imannya.[4] Dalam
konteks perempuan, semangat ini menjadi spirit disyariatkannya hijab.
Hijab adalah manifestasi paling nyata dari komitmen Islam untuk membebaskan
perempuan dari pemujaan fisik yang sesungguhnya adalah akar dari belenggu
mereka. Selama perempuan masih dinilai berdasarkan tampilan fisiknya semata,
selama tubuh mereka masih dipuja-puja, maka selama itu pula perempuan akan
tetap diobjektifikasi bahkan dieksploitasi. Pandangan negatif terhadap
perempuan pun berasal dari anggapan bahwa tubuh perempuan adalah sumber godaan
dan kotoran pada saat bersamaan. Olehnya diterapkan segregasi yang ketat.
Segregasi bahkan bisa menjadi ekstrim dan tidak rasional seperti
kepercayaan menstrual taboo yang pernah ada pada peradaban Barat.[5] Mereka
percaya bahwa selama masa menstruasi perempuan menjadi makhluk yang berbahya,
hingga harus ditempatkan di pondok khusus yang disebut menstrual hut. Untuk
memastikan hal seperti itu tidak terjadi kepada perempuan, hijab disyariatkan
dengan ketentuan yang ketat. Di dalam al-Qur’an dan hadis diejaslkan bahwa hijab
harus menyembunyikan tubuh perempuan kecuali wajah dan telapak tangan.
Dengan terbebas dari pemujaan fisik, hijab telah membentuk identitas
muslimah sebagai perempuan-perempuan merdeka yang dinilai berdasarka iman dan
kiprah salih mereka di dalam masyarakat. Di dalam ayat yang lain pun, Allah
menyebutka bahwa manfaat hijab adalah agar perempuan yang mukmin jadi lebih
dikenali dan olehnya terjaga dari tindakan buruk yang mungkin menimpa mereka
yang tidak berhijab.[6] Sebagian
penafsir modern seperti al-Asymawi
menjadikan ayat tersebut sebagai alasan termporernya kewajiban hijab karena
terikat konteks masyarakat Madinah. Dengan pembacaan lain, sebenarnya ayat
tersebut justru membuktikan bahwa hijab berhasil menyelamatkan wanita mukmin
dari keburukan masyarakat yang memuja fisik perempuan. Eksploitasi terhadap
tubuh perempuan akan tetap ada sehingga kewajiban hijab akan tetap relevan.
Petunjuk peting lainnya adalah bahwa hijab adalah identitas penting bagi
perempuan mukmin, sebagai deklarasi kebebasa mereka.
Hijab Sebagai
Fashion : Bentuk Lain Eksploitasi?
Berbeda dengan fenomena hijab pada tahun 1970-an, pada saat ini menemukan
seorang perempuan mengenakan hijab di ruang-ruang publik bukan lagi sesuatu
yang spesial. Suatu kesyukuran bahwa kini muslimah bisa mengenakan hijab tanpa
takut pada penerapan peraturan seperti Surat Keputusan (SK)
052/C/Kep/D/82 yang kadang
represif.
Hijab telah menjadi fenomena umum di ngeri ini, bahkan muncul gelombang
berikutnya yang tentu lebih tidak diduga lagi oleh para pejuang hijab tersebut,
yakni gelombang tren berhijab dengan modis. Meningkatnya permintaan akan hijab
memotivasi para desainer pakaian di negri ini untuk turut serta di dalam
“bisnis hijab”.[7]
Pada akhir 90-an dan awal tahun 2000, usaha-usaha untuk membuat hijab lebih
canggih dirintis oleh APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia). Asosiasi ini bahkan membentuk divisi khusus busana muslim dan muslimah.
Awalnya bukan hanya hijab yang hedak dibuat lebih mengikuti fashion, baju
koko pun masuk ke dalam fokus para desainer, tapi pada akhirnya fashion hijablah
yang terus berkembang. Perkembangan ini juga didukung oleh munculnya berbagai
komunitas yang menamakan dirinya hijabers. Wadah
komuntas bagi perempuan-perempuan yang memakai hijab tapi konon tidak mau
ketingglan fashion. Jenis komintas ini berkembang bagai jamur di musim hujan.
Mereka bahkan menjadi instrumen penting dalam bisinis hijab.
Di satu sisi, sesungguhnya fenomena hijabers adalah
bentuk dakwah kreatif yang patut diapresiasi. Meski hijab sudah menjadi
sedemikian umum di negri ini, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak muslimah
yang enggan memakainya. Komunitas ini biasanya mampu menembus benalu dakwah
yang tidak bisa ditembus oleh dai biasa. Tapi di sisi lain komintas seperti ini
tampaknya banyak terjebak hanya pada aspek fashion ketimbang mendalami makna hijab
yang mereka kenakanan dan ajaran Islam secara umum. Hasil penelitian yang
dilakukan pada komintas semacam itu di salah satu kota besar di Indonesai,
Makassar, menunjukan fakta yang menyedihkan dimana mereka lebih peduli pada
hal-hal luaran seperti penggunaan bahasa Arab dan Inggris dalam komunikasi agar
terlihat keren, mereka begitu peduli pada perkembangan fashion hijab
agar tidak ketinggalan jaman. Gaya hidup mereka pun dianggap konsumtif dan
elitis.[8]
Di luar komunitas hijabers, perkembangan tren berhijab
tampaknya berjalan terlampau jauh melewati batas. Tidak terlalu salah jika kemudian hijab dianggap telah mengalami pengerdilan
makna. Semangat hijab yang pernah diperjuangkan dulu tampaknya kini pudar
sehingga hijab menjadi sekedar kain penutup kepala semata bahkan sekedar gaya
hidup. Bahkan lebih tragis lagi, hijab kini menjadi komoditi yang sangat
menguntungkan sehingga mereka yang terjun di dalamnya tidak jarang hanya
mementingkan profit belaka. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu juga
bisa berimbas baik bagi perkembangan ekonomi ummat.[9] Hijab
sebagai komoditi akhirnya menjadikan mereka yang terus mengejar fashion menjadi
sekedar objek eksploitasi dari perusahaan-perusahaan hijab atau butik-butik.
Semangat awal hijab yang bersifat liberatif dan melawan eksploitasi berbasis
pemujaan fisik pun tampaknya telah terhianati.
Kesimpulan
Penidasan terhadap perempuan yang terjadi pada masa lalu di Barat berasal
dari penilaian terhadap mereka yang hanya sebatas pada tubuh semata. Masyarakat
dark age dengan terilhami doktrin Kristen menganggap tubuh perempuan
adalah sesuatu yang hina. Ketika masyarakat Barat mengalami perubahan menjadi
masyarakt yang sekuler dan liberal, penilaian ini masih terus ada. Penilaian berdasarkan
tubuh tersebut melahirkan objektivikasi, idealisasi dan berujung pada
eksploitasi terhadap perempuan. Feminisme yang lahir sebagai respon terhadap
kekejaman masyarakat patriarkis masa dark age dan perlawanan terhadap
penindasan perempuan masa modern ternyata juga terjebak pada penilaian yang
sama. Dalam usaha mereka menentang objektivikasi, idealisasi, dan eksploitasi,
kaum feminis justru melharikan bentuk tubuh menurut mereka sendiri. Hal
tersebut terjadi sebab feminisme memang sarat dengan worldview Barat yang
sekuleristik. Penilaian terhadap perempuan tidak akan melampaui hal yang materi
dan duniawi, yakni tubuh mereka.
Solusi yang ditawarkan Islam bagi eksploitasi tubuh perempuan berangkat
dari titik penting bahwa perempuan tidak dinilai berdasarkan tubuh mereka.
Perempuan diapresiasi berdasarkan ketakwaan, amal ibadah, kontribusi sosial,
serta tingkat intelektual mereka. Cara pandang ini merupakan buah dari worldview
Islam yang berdasarkan pada al-Qur’an dan sunnah serta terwujud dengan
nyata di dalam sejarah kaum muslimin. Bentuk paling nyata dari solusi tersebut
adalah disyariatkannya hijab. Dengan hijab, perempuan dibebaskan dari penilaian
berdasarkan tubuh mereka. Faktor fisik bukan lagi menjadi titik utama
penilaian. Perempuan hanya dituntut untuk berkontribusi semaksimal mungkin bagi
kemanusiaan sesuai fitrahnya, bukan dituntut untuk berpenampilan sedemikian
rupa. Hal inilah bentuk pembebasan yang tuntas.
Wallahu a’lam.
[1] QS. Ali Imran
: 14
[2] QS. an-Nur : 30-31
[3] QS. Al Hujurat : 13
[4] QS.
Al-Mujaadilah : 11
[5] Muchtar,
Rusli. "Fiqh Hijab Dan Wacana Tubuh Perempuan." Dalam Musawa: Journal For Gender
Studies 1.1 (2009). 26
[6] Q.S Al-Ahzab :
59
[7] Amrullah, Eva
F. "Indonesian Muslim Fashion Styles & Designs." ISIM
Review22 (2008): 2.
[8] Hardiyanti,
Rima. Komunitas Hijab Kontemporer “Hijabers” Di Kota Makassar. Diss. 2012.
[9]Ainurrofiq. Dawam "Hijab Dalam Perspektif
Sosialbudaya." (2007). Tersedia
di http://i-epistemology.net/attachments/1131_inv6n12 %20Hijab%20dalam%20Perspektif%20Sosial%20Budaya%20-%20Ainurrofiq%20Dawam.pdf