Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Homoseksualitas dalam Islam (2); Apakah Homoseksualitas adalah Fitrah?

Homoseksualitas dalam Islam (2); Apakah Homoseksualitas adalah Fitrah?

Written By apaaja on Sabtu, 30 Januari 2016 | 01.09.00



Salah satu tema sentral dalam problem homoseksual dari segi teologis adalah bahwa keadaan tersebut --orientasi seksual kepada sesama jenis-- adalah bagian dari kodrat Allah kepada seseorang. Beberapa pemikir liberal pun menghalalkan homoseksual dengan dalih ini. Tim penulis Fiqih Seksualitas misalnya menyatakan bahwa homoseksualitas adalah takdir, sehingga harus diterima (rida) oleh yang bersangkutan dan ditolerir oleh masyarakat.[1] Di dalam Islam, konsep yang memiliki kaitan dengan ini adalah fitrah penciptaan manusia. Sebab term fitrah digunakan untuk menggambarkan keadaan manusia ketika lahir di muka bumi ini.[2] Istilah ini bahkan digunakan di dalam al-Qur’an dalam narasi yang menggambarkan penciptaan langit, bumi, dan manusia.[3]
Secara etimologi fitrah memiliki beberapa makna. Kata fitrah adalah serapan dari bahasa Arab فطرة, sehingga pengertiannya akan dibahas dari sudut pandang bahasa Arab. Kata ini berasal dari فطر (fa ṭa ra) yang berarti menguak atau membelah. Sementara para ahli bahasa menambahkan bahwa fitrah adalah menciptakan sesuatu untuk pertama kali/ tanpa ada bentuk sebelumnya, fitrah juga bisa diartiakan asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar[4], fitrah juga bisa diartikan keadialan suci[5]. Artinya fitrah merupakan penciptaan seseorang yang sesuai dengan agama yang benar dan tuntutan akan hakikat kehidupan yaitu mencari keadilan tentang penyembahan akan tuhan. Fitrah merupakan sifat bawaan yang ada sejak lahir[6]. Dari sini disimpulkan bahwa dalam konsep fitrah, manusia pada dasarnya sudah memiliki kecendrungan untuk mengikuti kebaikan. Olehnya konsep fitrah tidak bisa disamakan dengan teori tabularasa bahwa manusia lahir dalam keadaan netral tidak memiliki potensi apa-apa.[7] 
Potensi kebaikan yang tertanam di dalam diri manusia sesuai fitrahnya adalah potensi untuk taat kepada Allah. Hal tersebut jelas, sebab tujuan penciptaan manusia adalah menjadi hamba yang taat kepada-Nya.[8] Untuk mencapai ketaatan tersebut tentu saja manusia telah dikaruniai pengetahuan tentang Allah sejak perjanjian primordial.[9]Al-Attas di dalam penejelasanya mengenai nature of man, menyatakan bahwa agama  dan pengetahuan instrinsik di dalam jiwa manusia merupakan bagian dari fitrah penciptaannya.[10] Penggunaan kata fitrah di dalam surah ar-Rum : 30, menguatkan pengertian ini. Di dalam ayat tersebut, frasa fitratallāhi disandingkan dengan ad-dīn hanīfah. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah memang menciptakan (faţara) makhluknya di atas keislaman. Abu Hurairah mengutip ayat tersebut setelah meriwayatkan hadis pokok tentang fitrah, ini menunjukan bahwa Abu Hurairah memahami fitrah terkait erat dengan kebaikan dan secara khsus kepada Islam.[11]
Berdasarkan konsep fitrah ini, maka dalam konteks noramlitas dari perspektif Islam, seorang yang normal adalah seorang yang berada di atas fitrahnya yaitu cenderung kepada kebaikan. Konsep normal dan abnormal sangat penting dipahami sebab dari sinilah akan ditputuskan, apakah homoseksualitas merupakan keadaan asal yang normal bagi manusia atau bukan. Normalitas dari perspektif para ulama disebut sebagai keadaan hati yang sehat (al-qalb as-salīm). Di dalam karyanya Igāṡah al-Luhfān, Ibn al-Qayyim al-Jauzīyah merangkum pendapat para ulama mengenai karakteristik hati yang sehat, yakni hati yang selamat (salima) dari setiap keinginan (syahwah) yang bertentangan dengan perintah atau melanggar larangan Allah serta hati yang selamat dari keragu-raguan (syubhāt) yang bertentangan dengan kabar dari-Nya.[12] Jadi ada dua penyebab utama hati menjadi sakit ; syahwah dan syubhah.
Syahwat di dalam bahasa Indonesia lebih berkonotasi pada nafsu seksual, tapi dalam pengertian al-Qur’an, syahwat pada dasarnya adalah anugrah yang diberikan Allah kepada manusia dan harus digunakan pada jalan kebaikan. Al-Ragib al-Asfahānī di dalam al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān menjelaskan bahwa syahwat adalah dorongan kuat terhadap jiwa agar meraih yang diinginkannya. Syahwat memiliki dua bentuk, ada yang baik (syahwah ṣādiqah) dan ada pula yang buruk (kāżibah).[13] Syahwat yang buruk adalah dorongan jiwa untuk meraih sesuatu yang dilarang oleh Allah. Homoseksualitas di dalam al-Qur’an disifati sebagai syahwat yang buruk (fāḥisyah).[14] Perbuatan lain yang disifati dengan kata fāḥisyah oleh al-Qur’an adalah perzinahan, olehnya beberapa ulama menyamakan antara perbuatan liwāţ kaum homoseks dengan perbautan zina. Hubungan dari keduanya adalah sama-sama ekspresi syahwat yang kelaur dari fitrah manusia.
 Godaan untuk menyimpang dari fitrah melalui syahwat adalah bentuk ujian Allah kepada manusia. Manusia tidak diciptakan untuk terus-menerus suci sepanjang hidup mereka. Syed Muhammad Naquib al-Attas menejalaksan bahwa meskipun telah memiliki fitrah yang innate pada dirinya, manusia tetap memiliki potensi untuk berbuat salah. Perbuatan tersebut berasal dari kelupaannya terhadap fitrah dirinya. Manusia disebut al-insān, karena sebab ini. Insān seakar dengan kata nisyān, yang berarti lupa.[15] Di dalam al-Qur’an sendiri telah disebutkan bahwa Allah mengilhamkan fujūr dan taqwa ke dalam jiwa manusia (nafs).[16] Fujūr menurut ar-Rāgib berarti tercabiknya tabir agama (syaqq satri diyānah).[17] Maka fujūr yang telah diilhamkan Allah kepada jiwa manusia adalah potensi kerusakan fitrah. Namun demikian, Allah pun telah mengilhamkan taqwa yang berarti menjaga diri.
Dari perspektif ini, homoseksualitas dipandang sebagai bagian dari fujūr yang harus dilawan dengan taqwa oleh mereka yang merasakan kecendrungannya. Telah dipaparkan pada bagian kajian psikologis, bahwa meskipun ada kemungkinan genetik dalam etiologi homoseksual, faktor lingkungan tetap yang paling dominan. Sebagaiman disebutkan dalam hadis bahwa fitrah bisa berubah karena faktor lingkungan dan pola asuh di kelaurganya.[18]Meski demikian, ia bisa saja berubah jika memiliki motivasi yang kuat. Taqwa adalah sumber motivasi tersebut. Manusia harus melawan semua kecendrungan buruk pada dirinya. Para ulama telah merumuskan upaya beranjaknya jiwa manusia dari tingkatan pergolakan melawan fujūr hingga menjadi jiwa yang tenang (an-nafs al-muţmainnah). Rumusan tersebut diderivasi dari pembagian al-Qur’an atas jiwa manusia menjadi tiga macam ; an-nafs al-ammārah bi as-su’, an-nafs al-lawwāmah, dan an-nafs al-muţmainnah.[19]  
  Pembagian nafsu menjadi tiga di atas sebenarnya adalah entitas yang sangat dinamis, manusia senantiasa berusaha beranjak menjadi lebih biak. Fitrah manusia senantiasa beredar di antara tiga keadaan tersebut. Keadaan pertama adalah an-nafs al-ammārah bi as-su’, secara literal berarti jiwa yang selalu mengarahkan diri pada keburukan.[20] At-Tustari di dalam tafsirnya menyebutkan empat tabiat dari nafsu ini yang membuatnya menjadi tingkatan terendah ; pertama nafsu hewani (bahāim) yang berpusat pada pemuasan birahi seksual dan nafsu makan ; kedua nafsu syaitani (tab’u asy-syayāţīn) yang mendorong manusia untuk tenggelam dalam perbuatan yang sia-sia ; keiga nafsu ini akan mendorong orang-orang untuk berbuat licik dan menipu ; keempat, nafsu ini selalu mendorong seseorang untuk berlaku sombong dan angkuh seperti Iblis (al-abālisah al-istikbār).[21] Orientasi homoseksual jelas merupakan dorongan dari nafsu ini, khususnya pada tabiat bahāim yang mendorong seseorang untuk selalu mencari kepuasan seksual. Bila diikuti, maka nafsu ini akan meminta pemenuhan menjadi tindakan homoseksual.  Apabila tidak ada perlawanan, maka seseorang berorientasi homoseksual akan melakukan come out, dan menjadi gay. Ia akan merasa bangga atas maksiat yang dilakukannya. Pada tahap ini, ia telah jatuh di dalam perangkap keempat yakni menjadi angkuh dengan penyimpangannya dari fitrah.
Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk melawan kecendrungan nafsu yang buruk. Meskipun manusia bisa saja jatuh ke dalam keadaan buruk sebab kealpaannya, Allah telah memberikan mereka potensi berupa ilmu serta kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, kemudian manusia diberkan petunjuk langsung berupa wahyu. Allah memberikan manusia kekutan ikhtiyār, yakni kemampuan untuk selalu memilih jalan terbaik.[22] Bahkan manusia yang telah jatuh ke dalam keburukan akan merasa gelisah atas keadannya tersebut. keadaan gelisah karena penyimpangan ini disebut an-nafs al-lawwāmah.[23] Secara literal lawwāmah berarti selalu menyalahkan dirinya, menyesali keadannya. Seorang yang berada pada keadaan ini selalu menyesali dirinya sembari terus bersungguh-sungguh melakukan kebaikan.[24] Keadaan ini merupakan langkah besar pertama dalam perkembangan psiko-spritual seseorang. Dari perspektif lain, Ibn al-Qayyim menyebut keadaan ini sebagai hati yang sakit (al-qalb al-marīḍ). Ciri hati sakit adalah padanya ada kecintaan kepada Allah tapi ia senantiasa dibayangi syahwat yang berusaha memalingkannya dan selalu ia lawan dengan gelisah.[25]
Dalam keadaan nafs al-lawwāmah seseorang harus terus menerus mengikuti ilmu dari Allah (wahyu) serta mengikuti akal sehatnya. Al-Attas menegaskan bahwa manusia di dalam tahapan ini sedang berjuang melawan nafsu hewani (animal powers). Untuk memenangkan pertarungan tersebut, ia harus memakai ilmu pengetahuannya, akhlak yang sempurna, serta usaha yang kuat.[26] Muslim yang mengalami keadaan ini juga perlu senantiasa meminta pertolongan kepada Allah, Dia akan senantiasa memenuhi permohonannya.[27] Seoarng yang memiliki kecendrungan homoseksualitas di dalam dirinya dan merasa gelisah atas keadaan tersebut sedang berada di fase ini. Maka ia seharusnya mengikuti tuntunan wahyu untuk menjauhinya. Kajian psikologi yang telah disebutkan di atas telah menunjukan bahwa ia bisa berubah bila menguatkan motivasinya. Akal sehat harus didahulukan di atas keinginan nafsunya. Telah terbukti bahwa kaum homoseksual yang berkecimpung di dalam kehidupan gay adalah kelompok paling rentan terhadap penularan penyakit kelamin dan AIDS. Seorang yang memiliki akal sehat akan menghindarkan  dirinya dari kecelakaan dunia dan akhirat.
Manusia yang berhasil melewati tahapan an-nafs al-lawwāmah akan memperolah ketenangan batin di sisi Allah. Keadaan ini disebut a-nafs al-muţmainnah  yang secara literal berarti jiwa yang tenang.[28] Al-Khāzin di dalam tafsirnya menggambarkan jiwa ini sebagai jiwa yang menetapi keimanan, ketakwaan, membenarkan dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah. Ia rida terhadap keadaan dirinya sesuai ciptaan Allah.[29] Bagi seorang yang memiliki kecendrungan homoseksual dan berhasil mengatasinya, ia harus tunduk kepada ketentuan Allah meskipun itu tidak mudah. Ia rida terhadap cobaan dari Allah berupa kecendrungan menyukai sesama jenis. Bentuk keridaannya ini bukanlah dengan mengikuti kecendrungan tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh kaum liberal. Keridaan yang sesungguhnya, sebagaiman ditegaskan al-Khazin, adalah rida mengikuti ketentuan wahyu meskipun ia harus berusaha melawan kecendrungan buruk dalam dirinya. Allah memastikan ujian yang diberikan pasti bisa dilewati oleh hamba-Nya.[30] Apabila dirinya sukar dalam usaha tersebut, ia jatuh kembali di dalam homoseksualitas selama terapi, maka ia tidak boleh berputus asa. Allah bersedia senantiasa menerima taubat dari hamba-Nya[31]


[1] Husein Muhammad et al, Fiqh Seksualitas... hal 17
[2] Yasien Mohamed. "Fitrah And Its Bearing On The Principles Of Psychology."American Journal of Islamic Social Science 12.1 (1995), hal 2
[3] Baharuddin, Aktualisasi Psikolog Islam...., hal 17
[4]Louis Ma’luf dan Fr. Bernard Tottel, Qamus al-Mujid (Bairut:Darul al-Mausyaraq, 2003) hal. 577
[5]Dyayadi, M.T, Kamus Lengkap Islamologi, (Yogyakarta, 2009), hal.181
[6] Achmad Warson Munawar, Kamus Al-Munawir, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), hal.1063
[7] Baharuddin, Aktualisasi Psikolog Islam....hal 27.
[8] QS. adz-Dzariyat: 56
[9] Al-Maraghi menjelaskan bahwa makna “وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ  dalam surah adz-Dzariat : 56 adalah manusia diciptakan untuk mengenal Allah lalu menaatinya, sehingga pengetahuan tentang-Nya adalah pra-syarat ketaatan. Amhad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo : Syirkah Mustafa Bab al-Halabi wa Abnah, 1946), vol. XXVII, hal 13.
[10] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1995), hal 144
[11] Hadis yang dimaksud adalah hadis riwawat Bukhari :
 حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُولُ: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاف لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِق ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

[12] Teks aslinya berbunyi ;
وقد اختلفت عبارات الناس في معنى القلب السليم والأمر الجامع لذلك : أنه الذي قد سلم من كل شهوة تخالف أمر الله ونهيه ومن كل شبهة تعارض خبره .
Muhammad bin Abu Bakar Ayyub az-Zar’i Abu Abdullah Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ighatsah al-Luhfan, (Beirut : Dar al-Ma’arif, 1975) vol I, hal 7.
[13] Al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal Abū al-Qāsim al-Ragib al-Asfahani, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, (Damaskus : Dār al-‘Ilm, 1412 H), vol I. hal 468.
[14] QS. Al-A’raf (7): 80-81.
[15] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena....hal 144
[16] QS. Asy-Syams (91) :
[17] Al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal Abu al-Qasim al-Raghib al-Asfahani, Mufradat fi Gharib...hal 626.
[18] Ini merujuk kepada hadis yang telah disebutkan sebelumnya yakni lafal ; فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِه
[19] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena....hal 145
[20] QS. Yusuf (12) : 53
[21] Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Rafi’ at-Tustari, Tafsir at-Tustari, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1423 H), vol I, hal 82
[22] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena....hal 145
[23] QS. Al-Qiyamah (75) : 2
[24] Jalal ad-Din Muhammad Ahmad al-Mahalli dan Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tafsir al-Jalalaini, (Kairo : Dar al-Hadis, tt), vol I. hal 779.
[25] Muhammad bin Abu Bakar Ayyub az-Zar’i Abu Abdillah Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ighatsah al-Luhfan...vol. I, hal 9.
[26] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena....hal 147
[27] QS Al Mukmin:60
[28] QS. Al-Fajr (89) : 27
[29] Alauddin Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Khazin, Lubab at-Ta’wil bi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415), vol. IV, hal 428
[30] QS. Al-Baqarah (2) : 286
[31] QS. Az-Zumar (39) : 53- 54
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template