Salah satu momen yang suli dilupakan di tahun 2015 yang lalu adalah
legalisasi pernikahan sejenis di Amerika Serikat. Sebagai sebuah negara
adidaya, kejadian domestik negri Paman Sam itu ternyata memiliki dampak mengglobal. Mungkin kemenagan di Amerika Serikat
itulah yang menjadi pemantik keberanian aktivis semacam SGRC UI untuk
terang-terangan menyebar publikasi mereka. Tak pelak lagi, publikasi itu menuai
kontroversi. Pembicaraan seputar LGBT menjadi ramai di masyarakat kita. Sekian banyak yang mengutuki, tapi
ternyata mulai banyak yang bersimpati. Tampaknya, diskursus soal hak-hak LGBT
yang selama ini terkesan terbatas mulai memasuki ruang publik yang lebih luas.
Tidak diragukan lagi bahwa ekspansi aktivis LGBT adalah sebuah
tantangan dakwah. Gerakan ini secara sistematis berjuang agar hubungan sejenis
diakui secara legal dan kultural di seluruh dunia. Beragam cara mereka tempuh,
mulai dari jalur kebudayaan hingga politik. Bisa dikatakan, kelompok ini adalah
gerakan minoritas yang paling militan. Kebudaan Kristen Barat secara umum telah
mereka taklukan, lalu bagaimana dengan dunia Islam, termasuk Indonesia?
Bila perlu pendampingan, hubungi kami |
Pelajaran dari
Umat Kristen di Barat
Dalam hal homosekusalias, sesungguhnya orang Kristen menunjukan sikap anti yang
sangat besar. Hal ini wajar mengingat Bible dengan sangat tegas melarangnya.
Secara eksplisit, di dalam Bible tindakan ini dikutuk sebagai dosa (Kejadian
19:1-13; Imamat 18:22; Roma 1:26-27; 1 Korintus 6:9). Pelakunya diancam siksa
yang berat. Dalam 1 Korintus 6:9, Paulus mengutuk kaum homoseks. Namun
demikian, peradaban Barat yang konon meletakan dirinya di atas asas
Judae-Kristen ternyata takluk juga pada perjuangan aktivis gay.
Umat Islam perlu belajar
dari kekalahan Kristen di Barat. Pelajaran ini bisa diperoleh dengan menilik
kiprah aktivis LGBT di sana dan kunci keberhasilan mereka. Bila sejarah tersebut dicermati, tampaklah
bahwa persepsi masyarakat Barat terhadap homoseksualitas ternyata berubah
seiring perubahan basis nilai masyarakat tersebut. Dibawah pengaruh Gereja,
homoseksualitas dipandang sebagai dosa, para raja seperti Raja Henry VIII
menyebutnya keriminal. Ketika ilmuwan mengambil peran penting selama Abad
Pencerahan, homoseksualitas dianggap penyakit. Terakhir, ilmu psikologi
menganggapnya normal dan mengeluarkannya dari DSM (buku panduan penyakit
mental) pada tahun 1973 (Bayer, 1981).
Legalisasi pernikahan gay
di Amerika Serikat pertengahan tahun 2015 lalu dianggap kemenangan besar
aktivis LGBT. Disebut kemengan besar sebab negeri Paman Sam itu termasuk negara
yang konservatif. Beberapa dekade yang lalu, legalisasi pernikahan gay tampaknya mustahil di Amerika Serikat. Penduduk
Amerika Serikat, terutama negara-negara bagian di sekitar Bible Belt
selalu melihat diri mereka sebagai Kristen yang taat. Hingga kini pun, mereka
masih menggeliat mengeluhkan agresivnya aktivis LGBT. Kasus Kim Davis yang
menolak membuat kue pernikahan bagi pasangan gay menunjukan mentalitas
masyarakat Kristen konservatif di sana. Namun demikian, ternyata mereka takluk
juga oleh gerakan LGBT.
Sebelum mahkamah tinggi
Amerika akhirnya melegalkan pernikahan sesama jenis, terjadi perubahan opini
publik yang signifikan di sana. Hingga tahun 50-an pemerintah Amerika Serikat
pimpinan Eisenhower menunjukan sikap tegas pada kaum gay. Seorang pegawai yang diketahui berorientasi
seks menyimpang akan dipecat. Perjuagnan kaum homoseksual dimulai dengan
membonceng pada geliat revolusi rasial dan seksual di tahun 60-an hingga 70-an.
Mereka mulai membentuk sel-sel gerakan dengan meniru gerakan bawah tanah kaum
komunis (Pickett, 2009).
Diksriminasi kepada kaum
gay justru berbalik merugikan kaum konservatif di Amerika. Masyarakat mulai
tergiring untuk simpati kepada kaum gay, generasi baru lebih liberal dari orang
tua mereka. Apalagi gerakan LGBT mengalami radikalisasi pasca tragedi Stonwell,
27 Juni 1969. Di tragedi itu aktivis gay menjadi korban kekerasan aparat polisi
(Edsall, 2003). Sejak saat itu aktivis gay mengampanyekan kesetaraan hak dalam
menikah melalui berbagai media. Mereka sangat kuat hingga mampu mempengaruhi
keputusan para psikolog untuk menormalkan homoseskaulitas (Satinofer, 1996 ;
Cumming, 2005).
Ketika gerakan gay
menguat, nilai-nilai keagamaan justru semakin merosot. Masyarakat Amerika
Serikat yang semakin sekuler tidak lagi mengindahkan petunjuk agama dalam
menetukan yang baik dan buruk. Nilai-niali liberal yang menitik beratkan pada
kesetaraan dan kebebasan semakin tertanam. John McGowan (2007) mengaitkan
kebangkitan nilai-nilai liberal dengan perubahan besar persepsi masyarakat
Amerika terhadap homoseksualtias. Dalam survei Gollup, pada tahun 1986
pendukung pernikahan gay di Amerika Serikat hanya 32%, jumlah ini meningkat
signifikan menjadi 64% pada tahun 2010.
Analisa John Mc Gowan di
atas perlu pula kita perharikan. Liberalisasi pola pikir adalah jalan tol
menuju penerimaan gay secara kultural. Setelah diterima secara kultural, maka
peneriman secara legal-formal tinggal menunggu waktu saja. Seorang yang berpola
pikir liberal akan mengutamakan apa yang dianggapnya hak azasi di atas
norma-norma agama. Olehnya, meski bukan seorang homoseskual, seorang liberal
akan mendukung pernikahan gay. Jika mayoritas
generasi muda Indonesia telah berpikir demikian, maka legalisasi
pernikahan sejenis bukanlah suatu yang mustahil. Untuk itu umat Islam perlu
mengambil langkah-langkah strategis
Hadapi Dengan Bijaksana, Rangkul Orangnya
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami fenomena homoseksualitas. Hal ini sangat penting sebab dakwah yang muncul dari miskonsepsi dan kesalah pahaman justru akan sangat kontraproduktif. Contohnya adalah kasus penyerangan diskusi LGBT di sebuah unversitas Islam di Malang September tahun 2015 lalu. Diskusi tersebut diadakan oleh elemen-elemen umat Islam yang hendak mendampingi kaum SSA (Same Sex Attraction, Suka Sesama Jenis) yang hendak kembali ke fitrahnya. Tapi tampaknya judul “LGBT” pada acara tersebut menjadi tiket bagi ormas Islam lainnya untuk membubarkan diskusi. Ini salah satu bentuk ironi dakwah yang lahir dari kesalah pahaman.
Menyangkut persoalan homoseksualitas, tampaknya di masyarakat kita
hanya ada dua pilihan; bila tidak menjadi pendukung fanatik dengan dalih HAM,
maka harus menjadi lawan yang sangar yang tidak mau tahu soal seksualitas kaum
LGBT. Terlibh, masyarakat kita cenderung hanya menghakimi tanpa peduli secara
psikologis. Padahal, posisi Islam untuk persoalan homoseksualitas berada di
antara dua ekstrim tersebut. Sikap moderat yang sesuai dengan Islam inilah yang
perlu dikembangkan.
Inti dari sikap Islam adalah merangkul kaum SSA, tapi membenci
tindakan homoseksual. Hal ini perlu ditekankan sebab di Indonesia, kaum SSA
tentunya mayoritas berasal dari umat Islam. Dari data Peduli Sahabat (PS),
sebuah lembaga pendampingan SSA, diperkirakan 12 juta lebih kaum muslimin
adalah SSA. Dari klien PS selama ini kebanyakan (sekitar 60%) adalah aktivis
Islam. Mereka melarikan diri dari dunia itu ke dunia aktivisme, tapi ternyata
itu belumlah cukup. Ini masalah umat, harus diatasi.
Homoseksualitas sudah jelas dan tegas larangannya dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Namun demikian, perlu dicatat bahwa Islam mebedakan antara
orientasi seksual semata dan orientasi seksual yang diperturutkan. Di sinilah,
perlu diketahui perbedaan antara SSA (Same Sex Attraction) dan LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual). SSA adalah sebutan bagi semua orang
yang memiliki kecendrungan suka sesama jenis dalam dirinya, tapi tidak
diperturutkannya. Hal ini sama saja dengan niat buruk lainnya yang tidak
diturutkan. Misalnya, niat mencuri, tapi tidak jadi, tentu tidak mengapa.
Adapun LGBT merujuk kepada mereka yang memperturutkan kecendrugan buruk itu.
Bahkan mereka menjadikannya sebagai sebuah identitas sosial dan berjuang agar
semua orang mengakuinya. Tentu sikap Islam kepada keduanya pun jauh berbeda.
Sebagai muslim, pandangan terhadap homoseksualitas (liwāţ bagi
lelaki dan sihāq bagi perempuan) haruslah didasarkan atas wahyu bukan evolusi
nilai masyarakat. Patokan normal dan abnormal adalah fitrah penciptaan manusia
di dalam
wahyu. Fitrah manusia adalah menjadi hamba Allah yang senantiasa mematuhi-Nya,
termasuk menghindari homoseksualitas. Hal tersebut dianggap syahwat yang muncul
sebagai fujur dalam hati manusia (al-A’rāf ayat : 81, an-Naml ayat :55, Asy-Syams : 91).
Sebagai sebuah kecendrungan buruk,
tentu orientasi homoseksual itu harus dilawan. Cara yang mungkin ditempuh
adalah dengan menguatkan iman, berdoa, dan berusaha melalui terapi. Perasaan
tersebut adalah ujian yang harus ia tempuh sebagai hamba Allah. Dengan
demikian, Islam tidak menghukum seseorang hanya karena ia memiliki rasa
tertarik kepada sesama jenis. Hukuman syariah hanya dijatuhkan kepada mereka
yang memperturutkan syahwat dan
menjalani gaya hidup homoseksual, mejadi gay atau lesbian.
Kesimpulan dan Penutup
Kesimpulan dan Penutup
Akhirnya, umat Islam harus menggalakan pendampingan kepada SSA yang
hendak kembali kepada fitrah. Di luar sana, ada banyak sekali propoganda bahwa
orientasi seksual tidak bisa berubah. Melimpah publikasi propoganda LGBT yang
mengajak orang SSA untuk melampiaskan nafsu mereka. Padahal ada banyak bukti
bahwa kecendrungan SSA sangat bisa dilawan. Dadang Hawari, psikolog kenamaan
dari Universitas Indonesia menegaskan bahwa seorang homoseks bisa berubah
asalkan ia memiliki kemauan yang kuat (Hawari, 2009). Robert L. Spitzer,
psikolog dari Amerika menemukan bahwa agama, adalah sumber motivasi terbesar
kaum SSA untuk berubah (Spitzer, 2003).
Colin Spencer di dalam bukunya History of Homosexuality mengakui
secara jujur bahwa Islam menjadi penghalang besar laju ekspansi LGBT. Tentu,
Islam dan umatnya pun disasar oleh berbagai program dari mereka. Kita tentu
harus melawan balik. Gerak mereka yang sistematis harus dilawan secara
sistematis pula. Dakwah kepada LGBT harus jalan di dua jalur, pertama melawan
ideologi liberalisme yang disuntikan lewat budaya dan ruang-ruang akademis. Ini
penting sebab liberalisme akan melahirkan penerimaan pada seks sejenis. Kedua
yang tak kalah penting adalah mulai mengorganisasi pendampingan bagi kaum SSA.
Benci dosanya, rangkul orangnya
*tulisan ini adalah bagian dari artikel yang pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi Februari.