Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Apakah Gay Normal? Tinjauan Kritis atas Diskursus Homoseksualitas dalam Psikologi

Apakah Gay Normal? Tinjauan Kritis atas Diskursus Homoseksualitas dalam Psikologi

Written By apaaja on Sabtu, 30 Januari 2016 | 01.16.00


Nicholas Cumming, mantap presiden APA yang menantang deklasifikasi homoseksual dari DSM


Perkembangan diskursus homoseksualitas di dalam psikologi sangat dipengaruhi oleh basis epistemologi ilmu ini.  Olehnya perlu untuk membahasnya secara ringkas terlebih dahulu. Psikologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yang berarti ilmu tentang jiwa. Secara istilah psikologi adalah bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia. Psikologi modern dinyatakan independen ketika Wilhelm Wundt mendirikan  laboratorium  psikologi pertama di Leipzig tahun 1873.[1]  Suatu ilmu tentu akan dipengaruhi oleh worldview peradaban tempat ia lahir, termasuk psikologi[2].  Pengaruh  worldview Barat di dalam landasan epistemologi psikologi akan akan nampak bila  melihat lanskap intelektual kelahirannya. Ilmu ini lahir pada kembangkitan intelektual  Barat yang kedua ditandai dengan berkembangnya epistemologi empirisme.[3]Paradigma empirisme inilah yang selanjutnya menyulut perkembangan psikologi modern dalam memandang jiwa manusia.
Dalam sejarahnya  ada beberapa paradigma yang berkembag di dalam psikologi, tapi semuanya masih di atas koridor empirisme. Hal itu membuatnya tetap menolak mengaitkan sesuatu yang spritual dengan jiwa manusia. Sebelum Wundt pemikiran psikologi disamapaikan antara lain oleh John Locke (1623 - 1704) dan James Mill (1773-1836). Merek][a mengkaji jiwa dengan prinsip-prinsip kausalitas dan melahirkan aliran Association. Selanjutnya psikologi menajdi sangat dipengaruhi oleh metode eksperimental fisika, sehingga lahirlah aliran Struktiralisme. Aliran ini memandang jiwa sebagai bagian-bagian yang berhubugan dalam satu sistem. Tokohnya antara lain adalah William Wundt (1832-1920). Berikutnya muncul aliran Fungsionalisme yang mengkaji jiwa sebagai daya hidup dinamis dan pragmatis yang mendoronng aktifitas tingkah laku dalam hubungannya dengan lingkungan. Tokoh-tokohnya antara lain John Dewey (1859 - 1952). Usaha untuk memadukan kedua aliran ini adalah teori Gestalt. Setelah itu muncul Sigmund Freud (1856 - 1939) dengan teori psikoanalisis yang mendalami alam bawah sadar melalui konsep id, ego, dan superego. Aliran ini dianggap terlalu subjektif sehingga muncul Behaviorisme dengan tokoh antara lain BF. Skinner (1904 - 1990). Behaviorisme dianggap puncak dari psikologi empiris yang melihat jiwa secara positivisik dan mekanis.[4]
Perkembangan psikologi pasca Behaviorisme masih tetap empiris. Reaksi terhadap positivsme reduksionis sesungguhnya terlihat pada psikologi Humanis yang dikembangkan antara lain oleh Abraham Maslow, begitupula psikologi transpersonal. Namun demikian keduanya tidak luput dari kritikan dalam cara mereka menggambarakan manusia. Psikologi Humanistik memang memuliakan manusia lebih dari determinsme biologis Psikoanalisis atau mekanis Behaviorisme. Tapi psikologi Humanis dinilai sangat optimistik dan bahkan terlampau optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia   dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran Tuhan).[5] Begitu pula psikologi Transpersonal, konsep spritual yang disebut oleh pelopornya seperti Frakl adalah neotic yang dimaknai sebagai sumber aspirasi manusia  untuk hidup bermakna, dan sumber dari kualitas-kualitas insani.[6] Pemaknaan ini masih dalam koridor empirisisme dan menolak kaitan jiwa dengan sesuatu yang metafisik. 
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa ilmu psikologi, dengan semua aliran arus utamanya dibangun di atas epistemologi Barat yang sekuler.[7] Dampaknya adalah penolakan terhadap jiwa spritual sehinngga terjadi reduksi terhadap konsep jiwa. Hilangnya jiwa yang spritual ini diakui oleh Otto Rank, salah satu murid terbaik Freud ;

 Prescientific and nonscientific psychology has always been the true psychological dicipline and the source of all psychologies including those that study the soul scientifically. Scientific psychology which seems to know very little about the soul claims to seek the truth about it, but reject the contribution of ancient beliefs...to explain it. It performs experiment which seem always to prove that the soul does not exist.[8] 
Otto Rank melihat psikologi saintifik gagal mengenali jiwa karena menolak interpretasi religius dan spritual. Metode eksperimen yang dilakukan oleh psikologi modern justru mengarahkannya untuk semakin menjauhi konsep jiwa spritual tersebut. Pada saatnya sikap ini berdampak pada diskursus homoseksualitas dimana pandangan-pandangan terhadap fenomena ini yang berasal dari pandangan agama akan dikesampingkan. 
Epistemolog sekuler tidak mengakui wahyu sebagai sumber ilmu, sehingga semuanya bergantung kepada indra dan nalar yang penemuannya terus berubah.[9] Proses ekplorasi nalar dan indra tersebut bersifat resiprokal dengan nilai-nilai di dalam tatanan sekuler yang ever shifthing, selalu berubah.  Di dalam sekulerisme tidak ditemukan pegangan yang tetap sebagai tolak ukur kebenaran.[10] Selain itu sekulerisme bersifat materialistik, menolak klaim kebenaran yang berdasarkan otoritas  metafisis. Watak epistemologi sekuler ini pada gilirannya berpengaruh di dalam kesimpulan-kesimpulan para psikolog, termasuk dalam diskursus homoseksualitas.
Salah satu bagian psikologi yang rentan terhadap bias sekulerisme barat adalah penentuan abnormalitas. Bias sangat mungkin terjadi sebab kriteria abnormalitas cukup relatif.[11] Bias yang terdapat di dalam penentuan abnormalitas ini telah disadari oleh para psikolog. Secara cukup radikal Thomas S. Szasz, menggugat konsep abnormalitas atau gangguan mental. Baginya, gangguan mental hanya mitos. Masalah sebenarnya adalah problem individual, sosial dan etika dalam masyarakat.[12] Kritik ini lahir dari kesadaran bahwa konsep ini sangat dipengaruhi oleh konstruk kultural. Sifat value-laden psikologi terus berpengaruh dalam evolusi konsep abnormalitas. Setelah mencatat evolusi kriteria gangguan mental atau abnormalitas temasuk pada DSM, Gerrig Zimbardo Campbell Cummingdan  Wilkes  menegaskan bahwa semua itu terjadi bukan hanya karena perubahan opini para psikolog, tapi juga sangat dipengaruhi oleh peruabahan nilai dalam masyarakat.[13] Di sini terlihat pengaruh ever shifting nilai dalam tatanan sekuler.
Secara umum Getzfeld menyebutkan adanya tiga perspektif yang digunakan sebagai kriteria dalam menentukan abnormalitas ; sudut pandang statistik, sudut pandang norma-norma umum dan sudut pandang maladaptive.[14] Sudut pandang statistik menggunakan hitungan matermatis yang ditampilkan di dalam kurva. Orang-orang normal berada di tengah grafik sedangkan persebaran abnormal berada di pinggiran kurva. Sudut pandang norma berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan sudut pandang maladaptive adalah ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi pada situasi tertentu sebab keadaan jiwanya. Ketiga sudut pandang ini memang sangat memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan standar abnormlitas bila di dalam masyarakat terjadi perubahan nilai.
Menurut Malik Badri, ketiga kriteria ini memiliki banyak kekurangan. Sudut pandang statistik misalnya berpotensi menempatkan seorang yang jenius dan mempunyai kestabilan mental pada posisi yang sama dengan seorang neurotik. Sudut pandang norma jelas bermasalah seiring semakin relatifnya nilai yang menjadi basis norma khususnya pada masyarakat Barat. Begitu pula dengan ketidak mampuan beradaptasi. Seorang muslim yang memegang teguh ajaran agamanya misalnya, akan dianggap tidak normal bila ia merasa tertekan di tengah masyarakat yang serba permisif.[15] Diakhir analisisnya, Malik Badri menyebutkan kekurangan fundamental kriteria ini ;

Jelas bahwa kriteria yang ditentukan oleh psikologi Barat terhadap individu yang memunyai penyesuaian diri yang baik, tidak dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang ilmiyah, namun lebih dilandasi konsep kultural. Konsep yang pada dasarnya berasal dari Barat, atau tradisi-tradisi masyarakat modern yang materialistis.[16]

Malik Badri, seperti dilihat di atas menekankan bahwa posisi abnormalitas dalam psikologi Barat memang banyak pada keadaan maladaptive. Prinspin ini juga tertuang di dalam DSM yakni inflexible and maladaptive traits that cause significant functional impairment or subjective distress.[17]Dalam konteks homosekualitas kriteria ini sangat menentukan. Seksualitas abnormal disebutkan sebagai perilaku seksual yang dapat menyesuaikan diri, bukan hanya dengan tuntutn masyarakat tapi juga kebutuhan diri sendiri dalam hal mencapai kebahagiaan.[18] Dari pemaparan ini, terlihat bahwa perubahan nilai di dalam masyarakat sangat mungkin membimbing pada perubahan paradigma tentang homoseksualitas. Akibatnya, terjadi perubahan arah paradigma dalam meneliti homoseksualitas, sebagaiman akan dijelaskan pada uraian berikut.

a.    Evolusi  Diagnosis Homoseksual
Sejak awal, penelitian para psikolog terhadap homoseksualitas telah menggambarkan perubahan yang terjadi pada peradaban Barat. Ketika masyarakat Barat masih didominasi oleh Gereja, homoseksualitas dipandang sebagai sebuah dosa[19]. Ketika terjadi pertentangan antara otoritas Gereja dan Raja Henry VIII, raja Inggris ini mengintegrasikan larangan homoseksual ke dalam hukum sekuler untuk menandingi kekuasaan Paus.[20] Maka homoseksual pun berubah menjadi pelanggaran hukum dan penyimpangan sosial. Gelombang revolusi sains mendorong para peneliti untuk mengamati homoseksual dari kaca mata ilmu pengetahuan, dalam hal ini psikologi. Penelitan-penelitan itu bermula pada abad ke 19, sebagai upaya untuk mencari penjelasan ilmiyah yang lepas dari kontrol agama atas setiap fenomena.Penelitan tersebut meskipun dianggap telah membentuk citra homoseksual sebagai sebuah penyimpangna mental, juga memiliki dampak baik bagi kaum homoseksual. Temuan para peneliti bahwa kaum homoseks adalah “orang-orang sakit” menjadikan status kesalahan mereka lebih ringan di mata hukum.[21]
Ahli pertama yang diketahui meneliti homoseksualitas secara khusus adalah seorang seksolog berkebangsaan Jerman bernama Karl Heinrich Ulrichs (1825-1895). Sebagai seorang ahli hukum yang juga gay, Ulrichs mengarahkan penelitiannya untuk melawan kriminalisasi terhadap tindakan sodomi di dalam hukum Jerman. Argumennya adalah bahwa homoseksualitas adalah pengaruh fakor biologis.[22] Ia memperkenalkan istilah urning dan urnining untuk menggambarkan seseorang yang memiliki “jiwa” seksual yang berbeda dari kondisi biologisnya. Rekan seperjuangan Ulrich bernama Karl Maria Kertbeny (1824-1882) memperkenalkan isitalh homosexuality pertama kali untuk menggambarkan hubungan sesama jenis.[23] Bila dilihat dari konteks sosiopolitik, kemunculan istilah “homosexual” sangat dipengaruhi perjuangan Kertbeny mempertahankan posisi liberalisme Jerman di depan hegemoni Prusia.[24] Meskipun istilah ini kemudian diambil alih oleh dunia medis dan psikologi.
Kepeloporan kedua tokoh ini memancing penelitan-penelitan selanjutnya tentang homoseksual. Salah seorang ahli yang terpengaruh oleh Ulrich adalah  Karl Westphal (1833-1890). Pada tahun 1869, ia mempublikasikan hasil risetnya tentang para laki-laki yang memiliki sifat feminim serta perempuan yang bersifat seperti laki-laki dan memiliki rasa tertarik kepada sesama jenis. Ia memperkenalkan istilah “contrary sexual feeling[25] Temuan Westphal ini mulai memberikan basis ilimiyah bagi argumen bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang berbeda dari keadaan seksual normal. Istilah yang ditemukan Westphal tersebut diadopsi oleh Arrigo Tamassia (1878) dan diperkenalkan di Italia sebagai "invirsione dell istinto sessuale” yang artinya insting seksual terbalik.[26] Hal yang sama dilakukan oleh psikolog dan neurolog ternama asal Prancis, Jean Martin Charcot (1825-1993), ia mempopulerkan temuan tersebut di negaranya. Charcot memasukan homoseksualitas ke dalam kelompok sexual perversions, penyimpangan-penyimpangan seksual dan termasuk gangguan jiwa. Ia menganggap homoseksual sebagai “degrading consequences of a weakning of morals in a vitited society.[27]. 
Setelah kepeloporan tokoh-tokoh ini, penelitian dengan paradigma homosekusalitas sebagai sebuah penyimpangan terus berlanjut. Penelti yang dianggap berandil menegaskan status kecatatan homoseksualitas adalah  Richard von Krafft-Ebing (1840-1902). Penelitiannya tentang homoseksualitas tertuang di dalam bukunya  Psychopathia Sexualis with Especial Reference to the Antipathic Sexual Instinct: A Medico-Forensic Study (1886).[28] Buku ini adalah sebuah eksiklopedia tentang kelainan, kecatatan, serta penyimpangan seksual yang ditemukan oleh Kraff-Ebing. Tokoh ini seperti kebanyaakan tokoh pada masanya meneliti homoseksualitas dalam perspektif degenerate heredity. Homoseksual dianggap sebagai bentuk kecatatan sebab seharusnya sebuah organisme berjalan kian berkembang, tapi kaum homo justru semakin simpel. Teori ini tentu sangat dipengaruhi oleh Darwinisme.[29] Meskipun telah menegaskan kecatatan kaum homoseksual, menurut Oosterhuis, Kraff-Ebing telah berandil meletakan dengan kokoh pijakan saintifik homoseksualitas dan terpisah dari konsep immoral. Ia juga menghilangkan anggapan bahwa seorang lelaki menjadi homoseks sebab ia memiliki jiwa feminim atau perempuan berjiwa maskulin.[30]
Peralihan abad 19 ke 20 di Eropa ditandai dengan bangkitnya intelektual liberal radikal yang mengembangkan pendekatan permisif terhadap homoseksualitas. Tercatat nama Havelock Ellis (1859-1939), seorang intelektual liberal radikal di Inggris yang menulis buku “Sexual Inversion”, di dalamnya Ellis meyakinkan publik bahwa homoseksual adalah bawaan lahir (congenital) dan pelakunya tidak akan membahayakan diri sendiri maupun masyarakat.[31] Jejak Ellis diperkuat oleh  Magnus Hirschfeld (1868-1935) psikolog dan seksolog asal Jerman. Ia adalah psikolog yang secara terbuka mengakui status homoseksnya. Menurut Hirschfeld, homoseksualitas adalah hal yang alami sebagai “gender ketiga”. Olehnya hukum yang menghalangi mereka harus dihilangkan dari Jerman. Untuk tujuan tersebut ia mendirikan Wissenschaftlich-humanitäres Komitee (WHK, Scientific-Humanitarian Committee) yang memperjuangkan hak-hak kaum homoseksual dengan basis sains.[32] Namun semua usahanya tersebut terhenti dengan menguatnya kekuatan Nazi di Jerman.[33] Meski demikian, suara para peneliti yang hendak menjadikan homoseksualitas sebagai variasi seks yang normal semakin menguat mengikuti jejak Ellis dan Hirschfeld.
Kajian homoseksualitas memiliki arah baru dengan kehadiran Sigmund Freud (1856–1939) dan pengikutnya dengan pendekatan psikoanalisis. Freud menawarkan pendekatan yang tidak berdasarkan asumsi degeneracy theory yang berkaitan erat dengan Darwinisme. Psikoanalisis yang ia bangun menawarkan pandangan baru tentang homoseksualtias. Di dalam karyanya Three Essays on the Theory of Sexuality Freud menyatakan bahwa manusia pada dasarnya biseksual, apabila ia gagal berkembang karena masalah psiko-seksul, maka ia akan menjadi seorang homoseksual. Ia menjadikan sifat feminim pada para pelacur laki-laki sebagai bukti penguat argumennya tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menganggap homoseksualitas sebagai suatu penyakit.[34]  Teori Freud ini belakangan ditantang oleh para psikoanalis sendiri. Tiga psikoanalis terkenal yang meyakini bahwa homoseksual adalah penyakit yang harus disembuhkan adalah Sandor Rado (1940), Irving Beiber (1962), dan Charles Socarides. Dari kaca mata psikoanalisis, mereka menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah bentuk penyakit mental sehingga perlu ada terapi untuk mengobatinya.[35]
Kajian para psikolog terhadap homoseksualitas dari awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20 mengarah pada tiga perubahan besar dalam memandang fenomena homoseksualitas. Pertama, penelitian-penelitian tersebut meskipun memiliki kesimpulan yang beragam, semuanya mempertegas perubahan paradigma masyarakat Barat terhadap homoseksualtias. Fenomena tersebut tidak lagi dilihat dari perspektif teologis tapi murni sebagai objek kajian sanis dan medis. Perubahan ini bisa dilihat sebagai cerminan sekulerisasi masyarakat Barat yang kian menguat. Kedua, kajian-kajian tersebut menciptakan kategori orientasi seks bernama homoseksualitas yang sebelumnya tidak diakui. Secara tidak langsung, hal ini memberikan identitas bagi orang-orang yang memiliki kecendrungan seks diluar heteroseksual. Ketiga, stigma negatif yang diarahkan kepada kaum homoseksual perlahan pudar. Kajian-kajian tersebut membuang stigma imoral dan pendosa dari diri kaum homoseks. Citra yang terbentuk kemudian adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang sakit dan perlu pengobatan. Ketiga perubahan ini pada gilirannya akan mengantar kepada perubahan yang lebih radikal di pertengahan abad ke-20, yakni normalisasi homoseksualitas. Fenomena ini akan didiskusikan pada bagian selanjutnya.

b.   Deklasifikasi Homoseksualitas Dari Dafrar Gangguan Mental
Tahapan paling menentukan dalam perubahan paradigma psikologi memandang homoseksualitas adalah periode deklasifikasi homoseksualitas dari daftar gangguan mental.  Meskipun penelitian-penelitian sebelumnya dianggap memiliki dampak tidak langsung terhadap perubahan ini, tapi proses deklasifikasi tetap meninggalkan kontroversi. Pada bahasan kali ini, terlebih dahulu akan diuraikan kronologi deklasifikasi tersebut serta penelitian-penelitian yang dianggap menudkungnya kemudian akan dipaparkan argumen-argumen pihak yang menentang keputusan tersebut. Agar peristiwa ini bisa lebih dipahami akan dibahas pula mengenai revolusi seksual di Ameria Serikat selama tahun 60-an hingga 70-an yang menjadi konteks perubahan ini.
Setidaknya ada dua ilmuwan yang publikasi ilmiyahnya dianggap memiliki peran cukup signifikan dalam mengubah paradima terhadap homoseksualitas sehingga dianggap normal. Mereka adalah Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker. Pada tahun 1948, Kinsey mempublikasikan hasil penelitiannya bersama beberapa kolega di dalam buku berjudul Sexual Behavior in the Human Male, selanjutnya pada tahun 1953 terbit Sexual Behavior in the Human Female. Kinsey menunjukan bahwa seksualitas manusia tidaklah kaku menjadi heteroseksual dan homoseksual. Seseorang tidak bisa disebut murni homoseksual atau heteroseksaul. Ia memperkenalkan skala yang disebut Kinsey Scale yang menunjukan gradasi orientasi seksual manusia dengan rasio 0-6 ; dari murni homoseksual bergradasi hingga murni homoseksual.[36] Seorang manusia bisa saja pada satu masa dalam hidupnya adalah homoseksual dan terus berkembang menjadi heteroseksual atau sebaliknya. Ia menegaskan hal tersebut setelah menunjukan skalanya ;

Males do not represent two discrete populations, heterosexual and homosexual. The world is not to be divided into sheep and goats. Not all things are black nor all things white. It is a fundamental of taxonomy that nature rarely deals with discrete categories. Only the human mind invents categories and tries to force facts into separated pigeon-holes. The living world is a continuum in each and every one of its aspects. The sooner we learn this concerning human sexual behavior, the sooner we shall reach a sound understanding of the realities of sex.[37]

Di dalam penjelasannya di atas, Kinsey memberikan pandangan yang sangat revolusioner tentang seksualitas. Selama ini para peneliti melihat dua kecendrungan tersebut sebagai dua entitas terpisah yang bisa berada di dalam diri seseorang. Kinsey menunjukan bahwa homoseksualitas adalah varian normal dari kehidupan seksual seseorang.
Dengan semangat yang sama, pada tahun 1956 Evelyn Hooker mempublikasikan jurnah yang mendukung normalisasi homoseksualitas. Hooker adalah seorang psikolog peneliti dari UCLA (University of California Lost Angeles). Selama tahun lima puluhan ia melakukan penelitian untuk menguji asumsi umum bahwa seseorang yang tertarik kepada sesama jenis (Same Sex Atraction, SSA) digolongkan sakit secara mental dan bukan pula penyebab sakit mental.[38] Hooker menegaskan bahwa homoseksualitas bukan penyakti juga bukan sebab penyakit mental. Paradigma ini semakin menguat pada tahun 50-an hingga tahun 60-an.  Pada tahun-trahun tersebut, tepatnya pada tahun 1951 terbit pula buku Patterns of Sexual Behavior karya dua antropolog Clellan Ford dan Frank Beach. Buku ini membahas seksualitas dalam kajian lintas-budaya. Kedua antropolog ini meneliti seksualitas 190 negara termasuk Amerika Serikat sendiri. Sumbangsih terbesar buku ini adalah mengungkap keberadaan homoseksualitas di dalam berbagai kebudayaan umat manusia. Mereka bahkan meneliti seksualitas primata dan mengklaim menemukan homoseksualitas[39]
Pada tahun 1952, The American Psychiatric Association (APA) menerbitkan DSM untuk pertama kalinya. DSM adalah The Diagnostic and Statistical Manual, Mental Disorders, panduan resmi yang dikeluarkan lembaga tersebut untuk menentukan penyakit mental.[40] Pada seri pertama tersebut homoseksulitisa dianggap penyimpangan seksual yang bisa digolongkan sebagai sociopathic personality disorders. Di sini homoseksualitas masih dipandang sebagai sebuah penyakit seksual yang tidak bisa diterima oleh masyarakat. Pada seri kedua yang terbit tahun 1968, homoseksualitas masih tetap dimasukan kategori penyimpangan seksual tapi lebih ringan. [41] Baru pada seri DSM-III yang terbit pada tahun 1973, terjadi perubahan yang cukup signifikan. Di dalam seri ini homoseksualita tidak lagi dianggap penyimpangan. Homoseksualitas hanya boleh dianggap gangguan mental bila yang bersangkutan mengalami ketidak puasan terhadap keadaannya tersebut.[42] Perubahan ini cukup signifikan sebab masalah bukan lagi pada orientasi homoseksualitas tapi lebih pada depresi yang dialami sebab tekanan orang-orang terhadapnya.
Proses deklasifikasi ini tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa karya radikal yang dipublikasikan selama kurun 50-an dan 60-an. Karya-karya tersebut menggugat otoritas psikiatri untuk menentukan seseorang “gila” atau tidak. Mereka juga menentang perlakuan “penyembuhan” terhadap pasien psikiatri yang dianggap melanggar hak-hak mereka. Di antara karya semacam ini yang sangat berpengaruh adalah tulisan filsuf Prancis yang juga seorang gay, Michel Foucault. Pemikrian-pemikiran Foucault di dalam Madnes and Civilization  yang terbit tahun 1961 berdampak besar dalam delegitimasi otoritas psikiatri dalam menentukan homoseksual sebagai penyakit. Rosario menanggap karya  Faoucault ini menegaskan bahwa psikiatri adalah uapaya untuk meminggirkan mereka yang secara politis tidak diinginkan.[43]Karya lain yang menyumbangkan basis intelektual bagi gerakan anti-psikiatri ini adalah tulsian radikal seorang psikolog bernama Thomas S. Szasz berjudul Myth of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal Conduct, terbit pertama kali pada tahun 1961. Szasz mengaskan bahwa “penyakit mental” hanyalah mitos, masalah sesungguhnya ada pada cara masyarakat melihat fenomena-fenomena tersebut.[44]

c.    Kritik Psikolog Terhadap Deklasifikasi Homoseksualitas Dari DSM
Keputusan  APA untuk mendeklasifikasi homoseksualitas dari DSM sebagai penyakit mental tidak begitu saja diterima oleh semua kalangan psikolog. Meskipun itu tidak berarti mengakuinya sebagai orientasi yang betul-betul normal. Banyak ahli yang tidak sependapat.  Mereka melakukan evaluasi terhadap basis ilmiyah keputusan tersebut, yakni temuan-temuan Evelyn Hooker. Krik Cameron dan Paul Cameron dua psikolog dari University of Colorado menguji ulang temuan bersejarah Hooker tersebut, kesimpulan mereka adalah ;

Re-examination of her work indicates that Hooker's study was neither rigorous nor reliable. Among other problems, homosexual subjects were easily identified on test protocols; her reports of how she obtained her samples were incomplete and contradictory; and her study generated results supportive of obsession/compulsivity in homosexuals. Thus Hooker's study was seriously flawed. Moreover, because it was marketed by the APA as central in transforming homosexual activity from an illness/crime into acceptable behavior—yet Hooker did not correct those who mischaracterized her work—APA misrepresentations of Hooker over the past 40 years appear to be more in line with ideology than science.[45]

Perdebatan para ahli pasca deklasifikasi homoseksualitas dari DSM berpusat pada dua poin utama. Pertama sebab (etiologi) homoseksualitas. Aktivis pro-homoseksual berpendapat --berdasarkan penelitian ilmiyah terutama oleh LeVay (2010)-- bahwa homoseksualitas adalah pengaruh hormon.[46] Dengan demikian, mereka berargumen bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang terdeterminasi secara biologis. Argumen ini sesungguhnya adalah penguat kesimpulan Kinsey seperti yang telah dijelaskan di atas. Kedua adalah apakah orientasi seksual bisa berubah atau tidak. APA, sesuai garis kebijakannya yang mendukung homoseksual, telah mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menunjukan bahwa orang-orang homoseksual bisa dirubah orientasi seksualnya melalui terapi. Perdebatan ikutan juga meliputi akibat dari homoseksualitas, menurut aktivis pro-gay, homoseksual tidak menimbulkan kerusakan bagi masyarakat.
Bagaimanapun, ada banyak peneliti yang bebas dari kepentingan pro-gay mengemukakan hasil penelitian yang berbeda. Neil N Whitehead adalah seorang ahli biokimia yang telah meneliti “gay gen” selama empat puluh tahun. Dari hasil studinya tersebut ia mengkritisi pendapat mereka yang menerapkan determinasi biologis bagi orientasi seksual seseorang. Hasil penelitiannya pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 berjudul My genes made me do it!, lalu direvisi dengan penambahan bukti kemudian terbit lagi pada tahun 2013 dengan judul My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence. Bukti terkuat menurut Whitehead adalah penelitian Twin studies.  Secara sederhana twin studies adalah studi yang dilakukan terhadap orang-orang homoseksual yang memiliki saudara kembar. Apabila homoseksual adalah pengaruh gen, maka dua orang kembar seharusnya sama-sama berorientasi homoseksual sebab secara gen mereka identik. Namun demikian, studi yang dilakukan secara ekstensif terhadap kembar identik menunjukan bahwa dari sembilan pasangan kembar yang salah satunya homoseksual, hanya satu dari sembilan yang pasangannya juga homoseksual. Menurut Whitehead, hasil studi ini tidak hanya menafikan aspek genetik, tapi semua aspek biologis lainnya.[47]
Argumen Whitehead  yang lain adalah menguji hasil temuan Kinsey bahwa 1 dari 10 orang adalah homoseksual (10%). Whitehead membandingkan temuan Kinsey ini dengan hasil survey modern, tahun 2010, dan ternyata hasilnya sangat jauh. Survey dari lembaga independen menunjukan homoseks termasuk biseks hanya 2-3% dari populasi. Sebagai ahli genetika, Whitehead menyimpulkan bahwa jumlah ini menunjukan faktor nurture lebih dominan bila dibandingkan dengan faktor nature, “modern surveys when interpreted show the genetic contribution to SSA is minor and the environmental contribution is much greater”[48]Temuan Whitehead ini hanya mempertegas hasil penelitian Dean Byrd, seorang profesor Psikologi klinis dari University of Utah School of Medicine. Dalam studinya yang dipublikasikan pada tahun 2001, Byrd menyimpulkan bahwa “the main studies on whether homosexuality  is caused by biology appear to  lack a  significant amount  of scientific  support”.[49] Dus bisa disimpulkan bahwa adanya unsur genetika yang membawa “gay gen” pada seseorang tidak otomatis membuatnya menjadi seorang homoseksual. Faktor terpenting adalah pola asuh pada kelaurga dan lingkungannya.
Isu perdebatan penting lainnya adalah persoalan perubahan orientasi seksual seseorang dengan kecendrungan homoseksual. APA telah mengklaim bahwa tidak ada satupun bukti keberhasilan terapi semacam itu. Bahkan para ahli yang menyuarakan pendapat berbeda akan mendapatkan tekanan. Salah satunya adalah Robert L. Spitzer, pada tahun 2003, ia mempublikasikan hasil penelitannya yang menunjukan keberhasilan perubahan orientasi seksual dari 200 orang yang menjalani terapi.[50] Sejak saat itu ia mengalami tekanan dari komunitas gay sehingga mencabut kembali hasil penelitiannya tersebut di dalam sebuah tulisan singkat.[51] Keputusan Spitzer tersebut dikritik oleh sekelompok psikolog, Jerry A. Armelli, Elton L. Moose Anne Paulk, dan James E. Phelan. Menurut mereka keputusan Spitzer untuk menarik hasil penelitiannya hanya karena desakan seorang gay sangat bermasalah. Apalagi gay yang mendatangi rumahnya tersebut bukanlah partisipan di dalam studi Spitzer. Mereka menutup tanggapan tersebut dengan penegasan, “however, one can apologize for the consequences of a study, but one cannot undo the evidentiary data. Well-intended sentiments cannot undo facts.”[52]
Di dalam sebuah laporan yang ditulis khusus untuk membantah klaim APA, tim dari National Association for Research and Therapy of Homosexuality (NARTH) menunujukan bahwa studi yang dilakukan selama 125 tahun belakangan menunjukan bahwa orientasi seksual seseorang bisa berubah melalui berbagai macam pendekatan. Hanya setelah APA mendeklasifikasi homoseksualitas dari DSM, paradigma terhadap homoseksual pun berbubah dari “mengbubah orientasi” menjadi membantu klien menerima keadaan homoseksualitas mereka.[53] NARTH adalah lembaga psikolog yang berpusat di Amerika Serikat, beberapa anggotanya adalah psikolog ternama, seperti mantan presiden APA, Nicholas Cummings.
Pada perubahan orientasi seksual, ada beragam faktor yang perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang paling besar dalam perubahan orientasi seksual adalah motivasi orang-orang homoseksual tersebut. Motivasi tersebut akan sangat kuat bila berasal dari dorongan keimanan. Dadang Hawari, psikolog kenamaan dari Universitas Indonesia menegaskan bahwa seorang homoseks bisa berubah asalkan ia memiliki kemauan yang kuat.[54] Selain itu juga perlu diperhatikan dukungan keluarga, lingkungan, kuat lemahnya kadar homoseksual, dan libido.[55] Fakror iman,  ternyata menempati posisi yang penting. Temuan Spitzer tentang 200 orang homoseksual yang berhasil melewati terapi adalah kebanyakan berasal dari kalangan religius, “the vast majority (93%) of the participants reported that religion was “extremely” or “very” important in their lives. [56] Hasil temuan ini sejalan dengan upaya psikolog berlatar belakang agama yang baik seperti Dadang Hawari untuk melakukan terapi spritual, selain biologis, sosial, dan psikologis.[57]
Bahasan terakhir adalah dampak dari perilaku homoseksualitas. Hingga saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kaum homoseksual yang melakukan hubungan sex sejenis adalah kelompok yang paling rentan teriveksi virus HIV/AIDS. Bahkan ketika penurunan penyebaran virus ini terjadi, pada mereka yang melakukan hubungan seks sejenis justru menunjukan peningkatan. Dalam laporannya,  Chris Beyre, seorang profesor kesehatan dari John Hopkins School of Public Health menyimpulkan ;

Our findings show that the high probability of transmission per act through receptive anal intercourse has a central role in explaining the disproportionate disease burden in MSM (Man Sex With Man). HIV can be transmitted through large MSM networks at great speed.... This risk has been present since the syndrome now known as AIDS was first described in previously healthy homosexual men in Los Angeles (CA, USA) in 1981. Despite decades of research and community, medical, and public health efforts, high HIV prevalence and incidence burdens have been reported in MSM throughout the world.[58]

Selain virus HIV yang menyebabkan seseorang menderita AIDS, di antara komunitas homoseksual, penyakit-penyakit menular seksual pun sangat rentan tersebar. Pengidap Gonorhea di antara kaum homoskesual meningkat sejak 1990, menyusul pula Sipilis, hepatitis C yang didapatkan dari hubungan seksual serta lymphogranuloma venereum yang biasanya menjadi penyakit ikutan bagi pria yang positif HIV.[59] 

d.   Dimensi Politik Deklasifikasi Homoseksualitas
Deklasifikasi homoseksual dari daftar penyakit mental sarat dengan kepentingan politis sehingga menimbulkan kontroversi. Muatan politis ini membuat keputusan tersebut tidak dilihat sebagai sebuah keputusan yang murni berdasarkan sains. Sejumlah peneliti menegaskannya. Ronald Bayer di dalam bukunya Homosexuality and American Psychiatry ; The Politics of Diagnosis yang terbit pada tahun 1987, menegaskan ;

the result was not a conclusion based upon an approximation of the scientific truth as dictated by reason, but was instead an action demanded by the ideological temper of the times[60]

Simpulan serupa dengan Bayer di atas diperkuat oleh  Jeffrey Satinover di dalam bukunya yang terbit pada tahun 1997, Homosexuality and the Politics of Truth. Menurut Satinover, unsur tekanan politis sangat kuat dalam proses deklasifikasi homoseksual dari DSM tersebut. Bahkan para pendukung homoseksualitaas pun mengakuinya[61]  Selain mereka, ilmuwan-ilmuwan lain yang menyebutkan adanya unsur tekanan politis di dalam deklasifikasi tersebut antara lain Greenberg (1997), Cotton dan Riding (2011)[62] serta Zachar dan Kendler (2012). Peneiti yang terakhir disebut ini menyebutkan bahwa protes aktivis gay serta keberadaan para psikolog yang ternyata homoseksual memiliki pengaruh di dalam peristiwa tersebut[63] Cotton dan Ridding menggambarkan DSM sebagai a political document— a social construction— shaped more by sociocultural influences than the demands of practicing professionals in the field of mental health.[64]
Kepentingan politik yang disebut di atas adalah gerakan Gay Movement yang merupakan bagian dari revolusi hak-hak sipil. Era 50-an sampai 60-an adalah masa-masa yang penting dalam revolusi budaya dan seksual di Amerika Serikat. Pada saat inilah geliat-geliat untuk pecahnya revolusi yang mencapai puncaknya pada tahun 70-an serta berpengaruh ke suluruh dunia dimulai.[65] Gerakan kaum gay ini bermula pada tahun 1969 menyusul keributan di penginapan Stonewell, yakni keributan yang timbul ketika polisi hendak menggeledah pusat aktivitas kaum gay. Sebagai rekeaksi atas kekerasan tersebut para aktivis gay yang semakin radikal memebentuk Gay Liberation Front (GLF) sebuah organisasi yang memeprjuangkan hak-hak kaum kaum homoseks dengan sangat militan.[66] Dengan memakai strategi dan model gerakan New Left (gerakan kiri baru) GLF segera membentuk cabang-cabangya di berbagai Negara Bagian di Amerika Serikat, mereka juga menginisasi perhelatan Gay Pride Parade untuk memperingati kerusuhan Stonewell setiap tahunnya.[67] Salah satu aksi para penggerak aktivis gay adalah mengintervensi pertemuan APA (Asosiasi Psikolog Ameria) pada tahun 1970, mereka meminta agar ada psikolog homoseks di pihak mereka, mereka juga melakukan demonstrasi dan menekan para psikolog yang hendak membut nomenklatur patologi pada DSM.[68]
Unsur politis dalam keputusan APA ini telah menghilangkan kdredibilitas psikiatri khsusnya mereka yang dibawah naungan APA. Salah satu tokoh yang menyayangkan hal ini adalah Nicholas Cumming, mantan presiden APA. Menurut Cummings, ketundukan APA kepada tekanan politis dalam kasus homoseksualitas ini adalah sebuah bentuk perkembangan yang destruktif terhadap ilmu psikologi sendiri. Dalam pandangannya, diagnosis terhadap kaum homoseksual pasca-revolusi seks bersifat politis;

Diagnosis today in psychology and psychiatry is cluttered with politically correct verbiage,which seemingly has taken precedence over sound professional experience and scientific validation. [69]

Menurut Cummings, ketika melakukan deklasifikasi homoseksual dari DSM, APA telah melanggar Leona Tyler Principle, yaitu pernyataan bahwa psikolog yang tergabung di dalam APA akan mengambil keputusan bersadarkan temuan saintifik murni dan tidak menyerah pada tekanan politik dari satu individu atau kelompok. Di dalam pengambilan keputusan tersebut, menurut Cummings, APA telah tunduk kepada tuntutan politis aktivis gay.[70]Melihat keadaan ini, Cummings menggugah komunitas psikologi di Amerika Serikat, untuk melakukan reformasi di dalam tubuh American Psychological Association (APA) sehingga mereka bisa kembali independen bebas dari agenda ideologi tertentu.[71]
Tekanan politik yang dihadapi oleh APA dalam proses deklasifikasi homoseksualitas membuat mereka bersikap ambigu. Sebagai kompensasi terhadap tekanan kolega psikolog yang tetap pada kpeutusan bahwa homoseksualitas adalah tidak normal, mereka memberikan catata bahwa keputusan APA mendeklasifikasi homoseksualitas tidak boleh dijadikan dalih oleh aktivis pro-gay

No doubt, homosexual activist groups will claim that psychiatry has at last recognized that homosexuality is as "normal" as heterosexuality. They will be wrong. In removing homosexuality per se from the nomenclature we are only recognizing that by itself homosexuality does not meet the criteria for being considered a psychiatric disorder. We will in no way be aligning ourselves with any particular viewpoint regarding the etiology or desirability of homosexual behavior.[72]
Bagaimana pun, keputusan APA mendeklasifikasikan homoseksualitas dari DSM akan membuat masyarakat percaya bahwa menjadi homoseksual sesugguhnya normal.
Dilema di atas membuat posisi APA terhadap orientasi seksual yang normal menjadi sangat relativ, mengikut nilai humanisme sekuler. Hal ini dipertegas keterangan APA di dalam DSM IV bahwa kriteria normal memang beragam berdasarkan kultur ;

It is important to note that notions of deviance, standards of sexual performance, and concepts of appropriate gender role can vary from culture to culture.[73]
Dengan demikian, APA tetap kembali menyerahkan kepada budaya masing-masing masyarakat untuk menetukan perilaku seks menyimpang. Olehnya, menjadikan psikologi sebagai satu-satunya basis bagi penerimaan homoseksaulitas tidaklah tepat. Sebagai muslim, keputusan harus dikembalikan kepada wahyu sebagaiaman akan didiskusikan pada bagian selanjutnya.


[1] Andrew M. Colman, A Dictionary of Psychology, (New York : Oxford University Press, 2009) hal 619.
[2] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme, (Bandung : PIMPIN, 2010) Hal 166. Dalam konteks psikologi, Richard T. G. Walsh,Thomas Teo,Angelina Baydala, A Critical History and Philosophy of Psychology,(United Kingdom : Cambridge University Press, 2014) hal 600.   
[3] Baharuddin, Aktualisasi Psikolog Islam, (Yogyakarta : Pustka Pelajar, 2011), hal 32.
[4] Ibid, hal 43
[5]Septi Gumiandari, “Dimensi Spiritual Dalam Psikologi Modern (Psikologi Transpersonal sebagai Pola Baru Psikologi Spiritual)”. Paper dipresentasikan pada AICIS XII tahun 2012, 5-8 Nopember 2012, Surabaya. Hal 1040
[6] Ibid, hal 1046.
[7] Sharafat  Hussain Khan, “Islamization of Knowledge : A Case for Islamic Psychology” dalam M. G Husain ed, Psychology and Society in Islamic Perspective, (New Delhi : Institute of Objective Studies, 1996) hal 45.
[8] Otto Rank, Psychology and The Soul, (Philadelphia : University of Pennsylvania Press, 1950) hal 1
[9] Adian Husaini, “Urgensi Epistemologi Islam” dalam Adian Husaini et al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2013), hal 44.
[10] Salah satu poin sekulerisasi yang menghasilkan sekulerisme adalah deconsecration of values ; penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehingga semuanya bersifat nisbi dan relativ. Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, (New Jersey : Princeton University Press, 2013) hal 37
[11] Paul Benette, Abnormal And Clinical Psychology: An Introductory Textbook , (New York : Mc Graw Hill International, 2011) Hal 12
[12] Thomas S. Szasz,  Myth of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal Conduct, (New York : Harper Perrenial, 1974) hal 262
[13] Richard J Gerrig et al, Psychology and Life, (tt : Pearson Education Australia, 2010) hal 534
[14]Andrew R. Getzfeld, Essentials  of Abnormal Psychology, (New Jersey :  John Wiley and Sons, 2006) hal 1 -2.
[15] Malik Badri, The Dilemma of Muslim Psychologyst, Tjm. Siti Zainab Luxfiati, Dilema Psikolog Muslim, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996), hal 12 – 15.
[16] Ibid, hal 16
[17] Mark Sampson, Remy McCubbin, Peter Tyrer, Personality Disorder and Community Mental Health Teams: A Practitioner's Guide, (New Jersey :  John Wiley and Sons, 2006) hal 36.
[18]  Willy F. Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, (Surabaya : Universitas Airlangga Press, 2010), hal 344
[19] Dasar larangan homoseksual terdapat dalam Genesis (Kejadian) 19:1-8 tentang penghacuran kaum Sodom dan Gomarah. Juga pada Leviticus (Imamat) 20:13 yang lebih eksplisit melarang kegiatan homoseksual.
[20] Louis Crompton, Homosexuality and Civilization (London : The Belknap Press Of Harvard University Press ,  2003) hal 363.
[21] Ronald Bayer, Homosexuality and American Psychiatry: The Politics of Diagnosis, (New Jersey : Princeton University Press, 1981), hal 16 – 19.

[22] Henry L. Minton, Departing from Deviance: A History of Homosexual Rights and Emancipatory Science in America, (Chicago : The University of Chicago, 2002) hal 11.

[23]Ibid. hal 11
[24]  Margaret Sönser Breen, Fiona Peters, Genealogies of Identity: Interdisciplinary Readings on Sex and Sexuality, (New York : Rodopi, 2005) hal 6
[25] Ronald Baye, Homosexuality and American Psychiatry... hal 19
[26]  Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science: A Guide to the Debates, (Calivornia : ABC-CLIO, 2002.) hal 275.
[27] Wayne R. Dynes,Stephen Donaldson, Homosexuality and Medicine, Health, and Science, (ttp : Taylor & Francis,1992)hal 177
[28] Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science....hal 18.

[29] Harry Oosterhuis, Stepchildren of Nature: Krafft-Ebing, Psychiatry, and the Making of Sexual Identity, (Chicago : Universtiy of Chicago Press, 2008) hal 52

[30] Ibid, hal 251
[31] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality, (Plymouth : The Scarecrow Press, 2009) hal 52
[32] Ibid, hal 89 - 90

[33] Ralf Does, Magnus Hirschfeld: The Origins of the Gay Liberation Movement, (New York : NYU Press, 2014) hal 35

[34] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality....hal 73-74.
[35] Lennart Nordenfelt, On the Nature of Health, (Springer Science & Business Media, 1995), hal 133
[36]Alfred Kinsey, et al. Sexual Behavior In The Human Male,( Philadelphia : The Saunders Company,1948) 638
[37] Ibid, hal 639
[38] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality, hal 8
[39] Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science: A Guide to the Debates, hal 133 – 134.
[40] American Psychiatr. Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders DSM-IV-TR Fourth Edition (Washington : American Psychiatric Association,  1996) hal xvii.
[41] Iris Zijlstra. "The Turbulent Evolution Of Homosexuality: From Mental Illness To Sexual Preference." Dalam, Social Cosmos 5.1 (2014), hal 32.
[42] Joseph Nicolosi, "The Removal Of Homosexuality From The Psychiatric Manual."dalam Catholic Social Science Review ( 2001): 71 – 72.
[43] Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science: A Guide to the Debates... hal 143.
[44] Thomas S. Szasz,  Myth of Mental Illness... 262
[45] Paul Cameron dan Kirk Cameron. "Re-Examining Evelyn Hooker: Setting the Record Straight with Comments on Schumm's (2012) Reanalysis." Marriage & Family Review 48.6 (2012), hal 49.
[46]Simon LeVay, Gay, Straight, And The Reason Why: The Science Of Sexual Orientation (Oxford University Press, 2010)
[47] Neil L Whitehead dan Briar Whitehead, My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence, (Whitehead Associates, 2013), hal 177.
[48] Ibid, hal 56
[49] A. Dean Byrd and Stony Olsen. "Homosexuality: Innate and Immutable."Regent UL Rev. 14 (2001), hal 422.
[50]Robert L. Spitzer "Can Some Gay Men And Lesbians Change Their Sexual Orientation? 200 Participants Reporting A Change From Homosexual To Heterosexual Orientation." Archives of sexual behavior 32.5 (2003): 403-417.
[51]Robert L Spitzer. "Spitzer Reassesses His 2003 Study Of Reparative Therapy Of Homosexuality." Archives of sexual behavior (2012): 1-1.
[52]Armelli, Jerry A., et al. "A Response to Spitzer’s (2012) Reassessment of His 2003 Study of Reparative Therapy of Homosexuality." Archives Of Sexual Behavior (2012): 1-2.
[53]National Association for Research and Therapy of Homosexuality (US). Scientific Advisory Committee, et al. What Research Shows: NARTH's Response to the APA Claims on Homosexuality: a Report of the Scientific Adisory Committee of the National Association for Research and Therapy of Homosexuality. National Association for Research and Therapy of Homosexuality, 2009. Hal 38.
[54] Dadang Hawari, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, (Jakarta : Balai Penerbitan FKUI, 2009), hal 62
[55] Ibid
[56] Robert L. Spitzer "Can Some Gay Men And Lesbians Change Their Sexual,...hal 406
[57] Dadang Hawari, Pendekatan Psikoreligi...hal 70 – 72.
[58] Chris Beyrer, et al. "Global Epidemiology Of HIV Infection In Men Who Have Sex With Men." The Lancet 380.9839 (2012), hal 367-368.
[59] Minttu Rönn,  et al. "Developing A Conceptual Framework Of Seroadaptive Behaviors In HIV-Diagnosed Men Who Have Sex With Men." Journal of Infectious Diseases 2.10. (2014), hal 586
[60] Ronald Bayer, Homosexuality and American Psychiatry: The Politics of Diagnosis, (New Jersey : Princeton University Press, 1981), hal 3-4.
[61] Jeffrey Satinover, Homosexuality and the Politics of Truth (tt : Baker Books, 1996) hal 29
[62] Iris Zijlstra. "The Turbulent Evolution Of Homosexuality: From Mental Illness To Sexual Preference." Dalam, Social Cosmos ... hal 32.
[63] Peter Zachar dan Kenneth S. Kendler. "The Removal Of Pluto From The Class Of Planets And Homosexuality From The Class Of Psychiatric Disorders: A Comparison." dalam Philos Ethics Humanit Med 7.4 (2012) hal 3-4
[64] Christopher Cotten dan John W. Ridings. "Getting Out/Getting In: The DSM, Political Activism, and the Social Construction of Mental Disorders." dalam  Social Work in Mental Health 9.3 (2011), hal 182
[65]  Ira L. Reiss,Albert Ellis, At the Dawn of the Sexual Revolution: Reflections on a Dialogue, (Boston : AltaMira Press, 2002), hal vii
[66] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality....hal 76
[67] Ibid
[68] Iris Zijlstra. "The Turbulent Evolution Of Homosexuality... hal 32.
[69] Rogers H Wright dan Nicholas A. Cummings, eds. Destructive Trends in Mental Health: The Well Intentioned Path to Harm. (tt : Routledge, 2005), hal 9
[70] Ibid, hal xiv
[71]Nicholas A Cummings. "The APA And Psychology Need Reform." Makalah disampaikan pada Annual Convention Of The American Psychological Association (August 12). New Orleans, LA. 2006.
[72] American Psychiatric Association , Homosexuality and Sexual Orientation Disturbance: Proposed Change in DSM-II, 6th Printing, Page 44, Position Statement Retired., 1973. Hal 3
[73] American Psychiatr. Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders.... 493.
Share this article :

4 komentar:

  1. Balasan
    1. makasih udah mampir mba Mun..
      kalo ada masukan, kritik atau saran, atau update informasi, kan yang kuliah psikologi situ..

      Hapus
  2. trima kasih infonya.. sangat bermanfaat, banyak info baru yang didapat terkait perkembangan dunia nonheteroseksual.
    dari artikel tersebut saya mengira bahwa masih banyak perdebatan dan ketidakjelasan terkait "orientasi seksual" di antara para ahli di bidangnya. parameter ketidaknormalan masih serba relatif. sehingga banyak celah kepentingan politik disana.
    apabila dikatakan normal, maka sepertinya ada banyak hal yang salah, namun apabila dikatakan abnormal, kenapa ibarat takdir yang sulit diubah.bahkan berbagai terapi pun belum dapat menyembuhkannya secara total.
    kalau dilihat dari sudut pandang Islam. di tengah prokontra yang tidak jelas ini.maka segala permasalahan harus dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah. Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan hikmah. maka sepertinya dibutuhkan lebih banyak studi-studi berikutnya terkait orientasi seksual yang berkenaan dengan hikmah dilarangnya perbuatan nonheteroseksual tersebut.dan studi mengenai anjuran Islam terhadap kaum tersebut seperti untuk menikah,menjaga pandangan dsb. sehingga mungkin pada beberapa orang, dengan adanya hasil studi berupa data,dapat semakin menambah keimanannya.
    mohon maaf sedikit koreksi bila boleh, untuk Prof. Dadang hawari adalah psikiater

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam Nasuha, trima kasih udah berkunjung..
      iya emang persoalan ini sangat bias, politik, atau jika mau lebih dalam, ada bias filosofis... misalnya tentang "apakah kebaikan itu" di Barat, jika tidak brtentangan dengan nature, sudah dianggap baik, jika stimulus sudah diberi respon yang sesuai maka sudah baik. Tapi bagi budaya lain, ada sistem nilainya sendiri, termasuk orang Islam...

      trimasksaih untuk koreksiannya .. hehe, akan diedit

      Hapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template