بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
toh guru-guru kita pun asalnya dari Arab, India dan Cina |
"Islam Indonesia lebih ramah dan toleran, beda dengan Islam Arab yang garang. Sikap toleran Islam Indonesia ini terancam hilang bila corak Islam dari Arab dibiarkan masuk" adalah kalimat yang indah,
tapi tidak boleh diterima begitu saja, setidaknya Michael Laffan tidak
membiarkan kalimat ini lewat begitu saja menjadi tagline tanpa
dikritisi. Bagi dia, itu tidak sepenuhnya benar. Bagi Laffan, narasi yang banyak dierima ini, kurang berimbang dan sebenarnya, diwarnai penilain para pengamat Barat sebelum dia, mulai dari orientalis sewaan pemerintah seperti Horgronje hingga antropologis moderen semacam Clifford Geertz. Bahkan di versi Bahasa Indonesia terbitan Bentang Pustaka, sinopsis bukunya
sampai disunat demi menghilangkan ketidak setujuan Laffan itu
Tulisan ini tidak akan bicara soal analisa Laffan terhadap Islam di Nusantara, tapi masih ada kaitannya dengan kalimat pembuka itu. Ternyata, euforia Islam "Nusantara nan damai vis a vis Islam Arab" bukan hanya milik pemikir Indonesia. Begawan-begawan Studi Islam dan Kawasan di kampus-kampus terhormat di Barat pun dilanda demam yang sama. Simaklah cerita menarik dari kunjungan Prof. Yunahar Ilyas ke Oxford ini. Oleh Kevin W. Fogg, sejarawan
Islam Asia Tenggara di kampusnya dik Maudi Ayunda itu, dia diberondong
pertanyaan, "Apa sebab Islam Indonesia lebih ramah?" Buya Yunahar pun
menjawab dengan jenaka, simpel, tapi menurut pengakuan om Kevin, sungguh
berkesan, "Karena orang Islam di Indonesia masih bisa tersenyum dan
tertawa, terlepas dari perbedaan pendapat mereka", hehe classic Buya Yun.
Ah, andai saya jadi Buya, saya akan melirik si bule dengan penuh cinta
trus menjawab, "Jadi anda menganggap Islam Indonesia lebih damai dari
Islam di TIm Teng? Tau sebabnya? It has nothing to do with a freaking
geography or even theology, cuma dikit pakdhe. Gimana kalo bilang ke
pemerintahmu, berhenti melakukan intervensi tidak perlu, mendanai
pemberontak, dan membuat proxy war di Tim Teng? Sebab terakhir kali
pemerintahan bule ikut campur diam-diam di negara kami, orang-orang
Islamnya pun, yaa orang-orang yang terkotak-kotak dalam identitas
politis, yang kadang berbasis agama itu... mereka juga jadi garang! Oh,
lupa? Ketika pemerintahan Barat membuat perang proxy melawan komunisme
di negri kami, orang-orang Islam pun ternyata bisa membunuh..."
Dimanapun itu, selama sumbernya masih al-Qur'an dan Sunnah, lewat pemahaman yang benar oleh ulama-ulama yang ihlas, Islam selalu mengajarkan perdamaian. Bahkan jika perang pun, Islam memberikan berbagai aturan, jauh sebelum konvensi Jenewa. Tapi kerunyaman konflik geopolitis dan perebutan sumber daya bisa membuat manusia lupa pada nilai luhur apapun yang mereka yakini. Lihat saja Muslim Rohingya yang dinista sebab instruksi seorang Biksu di Myanmar. Bau-bau kebencian rasial dan paranoia xenopobik akan terasa jika konflik Myanmar dicermati. Nilai kasih sayang Budhisme pun dikesampingkan. Indonesia masih dikasihi Allah sehingga kekayaan alam kita, kebebasan berpolitik kita tidak berubah malapetaka. Sebab ditengah kerakusan manusia, agama lebih sering dijadikan topeng dan pembenaran ambisinya. Itulah yang diderita kaum Muslimin di Timur Tengah, setidaknya menurut saya. Melabeli mereka sebagai "penganut versi Islam yang garang" hingga maklumlah sering perang, adalah zhalim dan naif sekaligus.
Mari kita tutup dengan mengingat lagi kritkan mendiang Abdel Wahab El-Messiri pada tradisi berpikir di Barat. Intelektual opisisi Mesir itu dengan gelisah mengingatkan intelektual Barat pada penyakit mereka, "Salah satu gaya berkilah khas Barat adalah melepaskan suatu peristiwa dari konteks kebudayaan dan kemanusiaan (yang melibatkan Barat) sehingga peritiwa tersebut menjadi sebuah realitas tunggal yang penafsirannya dimonopoli oleh mereka” Kadang penyakit ini pun menimpa kita, dengan terburu-burunya menyimpulkan "Islam timur tengah garang, suka perang, Islam Indonesia ramah" dan pura-pura lupa bahwa Timur Tengah tidak pernah betul-betul sepi dari kerunyaman konflik sejak masa kolonial berakhir, dan konflik-konflik itu lebih sering soal politik, kekuasaan, dan sumber daya alam ketimbang sengketa teologis.
wallahu a'lam
Dimanapun itu, selama sumbernya masih al-Qur'an dan Sunnah, lewat pemahaman yang benar oleh ulama-ulama yang ihlas, Islam selalu mengajarkan perdamaian. Bahkan jika perang pun, Islam memberikan berbagai aturan, jauh sebelum konvensi Jenewa. Tapi kerunyaman konflik geopolitis dan perebutan sumber daya bisa membuat manusia lupa pada nilai luhur apapun yang mereka yakini. Lihat saja Muslim Rohingya yang dinista sebab instruksi seorang Biksu di Myanmar. Bau-bau kebencian rasial dan paranoia xenopobik akan terasa jika konflik Myanmar dicermati. Nilai kasih sayang Budhisme pun dikesampingkan. Indonesia masih dikasihi Allah sehingga kekayaan alam kita, kebebasan berpolitik kita tidak berubah malapetaka. Sebab ditengah kerakusan manusia, agama lebih sering dijadikan topeng dan pembenaran ambisinya. Itulah yang diderita kaum Muslimin di Timur Tengah, setidaknya menurut saya. Melabeli mereka sebagai "penganut versi Islam yang garang" hingga maklumlah sering perang, adalah zhalim dan naif sekaligus.
Mari kita tutup dengan mengingat lagi kritkan mendiang Abdel Wahab El-Messiri pada tradisi berpikir di Barat. Intelektual opisisi Mesir itu dengan gelisah mengingatkan intelektual Barat pada penyakit mereka, "Salah satu gaya berkilah khas Barat adalah melepaskan suatu peristiwa dari konteks kebudayaan dan kemanusiaan (yang melibatkan Barat) sehingga peritiwa tersebut menjadi sebuah realitas tunggal yang penafsirannya dimonopoli oleh mereka” Kadang penyakit ini pun menimpa kita, dengan terburu-burunya menyimpulkan "Islam timur tengah garang, suka perang, Islam Indonesia ramah" dan pura-pura lupa bahwa Timur Tengah tidak pernah betul-betul sepi dari kerunyaman konflik sejak masa kolonial berakhir, dan konflik-konflik itu lebih sering soal politik, kekuasaan, dan sumber daya alam ketimbang sengketa teologis.
wallahu a'lam