بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
"Ada empat pendirian yang harus kau perhatiakan"
Sebuah suara tiba-tiba saja menyapaku dari belakang ketika aku sedang
santai di kamar, bersiap menyantap nasi telur dan es kopi yang baru saja kubeli
di burjo. Aku menoleh dan mendapati kalimat itu kelaur dari seorang tua
berwajah penuh wibawa. Apa-apaan ini? tanpa basa-basi ia langsung mengucapkan
hal itu. Aku tentu kaget bukan buatan. Hampir
saja kusiram ia dengan kopi dingin di gelas yang sedang kugenggam.
"Siapa
anda?" Aku bertanya, aku membentak. Tidak peduli ia bertampang ulama,
siapa tau dia penipu yang mampu berteleportasi. Ia merusak damai yang
berusaha kucipta bersama segelas es kopi. Namun
orang tua itu hanya melirik sebentar padaku, tersenyum, mengagguk, dan mulai
mengoceh lagi.
"Pendirian
pertama adalah anggapan bahwa manusia tidak bisa mencapai pengetahuan apapun.
Segala seuatu yang kau anggap telah kau ketahui adalah ilusi, tiada seorang pun
yang mampu mencapai kebenaran sejati. Kita sebenarnya sedang
tertidur dan ketika kita mati nanti itulah saatnya kita bangun. Maka segala
sesuatu yang kau anggap kebenaran di dunia ini tidak ubahhnya hanya mimpi,
semua palsu. Jangan percaya pada indramu, pada akalmu. Tidak ada pengetahuan,
tidak ada pemahaman"
Orang tua itu berhenti mengoceh, menatapku dalam-dalam. Ia pasti sedang
memastikan bahwa aku menyimak apa yang baru saja ia ucapkan. Kalimat panjang
lebar itu. Tentu saja aku mendengarkannya, tapi tidak menyimak apalagi mencoba mengerti.
Orang tua ini pasti pasien rumah sakit jiwa yang kabur, atau sedang cuti. Ah sejak
kapan pasien RSJ bisa cuti? Waduh aku mungkin sudah ikutan gila! Ia terus
memandangiku, tatapan yang menelanjangi.
“Apa kau dengarkan, Ayub? Apa kau paham?”
“Anda tahu namaku?”
“Apa kau paham?” Ia membentak, menyibakan jubahnya menampakan belati yang
terselip di ikat pinggang kainnya. Aku gemetar ketakutan. Gelas berisi kopi
dingin itu sudah berubah menjadi pecahan kaca, hacur lebur karena jatuh. Tanganku
yang gemetaran tidak mampu lagi menggemgamnya. Gila! Orang gila ini sungguh
gila!
“Pe...pendirian pertama, semacam pendirian para sophis, tidak ada pengetahuan,
tiada yang bisa mencapai kebenaran”
Aku menjawab dengan suara bergetar. Ketakutan membuat orakku tiba-tiba
mampu memanggil kembali memori dari pendengaran tidak fokusku tadi. Kini aku harus
memperhatikan apa yang diucapkannya, atau aku akan berakhir menjadi foto
tersensor di halaman depan koran besok pagi ; seorang pemuda ditemukan tewas
dengan leher tergorok, dicurigai pelakunya adalah pasien rumah sakit jiwa yang
kabur membawa atribut imam masjid dekat rumah sakit itu.
“Baguslah jika kau paham” Ia tersenyum penuh kemenangan, aku mengangguk
seperti robot, dan memaksa bibir tersenyum. “Jika kau sudah paham, baiklah kita
akan lanjut pada pendirian berikutnya” “Kau
siap?”
“Siap syaikh! Siap!” Lihatlah, aku memanggil orang gila bersurban berjubah
ini dengan panggilan ‘syaikh’ . Selamat Ayub! Kau resmi menjadi orang
gila!
“Pendirian berikutnya lebih baik, lebih mendingan. Mereka menetapkan bahwa
pengetahuan bisa dicapai, dan bahwa kita bisa mencapai pengetahuan akan sesuatu
sesuai dengan keadaannya yang hakiki melalui proses pencarian pengetahuan,
menalar melali dalil atau pengamatan. Namun kelompok ini menganggap bahwa
seseorang pun bisa saja langsung mendapatkan pengetahuan tanpa usaha sama
sekali, ia bisa langsung mendapatkan hakikat segala sesautu langsung dari
Allah. Hal itu bisa terjadi bila hatinya cukup bersih dan siap untuk
mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan”
“Oh, mungkinkah ini yang mereka sebut ilmu laduni?”
Aku mencoba mengiterupsi. Jangan salah paham dulu, bukan berarti aku
tertarik dan menganggap serius ocehan orang gila bersurban ini. Aku melakukannya
agar ia senang dan berhenti menyandraku dengan belati tajam mengerikan yang
dari tadi terus ia usap-usap sambil berbicara itu. Orang gila berjenggot putih itu berhenti
sejenak, ia menatapku penuh selidik. Jika ketahuan bahwa kau hanya berpura
serius, mungkin aku akan benar-benar berakhir kamar mayat besok pagi.
“Orang yang pertama memegang prinsip ini adalah al-Harits bin Asad
al-Muhasibi, lalu Abul Qasim al-Qusyairi ” Orang tua itu berbicara seolah-olah
sedang menjawab pertanyaanku tapi siapapun tahu ia sama sekali tidak
mempedulikan apa yang baru saja kutanyakan. Ia malah menyebut dua nama sufi
besar. Apa itu artinya ‘iya’ ? sebab konsep ilmu laduni adalah milik para sufi?
Dasar orang gila, apa susahknya berucap ‘iya’!
“Iya. Konsep ini dipegang oleh dua tokoh besar sufi tadi. Mungkin itulah
yang kau sebut ilmu laduni”
Dasar tau bangka! Hatiku mengumpat merasa dipermainkan tapi bibirku tetap
tersenyum semanis manisnya. Orang tua gila ini memang menyebalkan, tapi
lihatlah itu ; ia terus mengelus-elus sarung belatinya. Berucap dan bertingkahlah macam-macam dan kau
akan kehilangan salah satu anggota badanmu yang bisa dipotong.
“Jadi tidak ada yang salah dong dengan pandangan kedua ini, iya kan Syaikh?”
“Memang benar. Kedua tokoh tadi memperlakukan prinsip ini dengan cara
moderat, tapi kelak lahir kelompok yang menasabka diri pada kedua ulama tadi
tapi mereka menempuh jalan ekstrim. Mereka menganggap orang yang hatinya kotor
tidak akan mampu mencapai pengetahuan”
Syaikh gila menatapku, memeriksa reaksiku. Aku berakting dengan sempurna,
mengangguk berpura-pura paham. Berpura-pura sungguh serius. Padahal aku tahu
semua yang diucapkannya adalah sampah tidak berguna. Tapi, hey! Dia pun
mengangguk-angguk bersiap melajutkan kuliah tidak jelasnya.
“Lebih parah lagi. Orang-orang ekstrim itu mengklaim bahwa dengan hati yang
telah bersih melalui latihan sufistik, mereka mampu mencapai perbendaharaan
ilmu ghaib, bercakap dengan penghuni langit bahkan sampai pada persatuan dengan
Sang Maha Mengetahui Ilmu Ghaib!”
“Nauzubillah!” Sergahku dengan terkejut! Wah ternyata suatu konsep yang
masih bisa diterima oleh beberapa kalangan bisa diselewengkan menjadi konsep
yang sama sekali sesat oleh para eksrimis. Mengejutkan! Tapi lebih mengejutkan
lagi, mengapa aku tiba-tiba serius dan terkejut sungguh-sungguh? Orang gila ini
mungkin pandai menghipnotis. Hati-hatilah wahai pembaca!
“Khekhehe. Kau mulai serius rupanya, Yub” Orang tua itu menatapku sambil
terkekeh jenaka. Ia bahkan menepuk-nepuk pundaku, seperti seorang ayah yang
menepuk pundak anaknya yang baru saja disunat ; anaku kini kau sudah melewati
fase terpenting dalam hidupmu. Rasanya aku diperlakukan seperti itu. Aku diam saja, menunduk menyembunyikan bara
menyala di mataku dan serapah yang tersangkut di bibirku.
“Baiklah. Waktuku sudah hampir habis. Aku akan menjelaskan pendirian
berikutnya, yakni pendirian ke tiga dan keempat.”
“Iya Syaikh” Silakan saja jelaskan dan cepatlah enyah!
“Sebagian kelompok berpandangan bahwa tidak ada yang mungkin diketahui
kecauli yang terindera. Sedangkan segala pengetahuan yang dicapai dengan
pemikiran abstrak apalgi hal-hal yang dianggap berada di alam ghaib bukanlah
ilmu dan musthail untuk diketahui. Sebabnya adalah hanya indra saja yang bisa
memberikan gambaran seragam dan pasti. Pemikiran orang-ornag berbeda-beda, maka
hasil pemikiran, hasil abstraksi, sangat riskan untuk disebut ilmu sebab semua
orang punya konsepsinya sendiri”
“Inilah pendirian ketiga. Berikutnya adalah pendirian keempat, apa kau
masih mau mendengarkannya, Yub?”
Oh silakan saja orang tua sinting! Buat aku benar-benar marah dan aku tidak
akan peduli lagi dengan belatimu itu. Aku akan mengambil pecahan gelasku lalu
menusukannya ke sembarang tempat di tubuh tuamu yang ringkih itu. Kau pasti terkaing-kaing
dan lari ke rumah sakit jiwamu!
“Baikah. Tampaknya kau siap untuk yang keempat” Ia mengucapkannya diiringi
senyum berwibawa dan mimik wajah lembut. Aku tidak terpengaruh, tanganku
mendekat ke salah satu pecahan gelas yang paling tajam.
“Pendirian keempat menyatkan bahwa pengetahuan yang benar bisa diperoleh. Seorang
manusia tidak terlahir dengan membawa ilmu itu. Jika hendak memiliki ilmu
pengetahuan seseorang harus berusaha memperolehnya melalui proses ta’lim.
Namun kelompok ini beranggapan bahwa ilmu tidak bisa diperoleh dari orang
sembarangan, harus seseorang yang otoritatif. Otoritas di sini adalah
kemaksuman, dan hanya imam lah yang maksum. Maka ilmu yang benar hanya bisa diperoleh
dari imam yang maksum”
Orang tua itu berhenti mengambil nafas. Tanganku sudah menggemgam salah
satu pecahan gelas, ujung tajamnya sudah kusiapkan untuk menikam. Aku mengambil
ancang-ancang, kuda-kuda yang tepat agar sekali serang si gila ini langsung
tumbang atau tak mampu membalas dan lari tunggang langgang.
“Kau tentu tahu kelompok yang terakhir ini, mereka adalah Syiah yang
menggap imamnya suci maksum. Mereka jelas error”
Rupanya ia masih saja mengoceh. Kini ia berbalik seperti hendak pergi. Aku tida
peduli senjata sudah kusiapkan, orang gila ini harus aku tikam. Tanganku melayang
deras tepat ke tengah punggungnya, pecahan gelas yang kugenggam pasti akan
membuat sobekan yang dalam di daging tua itu. Namun tanpa kusangka, dengan
gerakan yang sangat cepat orang tua itu berbalik mengangkap tanganku,
memlintirnya hingga pecahan kaca itu jatuh. Aku meringis kesakitan lalu
menggigil ketakutan. Seranganku gagal total dan inilah akhir hidupku. Mati ditangan
orang gila! Oh akhir yang sial untuk sebuah hidup yang nista!
“Mmm... maaf syaikh! Ampun!” Aku terbata-bata, tidak tahu lagi kalimat apa
yang mesti kuucapkan. Hanya itu yang mampu kelaur dari mulutku. Otomatis sebagai
mekanisme pertahan diri terakhir, pertahanan diri nan putu asa. Sementara itu
tanganku masih digenggamnya erat. Apakah ia hendak memlintirnya hingga patah? Aku
pasrah. Ia mulai memelintir tanganku, aku mulai menangis, tapi hei! Ia malah
menyalamiku!
“Tidak usah terharu begitu” Ia tersenyum hampir tertawa. Aku terkejut,
heran tapi lega.
“Perknalkan namaku Abu Bakar Ibnul ‘Arabi. Kau ingin belajar tentang
epistemologi Islam kan? Bukankah hakikat ilmu dan mungkin-tidaknya diperoleh
adalah bagain dari epistemologi? Tadi itu aku menyebutkan padamu empat
kecendrungan manusia pada zamanku dalam melihat ilmu. Semuanya tentu salah dan,
alhamdulillah aku telah memaparkan dan mengkritiknya di dalam bukuku al-‘Awashim
min al-Qawashim.”
“Iya, aku tahu. Selama ini kalian menganggap buku itu hanya buku sejarah. Sebenarnya
itu gara-gara Syaikh Muhibbuddin al-Khatib, beliau mencetak bukuku itu dengan
parsial ; hanya bagain pembahasan mengenai sejarah dan pembelaan terhadap
kehormatan para sahabat terkait dengan fitnah akhir khulafaurrasyidin. Sebenarnya
bukuku itu cakupannya lebih luas, dan agak-agak falsafi gitu deh. Bahasan mengenai
sahabat itu hanya penjelasan mengenai pendiriak keempat tadi. Sebab pandangan
mengenai sejarah kan dpengaruhi oleh sikap epistemologis yang diambil
seseorang. Jadi, jika kau mau pembahasan yang lebih memadai sialakan buka
bukuku itu, al-Awashim min al-Qawashim”
Setelah mengucapkan kalimatnya yang panjang lebar, sosok orang tua yang
tadi kusangka orang gila itu tiba-tiba menghilang. Aku hanya ternganga tidak
tahu harus beraksi seperti apa. Hangat salamannya bahkan masih bisa kurasakan
di genggamanku.
Syaikh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi? Kitab al-Awashim min al-Qawashim?
Wuaaahhhhhhhhhh Apa-apaan ini? Apa aku sudah gila?