slama dilawan, tentu bukan dosa |
Isu LGBT (lesbian, gay,
biseksual, dan transgender) sedang sering dibahas akhir-akhir ini, makin
heboh dengan berlangsung nya resepsi pernikahan sesama jenis di Bali pada 17
september 2015 lalu, hampir semua media sosial mengupload photo dan saling
me-reshare berita tentang itu, dunia maya seolah ramai dan disibukan dengan
banyak hujatan, cacian, bahkan dukungan pro dan konta, bertabrakan satu sama
lain (kasus serupa juga terjadi dengan heboh SGRC UI di awal 2016 ini-ed). Tentu dalam kajian beberapa kalangan masalah LGBT akan terus menjadi pro
dan kontra tergantung cara pandang kita, kita memakai worldview apa dalam
melihat fenomena LGBT ini, sebagai seorang muslim tentu hal ini menjadi haram
mutlak, dan ketika memberi dukungan boleh dipertanyakan seberapa benar keimanan
kita? Sudah lurus kah?
Mungkin kajian dan bahasan terkait LGBT sudah cukup
banyak, namun yang ingin kutulis, bagaimana cara menyikapi seseorang yang
terkena penyakit LGBT ini, sebelumnya kita harus benar-benar mengerti apa LGBT
ini, untuk seseorang yang mengkampanyekan pemikiran LGBT yang dipengaruhi
sekali oleh arus feminis dan HAM tentu kita harus bersikap amat keras, justru
harus berlawanan, dan menyatakan perang pemikiran, jangan sampai virus ini
menyebar ke orang-orang awam yang sebelumnya tak memahami bagaimana hukumnya,
namun bagaimana bersikap dengan seseorang yang sudah terlanjur terkena LGBT
ini? Tentu sikap kita harus sedikit lunak, bahkan kita harus mencoba
merangkulnya agar kembali pada jalan yang benar, jalan yang lurus, jalan
keimanan yang telah Allah garis kan..
Setiap insan pasti memiliki orientasi seksual,
orientasi seksual adalah keinginan mendasar dari individu untuk memenuhi
kebutuhan akan cinta, akan berhubungan dengan kedekatan, kelekatan serta rasa
intim, dan kian berkembang hingga ada ikatan diantara dua insan sebagai fitrah
yang Allah berikan, (Gharizah Na’u). Orientasi seksual sebenarnya tidak
hanya sekedar ketertarikan seks secara jasmani namun juga menjangkau hubungan
batin, hanya saja didalam masyarakat, hal ini terjadi penyempitan makna
sehingga ketika mendengar orientasi seksual, maka ia yang berarti ketertarikan
secara biologis.
Same sex atraction, ketertarikan sesama jenis
sebenarnya adalah sebuah penyakit, penyakit yang menggangu keadaan jiwa
seseorang, akan tetapi ketika kaum LGBT ini sudah mengedepankan hawa nafsu,
maka segudang alasan dan penelitian yang tidak terbukti kebenarannya hingga
sekarang menjadi tameng, sebagian mereka menganggap ini adalah karena faktor
genetik, atau faktor bawaan maupun alasan lain.
Kita harus tahu, LGBT berbeda dengan same sex
atraction. LGBT sudah menjadi identitas dan ada pengakuan dari individu
tersebut, seperti “ya saya menyukai sesama jenis, dan saya seorang gay” akan
berbeda dengan orang yang orientasi seksualnya SSA (same sex atraction) karena
individu yang SSA belum tentu ia seorang LGBT karena ia pun tak ingin dirinya
menjadi seorang LGBT, ada penolakan dan kesadaran bahwa apa yang ada pada
dirinya adalah sebuah penyakit, dan ia menyanggah secara sadar bahwa ia tak
normal. Akan tetapi seseorang yang LGBT sudah pasti SSA.
Ketika berhadapan dengan seorang yang memiliki SSA,
haruslah menggunakan pendekatan personal, menyadarkan dengan hati dan
berhati-hati berbeda dengan seseorang yang sudah benar-benar LGBT. Orang-orang
yang SSA adalah orang-orang yang perlu kita rangkul, yang perlu kita ajak dan
ayomi, melindungi dan bersahabat dengan mereka, mengajak mereka agar kembali
sesuai fitrah nya, kadang sikap kita yang keliru kepada mereka adalah
diskriminasi yang tak berkesudahan, menjauhi bahkan ada yang merasa jijik,
mungkin bagi kalangan awam ketika belum terbiasa melihat dunia mereka secara
dekat akan muntah dan ilfeel bahkan hilang selera makan, akan tetapi perlu kita
fahami betul bahwa mereka sedang sakit, mereka sedang tidak sehat dan amat
butuh bantuan, maka padanglah dengan rasa iba dan tumbuhkan sikap empati untuk
mengulurkan tangan pertolongan dengan ikhlas, membawa mereka, menggandeng
mereka menjadi sahabat bukan melaknat
Seperti pada umumnya, mengobati memerlukan waktu
bahkan tidak sedikit, berminggu bahkan bertahun, bisa jadi akan bertahun-tahun.
Sakit fisik saja memerlukan waktu yang panjang bagaimana dengan penyakit
kejiwaan, tentu akan menelan banyak kesabaran dan ikhiyar yang tiada berbilang.
Olehnya mengobati sesorang yang SSA tidak lah mudah, perlu terapi yang
berkelanjutan, karena jiwa yang sakit maka obatnya adalah dimulai dari hati,
hati yang bersih dan nalar yang sehat dan pemahaman yang benar, hal ini lah
yang perlu ditanamkan kepada mereka yang SSA. Tugas dan PR kita bukan menjauhi
tetapi mendekati, membuka ruang agar mereka bernafas dari penyakitnya, kita
yang normal (hetero) maka bersyukurlah, karena dikaruniai jiwa yang sehat
terhadap orientasi seksual kita.
Seseorang yang SSA juga manusia, sebagian dari mereka
pun ingin sembuh maka sikap kita pun harus adil, tetap berbuat baik terus
mengulurkan pertolongan, karena kita sesama manusia, maka perlu memanusiakan
manusia... (jangan baca humanistik ya :D)
Wallahua’lam bishawab..
ditulis oleh Jumiatun Diniyah, sarjana psikologi yang aktif mendampingi orang-orang SSA