Seorang teman saya malam ini bilang "sekarang adab kita terhadap para
ulama sudah rusak ya..." atau kurang lebih seperti itu hehe. Nah gimana
sih biar kita belajar beradab kepada ulama? ya mungkin salah satunya adalah dengan belajar adab dari
mereka. Maka mari kita simak, adab mereka selama menuntut ilmu. Tulisan
di bawah ini saya sarikan dari berbagai sumber, semoga bermanfaat.
Ohya, ini juga sebagai bahan untuk teman saya Aulia Abdan (klik u/ kenalan :D ). Beliau akan menggantikan saya mengisi kajian di RRI Jogja tentang adab
menuntut ilmu.. yuk mari di dengar ya... itu di berapa FM? nggk tahu
juga ahaha (semangat Abdan... ente bisa! *evilLOL)
sumber : http://gadissenget93.blogspot.com/ |
Pentingnya
Adab
Imam Malik bin
Anas adalah salah satu ulama terhebat yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Buku
karangannya berjudul al-Muwatta’ masih menjadi rujukan kita hingga hari ini.
Beliau adalah guru dari Imam Syafi’i dan sahabat serta parner diskusi Imam Abu
Hanifah. Semua kejeniusan Imam Malik
tidak lepas dari peran ibunya. Ibu Imam Malik adlah seorang perempuan penyayang
yang cerdas. Ibunya ingin agar Imam Malik tumbuh menjadi seorang ulama, maka ia
mengirimnya untuk belajar di rumah seorang ulama besar bernama Rabi’ah bin Abdulrahman. Ibunya membelikannya
pakaian terbaik, dan sebelum berangkat, ibunya berpesan ; “Pelajarilah adab
Syaikh Rabi’ah sebelum belajar ilmu darinya” Adab memang sangat penting dalam
menuntut ilmu, kini ada begitu banyak orang yang berilmu tinggi namun cacat
adabnya. Ulama kita sangat memperhatikan hal itu. Betapa pentingnya adab juga
terlihat dari kisah Abdurrahman bin al-Qasim, salah satu murid Imam Malik. Ia
bercerita bahwa “Aku mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun, dua tahun
diantaranya untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari adab.
Seandainya saja aku bisa jadikan seluruh waktu tersebut untuk mempelajari adab”
Ada banyak
sekali kisah-kisah para ulama salaf yang bisa menjadi contoh bagi kita dalam
menuntut ilmu. Beberapa dari kisah itu akan kita simak bersama. Di dalam
menuntut ilmu setidaknya kita harus menjaga adab terhadap ilmu yang kita
tuntut, terhadap guru, dan terhadap diri kita sendiri sebagai penuntut ilmu.
Semua itu perlu diperhatikan, semoga Allah memudahkan kita dalam menuntut ilmu
disebabkan oleh adab yang mulia. Sebagaimana Allah dulu memudahkan para ulama
kita dalam mempelajari segala macam ilmu sehingga peradaban Islam menjadi
peradaban ilmu yang paling maju di dunia.
Ulama kita
dahulu jauh lebih menghargai orang-orang yang beradab ketimbang berilmu tapi
adabnya buruk. Ada sebuah kisah menarik dari Abu Yazid Al-Busthami, tokoh sufi terkemuka.
Pada sautu hari ia bermaksud mengunjungi seorang laki laki yang dikatakan
memiliki ilmu yang baik.Ia mendengar bahwa orang berilmu itu sedang ada di
sebuah masjid. Abu Yazid pun menunggu
orang tersebut di luar masjid. Tidak lama kemudian, orang yang
ditunggu itu pun keluar. Namun belum semapt Yazid
menemuinya, ia melihat orang tersebut meludah di dinding masjid. Menyaksikan hal itu, Al-Busthami
pun pulang dan tidak jadi bertemu dengannya. Ia mengatakan “Tidak dapat dipercaya untuk
menjaga rahasia Allah, orang yang tidak dapat memelihara adab syari’at.”
Mensucikan
Hati dari Ria dan Maksiat
Hal penting
yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu adalah niat yang ihlas. Ia
harus membersihkan hatinya dari semua keinginan lain dalam menuntut ilmu selain
mencari ridha Allah. Ia juga harus membersihakn hatinya dari maksiat. Dikisahkan
ketika Imam Syafi’i mendatangi Imam Malik dan membaca kitab al-Muwaththa
kepadanya dengan hafalan yang membuatnya kagum dan kemudian Imam Syafi’i
menyertainya terus, Imam Malik berkata kepadanya, “Wahai Muhammad, bertaqwalah
kepada Allah dan jauhilah perbuatan maksiat, karena sesungguhnya engkau akan memiliki
sesuatu yang sangat penting.”
Namun
demikian, ternyata sautu ketika Imam Syafi’i mengalami kesulitan dalam
menghapal. Hal itu tidak biasanya, sebab ia terkenal sebagai jenius yang
hapalannya luar biasa. Maka ia pun mengadu kepada gurunya yang bernama Waki’. Imam Syafi’i berkisah ; “Aku mengadukan
buruknya hapalanku kepada Waki’ Maka ia berikan petunjuk kepadaku untuk
meninggalkan maksiat. Dan memberitahukan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya Dan
cahaya Allah tak akan diberikan kepada yang melakukan maksiat” Jika kita
mengalami kesulitan belajar, bisa saja itu adalah akibat dari adab yang buruk,
yakni tidak menjaga hati dari ria atau maksiat.
Tidak Suka Berfoya-foya
Seorang
penuntut ilmu harus menahan dirinya dari banyak bersenang senang, terutama
makan dan tidur, juga menjadi syarat penting seorang yang sedang berjuang untuk
mendapatkan ilmu. Itulah sebabnya, sejak dulu para ulama terkemuka disaat
saat berburu ilmu senantiasa menjaga dirinya dari banyak makan.
Diantaranya, sebagaimana yang dikemukakan Imam Syafi’i, “Aku tidak pernah
kenyang sejak berusia 16 tahun, karena kenyang itu memberatkan badan,
mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan tidur, dan melemahkan
dari ibadah.”
Imam Abu Hatim
Ar-Razi Rahimahullah juga bercerita : “Kami berada di Mesir selama tujuh bulan
dan tidak pernah merasakan kuah makanan” Semua itu sebab karena sibuk untuk
belajar sehingga tidak ada waktu untuk memasak makanan yang berkuah. Siang hari mereka berkeliling ke para Masyaikh
(guru), sedangkan malah hari mereka gunakan untuk menulis dan mengoreksi
catatan.
Imam Abu Hatim
melanjutkan ceritnya ; “Suatu hari, saya bersama seorang teman
mendatangi salah seorang Syaikh. Dikabarkan kepada kami
bahwa beliau sedang sakit. Kami pulang melewati sebuah pasar dan tertarik
pada ikan yang sedang dijual. Kami membelinya.Setelah sampai dirumah, ternyata
waktu kajian untuk Syaikh yang lain sudah tiba. Maka kamipun segera pergi ke
sana. Lebih dari tiga hari ikan tersebut
belum sempat dimasak karena kesibukan menuntut ilmu, hingga hampir busuk. Kami
memakannya mentah – mentah karena tidak punya waktu untuk menggorengnya. “Ilmu
itu tidak akan bisa diraih dengan badan yang santai.”
Tawadhu
Ketika
menuntut ilmu, kita tidak boleh neko-neko, harus rela bersikap sederhana dan
rendah hati. Terutma kepada guru-guru kita. Didalam suatu riwayat disebutkan,
Ibnu Abbas mengatakan, “Aku hina ketika menuntut ilmu lalu mulia ketika menjadi
orang yang dituntut ilmunya.” Ibnu Abbas sering pergi ke rumah Ubay bin
Ka’ab. Terkadang ia mendapati pintu rumah Ubay terbuka sehingga ia segera
diizinkan masuk, dan terkadang pintunya tertutup sedangkan ia malu untuk
mengetuknya. Maka ia berdiam saja sampai siang, tetap duduk di depan pintu
rumah. Angin menerbangkan debu kearahnya sampai akhirnya ia menjadi tidak dapat
dikenali karena banyaknya debu yang menempel ditubuhnya dan pakaiannya. Lalu Ubay keluar dan melihatnya dalam keadaan demikian. Hal itu
membuatnya merasa tidak enak. “Mengapa
engkau tidak meminta izin?” tanyanya. Ibnu Abbas beralasan malu kepadanya. Hal seperti ini juga kerap dilakukan oleh Imam Abu Hanifah ketika hendak
berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, salah satu gurunya. Ia selalu menunggu
Hammad di depan pintunya, tanpa merasa malu atau risih. Padahal ia adalah
seorang pedagang kaya di Kufah.
Berbakti dan Hormat
Kepada Guru
Menghormati
guru adalah hal yang sangat vital bagi penuntut ilmu. Ilmu tidak akan
menghampiri mereka yang tidak berbakti dan hormat kepada gurunya. Banyak kisah
yang mungkin akan membuat kita takjub dengan
penghormatan para ulama terhadap para guru mereka. Imam Asy-Syafi’i misalnya, ia berkata, “Aku senantiasa membuka
kertas kitab di hadapan Malik dengan lembut agar ia tidak mendengarnya, karena
hormat kepada beliau.” Bahkan Ar-Rabi’, sahabat asy-Syafi’i sekaligus muridnya,
mengatakan, “Aku tidak berani minum air sedangkan Asy-Syafi’i melihatku, karena
menghormatinya.”
Lain lagi
kisah Imam An-Nawawi, suatu hari ia dipanggil oleh gurunya, Al-Kamal Al-Irbili,
untuk makan bersamanya. Maka ia mengatakan, “Wahai Tuanku, maafkan aku. Aku
tidak dapat memenuhinya, karena aku mempunyai uzur syar’i.” Dan ia pun
meninggalkannya. Kemudian seorang kawannya bertanya kepadanya, ‘Uzur apa itu?’ Ia
menjawab, ‘Aku takut bila guruku lebih dahulu memandang suatu suapan tetapi aku
yang memakannya sedangkan aku tidak menyadarinya.’
Para ulama
kita memang sangat menghormati orang yang lebih berilmu dan dianggapnya sebagai
guru. Pada suatu hari seorang kerabat Sufyan ats-Tsauri wafat, dan orang orang
berkumpul menemuinya untuk berta’ziyah. Lalu
datanglah Abu Hanifah. Maka bangkitlah Sufyan kearahnya, memeluknya, mendudukkan
di tempatnya, dan ia duduk dihadapannya. Ketika orang orang telah bubar, para
sahabat Sufyan mengatakan, “Kami melihatmu melakukan sesuatu yang
mengherankan.” Sufyan menjawab, “Orang ini adalah orang yang memiliki kedudukan
dalam ilmu. Seandainya aku tidak bangun karena ilmunya, aku tetap akan bangun
karena usianya. Sendainya aku tidak bangun karena usianya, aku tetap akan
bangun karena kefaqihannya. Dan seandainya aku tidak bangun karena
kefaqihannya, aku akan tetap bangun karena sifat wara’nya.”
Selain
bersikap hormat, ada banyak sekali bakti lain yang bisa kita lakukan sebagai
penuntut ilmu kepada guru-guru kita. Misalnya mendoakannya. Abu Yusuf, murid
Abu Hanifah sangat mencintai gurunya
itu, “Sesungguhnya aku mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan ayahku, dan aku
pernah mendengar Abu Hanifah mengatakan, ‘Sesungguhnya aku mendoakan Hammad
bersama kedua orang tuaku’.”
syukran pengetahuannya :) izin download posternya yg diatas agar mudah diingat.
BalasHapusTerima kasih informasinya
BalasHapus