“Oh, jadi kamu mau menyampaikan analisismu tentang pemikiranku Yub?”
Tiba-tiba suara itu muncul begitu saya menuliskan judul ini. Saya
menoleh dan menemukannya sedang duduk di ranjang dekat tempatku
mengetik. Menatap dengan tatapan elang kepada tikus. Pasti mbah Fazlur
ini khawatir kalau saya memanipulasi dirinya, mencatut namanya untuk
kepentingan ide-ide saya sendiri. Baiklah, tadinya saya berniat begitu,
tapi gara-gara ditegur langsung oleh beliau, saya jadi taktu juga.
“Ah,
tidak kok mbah, mana berani saya melakukan itu. Lagipula untuk
melakukan analisis terhadap pemikiran antum kan saya harus baca tulisan
antum seluruhnya”
“Ya, ya, jangan coba-coba melakukan itu
pada saya ya” mbah Fazlur mengacungkan jari telunjuknya lalu
menggoyang-goyangnya. Kepalanya mengeleng-geleng, khas orang-orang
India-Pakistan. “Umat Islam telah melakukan banyak kesalahan karena
pemahaman parsial atas al-Qur’an. Jangan pula cara memahami yang cacat
itu kau terapkan pada saya”
“Okeih, orlaigh.. jadi saya akan membiarkan antum bicara sendiri ya mbah. Bicara sendiri seperti orang gila di Grhasia ahaha...”
“Eh? Maksdu loh?”
“Saya juga capek komentar kok mbah, sama tulisanmu. Jadi saya langsung kutip penuh saja ahaha”
Mendengar
saya menyebutkan soal tulisannya. Wajah mbah Fazlur jadi cerah. Ia
tampak bahagia, bukan sebab tulisannya dibaca, pasti bukan. Eskpresi itu
lebih seperti seorang yang lega sehabis menyelamatkan anak kecil dari
kebakaran hebat ;alhamdulillah, satu lagi jiwa terselamatkan. Saya
membalas senyumnya dengan senyum terikhlas dan terbaik saya tahun ini.
Tatapan kami bertemu, sesaat ada saling pengertian yang intim di antara
kami. Tapi tiba-tiba alis beliau bertaut, keningnya berkerut. Orang tua
itu tiba-tiba muntab.
“Tunggu dulu! Tunggu dulu! Bukannya
selama ini kamu pelit sekali mengeluarkan duit untuk bukuku Yub? Jangan
bilang kamu mencurinya di toko buku! Kehilangan etika! Kebangkrutan
etika! Inilah masalah kalian. Seperti kata sahabat saya si jenius
al-Attas itu, masalah kalian adalah lost of adab!”
“Ehhhh?? Tidak mbah! Tidak! Buku ISLAM ini saya beli kok, dengan uang amplop dari IPM kemaren hehe!”
“Heahahah...”
orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Semprul. “Baiklah baiklah...
pembaca pasti sudah bosan dengan adegan tidak jelas ini Yub. Tidak ada
unsur historisnya, tidak ada unsur double movement-nya hehe. Sudahlah,
langsung saja kutip penuh ucapan saya soal legislatif itu...”
Nah, orang tau itu tiba-tiba menghilang. Syukurlah, fiuhh. Seperti kataku tadi kepadanya. Saya akan membiarkannya bicara sendiri. Seperti orang gila, lagipula dia memang “gila”.
“Mengenai
kehidupan politik, maka pada dasarnya adalah ummat Islam itu sendiri.
Yang disebut ummat Islam adalah ummat yang bercirikan penerimaan atas
Syari’at atau perintah-perintah Islam, yakni sepakat merealisasikan
Syari’at secara gradual dalam kehidupan pribadi dan masyarakat mereka.
Khalifah hanya pejabat eksekutif tertinggi yang bertugas menjalankan
kehendak Ummat. Tugas ini sekarang bisa dilakukan oleh presiden terpilih
yang mendapat mandat dari ummat....”
“Suatu masalah telah
menjadi persoalan bagi banyak kalangan kaum muslimin maupun sarjana
Barat yang mempelajari Islam, yakni tentang siapa yang berhak membuat
undang-undang dan hukum-hukum Islam, siapa yang berhak menafsirkan
perintah-perintah Islam dalam artian hukum.......Sumber masalah ini
bukan terletak pada Islam, tapi dalam sejarah Islam, dimana sementara
ummat paling tidak secara teoritis telah mengangkat seorang pejabat
eksekutif, mereka tidak mengangkat pejabat legislatif...”
“Pada
masa awal Islam, sepeninggal Nabi, khalifah membuat hukum dengan
berkonsultasi secara tidak resmi kepada pemimpin-pemimpin ummat. Karena
itu, apa yang sekarang ini bisa menjadi penghalang suatu badan
legislatif yang dipilih oleh ummat untuk menciptakan suatu undang-undang
dan hukum-hukum Islam?”
Itu kata mbah Fazlur. Tapi saya
juga masih agak kurang sreg, jadi penarikan hukum dari teks-teks suci
diserahkan kepada orang-orang yang tidak kompeten dalam ilmu agama?
“Bukan
begitu, nehii nehiii” Healah! Orang tua itu kini muncul lagi. Duduk
di meja, disamping laptop saya. Tapi kini ia muncul dalam ukuran
liliput. Jarinya masih mengacung bergoyang seperti pendulum. Kepalanya
menggeleng ala India.
“Nehi...nehi...bagi saya memang
sumber hukum Islam bukan sesuatu yang misterius. Anggota legislatif pun
bisa memahaminya, lagi pula mereka hanya penyalur aspirasi ummat”
“Eh? Jadi tugas ulama apa mbah?”
“Tugas
ulama bukanlah menciptakan hukum, tetapi memimpin ummat secara umum
dengan pengajaran, khotbah, dan penyebaran ide-ide yang Islamis di
kalangan masyarakat. Adalah jelas bahwa legislasi oleh badan legislatif
hanya akan bersifat Islami sejauh kesadaran dan pikiran masyarakat ;
hanya sejauh itulah masyarakat bisa menampilkan kepemimpinan politik
yang Islamis”
“Islamis mbah? Tidak takut dibunuh sama’You-Know-Who? hehe”
“Hahaha...
tidaklah, lagipula saya sudah meninggal kok, kamu tuh, ngutip-ngutip
tulisan saya yang ada kata ‘Islamis’nya, tidak takut dibunuh kamu Yub?”
“Tidak kok mbah, saya sudah belajar ekspektopetronas...”
“Ahahaha”
Tawa kami berdua meledak. Tapi hanya tawa saya saja yang bisa
didengarkan oleh temanku sekamar. Jadi yang ditegur dengan deheman
kencang Cuma saya. Mbah Fazlur cekikian melihat saya ditegur. Ah, orang
tua ini!
“Pssttt mbah-mbah” Saya terpaksa berbisik-bisik kini. Masih ada sedikit yang ingin saya tanyakan kepada mbah Fazlur
“Hmm? hihi” Beliau mereskpon, tapi masih cekikikan.
“Jadi
menurut mbah Fazlur, ulama dan politis harus bekerja sama agar ummat
benar-benar bisa menerapkan syari’at secara gradual? Ulama mendidik
ummat agar pemikiran dan kesadaran mereka mengikuti kemauan syariat.
Jika ummat telah berkesadaran demikian, mereka akan menyalurkan aspirasi
yang tidak lain adalah syari’at, dan anggota legislatif berkewajiban
menyalurkan aspirasi itu dalam bentuk undang-undang dan hukum. Begitu
mbah? Benar nggk analisa saya?”
“Hehe, ya, secara umum
begitu Yub. Kamu sama sekali tidak melakukan analisis kok Hehe. Kamu
Cuma melakukan resume atas ide tulisan saya di ekor buku ISLAM”
“Iya si mbah..” Kataku pelan. Tiba-tiba suasananya jadi serius begini. Melihat wajah mbah Fazlur, bahkan agak melankolik.
“Meskipun
kamu harus tahu Yub. Mungkin nanti kita akan berbeda pendapat soal
hal-hal partikular dan detail-detail hukumnya, itu sudah biasa kan? Imam
Syafi’i dan Imam Abu Hanifah juga tidak satu kata kok. Tapi itulah,
pemimpin politik muslim harus menyalurkan aspirasi ummat, dan ulama
harus membimbing aspirasi mereka agar tetap berdasarkan syariat. Kedua
unsur ini tidak boleh saling cekal. Jika ulama menegur sepak terjang
elit politik ummat, maka jangan langsung dituduh tidak berkontribusi.
Sebab itulah tugas para ulama, mendidik ummat, termasuk poltisinya.
Memang yang diperlukan adalah adab, Yub. Kau sudah pernah mendengarnya
dari sahabatku itu kan? Kemakluman akan kedudukan kita masing-masing,
dan kesadaran untuk melakukan fungsi pada keududukan itu sesuai din dan weltanschauung Islam”
“Pendidikan? adab? Weltanscahuung? Kini antum terdengar seperti sahabatmu itu mbah hehe”
“Dasar
anak muda, kamu pikir sudah baca buku berapa? Kamu pikir itu pemikiran
si penikmat cerutu itu saja? Jika kelak dapat uang lagi, silakan kau
cari bukuku yang judulnya Islamic Education and Modernitiy. Mungkin sudah diterjemahkan, di situ saya juga membahas hal-hal tadi..”
“Hehe iya deh, mbah. Tapi saya cari PDF versi bahasa Inggrisnya saja ah..”
“Bahasa inggris? Emang kamu bisa ngerti? Bukannya bahasa inggrismu dapat C ya semester lalu? Ahahah...”
Heh???
Kok mbah Fazlur bisa tahu? Baru saja saya ingin menyemprotnya karena
mengingatkan pada nilai yang menyakitkan ginjal itu, mbah Fazlur sudah
menghilang. Tidak meninggalkan jejak sedikit pun.
Islam,
yang ditulis sama Fazlur Rahman, diterbitkan penerbit Pustaka, cetakan
ke sekian, tahun 2010 kemaren. Lebih tepatnya si bagian Epilog, halaman
384 dan seterusnya...