بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
pak, al-Qur'an jangan ditafsirin sembarangan dong, malu sama mbah yai yg ngajar kamu alif ba ta sa dulu |
Mukadimah
Kontroversi LGBT mau tidak mau akan menarik agama ke
dalam pusarannya. Sebab sekarang ini, kaum religiuslah yang menjadi penghalang
utama laju ekspansi legalisasi hak
seksual LGBT di dunia. Mungkin dalam
rangka “menjinakan” umat beragama ini, dilakukanlah penafsiran bermacam-macam
atas teks-teks keagamaan yang selama ini menjadi basis penolakan pada laku
seksual kaum non-hetero. Ya, “laku seksual” sebab untuk hal-hal lainnya, umat
bergama tidak akan menghalangi atau mendiskriminasi mereka.
Sebab Adzab Kaum Luth
Ada
beberapa penafsiran yang diajukan oleh para pendukung legalisasi pernikahan
sejenis dalam upaya mereka meruntuhkan narasi yang dianggap konservatif.
Sepanjang pembacaan kami, tafsiran-tafsiran
itu belum ada yang benar-benar baru. Misalnya tulisan salah satu pemikir Muslim yang dipromosikan
salah satu situs komuntas kreatif, inspirasi.co.
Tafsiran itu bukan pertama kali ini saya baca. Sang pemikir yang dikutip penuh
tulisannya itu hanya memolesnya agar tampak canggih, intinya sama ; umat Luth
bukan diazab sebab mereka homoseks, tapi karena mereka mengingkari Rasul.
Jadi,
tidak ada yang betul-betul istimewa dari tawaran penafsiran tersebut. Tafsiran
demikian pada kisah Luth bahkan sudah lama menjadi narasi yang
digembar-gemborkan di penyuluhan yang mengampanyekan hak seksual kaum LGBT
dengan topeng edukasi HIV/AIDS. Seorang petinggi ormas perempuan Islam cukup
ternama pernah dengan semangat menyampaikan tafsiran itu di diskusi yang kami
ikuti. Ia mengaku mendengarnya dari penyuluhan semacam itu.
Menariknya, di dalam diskursus tafsir klasik
ternyata alur logika bahwa umat Luth diazab bukan kerna homoseks sudah pernah
didiskusikan oleh ulama-ulama Madzhab Maliki. Entahlah, apakah sang pemikir dan
yang sepakat dengannya meminjam logika itu dari ulama-ulama Maliki atau murni
ide iseng mereka. Pastinya, pemikiran yang diklaim “beda” itu, faktanya sudah
agak usang.
Diskusi
mengenai kemungkinan kaum Luth diazab bukan karena homoseksual bisa ditemui di
dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi dan Ahkam
al-Qur’an karya Ibnul Arabi. Di dalam kedua tafsir bercorak hukum itu,
disebutkan bahwa Imam Malik mengajukan hukuman rajam bagi pelaku homoseksual muhsan
dengan dalil QS. Al-Hijr ayat 74 yang menceritakan kaum Luth dihujani batu dari
neraka Sijjil. Sebagian ulama tidak sepakat dengan cara mengambil dalil
tersebut, alasan mereka adalah ada kemungkinan akan muncul gugatan bahwa kaum
Luth di azab sebab mereka ingkar bukan karena homoseks.
Namun
demikian Imam al-Qurthubi dan Ibnul Arabi menolak alur berpikir tersebut.
Al-Qurthubi (2003:VII/ 234) menegaskan, “Jika ada yang menyatakan adzab kaum
Luth hanya disebabkan kekufuran dan mengngkari Rasul seperti umat-umat yang
lain maka pendapat itu salah. Sebab Allah telah menjelaskan bahwa mereka diazab
sebab berbagai macam maksiat yang mereka
lakukan. Di antara maksiat-maksiat (yang dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an
itu) adalah perbuatan homoseksual.”
Bantahan
al-Qurthubi ini sangat beralasan sebab meski al-Qur’an menyebutkan maksiat
lainnya yang dilakukan umat Luth, tapi secara khusus tindakan homoseksual
mereka disebutkan dan dirujuk sebagai perbuatan yang keji (fahisyah).
Tidak mungkin celaan itu tidak memiliki implikasi apa-apa. Di dalam ilmu Ushul
Fikih sendiri, telah dimaklumi bahwa larangan Allah tidak selamanya bersifat
eksplisit. Shigaht nahyi (perintah larangan) bisa berupa deskripsi
betapa buruknya perbuatan itu.
Seperti
telah disebutkan, pemikiran bahwa kaum Luth diazab bukan karena homoseksualitas
mereka sudah lama ada. Secara khusus, ulama Maliki mendiskusikannya ketika
membahas masalah liwat, atau ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan
dengan umat Luth. Tapi berbeda dengan pemikir liberal, ulama-ulama ini
mengajukan logika tersebut bukan dalam rangka membatalkan keharaman tindakan
homosekual. Mereka mengajukan pemikiran itu ketika membahas hukuman atas pelaku
homoseksual, apakah dirajam seperti had zina ataukah dijatuhi hukuman ta’zir
yakni bentuk hukumannya diserahkan kepada penguasa. Adapun keharamannya,
maka sudah menjadi kesepakatan bersama.
Bahkan
Ibnu Hazam yang namanya dicatut di salah satu artikel pemikir liberal itu
secara eksplisit menyatakan keharaman seluruh perbuatan kaum Luth, tentu saja
termasuk perilaku homoseksual. Sesiapa yang menghalalkannya maka bisa jadi
jatuh ke dalam kekafiran (Ibnu Hazm, tt : XI/380). Ibnu Hazam hanya menyatakan
bahwa perbedaan pendapat ulama terletak pada bentuk hukumanny sama seperti
diskusi yang disebutkan oleh al-Qurthubi dan Ibnul Arabi. Dus, ulama hanya berbeda pendapat soal bentuk
hukuman, bukan keharamannya.
Homoseskual Moderen Bukan Liwath
Di
dalam tulisan tersebut, sang pemikir berkata bahwa kaum Luth hanya melakukan
sodomi kepada para pelancong dari luar kota, dan bahwa sebab mereka melakukan
itu pun tidak jelas. Seperti diakui sendiri oleh beliau, al-Qur’an tidak
memberikan penjelasan detail tentang kisah Luth. Salah satu yang tidak
diberikan detail adalah asal “korban” mereka. Tidak disebutkan apakah mereka
melakukan tindakan homoseksual hanya dengan pendatang dari luar kota ataukah
dengan sesma mereka. Olehnya argumen bahwa mereka hanya “memperkosa” pendatang
hanyalah asumsi saja.
Justru
yang diberikan penjelasan adalah alasan mereka melakukannya. Al-Qur’an memang
tidak memberikan penjelasan detail berupa narasi. Tapi sedikit memperhatikan
kaidah bahasa Arab akan memberikan kita petunjuk yang jelas. Di dalam surah
al-A’rāf ayat 81 dan an-Naml ayat 55 yang menjelaskan perbuatan kaum Luth, kata
syahwah (شهوة) berkedudukan sebagai maf’ūl li
ajlih. Kedudukan tersebut menunjukan bahwa syahwat adalah motif tindakah
homoseksual kaum Luth. Ar-Raghib
al-Asfahani di dalam Mufradat Alfadz al-Qur’an menjelaskan syahwah sebagai
dorongan kuat dalam hati manusia untuk mencapai sesuatu. Dalam peristilahan
kini, kaum Luth melakukan tindakan homoseksual sebagai pelampiasan dari
kecendrungan same sex attraction mereka. Dengan kata lain, kaum Luth
melakukan semua itu karena mereka tidak lagi mau mengendalikan hawa nafsu
mereka. Kemana syahwat memanggil, ke sana mereka berlari.
Penjelasan
di atas juga membatalkan argumen beberapa pemikir liberal yang mencoba
membedakan liwath dengan homoseksualitas. Menurut mereka liwāṭ adalah perbuatan sodomi
atau anal seks yang bisa dilakukan siapa saja termasuk pria heteroseks dan
biseksual, sedangkan homosesksualitas lebih bersifat psikologis sehingga lebih
tepat digunakan istilah mukhannas (Husein Muhammad dkk, tt : 90).
Arah argumen mereka adalah untuk membenarkan homoseksualitas sebab para ahli
fikih memang menerima adanya mukhannaṡ bi al-khalq, yaitu mereka yang terlahir sebagai pria dengan
sifat-sifat feminim. Inti dari pendapat ini adalah mengarahkan pengharaman
hanya kepada tindakan sodomi (prakek anal seks) sedangkan orientasi homoseksual
harus diterima dengan rida (Husein Muhammad dkk, tt : 91-95).
Argumen
mereka ini betul-betul menjebak. Tapi jika diperhatikan dengan teliti, akan
nampak kekeliruannya. Nyatanya istilah liwāṭ bukan saja merujuk kepada
tindakan seksual (sexual behavior) tapi juga merujuk kepada orientasi
seksual, yang secara psikologis melibatkan persaan cinta dan ketertarikan. Hal
ini bisa dilihat dari akar kata “لوط ” yang secara etimologis
mengandung pengertian cinta dan melekat atau cinta yang melekat di hati (al-hub
al-lāziq bi al-qalbi) sebagaimana dipaparkan Ibnu Manzhur di dalam Lisān
al-‘Arab (Ibnu Manzhur, tt : VII/394).
Penutup
Orang-orang
liberal dengan berbagai dalih mencoba menghalalkan perbuatan yang jelas
dilarang oleh Allah. Mereka kerap memakai trik yang sangat halus dengan
memlintir pendapat ulama atau melakukan tafsiran yang dipaksakan (takalluf).
Namun jika kita perhatikan, semua itu bukan usaha yang murni untuk mencapai
pengertian yang benar dari al-Qur’an atau hadis. Jelas sekali mereka telah
memiliki agenda atau ideal yang hendak dibenarkan, yakni halalknya
homoseksualitas dan LGBT secara umum. Olehnya umat Islam pun patut waspada dan
terus menambah ilmunya.
*tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi Februari 2016, dimuat lagi di sini karna nggak ada tulisan lain padahal udah lama nggak update huehehe