بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sepotong hari di Rajab yang kering. Lebih dari seribu empat ratus
tahun yang lalu. Lelaki yatim piatu yang dipilih Tuhannya menjadi suluh
di tengah pekat gelap kebodohan zamannya terbangun dengan seyum
mengembang. Lelaki penggenggam cinta semesta itu sungguh bahagia.
Setelah mengalami tahun yang penuh kesedihan, dimana kasih sayang Tuhan
seolah tersamar kini ia benar-benar mengalaminya. Ia menemukan garis
perjuangannya, pangkal dari sebuah jalan terjal yang telah ditempuh
manusia sejak mereka diciptakan. Di Baitul Maqdis ia bertemu mereka,
para penggenggam cinta dan bara. Membuatnya merasa tidak sendirian.
Namun, itu belum seberapa, segera saja ia menanjak ke atas. Menembus
dimensi demi dimensi untuk bertamu pada Sang Maha Cahaya. Bersua,
menerima langsung titah-Nya. Duhai, kebahagian apa lagi yang bisa
menandingi bahagianya makhluk kala bertemu Sang Khalik? Ketika jiwa yang
kerontang haus merindu diguyur jernih segarnya cinta? Maka lelaki itu
diliputi bahagia. Meski beberapa jenak yang lalu ia dicemooh semua
orang, dituduh gila, difitnah sebagai penyihir, sahabat-sahabatnya
disiksa dan ia tidak sanggup berbuat apa-apa. Sedang sang istri teman
berbagi luka telah pergi tak kembali. Derita itu kini tampak seperti
debu, tak berarti dibanding risalah cinta yang harus ia dakwahkan,
dibanding kasih sayang Allah yang selalu ada di sisinya.
Seharusnya, lelaki mulia itu tidak usah kembali ke bumi yang panuh onak
ini. Ia telah menemukan yang selama ini dicari oleh siapapun yang pernah
dilahirkan ; kebahagiaan sejati bertemu pencipta. Tapi toh ia tetap
kembali, karena ia tahu perjuangan sesungguhnya bukan sekedar perjalanan
seorang diri mencari cinta Tuhan untuk dinikmati sendiri dalam sebuah
ekstase, melainkan sebuah perang abadi dengan angkara, yang harus
dilakukan bersama-sama demi tersebarnya cinta Tuhan di muka bumi. Bukan
di langit. Momen yang baru saja ia alami bukan hanya tentang dia, ini
adalah tonggak sejarah, dimana langit menunjukan restunya secara
langsung. Bukan sekedar pesan yang diwahyukan dari atas, tapi undangan
agar wakil bumi langsung datang, mengambil pesan Tuhan untuknya.
Peristiwa bahagia itu tidak hanya dirayakan olehnya dan para
sahabatnya. Semua penghuni langit dan bumi juga menyambutnya suka cita,
karena setelah itu semuanya akan berbeda ; peradaban cahaya telah lahir,
kegelapan akan segera sirna. Dan tidak lama setelah itu ia beserta
sahabat-sahabatnya berpindah ke Yatsrib, sebuah kota oase di tengah
gurun, juga oase bagi benih cinta semesta yang baru tumbuh. Dari kota
kecil itulah kelak pohon kebaikan, syajarah thayyibah, tumbuh menjulang
subur. Buahnya ranum lalu tersebar ke seluruh pelosok dunia. Menghalau
dahaga abadi manusia, dahaga akan kebenaran. Semuanya berawal dari
sebuah persuaan agung, antara seorang lelaki yatim berhati sutra dengan
Tuhan yang memilihnya memikul beban jutaan tahun kedurhakaan manusia ;
sebuah mi’raj besar. Di sepotong Rajab yang kering lebih dari seribu
tahun yang lalu.
Kini, pada satu titik di sebuah Rajab yang
lembab, seorang lelaki bangun dari tidurnya. Ia terseyum getir mendapati
dirinya begitu kerdil dan ringkih tapi tidak tahu malu mencoba meniti
jalan yang telah direstui langit. Ia bertanya-tanya, apakah ia
benar-benar telah berjuang? Akankah bahagia dan rehat juang bisa ia
temukan di dalam mi’raj kecilnya yang berantakan? Bisakah ia membawa
sedikit oleh-oleh bagi manusia dari setiap mi’taj kecilnya yang tak
karuan? Apakah mi’raj kecilnya yang kacau balau mampu memberikan sedikit
arah baik bagi sejarah diri dan masyarakatnya? Semua tanya, dan lelaki itu kembali
mencoba tersenyum. Rasanya pahit, pahit sekali.