بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Ada sebuah ungkapan mulia yang seharusnya menjadi prinsip
hidup setiap muslim ; “nahnu du’at qobla kulli syai’ “. Kita adalah dai
sebelum menjadi apapun. Ungkapan ini sejalan dengan berbagai ayat dan hadist
yang memerintahkan setiap pribadi muslim
untuk menjadi dai, menjadi penyeru pada jalan keselamatan. Kepada Islam yang
kaffah. Maka setiap muslim apaapun profesinya apapun kedudukannya dalam
masyarakat seyogianya ia menjadi penyeru
Islam dalam posisinya itu. Ini bisa kita katakan sebagai dakwah dalam
pengertian umumnya. Sedangkan dalam pengertian khusus atau sempitnya, dakwah
sering dimaknai sebagai penyampaian syiar Islam melalui lisan, baik khotbah,
ceramah, kultum, pelatihan, seminar dan lain sebagainya.
Menjadi seorang dai yang menyeru kepada jalan lurus Islam
berarti menjadi penerus pembawa suluh penyibak kegelapan jahiliah yang telah
diestafetkan berantai dari tangan Rasulullah saw. Olehnya cara kita memperlakukan suluh agung
itu tentu saja harus sama dengan cara yang telah ditempuh Sang pengemban
pertama yaitu Rasulullah saw. Salah satu
sifat dakwah Rasulullah adalah tabsyir. Apa sebenarnya tabsyir
itu?. Menjawab pertanyaan itu berarti
mengetahui salah satu cara
memperlakukan suluh agung dakwah Islam. Untuk menjawabnya, kita perlu merujuk
kepada al-Qur’an, lalu menjelajah beberapa kitab klasik karya ulama tafsir, apa
kau siap? Mari kita lakukan.
Dalam banyak ayat, Allah swt memerintahkan kepada NabiNya
yang mulia untuk menjadi seorang mubasysyir kepada manusia. Mubassyir
adalah isim fa’il, atau bentuk subjek (kata yang berarti pelaku untuk
kata kerja trsebut), ia berasal dari kata bassyara-yubassyiru.
Jadi, seorang mubasysyir adalah seorang
yang\ yang melakukan bassyara. Kata bassyara dalam terjemahan Al Qur’an
sering diartikan sebagai memberikan kabar gembira. Memang benar mengartikannya
seperti itu tapi untuk mengetahui makna terdalam dari kata tersebut, adalah
menarik untuk melacak kata ini sampai makna asalnya. Kata ini berasal dari
huruf ba sya ra, dalam kitab “Mufradatul Alfaz”, al-Asbahani menjelaskan bahwa kata yang berasal dari ketiga huruf ini
semuanya memberi makna “yang nampak”. Misalnya al-basyratun berarti
nampaknya kulit. Manusia disebut
al-basyar karena kulit manusia yang jelas terlihat tanpa ditutupi rambut atau bulu
layaknya unta atau ayam.
Ketiga huruf itu membentuk kata basysyara-yubasysyiru,
jika dihubungkan dengan pemberian kabar atau penyampaian berita. Imaduddin
Muhammad At Thobari atau yang lebih terkenal dengan sebutan al-Kaya al-Harasi
memberikan sebuah contoh penggunaan kata ini. Di dalam kitab “Ahkamul Qur’an”
Ia menuliskan, “jika seorang tuan
mengatakan kepada para budaknya ;
أي عبد بشرني بولادة
فلان فهو حر
“Barang siapa yang memberikanku kabar (yubasysyiruuniy) tentang kelahiran si
fulan, maka ia akan kumerdekakan”.
Dengan menggunakan kata yubasysyiru, maka yang yang dimerdekakan
oleh si tuan hanyalah hamba yang pertama kali menyampaikan kabar kelahiran
fulan, sedangkan yang mengabarkannya kedua, ketiga, dan seterusnya tidak
dimerdekakan meskipun mereka juga menyampaikan kabar gembira serupa.
Berbeda jika si tuan mengatakan ;
أي عبد أخبرني بولادتها
فهو حر
“Barang siapa yang memberiku kabar (akhbaraniy) kelahirannya, maka ia akan kumerdekakan”
Karena dalam pernyataannya si tuan memakai kata akhbara,
maka semua budak yang memberikannya kabar tentang kelahiran si fulan akan
dimerdekakannya, baik yang pertama kali menyampaikan, yang kedua, dan seterusnya. Dengan demikian, makna dari kata basysyara-
yubasysyiru berbeda dari akhbara meskipun di dalam bahasa Indonesia keduanya
sering diterjemahkan “memberikan kabar”.
Makna akhbara adalah menyampaikan sebuah kabar atau berita pada
seseorang, baik ia telah mengetahuinya atau belum. Sedangkan makna
basysyara-yubasysyiru adalah menyampaikan dengan jelas tentang sesuatu hal
untuk pertama kalinya, sehingga orang yang mendengarnya benar-benar merasakan
kegembiraan jika hal itu berita gembira dan ketakutan jika ia berita
buruk.
Penggunaan kata basysyara yang berarti penyampaian
berita buruk dapat dilihat misalnya di ayat yang bercerita tentang neraka. Siapapun
tahu, neraka adalah berita buruk, tapi dengan menggunakan kata basysysara maknanya
menjadi lebih hebat lagi, misalnya di dalam ayat ini ;
Menurut Al Asfahani penggunaan kata basysyir dalam
ayat diatas dan ayat yang serupanya merupakan penegasan bahwa berita tentang
azab pedih yang akan menimpa mereka
adalah berita terburuk yang baru pertama itu mereka dengarkan dan mereka belum
pernah mendengarakan berita seburuk itu sebelumnya, sehingga efek keterkejutan,
ketakutan, dan kekhawatitan yang dihasilkannya juga sangat dahsyat. Setelah beberapa
analsis bahasa ini, bisa kita bisa
menyimpulkan bahwa, tabsyir adalah sebuah seruan atau komunikasi dengan
metode atau cara-cara yang baru dan kreatif sehingga tetap menimbulkan efek
kejutan bagi penerima berita meskipun konten yang disampaikan sebenarnya sudah
lumrah diketahui.
Sekarang, mari kita bawa konsep tabsyir ini kepada dakwah. Jiika dakwah dimaknai secara
khusus yakni ceramah agama, khutbah, kultum, atau dakwah yang sifatnya
penyampaian bil lisan, maka seorang dai yang menerapkan tabsyir dalam
dakwahnya akan senantiasa mengasah kemampuan retorikanya di depan publik. Ia
akan mencari celah-celah kreatifitas dalam dirinya untuk menunjukan Islam
dengan wajah yang segar. Dalam konteks ini, setiap muslim haruslah
pandai-pandai membahasakan Islam dengan pengungkapan-pengungkapan yang kreatif,
unik, sehingga berkesan meskipun mungkin materi keislaman yang disampaikannya
sudah sering didengar oleh mad’u. Ary Ginanjar Agustian dengan ESQnya bisa
dijadikan contoh dalam ha ini. Terlepas dari kontroversi seputar fatwa ulama
Malaysia yang menganggapnya sesat, ESQ adalah salah satu tabsyir, dimana konsep
seperti iman, ihsan, dan islam dibahasakan dengan bahasa yang baru dan segar.
Jika dicermati
sebenarnya beliau hanya mengkaji tentang makna rukun Islam yang lima, enam
rukun iman dan ihsan, namun beliau mampu mengolaborasikannya sedemikian rupa
dengan teori-teori kecerdasan emosional dan spiritual sehingga terbentuklah
konsep ESQ 165 yang mengagumkan banyak orang. Padahal, konsep seperti shalat,
puasa, haji, iman, ikhlas adalah materi-materi yang sudah sangat teramat sering
diceramahkan orang-orang lain, tapi dengan tabsyir yang dilakukan Ary Ginanjar
orang-orang kembali tertarik untik mengkaji hal-hal tadi dengan lebih serius.
Selain Ary Ginanjar, masih ada beberapa contoh tabsyir dalam konteks dakwah bi
al lisan ini. Sebut saja Yusuf Mansyur dengan dakwah shadaqah dan gerakan
shalat duhanya, atau Abu Sangkan dengan pelatihan shalat khusyuknya. Jika
menarik konsep tabsyir ke ranah dakwah secara umum, dimana setiap muslim adalah
dai dan berdakwah sesuai posisi mereka, maka kita bisa memperoleh makna tabsyir
yang lebih luas lagi. Dalam konteks dakwah secara umum, tabsyir bisa dimaknai
bahwa setiap muslim harus mampu dan terus berusaha memaknai keber-islaman-nya
dengan nuansa baru lalu menyebarkannya (mendakwahkannya) ke sesama. Sesama
muslim maupun sesama manusia.
Tabsyir adalah tuntunan al-Qur’an, maka sebenarnya kitab yang
paling suci ini sedang mendorong setiap muslim untuk berpikir dan berbuat
kreatif. Sebab, jika kau muslim maka semua perkataan dan perbuatanmu adalah dakawah.
Terlebih muslim yang memang menghibahkan
dirinya untuk bertanggung jawab mendakwahkan ajaran Islam, ia tentu harus
menyadari perlunya mengaplikasikan metode tabsyir dalam tiap usaha
dakwahnya. Apalagi pada zaman yang dipenuhi dengan berjuta hal menarik yang
datang tanpak kenal ampun menyerang ruang publik kita. Kesemuanya itu membuat
orang akan jenuh dan bosan mendengar atau melihat dakwah yang masih seperti
dulu tanpa adanya hal-hal baru yang menarik minat mereka dalam menyelami berjuta
kandungan khazanah Islam. Ibarat teh
yang hanya dicampur dengan gula, lalu diseduh begitu saja, meski masih lezat,
tentu kebanyakan orang akan lebih memilih susu yang di campur kopi atau yang
dihidangkan dengan sepiring cemilan. Humm pasti lebih lezat.
Terakhir, dalam mengaplikasikan tabsyir atau
dakwah yang kreatif setiap juru dakwah bebas memiliki karakter mereka
masing-masing, sehingga metode dalam penyampaian dakwah pun akan beragam warna
indah seperti pelangi. Perlu ditekankan adalah bentuk tabsyir yang dilakukan
tidak boleh menyimpang dari hal-hal yang telah di tetapkan oleh syari’at, atau
terlalu berlebihan sehingga tujuan penyampaian materi tidak tercapai, semisal
membuat lawak yang terlalu berlebihan, sehingga para penyimak hanya mengingat
kelucuannya saja dan mengabaikan isi ceramahnya. Dakwah sebagai tugas abadi
kembali kepada pundak kita masing-masing, maka semenjak dini layak kita
usahakan, menggali potensi kita terus menerus sebagai usaha memunculkan wajah
Islam yang diminati oleh siapapun. Semua itu dilakukan dengan niat untuk
menyambung suluh perjuangan Sang Rasul, maka setiap kita dikategorkan sebagai mujahiduun
wa mubassyiruuna di mata Sang Pemilik ajaran.