Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Empat Macam Pandangan Epistemologis Bathil Menurut Ibnul 'Arabi

Empat Macam Pandangan Epistemologis Bathil Menurut Ibnul 'Arabi

Written By apaaja on Minggu, 05 Januari 2014 | 12.09.00

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


kitab al-Awashim oleh Ibnul 'Arabi

"Ada empat pendirian yang harus kau perhatiakan"
Sebuah suara tiba-tiba saja menyapaku dari belakang ketika aku sedang santai di kamar, bersiap menyantap nasi telur dan es kopi yang baru saja kubeli di burjo. Aku menoleh dan mendapati kalimat itu kelaur dari seorang tua berwajah penuh wibawa. Apa-apaan ini? tanpa basa-basi ia langsung mengucapkan hal itu. Aku tentu kaget bukan buatan. Hampir saja kusiram ia dengan kopi dingin di gelas yang sedang kugenggam.
"Siapa anda?" Aku bertanya, aku membentak. Tidak peduli ia bertampang ulama, siapa tau dia penipu yang mampu berteleportasi. Ia merusak damai yang berusaha kucipta bersama segelas es kopi. Namun orang tua itu hanya melirik sebentar padaku, tersenyum, mengagguk, dan mulai mengoceh lagi.
"Pendirian pertama adalah anggapan bahwa manusia tidak bisa mencapai pengetahuan apapun. Segala seuatu yang kau anggap telah kau ketahui adalah ilusi, tiada seorang pun yang mampu mencapai kebenaran sejati. Kita sebenarnya sedang tertidur dan ketika kita mati nanti itulah saatnya kita bangun. Maka segala sesuatu yang kau anggap kebenaran di dunia ini tidak ubahhnya hanya mimpi, semua palsu. Jangan percaya pada indramu, pada akalmu. Tidak ada pengetahuan, tidak ada pemahaman"
Orang tua itu berhenti mengoceh, menatapku dalam-dalam. Ia pasti sedang memastikan bahwa aku menyimak apa yang baru saja ia ucapkan. Kalimat panjang lebar itu. Tentu saja aku mendengarkannya, tapi tidak menyimak apalagi mencoba mengerti. Orang tua ini pasti pasien rumah sakit jiwa yang kabur, atau sedang cuti. Ah sejak kapan pasien RSJ bisa cuti? Waduh aku mungkin sudah ikutan gila! Ia terus memandangiku, tatapan yang menelanjangi.
“Apa kau dengarkan, Ayub? Apa kau paham?”
“Anda tahu namaku?”
“Apa kau paham?” Ia membentak, menyibakan jubahnya menampakan belati yang terselip di ikat pinggang kainnya. Aku gemetar ketakutan. Gelas berisi kopi dingin itu sudah berubah menjadi pecahan kaca, hacur lebur karena jatuh. Tanganku yang gemetaran tidak mampu lagi menggemgamnya. Gila! Orang gila ini sungguh gila!
“Pe...pendirian pertama, semacam pendirian para sophis, tidak ada pengetahuan, tiada yang bisa mencapai kebenaran”
Aku menjawab dengan suara bergetar. Ketakutan membuat orakku tiba-tiba mampu memanggil kembali memori dari pendengaran tidak fokusku tadi. Kini aku harus memperhatikan apa yang diucapkannya, atau aku akan berakhir menjadi foto tersensor di halaman depan koran besok pagi ; seorang pemuda ditemukan tewas dengan leher tergorok, dicurigai pelakunya adalah pasien rumah sakit jiwa yang kabur membawa atribut imam masjid dekat rumah sakit itu.
“Baguslah jika kau paham” Ia tersenyum penuh kemenangan, aku mengangguk seperti robot, dan memaksa bibir tersenyum. “Jika kau sudah paham, baiklah kita akan lanjut pada pendirian  berikutnya” “Kau siap?”
“Siap syaikh! Siap!” Lihatlah, aku memanggil orang gila bersurban berjubah ini dengan panggilan ‘syaikh’ . Selamat Ayub! Kau resmi menjadi orang gila!
“Pendirian berikutnya lebih baik, lebih mendingan. Mereka menetapkan bahwa pengetahuan bisa dicapai, dan bahwa kita bisa mencapai pengetahuan akan sesuatu sesuai dengan keadaannya yang hakiki melalui proses pencarian pengetahuan, menalar melali dalil atau pengamatan. Namun kelompok ini menganggap bahwa seseorang pun bisa saja langsung mendapatkan pengetahuan tanpa usaha sama sekali, ia bisa langsung mendapatkan hakikat segala sesautu langsung dari Allah. Hal itu bisa terjadi bila hatinya cukup bersih dan siap untuk mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan”
“Oh, mungkinkah ini yang mereka sebut ilmu laduni?”
Aku mencoba mengiterupsi. Jangan salah paham dulu, bukan berarti aku tertarik dan menganggap serius ocehan orang gila bersurban ini. Aku melakukannya agar ia senang dan berhenti menyandraku dengan belati tajam mengerikan yang dari tadi terus ia usap-usap sambil berbicara itu.  Orang gila berjenggot putih itu berhenti sejenak, ia menatapku penuh selidik. Jika ketahuan bahwa kau hanya berpura serius, mungkin aku akan benar-benar berakhir kamar mayat besok pagi.
“Orang yang pertama memegang prinsip ini adalah al-Harits bin Asad al-Muhasibi, lalu Abul Qasim al-Qusyairi ” Orang tua itu berbicara seolah-olah sedang menjawab pertanyaanku tapi siapapun tahu ia sama sekali tidak mempedulikan apa yang baru saja kutanyakan. Ia malah menyebut dua nama sufi besar. Apa itu artinya ‘iya’ ? sebab konsep ilmu laduni adalah milik para sufi? Dasar orang gila, apa susahknya berucap ‘iya’!
“Iya. Konsep ini dipegang oleh dua tokoh besar sufi tadi. Mungkin itulah yang kau sebut ilmu laduni”
Dasar tau bangka! Hatiku mengumpat merasa dipermainkan tapi bibirku tetap tersenyum semanis manisnya. Orang tua gila ini memang menyebalkan, tapi lihatlah itu ; ia terus mengelus-elus sarung belatinya.  Berucap dan bertingkahlah macam-macam dan kau akan kehilangan salah satu anggota badanmu yang bisa dipotong.
“Jadi tidak ada yang salah dong dengan pandangan kedua ini, iya kan Syaikh?”
“Memang benar. Kedua tokoh tadi memperlakukan prinsip ini dengan cara moderat, tapi kelak lahir kelompok yang menasabka diri pada kedua ulama tadi tapi mereka menempuh jalan ekstrim. Mereka menganggap orang yang hatinya kotor tidak akan mampu mencapai pengetahuan”
Syaikh gila menatapku, memeriksa reaksiku. Aku berakting dengan sempurna, mengangguk berpura-pura paham. Berpura-pura sungguh serius. Padahal aku tahu semua yang diucapkannya adalah sampah tidak berguna. Tapi, hey! Dia pun mengangguk-angguk bersiap melajutkan kuliah tidak jelasnya.
“Lebih parah lagi. Orang-orang ekstrim itu mengklaim bahwa dengan hati yang telah bersih melalui latihan sufistik, mereka mampu mencapai perbendaharaan ilmu ghaib, bercakap dengan penghuni langit bahkan sampai pada persatuan dengan Sang Maha Mengetahui Ilmu Ghaib!”
“Nauzubillah!” Sergahku dengan terkejut! Wah ternyata suatu konsep yang masih bisa diterima oleh beberapa kalangan bisa diselewengkan menjadi konsep yang sama sekali sesat oleh para eksrimis. Mengejutkan! Tapi lebih mengejutkan lagi, mengapa aku tiba-tiba serius dan terkejut sungguh-sungguh? Orang gila ini mungkin pandai menghipnotis. Hati-hatilah wahai pembaca!
“Khekhehe. Kau mulai serius rupanya, Yub” Orang tua itu menatapku sambil terkekeh jenaka. Ia bahkan menepuk-nepuk pundaku, seperti seorang ayah yang menepuk pundak anaknya yang baru saja disunat ; anaku kini kau sudah melewati fase terpenting dalam hidupmu. Rasanya aku diperlakukan seperti itu.  Aku diam saja, menunduk menyembunyikan bara menyala di mataku dan serapah yang tersangkut di bibirku.
“Baiklah. Waktuku sudah hampir habis. Aku akan menjelaskan pendirian berikutnya, yakni pendirian ke tiga dan keempat.”
“Iya Syaikh” Silakan saja jelaskan dan cepatlah enyah!
“Sebagian kelompok berpandangan bahwa tidak ada yang mungkin diketahui kecauli yang terindera. Sedangkan segala pengetahuan yang dicapai dengan pemikiran abstrak apalgi hal-hal yang dianggap berada di alam ghaib bukanlah ilmu dan musthail untuk diketahui. Sebabnya adalah hanya indra saja yang bisa memberikan gambaran seragam dan pasti. Pemikiran orang-ornag berbeda-beda, maka hasil pemikiran, hasil abstraksi, sangat riskan untuk disebut ilmu sebab semua orang punya konsepsinya sendiri”
“Inilah pendirian ketiga. Berikutnya adalah pendirian keempat, apa kau masih mau mendengarkannya, Yub?”
Oh silakan saja orang tua sinting! Buat aku benar-benar marah dan aku tidak akan peduli lagi dengan belatimu itu. Aku akan mengambil pecahan gelasku lalu menusukannya ke sembarang tempat di tubuh tuamu yang ringkih itu. Kau pasti terkaing-kaing dan lari ke rumah sakit jiwamu!
“Baikah. Tampaknya kau siap untuk yang keempat” Ia mengucapkannya diiringi senyum berwibawa dan mimik wajah lembut. Aku tidak terpengaruh, tanganku mendekat ke salah satu pecahan gelas yang paling tajam.
“Pendirian keempat menyatkan bahwa pengetahuan yang benar bisa diperoleh. Seorang manusia tidak terlahir dengan membawa ilmu itu. Jika hendak memiliki ilmu pengetahuan seseorang harus berusaha memperolehnya melalui proses ta’lim. Namun kelompok ini beranggapan bahwa ilmu tidak bisa diperoleh dari orang sembarangan, harus seseorang yang otoritatif. Otoritas di sini adalah kemaksuman, dan hanya imam lah yang maksum. Maka ilmu yang benar hanya bisa diperoleh dari imam yang maksum”
Orang tua itu berhenti mengambil nafas. Tanganku sudah menggemgam salah satu pecahan gelas, ujung tajamnya sudah kusiapkan untuk menikam. Aku mengambil ancang-ancang, kuda-kuda yang tepat agar sekali serang si gila ini langsung tumbang atau tak mampu membalas dan lari tunggang langgang.
“Kau tentu tahu kelompok yang terakhir ini, mereka adalah Syiah yang menggap imamnya suci maksum. Mereka jelas error”
Rupanya ia masih saja mengoceh. Kini ia berbalik seperti hendak pergi. Aku tida peduli senjata sudah kusiapkan, orang gila ini harus aku tikam. Tanganku melayang deras tepat ke tengah punggungnya, pecahan gelas yang kugenggam pasti akan membuat sobekan yang dalam di daging tua itu. Namun tanpa kusangka, dengan gerakan yang sangat cepat orang tua itu berbalik mengangkap tanganku, memlintirnya hingga pecahan kaca itu jatuh. Aku meringis kesakitan lalu menggigil ketakutan. Seranganku gagal total dan inilah akhir hidupku. Mati ditangan orang gila! Oh akhir yang sial untuk sebuah hidup yang nista!
“Mmm... maaf syaikh! Ampun!” Aku terbata-bata, tidak tahu lagi kalimat apa yang mesti kuucapkan. Hanya itu yang mampu kelaur dari mulutku. Otomatis sebagai mekanisme pertahan diri terakhir, pertahanan diri nan putu asa. Sementara itu tanganku masih digenggamnya erat. Apakah ia hendak memlintirnya hingga patah? Aku pasrah. Ia mulai memelintir tanganku, aku mulai menangis, tapi hei! Ia malah menyalamiku!
“Tidak usah terharu begitu” Ia tersenyum hampir tertawa. Aku terkejut, heran tapi lega.
“Perknalkan namaku Abu Bakar Ibnul ‘Arabi. Kau ingin belajar tentang epistemologi Islam kan? Bukankah hakikat ilmu dan mungkin-tidaknya diperoleh adalah bagain dari epistemologi? Tadi itu aku menyebutkan padamu empat kecendrungan manusia pada zamanku dalam melihat ilmu. Semuanya tentu salah dan, alhamdulillah aku telah memaparkan dan mengkritiknya di dalam bukuku al-‘Awashim min al-Qawashim.
“Iya, aku tahu. Selama ini kalian menganggap buku itu hanya buku sejarah. Sebenarnya itu gara-gara Syaikh Muhibbuddin al-Khatib, beliau mencetak bukuku itu dengan parsial ; hanya bagain pembahasan mengenai sejarah dan pembelaan terhadap kehormatan para sahabat terkait dengan fitnah akhir khulafaurrasyidin. Sebenarnya bukuku itu cakupannya lebih luas, dan agak-agak falsafi gitu deh. Bahasan mengenai sahabat itu hanya penjelasan mengenai pendiriak keempat tadi. Sebab pandangan mengenai sejarah kan dpengaruhi oleh sikap epistemologis yang diambil seseorang. Jadi, jika kau mau pembahasan yang lebih memadai sialakan buka bukuku itu, al-Awashim min al-Qawashim
Setelah mengucapkan kalimatnya yang panjang lebar, sosok orang tua yang tadi kusangka orang gila itu tiba-tiba menghilang. Aku hanya ternganga tidak tahu harus beraksi seperti apa. Hangat salamannya bahkan masih bisa kurasakan di genggamanku.
Syaikh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi? Kitab al-Awashim min al-Qawashim?
Wuaaahhhhhhhhhh Apa-apaan ini? Apa aku sudah gila?


Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template