Dr.
Abdul Wahhab al-Massiri pernah mengungkapkan sebuah statemen yang sangat tepat
sasaran ; “Salah satu gaya berkilah khas Barat adalah melepaskan suatu
peristiwa dari konteks kebudayaan dan kemanusiaan (yang melibatkan Barat) sehingga
peritiwa tersebut menjadi sebuah realitas tunggal yang penafsirannya dimonopoli
oleh mereka” Pernyataan al-Massiri ini diungkapkannya ketika membahas Holocoust
yang horror itu, tapi ternyata pernyataan ini kembali menemukan kebenarannya
jika kita kaitkan dengan sebuah peristiwa yang belakangan ini tengah hangat
diperbincangkan, penembakan Malala Yousafzai yang konon dilakukan milisi Thaliban
akibat kenekatan bocah 15 tahun itu untuk terus bersekolah. Jika dilihat
sebagai sebuah peristiwa tunggal, maka siapapun akan langsung bereaksi
emosional dan mengutuki Thaliban, lalu pada kalangan-kalangan tertentu akan
berakhir pada pengutukan habis-habisa terhadap Islam. Padahal peluru yang bersarang di kepala gadis
cantik itu tidak lahir dari ruang hampa, ada konteks rumit yang mengitarinya.
Dilihat
secara kasar saja misalnya, sehari sebelum penembakan Malala ada aksi demo yang
dilakukan PTI (Pakistan Tahriri Insaf) memprotes pengeboman ugal-ugalan
pesawat tak berawak AS yang membunuh puluhan warga sipil Pakistan. Ulah AS ini
sempat menarik perhatian dunia, kecaman datang dari Rusia, kritikan ditulis
editorial Financial Times, bahkan ada warga AS dan Inggris yang ikut dalam aksi
protes PTI. Tetapi semua suara itu habis ditelan gemuruh duka atas Malala,
bahkan Madonna pun menangis. Obama dan Hillary sudah siap dengan pernyataannya.
Jangan lupa dengan Ban ki Moon. Satu-satunya penafsiran atas peristiwa ini
adalah “kelompok Islam fundamentalis telah menembak seorang bocah 15 tahun
karena ia mau sekolah” Adapun kenyataan bahwa kekacaubalauan daerah itu,
pemahaman agama di madrasah-madrasah pakistan yang tidak bisa dipisahkan begitu saja dari
ulah AS dan sekutunya, tidak boleh diungkap. Konteks itu lah yang ingin kita bicarakan di
sini. Tujuan utamanya bukan untuk menumbuhkan kebencian kepada AS atau Barat,
bukan untuk menyalahkan mereka. Kata Maher Zain, Yes it's easy to blame
everything on the west . When in fact all focus should be on ourselves. Yah
kita tidak usah menuding-nuding Barat lagi, toh tanpa ditunjuk-tunjuk
pun semua sudah tahu buruk mereka. saatnya melihat apa yang terjadi di
Pakistan. Tentu saja sebatas yang saya tahu dan sumber yang saya peroleh.
Jika
ditelusuri, peluru di kepadala Malala itu tidak hanya berasal dari moncong AK
47 milik seorang pemuda bercadar sorban, peluru itu akan membawa kita hingga ke
ruang-ruang madrasah di gunung dan lembah hening sepanjang perbatasan
Pakistan-Afghanistan pada era pendudukan Soviet. Dari madrasah-madrasah itulah
kelak akan lahir sebuah kekuatan yang namanya memenuhi halaman-halaman koran dengan
sepak terjang mereka ; ya, kekuatan para penuntut ilmu, para thalib al-Ilm.
Thaliban. Dari namanya saja, identitas
asli mereka telah terbaca, mereka adalah para santri madrasah. Mereka adalah
penuntut ilmu syariah di institusi mulia yang sejarahnya akan membawa kita
bertemu dengan Nizam al-Mulk, al-Ghazzali, dan sistem yang melahirkan generasi
Shalahuddin al-Ayyubiy. Lalu mengapa madrasah-madrasah itu justru melahirkan
sebuah rezim yang selalu dimaki Barat dan enggan diakui sebagian saudaranya di
Timur? Mengapa lahir sebuah kelompok yang tega menembaki seorang bocah muslimah
hanya karena ia hendak memenuhi perintah Nabinya untuk menuntut ilmu? Saya
sangsi bahwa budaya patriarki bisa menembakan peluru! Dari mana asal
peluru-peluru itu? apa yang mengubah anak-anak muda itu menjadi serdadu?
Deretan
pertanyaan tadi mungkin bisa kita temukan jawabannya bersama, dimulai dari
melihat hasil temuan di dalam tulisan Uzma Anzhar, Ph. D, seorang cendikiawan
anak benua India yang peduli terhadap isu-isu pendidikan di dunia Islam. Sesuai
judul tulisannya Islamic Education : A Brief History of Madrassas With Comments on Curricula and Current Pedagogical
Practices, Anzhar membahas madrasah dari berbagai aspek, baik sejarah,
kurikulum, mapupun tataran praktisnya di belahan dunia Islam dari Afrika hingga
Indonesia. Pada akhir pembahasannya, Anzhar mendisukusikan sebuah topik yang
sebenarnya agak melenceng dari judul tulisannya sendiri ; Politics and
Religion in Madrasah. Dalam uraiannya itu, jelaslah nasib apa yang menimpa
madrasah-madrasah di Pakistan. Awalnya, madrasah-madrasah di Pakistan adalah
murni lembaga yang menjadi pusat perkaderan para ulama dan pemimpin masa depan.
Jumlahnya pun tidak lebih banyak dari negara-negara tetangganya. Namun sejak pertengahan
tahun 70-an jumlah madrasah di Pakistan tiba-tiba meningkat pesat, sangat pesat
bahkan. Dalam investigasi Anzhar, ledakan jumlah madrasah ini bukan murni buah
dari kesadaran akan pentingnya pendidikan Islam sebagai kelanjutan kebangkitan
Islam yang banyak digaungkan para revivalis seperti al-Maududi. Ledakan jumlah
madrasah ini adalah hasil dari sitausi kompleks yang melingkupinya.
Kegagalan
pemerintahan Pakistan menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai membaut
madrasah menjadi alternatif bagi para penduduk miskin Pakistan, mulai dari
sudut-sudut kumuh perkotaan hingga perkampungan di perbatasan Afghan.
Kebanyakan madrasah di Pakistan menyediakan pendidikan gratis, bahkan
memberikan murid-muridnya jatah makan gratis dan terkadang sandang bagi mereka.
Akhirnya orang-orang mulai berbondong-bondong ke madrasah. Sitausi ini bahkan
masih ada hingga kini, pada tahun 2004 ketika Imran Khan mantan kapten tim
kriket Pakistan yang terjun ke dunia politik melakukan survei ke daerah
konstituennya, ia menemukan bahwa sekolah-sekolah yang diklaim milik pemerintah
ternyata 20% darinya adalah fiktif alias hanya ada sebagai dokumen, sedangkan
70% di antaranya ditutup secara semi permanen. Kita bisa membayangkan
situasinya pada tahun 70-an. Sampai di sini kita mungkin berfikir bahwa semua
baik-baik saja, madrasah bahkan telah memainkan perannya sebagai pemberi
alternatif bagi kaum miskin Pakistan. Namun ternyata, ledakan jumlah madrasah
itu juga dipicu oleh situasi kompleks dan runyam yang terjadi di dekat Pakistan
waktu itu ; perang antara Mujahideen Afghan dengan pasukan pendudukan USSR.
Pemicu yang satu ini tidak hanya membuat jumlah madrasah menjadi kian banyak,
tapi juga memberikan corak khas bagi kebanyakan lulusannya. Corak yang tidak
ikut memudar seiring kalah dan rontoknya Uni Soviet. Corak ini bahkan mungkin
semakin menjadi-jadi menyusul invasi AS ke Afghanistan pasca fitnah 11
Sepetember, premanisme ala pasukan bayaran Blackwater, ditambah lagi ulah
militer AS di daerah Pakistan sendiri yang ditengarai sebagai sarang Thaliban.
Menurut
temuan William Dalrymple dalam Inside the Madrasah, pada masa perang
Mujahideen-Soviet, ada tiga kekuatan besar yang mengulurkan tangannya dan
menjadikan madrasah sebagai instrumen pemenuh kepentingan mereka. Pertama tentu
saja adalah pemerintah Pakistan sendiri, yang pada waktu itu dibawah kekuasaan
Zia ul-Haq, alasan keterlibatannya sebagaian telah dijelaskan di atas. Kedua
adalah para pembawa dana dari Saudi, mereka adalah sekutu AS dan punya
kepentingan dalam memenangkan perang melawan Soviet. Namun campur tangan yang
mungkin paling berpengaruh langsung terhadap pola pikir para lulusan madrasah,
corak yang telah disinggung di atas, adalah keterlibatan AS. Amerika Serikat
yang bernafsu menumbangkan dan mempermalukan Soviet mendukung penuh Mujahideen
Afghanistan. Salah satunya adalah memnjadikan madrasah-madrasah di Pakistan
sebagai “pabrik” prajurit berani mati. Pelajaran Jihad tentu saja merupakan
bagian dari pelajaran Syari’at, tetapi campur tangan CIA telah menjadikan
pelajaran ini menjadi semata-mata haus darah. Merujuk kepada laporan The
Washington Post, Dalrymple menyebutkan bahwa CIA telah berperan penting
dalam mengembangkan seri “buku pelajaran (textbook) paling haus darah”
di madrasah-madrasah Pakistan. Selain narasinya yang propogandis berisi ajakan
untuk mati demi mengusir penjajah Soviet, buku tersebut juga dilengkapi dengan
gambar-gambar mengerikan. Pelajaran Jihad dalam semangat seperti ini mungkin
tidak lagi menyertakan adab-adab jihad.
Bagian
terburuknya kemudian adalah ketika Soviet berhasil dikalahkan, AS begitu saja
pergi meninggalkan madrasah-madrasah yang telah mengalami radikalisasi –
istilah yang sering kita dengar digunakan “para pengamat teroris” – sedemikian
jauh itu. Hal inilah yang disesalkan oleh Anzhar, dan merupakan episode yang
jarang diungkap, termasuk dalam kasus Malala ini. Setelah sejauh ini, marilah
kita kembali ke Malala dan pelurunya, apa yang menjadi penghubung kedua
fenomena ini? Madrasah-madrasah yang dibiarkan seperti itu dan penembakan
Malala? Setelah ditinggalkan AS, kekautan Thaliban yang merupakan alumni-alumni
madrasah dari era perang Soviet berhasil menduduki kepemimpinan Afghanistan
setelah berhasil mengalahkan dan menyatukan faksi-faksi Mujahideen. Dalam masa
inilah sebuah corak baru kembali muncul, dan lagi-lagi ini adalah hasil dari
kebijakan AS meskipun tidak secara langsung. Corak tersebut adalah kebencian
terhadap Barat yang diwakili AS dan sekutunya. Demonisasi, perusakan citra,
yang dilakukan media-media Barat terhadap Afghanistan dibawah Thaliban, standar
ganda AS dalam kebijakan globalnya, dan akhirnya invasi mereka pasca tragedi
WTC semakin menyburkan kebencian tersebut. Sikap inilah yang kemudian melangkah
ke arah ekstrim yang lain, yakni penolakan terhadap segala sesuatu yang
dianggap berasal dari Barat, seperti yang terjadi pada kelompok Boko Haram di
Afrika. Celakanya, di dalam masyarakt yang patriarkhis, peran penuh perempuan
termasuk di dalam pendidikan mungkin akan dianggap asing. Sampai di sini, kita
bisa sedikit mendapatkan gambaran mengenai asal peluru yang bersarang di kepala
Malal Yousufzai tersebut.
Tulisan
ini tidak bermaksud menyatakan dengan pasti bahwa begitulah asal muasal peluru
di kepala Malala. Tujuan utamanya adalah untuk bersama membicarakan sisi lain
dari peristiwa tersebut, yakni malangnya masib sebagaian madrasah di Pakistan. Selama
ini, banyak kalangan termasuk para petinggi di Barat sana semacam Colin Powell
dan Donald Rumsfeld akan langsung menuding madrasah sebagai pabrik semua
teroris yang menyerang mereka. Padahal hasil studi komprehensif yang dilakukan
Peter Bergen dan Swati Pandey terhadap para pelaku aksi-aksi teror paling
mengancam menunjukan bahwa madrasah bukanlah “pabrik teroris” seperti yang
dibualkan para politisi tersebut. Jadi jika dikatakan bahwa Malala ditemak oleh
seorang Thaliban, dan Thaliban adalah hasil dari madrasah, maka keprihatinan
pertama yang muncul tentunya tertuju pada madrasah-madrasah tersebut. seperti
yang telah kita ungkap di atas, jelaslah bahwa madrasah-madrasah di Pakistan
telah menjadi korban dari suasana geopolitik yang runyam dimana aktor-aktor
utamanya menjadikan madrasah-madrasah tersebut sebagai alat untuk menggempur
lawan. Dilakukanlah radikalisasi, dan setelah semuanya berlalu ia ditinggalkan
begitu saja. Kemudian ketika terjadi hal-hal buruk yang melibatkannya, adilkah
jika ia menjadi satu-satunya yang disalahkan?
SUMBER BACAAN :
Bergen,
Peter, and Swati Pandey. "The madrassa scapegoat." Washington
Quarterly 29.2 (2006): 115-125.
Anzar, Uzma.
"Islamic education: A brief history of madrassas with comments on
curricula and current pedagogical practices." draft report, March
(2003).
Dalrymple,
William. "Inside the madrasas." The New York Review of Books
52 (2005).
nice post...tapi hari ini 'merekalah; yang paling ditakuti barat...Taliban dan Al-Qaidha...:)
BalasHapussebelumnya makasih udah komen.. :D
BalasHapusyup, memang mereka menjadi hantu bagi barat. Meski kebenarannya masih serba remang-remang..