Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Kisah-Kisah Tentang Adab Para Ulama dalam Menuntut Ilmu

Kisah-Kisah Tentang Adab Para Ulama dalam Menuntut Ilmu

Written By apaaja on Rabu, 05 Maret 2014 | 13.19.00

     Seorang teman saya malam ini bilang "sekarang adab kita terhadap para ulama sudah rusak ya..." atau kurang lebih seperti itu hehe. Nah gimana sih biar kita belajar beradab kepada ulama? ya mungkin salah satunya adalah dengan belajar adab dari mereka. Maka mari kita simak, adab mereka selama menuntut ilmu. Tulisan di bawah ini saya sarikan dari berbagai sumber, semoga bermanfaat. Ohya, ini juga sebagai bahan untuk teman saya Aulia Abdan (klik u/ kenalan :D ). Beliau akan menggantikan saya mengisi kajian di RRI Jogja tentang adab menuntut ilmu.. yuk mari di dengar ya... itu di berapa FM? nggk tahu juga ahaha  (semangat Abdan... ente bisa! *evilLOL)
sumber : http://gadissenget93.blogspot.com/
Pentingnya Adab
Imam Malik bin Anas adalah salah satu ulama terhebat yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Buku karangannya berjudul al-Muwatta’ masih menjadi rujukan kita hingga hari ini. Beliau adalah guru dari Imam Syafi’i dan sahabat serta parner diskusi Imam Abu Hanifah.  Semua kejeniusan Imam Malik tidak lepas dari peran ibunya. Ibu Imam Malik adlah seorang perempuan penyayang yang cerdas. Ibunya ingin agar Imam Malik tumbuh menjadi seorang ulama, maka ia mengirimnya untuk belajar di rumah seorang ulama besar bernama  Rabi’ah bin Abdulrahman. Ibunya membelikannya pakaian terbaik, dan sebelum berangkat, ibunya berpesan ; “Pelajarilah adab Syaikh Rabi’ah sebelum belajar ilmu darinya” Adab memang sangat penting dalam menuntut ilmu, kini ada begitu banyak orang yang berilmu tinggi namun cacat adabnya. Ulama kita sangat memperhatikan hal itu. Betapa pentingnya adab juga terlihat dari kisah Abdurrahman bin al-Qasim, salah satu murid Imam Malik. Ia bercerita bahwa “Aku mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun, dua tahun diantaranya untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari adab. Seandainya saja aku bisa jadikan seluruh waktu tersebut untuk mempelajari adab”  
Ada banyak sekali kisah-kisah para ulama salaf yang bisa menjadi contoh bagi kita dalam menuntut ilmu. Beberapa dari kisah itu akan kita simak bersama. Di dalam menuntut ilmu setidaknya kita harus menjaga adab terhadap ilmu yang kita tuntut, terhadap guru, dan terhadap diri kita sendiri sebagai penuntut ilmu. Semua itu perlu diperhatikan, semoga Allah memudahkan kita dalam menuntut ilmu disebabkan oleh adab yang mulia. Sebagaimana Allah dulu memudahkan para ulama kita dalam mempelajari segala macam ilmu sehingga peradaban Islam menjadi peradaban ilmu yang paling maju di dunia.
Ulama kita dahulu jauh lebih menghargai orang-orang yang beradab ketimbang berilmu tapi adabnya buruk. Ada sebuah kisah menarik dari  Abu Yazid Al-Busthami, tokoh sufi terkemuka. Pada sautu hari ia bermaksud mengunjungi seorang laki laki yang dikatakan memiliki ilmu yang baik.Ia mendengar bahwa orang berilmu itu sedang ada di sebuah masjid. Abu Yazid pun  menunggu orang tersebut di luar masjid. Tidak lama kemudian, orang yang ditunggu itu pun keluar. Namun belum semapt Yazid menemuinya, ia melihat orang tersebut meludah di dinding  masjid. Menyaksikan hal itu, Al-Busthami pun pulang dan tidak jadi bertemu dengannya. Ia mengatakan  “Tidak dapat dipercaya untuk menjaga rahasia Allah, orang yang tidak dapat memelihara adab syari’at.”
Mensucikan Hati dari Ria dan Maksiat
Hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu adalah niat yang ihlas. Ia harus membersihkan hatinya dari semua keinginan lain dalam menuntut ilmu selain mencari ridha Allah. Ia juga harus membersihakn hatinya dari maksiat. Dikisahkan ketika Imam Syafi’i mendatangi Imam Malik dan membaca kitab al-Muwaththa  kepadanya dengan hafalan yang membuatnya kagum dan kemudian Imam Syafi’i menyertainya terus, Imam Malik berkata kepadanya, “Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah perbuatan maksiat, karena sesungguhnya engkau akan memiliki sesuatu yang sangat penting.”  
Namun demikian, ternyata sautu ketika Imam Syafi’i mengalami kesulitan dalam menghapal. Hal itu tidak biasanya, sebab ia terkenal sebagai jenius yang hapalannya luar biasa. Maka ia pun mengadu kepada gurunya yang bernama  Waki’. Imam Syafi’i berkisah ; “Aku mengadukan buruknya hapalanku kepada Waki’ Maka ia berikan petunjuk kepadaku untuk meninggalkan maksiat. Dan memberitahukan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya Dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada yang melakukan maksiat” Jika kita mengalami kesulitan belajar, bisa saja itu adalah akibat dari adab yang buruk, yakni tidak menjaga hati dari ria atau maksiat.
Tidak Suka Berfoya-foya
Seorang penuntut ilmu harus menahan dirinya dari banyak bersenang senang, terutama makan dan tidur, juga menjadi syarat penting seorang yang sedang berjuang untuk mendapatkan ilmu. Itulah sebabnya, sejak dulu para ulama terkemuka disaat saat  berburu ilmu senantiasa menjaga dirinya dari banyak makan. Diantaranya, sebagaimana yang dikemukakan Imam Syafi’i, “Aku tidak pernah kenyang sejak berusia 16 tahun, karena kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan tidur, dan melemahkan dari ibadah.”  
Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah juga bercerita : “Kami berada di Mesir selama tujuh bulan dan tidak pernah merasakan kuah makanan” Semua itu sebab karena sibuk untuk belajar sehingga tidak ada waktu untuk memasak makanan yang berkuah.  Siang hari mereka berkeliling ke para Masyaikh (guru), sedangkan malah hari mereka gunakan untuk menulis dan mengoreksi catatan.
Imam Abu Hatim melanjutkan ceritnya ; “Suatu hari, saya bersama seorang teman mendatangi salah seorang Syaikh. Dikabarkan kepada kami bahwa beliau sedang sakit. Kami pulang melewati sebuah pasar dan tertarik pada ikan yang sedang dijual. Kami membelinya.Setelah sampai dirumah, ternyata waktu kajian untuk Syaikh yang lain sudah tiba. Maka kamipun segera pergi ke sana. Lebih dari tiga hari ikan tersebut belum sempat dimasak karena kesibukan menuntut ilmu, hingga hampir busuk. Kami memakannya mentah – mentah karena tidak punya waktu untuk menggorengnya. “Ilmu itu tidak akan bisa diraih dengan badan yang santai.”
Tawadhu
Ketika menuntut ilmu, kita tidak boleh neko-neko, harus rela bersikap sederhana dan rendah hati. Terutma kepada guru-guru kita. Didalam suatu riwayat disebutkan, Ibnu Abbas mengatakan, “Aku hina ketika menuntut ilmu lalu mulia ketika menjadi orang yang dituntut ilmunya.” Ibnu Abbas sering pergi ke rumah Ubay bin Ka’ab. Terkadang ia mendapati pintu rumah Ubay terbuka sehingga ia segera diizinkan masuk, dan terkadang pintunya tertutup sedangkan ia malu untuk mengetuknya. Maka ia berdiam saja sampai siang, tetap duduk di depan pintu rumah. Angin menerbangkan debu kearahnya sampai akhirnya ia menjadi tidak dapat dikenali karena banyaknya debu yang menempel ditubuhnya dan pakaiannya. Lalu Ubay keluar dan melihatnya dalam keadaan demikian. Hal itu membuatnya merasa tidak enak. “Mengapa engkau tidak meminta izin?” tanyanya. Ibnu Abbas beralasan malu kepadanya. Hal seperti ini juga kerap dilakukan oleh Imam Abu Hanifah ketika hendak berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, salah satu gurunya. Ia selalu menunggu Hammad di depan pintunya, tanpa merasa malu atau risih. Padahal ia adalah seorang pedagang kaya di Kufah.
Berbakti dan Hormat Kepada Guru
Menghormati guru adalah hal yang sangat vital bagi penuntut ilmu. Ilmu tidak akan menghampiri mereka yang tidak berbakti dan hormat kepada gurunya. Banyak kisah yang mungkin akan membuat kita takjub dengan penghormatan para ulama terhadap para guru mereka. Imam Asy-Syafi’i misalnya, ia berkata, “Aku senantiasa membuka kertas kitab di hadapan Malik dengan lembut agar ia tidak mendengarnya, karena hormat kepada beliau.” Bahkan Ar-Rabi’, sahabat asy-Syafi’i sekaligus muridnya, mengatakan,  “Aku tidak berani minum air sedangkan Asy-Syafi’i melihatku, karena menghormatinya.”
Lain lagi kisah Imam An-Nawawi, suatu hari ia dipanggil oleh gurunya, Al-Kamal Al-Irbili, untuk makan bersamanya. Maka ia mengatakan, “Wahai Tuanku, maafkan aku. Aku tidak dapat memenuhinya, karena aku mempunyai uzur syar’i.” Dan ia pun meninggalkannya. Kemudian seorang kawannya bertanya kepadanya, ‘Uzur apa itu?’ Ia menjawab, ‘Aku takut bila guruku lebih dahulu memandang suatu suapan tetapi aku yang memakannya sedangkan aku tidak menyadarinya.’
Para ulama kita memang sangat menghormati orang yang lebih berilmu dan dianggapnya sebagai guru. Pada suatu hari seorang kerabat Sufyan ats-Tsauri wafat, dan orang orang berkumpul menemuinya untuk berta’ziyah. Lalu datanglah Abu Hanifah. Maka bangkitlah Sufyan kearahnya, memeluknya, mendudukkan di tempatnya, dan ia duduk dihadapannya. Ketika orang orang telah bubar, para sahabat Sufyan mengatakan, “Kami melihatmu melakukan sesuatu yang mengherankan.” Sufyan menjawab, “Orang ini adalah orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu. Seandainya aku tidak bangun karena ilmunya, aku tetap akan bangun karena usianya. Sendainya aku tidak bangun karena usianya, aku tetap akan bangun karena kefaqihannya. Dan seandainya aku tidak bangun karena kefaqihannya, aku akan tetap bangun karena sifat wara’nya.”
Selain bersikap hormat, ada banyak sekali bakti lain yang bisa kita lakukan sebagai penuntut ilmu kepada guru-guru kita. Misalnya mendoakannya. Abu Yusuf, murid Abu Hanifah  sangat mencintai gurunya itu, “Sesungguhnya aku mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan ayahku, dan aku pernah mendengar Abu Hanifah mengatakan, ‘Sesungguhnya aku mendoakan Hammad bersama kedua orang tuaku’.”
Share this article :

2 komentar:

  1. syukran pengetahuannya :) izin download posternya yg diatas agar mudah diingat.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template