Seseorang yang tidak melihat sendiri suatu peristiwa masih dapat mengetahui hal tersebut melalui pemberitaan. Persoalannya, pemberitaan itu mungkin benar, mungkin juga keliru. Oleh sebab itu, perlu adanya klarifikasi berita untuk mengecek kebenarannya.
Untuk
menguji kebenaran masing-masing yang diterima secara tidak langsung itu,
memerlukan suatu dasar dan sandaran, kepada dan dari siapa pengetahuan dan
pemberitaan itu diterimanya. Jika pemberitahu atau penyampai berita itu
bertahap-tahap, maka si pemberi tahu atau penyampai berita yang terakhir harus
dapat menunjukkan sandarannya, yakni orang yang memberitakan padanya, dan
orang yang memberitakan ini pula harus dapat menunjukkan sumber asli yang
langung, yang menerima sendiri dan pemilik berita.
Demikian halnya dengan hadits Nabi
saw. Untuk menerima hadits dari Nabi
Muhammad s.a.w. unsur-unsur tersebut, yaitu pemberita, materi berita dan
sandaran berita. Satupun tidak
dapat ditinggalkan. Para Muhadditsin menciptakan istilah-istilah untuk
unsur-unsur itu dengan nama Rawi (pemberita), Matan (materi
berita) dan Sanad (sandaran berita) dari suatu hadits Nabi saw.
A. Rawi
Definisi Rawi
Rawi ialah orang yang menyampaikan atau
menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari
seseorang (gurunya). Bentuk jamaknya adalah ruwah. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut
dinamakan me-rawi (meriwayatkan) hadits.
Sebuah
Hadits sampai kepada kita dalam bentuknya yang sudah terkodifikasi dalam
kodifikasi hadits, melalui beberapa rawi dan sanad. Rawi terakhir hadits yang
termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Shahih Muslim, ialah Imam Bukhari
atau Imam Muslim. Demikian pula Rawi terakhir dalam buku Sunan Abu Daud,
misalnya, adalah Abu Daud itu sendiri.
Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan suatu hadits
yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadits, pada umumnya membubuhkan nama rawi
terakhirnya pada akhir teks (matan) haditsnya.
Misalnya, terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah
ra., bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang
bukan termasuk dalam urusan (agama)ku, maka ia terto1ak” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa rawi yang terakhir bagi
kita, ialah Bukhari dan Muslim, kendatipun jarak kita dengan beliau-beliau itu
sangat jauh dan kita tidak segenerasi dan tidalc pernah berternu, namun
dernikian kita dapat rnenemui dan mmenggali kitab beliau. Dalam hal ini kitab beliau merupakan sanad
yang kuat.
Sistem
Penyusunan Kitab Hadits
Sebuah Hadits kadang-kadang
mempunyai sanad banyak. Dengan kata lain, bahwa Hadits tersebut terdapat dalam
kodifikasi atau kitab-kitab Hadits yang berbeda rawi akhirnya. Misalnya, ada
sebuah hadits disamping terdapat dalam shahih Bukhari, juga terdapat dalam
shahih Muslim. Demikian pula termaktub
dalam sunan Abu Dawud dan perawi lainnya. Untuk menyingkat penyantuman
nama-nama nawi yang demikian banyak jumlahnya tersebut, penyusun kitab hadits,
biasanya tidak mencantumkan nama-nama itu seluruhnya, melainkan hanya merumuskan
dengan bilangan yang menunjukkan banyak atau sedikitnya rawi hadits pada akhir
matan haditsnya. Misalnya, rumusan yang
dibuat oleh Ibnu Ismail As Shan’ani dalam
kitab Sublus-Salam:
No.
|
Istilah
|
Makna
|
1.
|
Akhrajahus Sab’ah
|
Hadits itu diriwayatkan oleh tujuh orang rawi, yaitu
Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’iy dan
Ibnu Majah.
|
2.
|
Akhrajahus Sittah
|
Diriwayatkan oleh 6 orang rawi, yaitu para perawi pada
poin 1 selain Imam Ahmad
|
3.
|
Akhrajahul Khamsah
|
Diriwayatkan oleh 5 orang, yaitu perawi poin 1 selain
Bukhari dan Muslim
|
4.
|
Akhrajahul Arba’ah wa Ahmad
|
Diriwayatkan oleh para ashabus sunan ditambah Imam
Ahmad
|
5.
|
Akhrajahul Arba’ah
|
Diriwayatkan oleh 4 orang ashabus sunan yaitu Abu
daud, Turmudzi, An Nasai, dan Ibnu Majah
|
6.
|
Akhrajahuts tsalatsah
|
Diriwayatkan oleh 3 orang rawi yaitu Abu Daud,
Turmudzi, dan An Nasa`I
|
7.
|
Akhrajahusy Syaikhain
|
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
|
8.
|
Akhrajahul Jama’ah
|
Diriwayatkan oleh para perawi yang banyak jumlahnya
|
9.
|
Muttafaq ‘Alaih
|
Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad
|
Gelar Keahlian Bagi Imam-Imam Rawi Hadits
Para imam hadits pada mendapat gelar keahlian dalam
bidang ilmu hadits sesuai dengan keahlian, kemahiran dan kemampuan dalam
menghafal beribu-ribu buah hadits beserta ilmu-ilmunya. Gelar keahlian itu
ialah sebagai benikut:
1. Amirul Mukminin fil Hadits
Gelar ini sebenarnya diberikan kepada para
khalifah setelah khalifah Abu Bakar As-Shiddiq r.a. Mereka yang memperoleh
gelar ini antana lain: Syu’bah Ibnu Al Hallaj, Sufyan Ats Tsauri, Ishaq Ibnu
Rahawaih, Ahmad Ibnu Hambal, Bukhari, Ad Daruquthni, dan Muslim.
2. Al.Hakim
Yaitu
suatu gelar keahlian bagi imam-imam hdits yang menghafal seluruh hadits yang
diriwayatkan baik matan, maupun rawinya serta mengetahui persis karakteristik
dan sifat-sifat baik ataupun buruk masing-masing perawi tersebut. Setiap rawy diketahui sejarah hjdupnya,
perjaialanannnya, guru-guru dan sifat.sifatnya yang dapat diterima maupun
ditolak. Mereka harus dapat menghafal lebih dari 300.000 hadits beserta
sanadnya. Diantara mereka adalah : Ibnu
Dinar (meninggal 162 H), Al-Laits bin Sa’ad
(meninngal 175 H), Imam Malik (179 H) dan Imam Syafi’i (204 H).
3. A1-Hujjah
Yaitu
gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits, baik
matan, sanad, maupun perihal hal ihwal para perawinya baik tentang keadilabn,
kecacatan, dan biografinya. Diantara mereka adalah Hisyam bin ‘Urwah
(rneninggal 146 H), Abu Hudzail Muhammad bin Al.Walid (meninggal 149 H) dan
Muhammad ‘Abdullahh bin ‘Amr (meninggal 242 H).
4. A
1-Hafidh
Al hafidh merupakan gelar yang diberikan
kepada ahli hadits yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadits serta dapat
menunjukkan keadlan maupun cacat perawinya.
Al hafidh harus menghafal 100.000 hadits. Diantara mereka yang termasuk
Al hafidh adalah : Al-’Iraqiy, Syarafuddin Ad.Dimyathi, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
dan Ibnu Daqiqil ‘Id.
5. AL-Muhaddits
Ada yang berpendapat dari kalangan
muhaddoitsin terdahulu bahwa Al Muhaddits sama dengan Al Hafidh. Namun, belakangan, al Muhaddits dimaknai
dengan orang yang mengetahui sanad, ‘iat, nama rawi, tinggi-rendahnya derajat
hadits, dan memahami kutubus sittah, musnad Imam Ahmad, Sunan Baihaqi, Mu’jam
Thabrani. Juga, ia harus menghafal 1000
hadits. Diantaranya adalah : ‘Atha’ bin
Abi Ribah (seorang Mufti masyarakat Mekah
wafat: 115 H) dan Imam Az-Zabidy (salah seorang ‘ulama yang mengikhtisharkan
kitab Bukhary-Muslim).
6. A1.Musnid
Al Musnid merupakan sebutan bagi orang yang
meriwayatkan hadits besrta sanadnya; baik menguasai ilmunya maupun tidak. Istilah lain untuk Al Musnid adalah : Ath
Thalib, Al Mubtadi`, dan Ar Rawy.
Matnul Hadits (Matan Hadits)
Matan hadits adalah pembicaraan atau materi berita yang terdapat di dalam
sanad terakhir. Baik isinya itu berupa
sabda Rasulullah saw, ungkapan sahabat tentang Rasulullah saw, ataupun tabi’in
yang menceritakan tentang perbuatan sahabat atau Nabi. Ringkasnya, matan itu adalah isi dari teks
hadits tersebut. Misalnya, Al Hakim
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Penghulu syuhada adalah hamzah dan orang yang berdiri di hadapan
penguasa untuk menasihatinya lantas ia dibunuh karenanya.” Pernyataan demikian merupakan matan dari
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim tersebut.
Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Masyarakat itu berserikat
dalam 3 barang : air, padang gembalaan, dan api.” Isi dari hadits tersebut merupakan matan
hadits yang diriwayatkan oleh kedua perawi hadits itu.
Sanad
Arti Sanad
Sanad atau thariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l
hadits kepada junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. Misalnya seperti kata Al-Bukhari:
“Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin a]-Mutsanna, ujarnya: “‘Abdul-Wabhab ats-Tsaqafy
telah mengabarkan kepadaku, ujarnya:” telah bercerita kepadaku Ayyub atas
pemberitaan Abi Qilabah dan Anas dari Nabi Muhammad s.a. w.,
sabdanya:
“Tiga perkara, yang barangsiapa mengamalkannya niscaya memperoleh
keledzatan iman yakni: (1) Allah dan Rasui-Nya hendaknya lebih dicintai
daripada selainnya. (2) Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah
semata-mata dan (3) Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti
keengganannya dicampakkan ke neraka”.
Maka
matnu’l-Hadits “Tsalatsun” sampai dengan “an yuqdzafa finnar” ditenima
oleh al-Bukhari melalui sanad pertama Muhammad ibnu’l.Mutsanna, sanad
kedua ‘Abdul-Wahhab Ats-Tsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad
keempat Abi Qilabah dan seterusnya sampai sanad yang terakhir, Anas
r.a., seorang sababat yang langsung menenima sendiri dari Nabi Muhammad
saw.
Dapat juga dikatakan bahwa sabda Nabi
tersebut djsampaikan oleh shahabat Anas r.a. sebagai rawi pertama, kepada
Abu Qilabah, kemudian Abu Qilabah sebagai Rawi kedua menyampaikan
kepada Ats Tsaqafy, dan Ats-Tsaqafy sebagai rawi keempat menyampaikan
kepada Muhammad Ibnu’l-Mutsanna. hingga sampai kepada Al-Bukhary sebagai
rawi terakhir. Dengan demikian,
A1-Bukhari itu menjadi sanad pentama dan rawi terakhir bagi kita.
Dalam bidang ilmu Hadits sanad itu
merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dla’ifnya suatu hadits. Andaikata
salah seorang dalam sanaa-sanad itu ada yang fasik atau yang tertuduh dusta
maka, dla’iflah hadits itu, hingga tak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
suatu hukum.
Arti Isnad, Musnid, dan Musnad
Usaha seorang ahli hadits dalam menerangkan suatu hadits
yang diikutinya dengan penjelasan kepada siapa hadits itu disandarkan, disebut
meng-isnad-kan hadits. Hadits yang telah diisnadkan oleh si musnid (orang
yang mengisnadkan) disebut dengan hadits musnad. Misalnya musnad Asy-Syihhab dan musnad
Al-Firdaus, merupakan kumpulan hadits yang telah diisnadkan oleh Asy-Syihhab
dan Al-Firdaus.
Selain itu, musnad dapat juga berarti:
a. Hads
yang marfu’ lagi muttashil (sanadnya bersambung-sambung tidak terputus).
b. Nama
Kitab yang menghimpun seluruh Hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat.
Dalam
Kitab Musnad ini, nama shahabatlah yang diketengahkan sebagai maudlu’ (objek).
Semua hadits yang diriwayatkan oleh seorang shahabat terhimpun dalam satu
kelompok, tanpa diklasifikasikan isinya dan tanpa disisihkan antara mana hadits
yang shahih dan mana yang dla’if.