Nicholas Cumming, mantap presiden APA yang menantang deklasifikasi homoseksual dari DSM |
Perkembangan diskursus
homoseksualitas di dalam psikologi sangat dipengaruhi oleh basis epistemologi
ilmu ini. Olehnya perlu untuk
membahasnya secara ringkas terlebih dahulu. Psikologi secara etimologis berasal
dari bahasa Yunani yang berarti ilmu tentang jiwa. Secara istilah psikologi
adalah bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari
mengenai perilaku dan fungsi mental manusia. Psikologi modern
dinyatakan independen ketika Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama di Leipzig tahun 1873.[1] Suatu ilmu tentu akan dipengaruhi oleh worldview
peradaban tempat ia lahir, termasuk psikologi[2]. Pengaruh
worldview Barat di dalam landasan epistemologi psikologi akan
akan nampak bila melihat lanskap
intelektual kelahirannya. Ilmu ini lahir pada kembangkitan intelektual Barat yang kedua ditandai dengan
berkembangnya epistemologi empirisme.[3]Paradigma
empirisme inilah yang selanjutnya menyulut perkembangan psikologi modern dalam
memandang jiwa manusia.
Dalam sejarahnya ada beberapa paradigma yang berkembag di
dalam psikologi, tapi semuanya masih di atas koridor empirisme. Hal itu
membuatnya tetap menolak mengaitkan sesuatu yang spritual dengan jiwa manusia.
Sebelum Wundt pemikiran psikologi disamapaikan antara lain oleh John Locke
(1623 - 1704) dan James Mill (1773-1836). Merek][a mengkaji
jiwa dengan prinsip-prinsip kausalitas dan melahirkan aliran Association. Selanjutnya
psikologi menajdi sangat dipengaruhi oleh metode eksperimental fisika, sehingga
lahirlah aliran Struktiralisme. Aliran ini memandang jiwa sebagai
bagian-bagian yang berhubugan dalam satu sistem. Tokohnya antara lain adalah
William Wundt (1832-1920). Berikutnya muncul aliran Fungsionalisme yang
mengkaji jiwa sebagai daya hidup dinamis dan pragmatis yang mendoronng
aktifitas tingkah laku dalam hubungannya dengan lingkungan. Tokoh-tokohnya
antara lain John Dewey (1859 - 1952). Usaha untuk memadukan kedua aliran ini
adalah teori Gestalt. Setelah itu muncul Sigmund Freud (1856 - 1939)
dengan teori psikoanalisis yang mendalami alam bawah sadar melalui konsep id,
ego, dan superego. Aliran ini dianggap terlalu subjektif sehingga
muncul Behaviorisme dengan tokoh antara lain BF. Skinner (1904 - 1990).
Behaviorisme dianggap puncak dari psikologi empiris yang melihat jiwa secara
positivisik dan mekanis.[4]
Perkembangan psikologi pasca
Behaviorisme masih tetap empiris. Reaksi terhadap positivsme reduksionis
sesungguhnya terlihat pada psikologi Humanis yang dikembangkan antara lain oleh
Abraham Maslow, begitupula psikologi transpersonal. Namun demikian keduanya
tidak luput dari kritikan dalam cara mereka menggambarakan manusia. Psikologi
Humanistik memang memuliakan manusia lebih dari determinsme biologis
Psikoanalisis atau mekanis Behaviorisme. Tapi psikologi Humanis dinilai sangat
optimistik dan bahkan terlampau optimistik terhadap upaya pengembangan sumber
daya manusia, sehingga manusia dipandang
sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran Tuhan).[5]
Begitu pula psikologi Transpersonal, konsep spritual yang disebut oleh
pelopornya seperti Frakl adalah neotic yang dimaknai sebagai sumber aspirasi
manusia untuk hidup bermakna, dan sumber
dari kualitas-kualitas insani.[6] Pemaknaan
ini masih dalam koridor empirisisme dan menolak kaitan jiwa dengan sesuatu yang
metafisik.
Dari penjelasan di atas dapat
dikatakan bahwa ilmu psikologi, dengan semua aliran arus utamanya dibangun di
atas epistemologi Barat yang sekuler.[7]
Dampaknya adalah penolakan terhadap jiwa spritual sehinngga terjadi reduksi
terhadap konsep jiwa. Hilangnya jiwa yang spritual ini diakui oleh Otto Rank,
salah satu murid terbaik Freud ;
Prescientific and nonscientific psychology has
always been the true psychological dicipline and the source of all psychologies
including those that study the soul scientifically. Scientific psychology which
seems to know very little about the soul claims to seek the truth about it, but
reject the contribution of ancient beliefs...to explain it. It performs experiment
which seem always to prove that the soul does not exist.[8]
Otto Rank
melihat psikologi saintifik gagal mengenali jiwa karena menolak interpretasi
religius dan spritual. Metode eksperimen yang dilakukan oleh psikologi modern
justru mengarahkannya untuk semakin menjauhi konsep jiwa spritual tersebut.
Pada saatnya sikap ini berdampak pada diskursus homoseksualitas dimana
pandangan-pandangan terhadap fenomena ini yang berasal dari pandangan agama
akan dikesampingkan.
Epistemolog
sekuler tidak mengakui wahyu sebagai sumber ilmu, sehingga semuanya bergantung
kepada indra dan nalar yang penemuannya terus berubah.[9]
Proses ekplorasi nalar dan indra tersebut bersifat resiprokal dengan
nilai-nilai di dalam tatanan sekuler yang ever shifthing, selalu
berubah. Di dalam sekulerisme
tidak ditemukan pegangan yang tetap sebagai tolak ukur kebenaran.[10] Selain
itu sekulerisme bersifat materialistik, menolak klaim kebenaran yang
berdasarkan otoritas metafisis. Watak
epistemologi sekuler ini pada gilirannya berpengaruh di dalam
kesimpulan-kesimpulan para psikolog, termasuk dalam diskursus homoseksualitas.
Salah satu bagian psikologi yang
rentan terhadap bias sekulerisme barat adalah penentuan abnormalitas. Bias
sangat mungkin terjadi sebab kriteria abnormalitas cukup relatif.[11]
Bias yang terdapat di dalam penentuan abnormalitas ini telah disadari oleh para
psikolog. Secara cukup radikal Thomas S. Szasz, menggugat konsep abnormalitas
atau gangguan mental. Baginya, gangguan mental hanya mitos. Masalah sebenarnya
adalah problem individual, sosial dan etika dalam masyarakat.[12]
Kritik ini lahir dari kesadaran bahwa konsep ini sangat dipengaruhi oleh
konstruk kultural. Sifat value-laden psikologi terus berpengaruh dalam
evolusi konsep abnormalitas. Setelah mencatat evolusi kriteria gangguan mental
atau abnormalitas temasuk pada DSM, Gerrig, Zimbardo, Campbell, Cumming, dan
Wilkes
menegaskan bahwa semua itu terjadi bukan hanya karena perubahan opini
para psikolog, tapi juga sangat dipengaruhi oleh peruabahan nilai dalam
masyarakat.[13]
Di sini terlihat pengaruh ever shifting nilai dalam tatanan sekuler.
Secara umum Getzfeld menyebutkan
adanya tiga perspektif yang digunakan sebagai kriteria dalam menentukan
abnormalitas ; sudut pandang statistik, sudut pandang norma-norma umum dan
sudut pandang maladaptive.[14]
Sudut pandang statistik menggunakan hitungan matermatis yang ditampilkan di
dalam kurva. Orang-orang normal berada di tengah grafik sedangkan persebaran
abnormal berada di pinggiran kurva. Sudut pandang norma berdasarkan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Sedangkan sudut pandang maladaptive adalah
ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi pada situasi tertentu sebab keadaan
jiwanya. Ketiga sudut pandang ini memang sangat memungkinkan terjadinya
perubahan-perubahan standar abnormlitas bila di dalam masyarakat terjadi
perubahan nilai.
Menurut Malik Badri, ketiga
kriteria ini memiliki banyak kekurangan. Sudut pandang statistik misalnya
berpotensi menempatkan seorang yang jenius dan mempunyai kestabilan mental pada
posisi yang sama dengan seorang neurotik. Sudut pandang norma jelas bermasalah
seiring semakin relatifnya nilai yang menjadi basis norma khususnya pada
masyarakat Barat. Begitu pula dengan ketidak mampuan beradaptasi. Seorang
muslim yang memegang teguh ajaran agamanya misalnya, akan dianggap tidak normal
bila ia merasa tertekan di tengah masyarakat yang serba permisif.[15]
Diakhir analisisnya, Malik Badri menyebutkan kekurangan fundamental kriteria
ini ;
Jelas bahwa
kriteria yang ditentukan oleh psikologi Barat terhadap individu yang memunyai
penyesuaian diri yang baik, tidak dikembangkan berdasarkan penelitian empiris
yang ilmiyah, namun lebih dilandasi konsep kultural. Konsep yang pada dasarnya
berasal dari Barat, atau tradisi-tradisi masyarakat modern yang materialistis.[16]
Malik Badri, seperti dilihat di
atas menekankan bahwa posisi abnormalitas dalam psikologi Barat memang banyak
pada keadaan maladaptive. Prinspin ini juga tertuang di dalam DSM yakni inflexible
and maladaptive traits that cause significant functional impairment or
subjective distress.[17]Dalam
konteks homosekualitas kriteria ini sangat menentukan. Seksualitas abnormal disebutkan
sebagai perilaku seksual yang dapat menyesuaikan diri, bukan hanya dengan
tuntutn masyarakat tapi juga kebutuhan diri sendiri dalam hal mencapai
kebahagiaan.[18]
Dari pemaparan ini, terlihat bahwa perubahan nilai di dalam masyarakat sangat
mungkin membimbing pada perubahan paradigma tentang homoseksualitas. Akibatnya,
terjadi perubahan arah paradigma dalam meneliti homoseksualitas, sebagaiman
akan dijelaskan pada uraian berikut.
a.
Evolusi Diagnosis Homoseksual
Sejak awal, penelitian para
psikolog terhadap homoseksualitas telah menggambarkan perubahan yang terjadi
pada peradaban Barat. Ketika masyarakat Barat masih didominasi oleh Gereja,
homoseksualitas dipandang sebagai sebuah dosa[19].
Ketika terjadi pertentangan antara otoritas Gereja dan Raja Henry VIII, raja
Inggris ini mengintegrasikan larangan homoseksual ke dalam hukum sekuler untuk
menandingi kekuasaan Paus.[20]
Maka homoseksual pun berubah menjadi pelanggaran hukum dan penyimpangan sosial.
Gelombang revolusi sains mendorong para peneliti untuk mengamati homoseksual
dari kaca mata ilmu pengetahuan, dalam hal ini psikologi. Penelitan-penelitan
itu bermula pada abad ke 19, sebagai upaya untuk mencari penjelasan ilmiyah
yang lepas dari kontrol agama atas setiap fenomena.Penelitan tersebut meskipun
dianggap telah membentuk citra homoseksual sebagai sebuah penyimpangna mental,
juga memiliki dampak baik bagi kaum homoseksual. Temuan para peneliti bahwa
kaum homoseks adalah “orang-orang sakit” menjadikan status kesalahan mereka
lebih ringan di mata hukum.[21]
Ahli pertama yang diketahui
meneliti homoseksualitas secara khusus adalah seorang seksolog berkebangsaan
Jerman bernama Karl Heinrich Ulrichs (1825-1895).
Sebagai seorang ahli hukum yang juga gay, Ulrichs mengarahkan penelitiannya
untuk melawan kriminalisasi terhadap tindakan sodomi di dalam hukum Jerman.
Argumennya adalah bahwa homoseksualitas adalah pengaruh fakor biologis.[22]
Ia memperkenalkan istilah urning dan urnining untuk menggambarkan
seseorang yang memiliki “jiwa” seksual yang berbeda dari kondisi biologisnya.
Rekan seperjuangan Ulrich bernama Karl Maria Kertbeny (1824-1882)
memperkenalkan isitalh homosexuality pertama kali untuk menggambarkan
hubungan sesama jenis.[23]
Bila dilihat dari konteks sosiopolitik, kemunculan istilah “homosexual” sangat
dipengaruhi perjuangan Kertbeny mempertahankan posisi liberalisme Jerman di
depan hegemoni Prusia.[24]
Meskipun istilah ini kemudian diambil alih oleh dunia medis dan psikologi.
Kepeloporan kedua tokoh ini
memancing penelitan-penelitan selanjutnya tentang homoseksual. Salah seorang
ahli yang terpengaruh oleh Ulrich adalah Karl Westphal (1833-1890).
Pada tahun 1869, ia mempublikasikan hasil risetnya tentang para laki-laki yang
memiliki sifat feminim serta perempuan yang bersifat seperti laki-laki dan
memiliki rasa tertarik kepada sesama jenis. Ia memperkenalkan istilah “contrary
sexual feeling”[25]
Temuan Westphal ini mulai memberikan basis ilimiyah bagi argumen bahwa
homoseksualitas adalah sesuatu yang berbeda dari keadaan seksual normal.
Istilah yang ditemukan Westphal tersebut diadopsi oleh Arrigo Tamassia (1878)
dan diperkenalkan di Italia sebagai "invirsione dell istinto sessuale”
yang artinya insting seksual terbalik.[26]
Hal yang sama dilakukan oleh psikolog dan neurolog ternama asal Prancis, Jean Martin
Charcot (1825-1993), ia mempopulerkan temuan tersebut di negaranya.
Charcot memasukan homoseksualitas ke dalam kelompok sexual perversions,
penyimpangan-penyimpangan seksual dan termasuk gangguan jiwa. Ia menganggap
homoseksual sebagai “degrading consequences of a weakning of morals in a
vitited society.”[27].
Setelah kepeloporan tokoh-tokoh
ini, penelitian dengan paradigma homosekusalitas sebagai sebuah penyimpangan
terus berlanjut. Penelti yang dianggap berandil menegaskan status kecatatan
homoseksualitas adalah Richard von
Krafft-Ebing (1840-1902). Penelitiannya tentang homoseksualitas tertuang
di dalam bukunya Psychopathia Sexualis with Especial Reference to the
Antipathic Sexual Instinct: A Medico-Forensic Study (1886).[28]
Buku ini adalah sebuah eksiklopedia tentang kelainan, kecatatan, serta
penyimpangan seksual yang ditemukan oleh Kraff-Ebing. Tokoh ini seperti
kebanyaakan tokoh pada masanya meneliti homoseksualitas dalam perspektif degenerate
heredity. Homoseksual dianggap sebagai bentuk kecatatan sebab seharusnya
sebuah organisme berjalan kian berkembang, tapi kaum homo justru semakin
simpel. Teori ini tentu sangat dipengaruhi oleh Darwinisme.[29]
Meskipun telah menegaskan kecatatan kaum homoseksual, menurut Oosterhuis,
Kraff-Ebing telah berandil meletakan dengan kokoh pijakan saintifik
homoseksualitas dan terpisah dari konsep immoral. Ia juga menghilangkan
anggapan bahwa seorang lelaki menjadi homoseks sebab ia memiliki jiwa feminim
atau perempuan berjiwa maskulin.[30]
Peralihan abad 19 ke 20 di Eropa
ditandai dengan bangkitnya intelektual liberal radikal yang mengembangkan
pendekatan permisif terhadap homoseksualitas. Tercatat nama Havelock Ellis
(1859-1939), seorang intelektual liberal radikal di Inggris yang menulis buku “Sexual
Inversion”, di dalamnya Ellis meyakinkan publik bahwa homoseksual adalah
bawaan lahir (congenital) dan pelakunya tidak akan membahayakan diri
sendiri maupun masyarakat.[31]
Jejak Ellis diperkuat oleh Magnus Hirschfeld (1868-1935)
psikolog dan seksolog asal Jerman. Ia adalah psikolog yang secara terbuka
mengakui status homoseksnya. Menurut Hirschfeld, homoseksualitas adalah hal
yang alami sebagai “gender ketiga”. Olehnya hukum yang menghalangi mereka harus
dihilangkan dari Jerman. Untuk tujuan tersebut ia mendirikan Wissenschaftlich-humanitäres
Komitee (WHK, Scientific-Humanitarian Committee) yang memperjuangkan
hak-hak kaum homoseksual dengan basis sains.[32]
Namun semua usahanya tersebut terhenti dengan menguatnya kekuatan Nazi di
Jerman.[33]
Meski demikian, suara para peneliti yang hendak menjadikan homoseksualitas
sebagai variasi seks yang normal semakin menguat mengikuti jejak Ellis dan
Hirschfeld.
Kajian
homoseksualitas memiliki arah baru dengan kehadiran Sigmund Freud (1856–1939)
dan pengikutnya dengan pendekatan psikoanalisis. Freud menawarkan pendekatan
yang tidak berdasarkan asumsi degeneracy theory yang berkaitan erat
dengan Darwinisme. Psikoanalisis yang ia bangun menawarkan pandangan baru
tentang homoseksualtias. Di dalam karyanya Three Essays on the Theory
of Sexuality Freud menyatakan bahwa manusia pada dasarnya biseksual,
apabila ia gagal berkembang karena masalah psiko-seksul, maka ia akan menjadi
seorang homoseksual. Ia menjadikan sifat feminim pada para pelacur laki-laki
sebagai bukti penguat argumennya tersebut. Meskipun demikian, ia tidak
menganggap homoseksualitas sebagai suatu penyakit.[34] Teori Freud ini belakangan ditantang oleh
para psikoanalis sendiri. Tiga psikoanalis terkenal yang meyakini bahwa
homoseksual adalah penyakit yang harus disembuhkan adalah Sandor Rado (1940),
Irving Beiber (1962), dan Charles Socarides. Dari kaca mata psikoanalisis,
mereka menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah bentuk penyakit mental sehingga
perlu ada terapi untuk mengobatinya.[35]
Kajian para
psikolog terhadap homoseksualitas dari awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20
mengarah pada tiga perubahan besar dalam memandang fenomena homoseksualitas. Pertama,
penelitian-penelitian tersebut meskipun memiliki kesimpulan yang beragam,
semuanya mempertegas perubahan paradigma masyarakat Barat terhadap
homoseksualtias. Fenomena tersebut tidak lagi dilihat dari perspektif teologis
tapi murni sebagai objek kajian sanis dan medis. Perubahan ini bisa dilihat
sebagai cerminan sekulerisasi masyarakat Barat yang kian menguat. Kedua, kajian-kajian
tersebut menciptakan kategori orientasi seks bernama homoseksualitas yang
sebelumnya tidak diakui. Secara tidak langsung, hal ini memberikan identitas
bagi orang-orang yang memiliki kecendrungan seks diluar heteroseksual. Ketiga,
stigma negatif yang diarahkan kepada kaum homoseksual perlahan pudar.
Kajian-kajian tersebut membuang stigma imoral dan pendosa dari diri kaum
homoseks. Citra yang terbentuk kemudian adalah bahwa mereka adalah orang-orang
yang sakit dan perlu pengobatan. Ketiga perubahan ini pada gilirannya akan
mengantar kepada perubahan yang lebih radikal di pertengahan abad ke-20, yakni
normalisasi homoseksualitas. Fenomena ini akan didiskusikan pada bagian
selanjutnya.
b.
Deklasifikasi
Homoseksualitas Dari Dafrar Gangguan Mental
Tahapan paling
menentukan dalam perubahan paradigma psikologi memandang homoseksualitas adalah
periode deklasifikasi homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Meskipun penelitian-penelitian sebelumnya
dianggap memiliki dampak tidak langsung terhadap perubahan ini, tapi proses
deklasifikasi tetap meninggalkan kontroversi. Pada bahasan kali ini, terlebih
dahulu akan diuraikan kronologi deklasifikasi tersebut serta
penelitian-penelitian yang dianggap menudkungnya kemudian akan dipaparkan
argumen-argumen pihak yang menentang keputusan tersebut. Agar peristiwa ini
bisa lebih dipahami akan dibahas pula mengenai revolusi seksual di Ameria
Serikat selama tahun 60-an hingga 70-an yang menjadi konteks perubahan ini.
Setidaknya ada dua
ilmuwan yang publikasi ilmiyahnya dianggap memiliki peran cukup signifikan
dalam mengubah paradima terhadap homoseksualitas sehingga dianggap normal.
Mereka adalah Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker. Pada tahun 1948, Kinsey
mempublikasikan hasil penelitiannya bersama beberapa kolega di dalam buku
berjudul Sexual Behavior in the Human Male, selanjutnya pada tahun 1953
terbit Sexual Behavior in the Human Female. Kinsey menunjukan bahwa
seksualitas manusia tidaklah kaku menjadi heteroseksual dan homoseksual.
Seseorang tidak bisa disebut murni homoseksual atau heteroseksaul. Ia
memperkenalkan skala yang disebut Kinsey Scale yang menunjukan gradasi
orientasi seksual manusia dengan rasio 0-6 ; dari murni homoseksual bergradasi
hingga murni homoseksual.[36]
Seorang manusia bisa saja pada satu masa dalam hidupnya adalah homoseksual dan
terus berkembang menjadi heteroseksual atau sebaliknya. Ia menegaskan hal
tersebut setelah menunjukan skalanya ;
Males do not represent two discrete populations, heterosexual and
homosexual. The world is not to be divided into sheep and goats. Not all things
are black nor all things white. It is a fundamental of taxonomy that nature
rarely deals with discrete categories. Only the human mind invents categories
and tries to force facts into separated pigeon-holes. The living world is a
continuum in each and every one of its aspects. The sooner we learn this
concerning human sexual behavior, the sooner we shall reach a sound
understanding of the realities of sex.[37]
Di dalam
penjelasannya di atas, Kinsey memberikan pandangan yang sangat revolusioner
tentang seksualitas. Selama ini para peneliti melihat dua kecendrungan tersebut
sebagai dua entitas terpisah yang bisa berada di dalam diri seseorang. Kinsey
menunjukan bahwa homoseksualitas adalah varian normal dari kehidupan seksual
seseorang.
Dengan semangat
yang sama, pada tahun 1956 Evelyn Hooker mempublikasikan jurnah yang mendukung
normalisasi homoseksualitas. Hooker adalah seorang psikolog peneliti dari UCLA
(University of California Lost Angeles). Selama tahun lima puluhan ia melakukan
penelitian untuk menguji asumsi umum bahwa seseorang yang tertarik kepada
sesama jenis (Same Sex Atraction, SSA) digolongkan sakit secara mental
dan bukan pula penyebab sakit mental.[38]
Hooker menegaskan bahwa homoseksualitas bukan penyakti juga bukan sebab
penyakit mental. Paradigma ini semakin menguat pada tahun 50-an hingga tahun
60-an. Pada tahun-trahun tersebut,
tepatnya pada tahun 1951 terbit pula buku Patterns of Sexual Behavior
karya dua antropolog Clellan Ford dan Frank Beach.
Buku ini membahas seksualitas dalam kajian lintas-budaya. Kedua antropolog ini
meneliti seksualitas 190 negara termasuk Amerika Serikat sendiri. Sumbangsih
terbesar buku ini adalah mengungkap keberadaan homoseksualitas di dalam
berbagai kebudayaan umat manusia. Mereka bahkan meneliti seksualitas primata
dan mengklaim menemukan homoseksualitas[39]
Pada tahun 1952, The
American Psychiatric Association (APA) menerbitkan DSM untuk pertama
kalinya. DSM adalah The Diagnostic and Statistical Manual, Mental Disorders,
panduan resmi yang dikeluarkan lembaga tersebut untuk menentukan penyakit
mental.[40]
Pada seri pertama tersebut homoseksulitisa dianggap penyimpangan seksual yang
bisa digolongkan sebagai sociopathic personality disorders. Di sini
homoseksualitas masih dipandang sebagai sebuah penyakit seksual yang tidak bisa
diterima oleh masyarakat. Pada seri kedua yang terbit tahun 1968,
homoseksualitas masih tetap dimasukan kategori penyimpangan seksual tapi lebih
ringan. [41] Baru pada seri
DSM-III yang terbit pada tahun 1973, terjadi perubahan yang cukup signifikan.
Di dalam seri ini homoseksualita tidak lagi dianggap penyimpangan.
Homoseksualitas hanya boleh dianggap gangguan mental bila yang bersangkutan
mengalami ketidak puasan terhadap keadaannya tersebut.[42]
Perubahan ini cukup signifikan sebab masalah bukan lagi pada orientasi
homoseksualitas tapi lebih pada depresi yang dialami sebab tekanan orang-orang
terhadapnya.
Proses
deklasifikasi ini tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa karya radikal yang
dipublikasikan selama kurun 50-an dan 60-an. Karya-karya tersebut menggugat
otoritas psikiatri untuk menentukan seseorang “gila” atau tidak. Mereka juga
menentang perlakuan “penyembuhan” terhadap pasien psikiatri yang dianggap
melanggar hak-hak mereka. Di antara karya semacam ini yang sangat berpengaruh
adalah tulisan filsuf Prancis yang juga seorang gay, Michel Foucault.
Pemikrian-pemikiran Foucault di dalam Madnes and Civilization yang terbit tahun 1961 berdampak besar dalam
delegitimasi otoritas psikiatri dalam menentukan homoseksual sebagai penyakit.
Rosario menanggap karya Faoucault ini
menegaskan bahwa psikiatri adalah uapaya untuk meminggirkan mereka yang secara
politis tidak diinginkan.[43]Karya
lain yang menyumbangkan basis intelektual bagi gerakan anti-psikiatri ini
adalah tulsian radikal seorang psikolog bernama Thomas S. Szasz berjudul Myth
of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal Conduct, terbit
pertama kali pada tahun 1961. Szasz mengaskan bahwa “penyakit mental”
hanyalah mitos, masalah sesungguhnya ada pada cara masyarakat melihat
fenomena-fenomena tersebut.[44]
c.
Kritik Psikolog
Terhadap Deklasifikasi Homoseksualitas Dari DSM
Keputusan APA untuk
mendeklasifikasi homoseksualitas dari DSM sebagai penyakit mental tidak begitu
saja diterima oleh semua kalangan psikolog. Meskipun itu tidak berarti
mengakuinya sebagai orientasi yang betul-betul normal. Banyak ahli yang tidak
sependapat. Mereka melakukan evaluasi
terhadap basis ilmiyah keputusan tersebut, yakni temuan-temuan Evelyn Hooker.
Krik Cameron dan Paul Cameron dua psikolog dari University of Colorado menguji
ulang temuan bersejarah Hooker tersebut, kesimpulan mereka adalah ;
Re-examination of her work indicates that Hooker's
study was neither rigorous nor reliable. Among other problems, homosexual
subjects were easily identified on test protocols; her reports of how she
obtained her samples were incomplete and contradictory; and her study generated
results supportive of obsession/compulsivity in homosexuals. Thus Hooker's
study was seriously flawed. Moreover, because it was marketed by the APA as
central in transforming homosexual activity from an illness/crime into
acceptable behavior—yet Hooker did not correct those who mischaracterized her
work—APA misrepresentations of Hooker over the past 40 years appear to be more
in line with ideology than science.[45]
Perdebatan para ahli pasca deklasifikasi homoseksualitas dari DSM berpusat
pada dua poin utama. Pertama sebab (etiologi) homoseksualitas. Aktivis
pro-homoseksual berpendapat --berdasarkan penelitian ilmiyah terutama oleh
LeVay (2010)-- bahwa homoseksualitas adalah pengaruh hormon.[46]
Dengan demikian, mereka berargumen bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang
terdeterminasi secara biologis. Argumen ini sesungguhnya adalah penguat
kesimpulan Kinsey seperti yang telah dijelaskan di atas. Kedua adalah apakah
orientasi seksual bisa berubah atau tidak. APA, sesuai garis kebijakannya yang
mendukung homoseksual, telah mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada satupun
penelitian yang menunjukan bahwa orang-orang homoseksual bisa dirubah orientasi
seksualnya melalui terapi. Perdebatan ikutan juga meliputi akibat dari
homoseksualitas, menurut aktivis pro-gay, homoseksual tidak menimbulkan kerusakan
bagi masyarakat.
Bagaimanapun, ada banyak peneliti yang bebas dari kepentingan pro-gay
mengemukakan hasil penelitian yang berbeda. Neil N Whitehead adalah seorang
ahli biokimia yang telah meneliti “gay gen” selama empat puluh tahun.
Dari hasil studinya tersebut ia mengkritisi pendapat mereka yang menerapkan
determinasi biologis bagi orientasi seksual seseorang. Hasil penelitiannya
pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 berjudul My genes made me do it!, lalu direvisi dengan penambahan
bukti kemudian terbit lagi pada tahun 2013 dengan judul My Genes Made Me Do
It! Homosexuality and the Scientific Evidence. Bukti terkuat menurut
Whitehead adalah penelitian Twin studies.
Secara sederhana twin studies adalah studi yang dilakukan
terhadap orang-orang homoseksual yang memiliki saudara kembar. Apabila
homoseksual adalah pengaruh gen, maka dua orang kembar seharusnya sama-sama
berorientasi homoseksual sebab secara gen mereka identik. Namun demikian, studi
yang dilakukan secara ekstensif terhadap kembar identik menunjukan bahwa dari
sembilan pasangan kembar yang salah satunya homoseksual, hanya satu dari
sembilan yang pasangannya juga homoseksual. Menurut Whitehead, hasil studi ini
tidak hanya menafikan aspek genetik, tapi semua aspek biologis lainnya.[47]
Argumen Whitehead yang lain adalah menguji hasil temuan Kinsey
bahwa 1 dari 10 orang adalah homoseksual (10%). Whitehead membandingkan temuan
Kinsey ini dengan hasil survey modern, tahun 2010, dan ternyata hasilnya sangat
jauh. Survey dari lembaga independen menunjukan homoseks termasuk biseks hanya
2-3% dari populasi. Sebagai ahli genetika, Whitehead menyimpulkan bahwa jumlah
ini menunjukan faktor nurture lebih dominan bila dibandingkan dengan
faktor nature, “modern surveys when interpreted show the genetic contribution
to SSA is minor and the environmental contribution is much greater”[48]Temuan Whitehead ini hanya
mempertegas hasil penelitian Dean Byrd, seorang profesor Psikologi klinis dari
University of Utah School of Medicine. Dalam studinya yang dipublikasikan pada
tahun 2001, Byrd menyimpulkan bahwa “the main studies on whether
homosexuality is caused by biology
appear to lack a significant amount of scientific
support”.[49] Dus bisa disimpulkan bahwa adanya
unsur genetika yang membawa “gay gen” pada seseorang tidak otomatis membuatnya
menjadi seorang homoseksual. Faktor terpenting adalah pola asuh pada kelaurga
dan lingkungannya.
Isu perdebatan penting lainnya adalah
persoalan perubahan orientasi seksual seseorang dengan kecendrungan
homoseksual. APA telah mengklaim bahwa tidak ada satupun bukti keberhasilan
terapi semacam itu. Bahkan para ahli yang menyuarakan pendapat berbeda akan
mendapatkan tekanan. Salah satunya adalah Robert L. Spitzer, pada tahun 2003,
ia mempublikasikan hasil penelitannya yang menunjukan keberhasilan perubahan
orientasi seksual dari 200 orang yang menjalani terapi.[50] Sejak saat itu ia mengalami tekanan
dari komunitas gay sehingga mencabut kembali hasil penelitiannya tersebut di
dalam sebuah tulisan singkat.[51] Keputusan Spitzer tersebut dikritik
oleh sekelompok psikolog, Jerry A. Armelli, Elton L. Moose Anne Paulk, dan
James E. Phelan. Menurut mereka keputusan Spitzer untuk menarik hasil
penelitiannya hanya karena desakan seorang gay sangat bermasalah. Apalagi gay
yang mendatangi rumahnya tersebut bukanlah partisipan di dalam studi Spitzer.
Mereka menutup tanggapan tersebut dengan penegasan, “however, one can
apologize for the consequences of a study, but one cannot undo the evidentiary
data. Well-intended sentiments cannot undo facts.”[52]
Di dalam sebuah laporan yang ditulis
khusus untuk membantah klaim APA, tim dari National Association for Research
and Therapy of Homosexuality (NARTH) menunujukan bahwa studi yang dilakukan
selama 125 tahun belakangan menunjukan bahwa orientasi seksual seseorang bisa
berubah melalui berbagai macam pendekatan. Hanya setelah APA mendeklasifikasi
homoseksualitas dari DSM, paradigma terhadap homoseksual pun berbubah dari
“mengbubah orientasi” menjadi membantu klien menerima keadaan homoseksualitas
mereka.[53] NARTH adalah lembaga psikolog yang
berpusat di Amerika Serikat, beberapa anggotanya adalah psikolog ternama,
seperti mantan presiden APA, Nicholas Cummings.
Pada perubahan orientasi seksual, ada
beragam faktor yang perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang paling besar
dalam perubahan orientasi seksual adalah motivasi orang-orang homoseksual
tersebut. Motivasi tersebut akan sangat kuat bila berasal dari dorongan
keimanan. Dadang Hawari, psikolog kenamaan dari Universitas Indonesia
menegaskan bahwa seorang homoseks bisa berubah asalkan ia memiliki kemauan yang
kuat.[54] Selain itu juga perlu diperhatikan
dukungan keluarga, lingkungan, kuat lemahnya kadar homoseksual, dan libido.[55] Fakror iman, ternyata menempati posisi yang penting. Temuan
Spitzer tentang 200 orang homoseksual yang berhasil melewati terapi adalah
kebanyakan berasal dari kalangan religius, “the vast majority (93%) of the
participants reported that religion was “extremely” or “very” important in
their lives. “[56] Hasil temuan ini sejalan dengan
upaya psikolog berlatar belakang agama yang baik seperti Dadang Hawari untuk
melakukan terapi spritual, selain biologis, sosial, dan psikologis.[57]
Bahasan terakhir adalah dampak dari
perilaku homoseksualitas. Hingga saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kaum
homoseksual yang melakukan hubungan sex sejenis adalah kelompok yang paling
rentan teriveksi virus HIV/AIDS. Bahkan ketika penurunan penyebaran virus ini
terjadi, pada mereka yang melakukan hubungan seks sejenis justru menunjukan
peningkatan. Dalam laporannya, Chris Beyre, seorang profesor kesehatan
dari John Hopkins School of Public Health menyimpulkan ;
Our findings show that the high probability of transmission
per act through receptive anal intercourse has a central role in explaining the
disproportionate disease burden in MSM (Man Sex With Man). HIV can be
transmitted through large MSM networks at great speed.... This risk has been
present since the syndrome now known as AIDS was first described in previously
healthy homosexual men in Los Angeles (CA, USA) in 1981. Despite decades
of research and community, medical, and public health efforts, high HIV
prevalence and incidence burdens have been reported in MSM throughout the
world.[58]
Selain virus HIV
yang menyebabkan seseorang menderita AIDS, di antara komunitas homoseksual,
penyakit-penyakit menular seksual pun sangat rentan tersebar. Pengidap Gonorhea
di antara kaum homoskesual meningkat sejak 1990, menyusul pula Sipilis,
hepatitis C yang didapatkan dari hubungan seksual serta lymphogranuloma
venereum yang biasanya menjadi penyakit ikutan bagi pria yang positif HIV.[59]
d.
Dimensi Politik
Deklasifikasi Homoseksualitas
Deklasifikasi
homoseksual dari daftar penyakit mental sarat dengan kepentingan politis
sehingga menimbulkan kontroversi. Muatan politis ini membuat keputusan tersebut
tidak dilihat sebagai sebuah keputusan yang murni berdasarkan sains. Sejumlah
peneliti menegaskannya. Ronald Bayer di dalam bukunya Homosexuality and
American Psychiatry ; The
Politics of Diagnosis yang
terbit pada tahun 1987, menegaskan ;
the
result was not a conclusion based upon an approximation of the scientific truth
as dictated by reason, but was instead an action demanded by the ideological
temper of the times[60]
Simpulan
serupa dengan Bayer di atas diperkuat oleh Jeffrey Satinover di dalam
bukunya yang terbit pada tahun 1997, Homosexuality and the Politics of
Truth. Menurut Satinover, unsur tekanan politis sangat kuat dalam proses
deklasifikasi homoseksual dari DSM tersebut. Bahkan para pendukung
homoseksualitaas pun mengakuinya[61] Selain mereka,
ilmuwan-ilmuwan lain yang menyebutkan adanya unsur tekanan politis di dalam
deklasifikasi tersebut antara lain Greenberg (1997), Cotton dan Riding (2011)[62] serta Zachar dan Kendler (2012). Peneiti yang terakhir
disebut ini menyebutkan bahwa protes aktivis gay serta keberadaan para psikolog
yang ternyata homoseksual memiliki pengaruh di dalam peristiwa tersebut[63] Cotton dan Ridding menggambarkan DSM sebagai a political
document— a social construction— shaped more by sociocultural influences than
the demands of practicing professionals in the field of mental health.[64]
Kepentingan politik yang disebut di atas adalah gerakan Gay
Movement yang merupakan bagian dari revolusi hak-hak sipil. Era 50-an
sampai 60-an adalah masa-masa yang penting dalam revolusi budaya dan seksual di
Amerika Serikat. Pada saat inilah geliat-geliat untuk pecahnya revolusi yang
mencapai puncaknya pada tahun 70-an serta berpengaruh ke suluruh dunia dimulai.[65] Gerakan kaum gay ini bermula pada tahun 1969 menyusul
keributan di penginapan Stonewell, yakni keributan yang timbul ketika polisi
hendak menggeledah pusat aktivitas kaum gay. Sebagai rekeaksi atas kekerasan
tersebut para aktivis gay yang semakin radikal memebentuk Gay Liberation
Front (GLF) sebuah organisasi yang memeprjuangkan hak-hak kaum kaum
homoseks dengan sangat militan.[66] Dengan memakai strategi dan model gerakan New Left (gerakan
kiri baru) GLF segera membentuk cabang-cabangya di berbagai Negara Bagian di
Amerika Serikat, mereka juga menginisasi perhelatan Gay Pride Parade untuk
memperingati kerusuhan Stonewell setiap tahunnya.[67] Salah satu aksi para penggerak aktivis gay adalah
mengintervensi pertemuan APA (Asosiasi Psikolog Ameria) pada tahun 1970, mereka
meminta agar ada psikolog homoseks di pihak mereka, mereka juga melakukan
demonstrasi dan menekan para psikolog yang hendak membut nomenklatur patologi
pada DSM.[68]
Unsur politis dalam keputusan APA ini telah menghilangkan
kdredibilitas psikiatri khsusnya mereka yang dibawah naungan APA. Salah satu
tokoh yang menyayangkan hal ini adalah Nicholas Cumming, mantan presiden APA.
Menurut Cummings, ketundukan APA kepada tekanan politis dalam kasus
homoseksualitas ini adalah sebuah bentuk perkembangan yang destruktif terhadap
ilmu psikologi sendiri. Dalam pandangannya, diagnosis terhadap kaum homoseksual
pasca-revolusi seks bersifat politis;
Diagnosis today in psychology and psychiatry is
cluttered with politically correct verbiage,which seemingly has taken
precedence over sound professional experience and scientific validation. [69]
Menurut
Cummings, ketika melakukan deklasifikasi homoseksual dari DSM, APA telah
melanggar Leona Tyler Principle, yaitu pernyataan bahwa psikolog yang
tergabung di dalam APA akan mengambil keputusan bersadarkan temuan saintifik
murni dan tidak menyerah pada tekanan politik dari satu individu atau kelompok.
Di dalam pengambilan keputusan tersebut, menurut Cummings, APA telah tunduk
kepada tuntutan politis aktivis gay.[70]Melihat keadaan ini, Cummings menggugah komunitas psikologi
di Amerika Serikat, untuk melakukan reformasi di dalam tubuh American
Psychological Association (APA) sehingga mereka bisa kembali independen
bebas dari agenda ideologi tertentu.[71]
Tekanan politik
yang dihadapi oleh APA dalam proses deklasifikasi homoseksualitas membuat
mereka bersikap ambigu. Sebagai kompensasi terhadap tekanan kolega psikolog
yang tetap pada kpeutusan bahwa homoseksualitas adalah tidak normal, mereka
memberikan catata bahwa keputusan APA mendeklasifikasi homoseksualitas tidak
boleh dijadikan dalih oleh aktivis pro-gay
No doubt, homosexual activist groups will claim that psychiatry has at
last recognized that homosexuality is as "normal" as heterosexuality.
They will be wrong. In removing homosexuality per se from the nomenclature we
are only recognizing that by itself homosexuality does not meet the criteria
for being considered a psychiatric disorder. We will in no way be aligning
ourselves with any particular viewpoint regarding the etiology or desirability
of homosexual behavior.[72]
Bagaimana pun, keputusan APA mendeklasifikasikan homoseksualitas dari
DSM akan membuat masyarakat percaya bahwa menjadi homoseksual sesugguhnya
normal.
Dilema di atas membuat posisi APA terhadap orientasi seksual yang normal menjadi sangat
relativ, mengikut nilai humanisme sekuler. Hal ini dipertegas keterangan APA di
dalam DSM IV bahwa kriteria normal memang beragam berdasarkan kultur ;
It is important to note that notions of deviance, standards of sexual
performance, and concepts of appropriate gender role can vary from culture to
culture.[73]
Dengan demikian, APA tetap kembali menyerahkan kepada budaya
masing-masing masyarakat untuk menetukan perilaku seks menyimpang. Olehnya,
menjadikan psikologi sebagai satu-satunya basis bagi penerimaan homoseksaulitas
tidaklah tepat. Sebagai muslim, keputusan harus dikembalikan kepada wahyu
sebagaiaman akan didiskusikan pada bagian selanjutnya.
[1] Andrew M. Colman, A Dictionary of Psychology, (New
York : Oxford University Press, 2009) hal 619.
[2] Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme, (Bandung : PIMPIN, 2010) Hal
166. Dalam konteks psikologi, Richard T. G.
Walsh,Thomas Teo,Angelina Baydala, A Critical History and Philosophy of
Psychology,(United Kingdom : Cambridge University Press, 2014) hal 600.
[3] Baharuddin, Aktualisasi
Psikolog Islam, (Yogyakarta : Pustka Pelajar, 2011), hal 32.
[4] Ibid, hal
43
[5]Septi
Gumiandari, “Dimensi Spiritual Dalam Psikologi Modern (Psikologi Transpersonal
sebagai Pola Baru Psikologi Spiritual)”. Paper dipresentasikan pada AICIS
XII tahun 2012, 5-8 Nopember 2012, Surabaya. Hal 1040
[6] Ibid, hal
1046.
[7] Sharafat Hussain Khan, “Islamization of Knowledge : A
Case for Islamic Psychology” dalam M. G Husain ed, Psychology and Society in
Islamic Perspective, (New Delhi : Institute of Objective Studies, 1996) hal
45.
[8] Otto Rank, Psychology
and The Soul, (Philadelphia : University of Pennsylvania Press, 1950) hal 1
[9] Adian
Husaini, “Urgensi Epistemologi Islam” dalam Adian Husaini et al, Filsafat
Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2013), hal
44.
[10] Salah satu
poin sekulerisasi yang menghasilkan sekulerisme adalah deconsecration of
values ; penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dalam
kehidupan sehingga semuanya bersifat nisbi dan relativ. Lihat Harvey Cox, The
Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, (New
Jersey : Princeton University Press, 2013) hal 37
[11] Paul Benette, Abnormal And Clinical Psychology: An
Introductory Textbook , (New York : Mc Graw Hill International, 2011) Hal
12
[12] Thomas S. Szasz, Myth of Mental Illness:
Foundations of a Theory of Personal Conduct, (New York : Harper Perrenial,
1974) hal 262
[13] Richard
J Gerrig et al, Psychology and Life, (tt : Pearson Education
Australia, 2010) hal 534
[14]Andrew R.
Getzfeld, Essentials of Abnormal Psychology,
(New Jersey : John Wiley and Sons, 2006) hal 1 -2.
[15] Malik Badri, The
Dilemma of Muslim Psychologyst, Tjm. Siti Zainab Luxfiati, Dilema
Psikolog Muslim, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996), hal 12 – 15.
[16] Ibid, hal
16
[17] Mark Sampson, Remy
McCubbin, Peter Tyrer,
Personality Disorder and Community Mental Health Teams: A Practitioner's
Guide, (New Jersey : John Wiley
and Sons, 2006) hal 36.
[18] Willy
F. Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, (Surabaya : Universitas Airlangga
Press, 2010), hal 344
[19] Dasar
larangan homoseksual terdapat dalam Genesis (Kejadian) 19:1-8 tentang penghacuran kaum Sodom dan Gomarah. Juga pada
Leviticus (Imamat) 20:13 yang lebih eksplisit melarang kegiatan homoseksual.
[20] Louis
Crompton, Homosexuality and Civilization (London : The Belknap Press Of
Harvard University Press , 2003) hal
363.
[21] Ronald Bayer, Homosexuality and American
Psychiatry: The Politics of Diagnosis, (New Jersey : Princeton
University Press, 1981), hal 16 – 19.
[22] Henry L. Minton, Departing from Deviance: A History of Homosexual Rights and Emancipatory Science in America, (Chicago : The University of Chicago, 2002) hal 11.
[24] Margaret
Sönser Breen, Fiona Peters,
Genealogies of Identity: Interdisciplinary Readings on Sex and Sexuality, (New
York : Rodopi, 2005) hal 6
[25] Ronald Baye, Homosexuality and American Psychiatry...
hal 19
[26] Vernon A. Rosario, Homosexuality
and Science: A Guide to the Debates, (Calivornia : ABC-CLIO, 2002.) hal
275.
[27] Wayne R. Dynes,Stephen Donaldson, Homosexuality
and Medicine, Health, and Science, (ttp : Taylor & Francis,1992)hal 177
[28] Vernon A. Rosario, Homosexuality and
Science....hal 18.
[29] Harry Oosterhuis, Stepchildren of Nature: Krafft-Ebing, Psychiatry, and the Making of Sexual Identity, (Chicago : Universtiy of Chicago Press, 2008) hal 52
[30] Ibid, hal
251
[31] Brent L.
Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality, (Plymouth : The
Scarecrow Press, 2009) hal 52
[32] Ibid, hal
89 - 90
[33] Ralf Does, Magnus Hirschfeld: The Origins of the Gay Liberation Movement, (New York : NYU Press, 2014) hal 35
[34] Brent L.
Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality....hal 73-74.
[35] Lennart
Nordenfelt, On the Nature of Health, (Springer
Science & Business Media, 1995), hal 133
[36]Alfred Kinsey, et al. Sexual Behavior In The Human Male,(
Philadelphia : The Saunders Company,1948) 638
[37] Ibid, hal
639
[38] Brent L.
Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality, hal 8
[39] Vernon A. Rosario, Homosexuality and
Science: A Guide to the Debates, hal 133 – 134.
[40] American Psychiatr. Diagnostic And
Statistical Manual Of Mental Disorders DSM-IV-TR Fourth Edition (Washington
: American Psychiatric Association,
1996) hal xvii.
[41] Iris Zijlstra. "The Turbulent
Evolution Of Homosexuality: From Mental Illness To Sexual Preference."
Dalam, Social Cosmos 5.1 (2014), hal 32.
[42] Joseph
Nicolosi, "The Removal Of Homosexuality From The Psychiatric
Manual."dalam Catholic Social Science Review ( 2001): 71 – 72.
[43] Vernon A. Rosario, Homosexuality and
Science: A Guide to the Debates... hal 143.
[44] Thomas S. Szasz, Myth of Mental Illness...
262
[45] Paul Cameron dan Kirk Cameron.
"Re-Examining Evelyn Hooker: Setting the Record Straight with Comments on
Schumm's (2012) Reanalysis." Marriage & Family Review 48.6 (2012), hal 49.
[46]Simon LeVay, Gay, Straight, And The Reason Why: The
Science Of Sexual Orientation (Oxford University Press, 2010)
[47] Neil L
Whitehead dan Briar Whitehead, My Genes
Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence, (Whitehead
Associates, 2013), hal 177.
[49] A. Dean Byrd
and Stony Olsen. "Homosexuality: Innate and Immutable."Regent UL
Rev. 14 (2001), hal 422.
[50]Robert L. Spitzer "Can Some Gay Men And Lesbians Change
Their Sexual Orientation? 200 Participants Reporting A Change From Homosexual
To Heterosexual Orientation." Archives of sexual behavior 32.5 (2003): 403-417.
[51]Robert L Spitzer. "Spitzer Reassesses His 2003 Study Of
Reparative Therapy Of Homosexuality." Archives of sexual behavior (2012): 1-1.
[52]Armelli, Jerry A., et al. "A Response to Spitzer’s
(2012) Reassessment of His 2003 Study of Reparative Therapy of
Homosexuality." Archives Of
Sexual Behavior (2012): 1-2.
[53]National Association for Research and Therapy of
Homosexuality (US). Scientific Advisory Committee, et al. What Research Shows: NARTH's Response to the APA
Claims on Homosexuality: a Report of the Scientific Adisory Committee of the
National Association for Research and Therapy of Homosexuality. National Association for Research and Therapy of
Homosexuality, 2009. Hal 38.
[54] Dadang
Hawari, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, (Jakarta : Balai
Penerbitan FKUI, 2009), hal 62
[55] Ibid
[56] Robert L. Spitzer "Can Some Gay Men
And Lesbians Change Their Sexual,...hal 406
[57] Dadang
Hawari, Pendekatan Psikoreligi...hal 70 – 72.
[58] Chris Beyrer, et al. "Global
Epidemiology Of HIV Infection In Men Who Have Sex With Men." The Lancet 380.9839 (2012), hal 367-368.
[59] Minttu Rönn, et al. "Developing A Conceptual
Framework Of Seroadaptive Behaviors In HIV-Diagnosed Men Who Have Sex With
Men." Journal of Infectious Diseases 2.10. (2014), hal 586
[60] Ronald Bayer, Homosexuality and American
Psychiatry: The Politics of Diagnosis, (New Jersey : Princeton
University Press, 1981), hal 3-4.
[61] Jeffrey Satinover, Homosexuality and the Politics
of Truth (tt : Baker Books, 1996) hal 29
[62] Iris Zijlstra. "The Turbulent
Evolution Of Homosexuality: From Mental Illness To Sexual Preference."
Dalam, Social Cosmos ... hal
32.
[63] Peter Zachar
dan Kenneth S. Kendler. "The Removal Of Pluto From The Class Of Planets
And Homosexuality From The Class Of Psychiatric Disorders: A Comparison."
dalam Philos Ethics Humanit Med 7.4 (2012) hal 3-4
[64] Christopher
Cotten dan John W. Ridings. "Getting Out/Getting In: The DSM, Political
Activism, and the Social Construction of Mental Disorders." dalam Social
Work in Mental Health 9.3 (2011), hal 182
[65] Ira L. Reiss,Albert
Ellis, At the Dawn of the
Sexual Revolution: Reflections on a Dialogue, (Boston : AltaMira Press, 2002), hal vii
[66] Brent L.
Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality....hal 76
[67] Ibid
[68] Iris Zijlstra. "The Turbulent
Evolution Of Homosexuality... hal 32.
[69] Rogers H Wright dan Nicholas A.
Cummings, eds. Destructive Trends in Mental Health: The Well
Intentioned Path to Harm. (tt :
Routledge, 2005), hal 9
[70] Ibid, hal
xiv
[71]Nicholas A Cummings.
"The APA And Psychology Need Reform." Makalah
disampaikan pada Annual Convention Of The
American Psychological Association (August 12). New Orleans, LA. 2006.
[72] American
Psychiatric Association , Homosexuality and Sexual Orientation Disturbance:
Proposed Change in DSM-II, 6th Printing, Page 44, Position Statement Retired.,
1973. Hal 3
[73] American Psychiatr. Diagnostic And
Statistical Manual Of Mental Disorders.... 493.
sangat bagus.. :)
BalasHapusterima kasih..
makasih udah mampir mba Mun..
Hapuskalo ada masukan, kritik atau saran, atau update informasi, kan yang kuliah psikologi situ..
trima kasih infonya.. sangat bermanfaat, banyak info baru yang didapat terkait perkembangan dunia nonheteroseksual.
BalasHapusdari artikel tersebut saya mengira bahwa masih banyak perdebatan dan ketidakjelasan terkait "orientasi seksual" di antara para ahli di bidangnya. parameter ketidaknormalan masih serba relatif. sehingga banyak celah kepentingan politik disana.
apabila dikatakan normal, maka sepertinya ada banyak hal yang salah, namun apabila dikatakan abnormal, kenapa ibarat takdir yang sulit diubah.bahkan berbagai terapi pun belum dapat menyembuhkannya secara total.
kalau dilihat dari sudut pandang Islam. di tengah prokontra yang tidak jelas ini.maka segala permasalahan harus dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah. Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan hikmah. maka sepertinya dibutuhkan lebih banyak studi-studi berikutnya terkait orientasi seksual yang berkenaan dengan hikmah dilarangnya perbuatan nonheteroseksual tersebut.dan studi mengenai anjuran Islam terhadap kaum tersebut seperti untuk menikah,menjaga pandangan dsb. sehingga mungkin pada beberapa orang, dengan adanya hasil studi berupa data,dapat semakin menambah keimanannya.
mohon maaf sedikit koreksi bila boleh, untuk Prof. Dadang hawari adalah psikiater
Salam Nasuha, trima kasih udah berkunjung..
Hapusiya emang persoalan ini sangat bias, politik, atau jika mau lebih dalam, ada bias filosofis... misalnya tentang "apakah kebaikan itu" di Barat, jika tidak brtentangan dengan nature, sudah dianggap baik, jika stimulus sudah diberi respon yang sesuai maka sudah baik. Tapi bagi budaya lain, ada sistem nilainya sendiri, termasuk orang Islam...
trimasksaih untuk koreksiannya .. hehe, akan diedit