Dalam rangka merealisasikan cita-cita membentuk filsafat sains
Islam kontemporer, menurut Anwar Ibrahim ada persoalan-persoalan fundamental
yang harus dijawab.
Pertama, membedakan antara sains dan non-sains. Hal ini sebagai akibat dari
adanya nilai-nilai tertentu, seperti politik, ideologi, kekuasaan dan lainnya
yang telah memiliki peran besar dalam lingkaran perkembangan sains. Meski
diakui bahwa peran itu telah mengakar kuat, tetapi bukan berarti usaha
memisahkan antara sains dan non sains mustahil terwujud. Sebab terdapat
beberapa ciri dan karakteristik sains yang itu menjadi bukti kuat dapatnya
memisahkan sains dan non sains. Sains sendiri hakikatnya merupakan istilah yang
dipergunakan untuk merujuk pada suatu bentuk penyelidikan yang bersifat
sistemik rasional dan empiris. Pengertian sederhana ini kiranya bisa menjadi
indikator kita menilai antara yang mana sains dan tidak.
Kedua, berangkat dari tuntutan pertama, maka filsafat sains islam haruslah
mengantarkan sains pada sifat yang terbuka untuk interpretasi rasional. Dalam
arti semua alasan ilmiah harus bisa diperlihatkan dan menghasilkan hubungan
yang rasioanl antara sebab dan akibanya. Tanpa adanya hubungan ini, maka sains
tidak bisa dikatakan sains, melainkan kepercayaan semata. Untuk itu, segala
teori bagaimanapun kompleksnya pada akhirnya harus bisa dibumikan dan
dibuktikan dengan observasi empiris dan usaha eksperimental. Bahkan meskipun
adanya fakta permainan dari kekuasaan politik dan kepentingan pribadi yang bisa
mempengaruhi, tetap sebuah teori sains harus bisa dipraktekkan dalam observasi
dan menghasilkan sebuah tawaran penjelasan yang rasional terhadap sebuah wujud
(phenomena).
Ketiga, langkah yang paling penting menurut Anwar Ibrahim adalah harus
menjaga karakteristik keislaman dengan berusaha memasukkan etika dan nilai
pandangan Islam kepada keseluruhan sistem sains, baik itu pada metodenya,
proses dan tujuannya. Usaha tersebut dilandasi dengan panduan; (1) al-Qur’an
dan (2) sejarah sains Islam.
(1) Asumsi dasar kita kepada al-Qur’an adalah bahwa Al-Qur’an
bukanlah buku sains. Tetapi ia adalah kitab petunjuk. Jika al-Qur’an secara
langsung mengandung beberapa penjelasan tentang fenomena fisik alam, maka hal
itu tidak lantas mengharuskan kita mencari semua fakta dan penemuan historis di
dalam al-Qur’an. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang berbahaya dan
sia-sia, alasanya sederhana, sebab al-Qur’an mengandung kebenaran absolut dan
abadi, sementara sains adalah sesuatu yang relatif kebenarannya dan bisa
berubah faktanya. Tentu kedua ini merupakan hal yang tidak bisa dikomparasikan.
Jika kita masih saja membenarkan sesuatu yang absolut dengan hal yang relatif,
maka kita mau tidak mau kemudian hari kita harus merubah yang absolut tersebut
ketika yang relatif itu berubah.
Bagi Anwar Ibrahim, al-Qur’an difungsikan sebagai garis petunjuk
dalam keseluruhan aspek dan aktifitas sains. Untuk perlu ada pemahaman atas
etika pokok dan nilai-nilai yang menjadi prinsip dalam al-Qur’an.
(2) Adapun terhadap sejarah sains Islam, bagi Anwar Ibrahim tugas
kita adalah memahami sejarah tersebut dalam seluruh perspektif yang ada.
Pengkajian yang subjektif dengan hanya menonjolkan satu sekretarian dalam
khazanah Islam akan membentuk pandangan Islam yang parsial. Dalam mewujudkan hal ini umat Islam harus
menjawab tiga persoalan pokok. Pertama, apa yang menjadi keasilian atau
kemurnian dari sains Islam? Kedua, apa tujuan dari aktifitas ilmiah yang
mereka lakukan? dan ketiga bagaimana para saintis muslim memasukkan dan menginterpretasikan
setiap etikadan nilai Islam kedalam setiap usaha saintifik mereka?
ketiga pertanyaan mendasar ini hakikatnya sebagai pedoman kita
dalam memperlakuan sejarah sains Islam. Anwar Ibrahim menekankan bahwa tidak
cukup jika kita hanya sekedar
mengumpullkan fakta historis atau menulis profil yang menggambarkan para
saintis dan filosof. Tetapi kita perlu mencari atau historisitas sains islam
dalam hal struktur sistemnya, proses konseptual di mana mereka bekerja, dan
bagaimana penelitian itu dilakukan oleh para saintis muslim. Kita perlu
mengembangkan teori sejarah dan melakukan test terhadap sejarah sains Islam
secarah empiris, atau dengan bahasa T.S. Khun, kita perlu menemukan atau
menjelajahi paradigma yang digunakan oleh saintis muslim di dalam bekerja.
Semua ini menyediakan kepada kita materi yang esensi dan konsep farmwork untuk
membentuk dan mengembangkan filsafat kontemporer mengenai sains Islam.
Menurut Anwar Ibrahim. Tujuan dari beberapa filsafat tidak murni
hanya untuk menjadi penerang secara intelektual. Tidak hanya demi filsafat itu
sendiri, tapi juga untuk menjadi pedoman dari tabiat manusia.sehinggan tujuan
dari dikembangkannya filsafat kontemporer mengenai Sains Islam juga tidak hanya
memuaskan keinginan tahuan yang bersifat intelektual, atau untuk mengangungkan
ilmu pengetahuan yang dicapai Islam, atau untuk lebih menguatkan superioritas
muslim. Tujuan akhir dari ini adalah untuk memberikan bantuan kepada saintis
muslim di dalam membangun pondasi global untuk pengetahuan atau sains Islam kontemporer,
intuk mengembangkan flisafat secara pragmatik, sebuah filsafat yang mengambil
etika atau nilai penting di dalam Islam kemudian digunakannya atau
diwujudkannya dalam sebuah kerja nyata. Usaha ini meniscayakan nilai dan etika
pokok Islam harus menjadi prinsip saintis muslim. Hal ini juga mengharuskan
saintis muslim bisa menggambarkan ruang lingkup sains yang bisa memprioritaskan
masyarakat muslim, menekankan pada ruang lingkup penelitian yang memang butuh untuk
didahulukan dan diutamakan dan mengutamakan aspek utama tersebut dalam
merumuskan kebajakan sains bagi negara-negara muslim.
Anwar Ibrahim juga mencatat bahwa perhatian kita harus direflesikan
dari apa yang telah kita mulai, melampaui dalih sederhana yang selama ini kita
pertahanakan sebagai bentuk metafisik yang kita imani kebenarannya dan pemujaan
terhadap warisan historis. Al-Ghazali, Ibn Sina, dan ibn Rusyd tidak diragukan
lagi merupakan para filosof dan saintis yang agung. Kita harus mempelajari dan
belajar dari mereka. Tetapi dengan begitu kita tidak perlu membungkus diri kita
atau membatasi diri kita pada gagasan
dan metode mereka. Sebab jika apresiasi kita terhadap warisan mereka hanya
seperti itu, maka apresiasi tersebut akan menjadi semu ketika dibenturkan pada konteks yang
lebih luas dimana kita diharuskan untuk mengembangkan, mereformasi,
memodifikasi ide dan gagasan mereka sesuai dengan kebutuhan sekarang.
Untuk
itu, mengembangkan filsafat sains yang islami harus dimulai dari mengapresiasi
dan memperhatikan kompleksitas dan pengalaman-pengalaman aktifitas yang mereka,
para saintis muslim itu lalui. Menambahkan kata sifat “islami” itu lebih
memberikan arti dibanding dengan sederhana membungkus filsafat sains dengan
dalil-dali metafisik belaka, atau memasukkannya dengan ide-ide dan gagasan yang
telah ada dan usang. Dalam arti,
membentuk setiap aspek dari kerja saintifik dengan etika dan kriteria
dan nilai Islam, menjadikan nilai Islam sampai pada kerja nyata dan mengembangkan
perenungan maupun model penjelasan dalam rangka memahami alam dan hubungan
manusia dengan alam. Banyaknya formulasi filsafat untuk membentuk wawasan Islam
kontemporer, sains dan pengetahuan, paling tidak bisa memenuhi kriteria paling
dasar tersebut