بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
KH. Ahmad
Dahlan terkenal sebagai ulama pembaharu yang tidak gemar banyak berteori. Ilmu
baginya hanya berarti ketika berbuah amal. Mungkin karena orientasi ini pula,
beliau tidak meninggalkan banyak karya tulis. Ajaran-ajarannya, kebanyakan
diperoleh dari catatan murid-muridnya. Salah satu murid Kiya Dahlan yang gemar
mencatat adalah KRH Hadjid. Murid
paling belia ini mencatat 7 falsafah
ajaran dan 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang merupakan pokok pikiran pendiri
Muhammadiyah itu. Tidak hanya mencatat, Hadjid juga memberikan syarah bagi tiap
poin ajaran gurunya tersebut.
Dari catatan Hadjid terlihat jelas, betapa
sang guru adalah orang yang sangat menganjurkan pikiran terbuka dan
mengedepankan dialog. Baik sesama Muslim yang berbeda aliran, maupun kepada
ummat agama lain. Bagi Kiyai Dahlan, seperangkat ide yang kita yakini harus
berani dipertemukan dengan ide-ide berbeda milik orang lain. Sebab hanya dengan
proses itulah, kita akan semakin mantap menetapinya, dan bisa menyerap
kebenaran yang ada pada lawan dialog. Kiyai Dahlan bahkan menganggap keengganan
untuk berdialog adalah bentuk keangkuhan. Pada falsafah kedua, disebutkah;
“Kebanyakan
diantara manusia berwatak angkuh dan takabbur, mereka mengambil keputusan
sendiri-sendiri”
KRH
Hadjid menjelaskan bahwa falsafah kedua ini adalah ajakan berpikiran terbuka
dan berdialog. Ia menyebutkan ;
Kiyai
Ahmad Dahlan heran kenapa pemimpin agama dan yang tidak beragama selalu hanya beranggap, mengambil
keputusan sendiri tanpa mengadakan pertemuan
antara mereka, tidak mau bertukar pikiran memperbincangkan mana yang benar dan yang salah. Hanya anggapan saja,
disepakatkan dengan istrinya, dengan muridnya, dengan teman-temannya sendiri.
Tentu saja akan dibenarkan. Tetapi marilah mengadakan permusyawaratan dengan
golongan lain di luar golongan masing-masing untuk membicarakan manakah yang
sesungguhnya benar dan manakah yang salah
Dari
pemaparan KRH Hadjid di atas terlihat bahwa anjuran dialog antar golongan ummat
Islam, dan dialog lintas agama yang ditegaskan KH. Ahmad Dahlan bukan didasari
oleh keyakinan bahwa semua klaim kebenaran itu valid. Sangat berbeda dengan
dialog antar-iman yang digadang-gadang oleh kaum pluralis saat ini. Beliau
menganjurkan untuk berdialog secara terbuka dengan yang lain, justru karena
yakin bahwa hanya ada satu kebenaran, yaitu Islam. Dengan basis akidah yang
mantap ini, Kiyai Dahlan menganjurkan murid-muridnya untuk luas bergaul dan
berpikiran terbuka. Menutup diri dari dialog sebab
klaim kebenaran dipandang oleh beliau sebagai bentuk ketergesahan dan
kecerobohan yang lahir dari sikap takabur.
Memang,
"tegas dalam prinsip, luwes dalam interaksi sosial" adalah formula
yang bagus, tepat, dan ideal. Tapi tiba tiba saya teringat kalimat pak Muhammad
Ali, pemikir muda Muhammadiyah yang ngajar Islamic Studies di Riverside, ketika
membahas prinsip itu . Kata beliau,"life is not that simple". Ya,
kadang muamalah memang mengandung unsur teologis, pernikahan misalnya.
Pernikahan ikhwan salafi dengan akhwat Fatayat aja mungkin agak susah, apalagi
pernikahan sunni-syiah atau Islam-Kristen. Meski ada peluang sah secara syariah
bagi pernikahan semacam itu, tapi tetap saja, ia dihindari. Begitu alur pikirk
pak Muh. Ali. Ia agaknya pesimis bahwa formula di atas memang memadai sebagai
basis dialog.
Bagi
saya sendiri, justru karna itulah dialog perlu ada untuk saling memahami. Agar
masing masing tahu di titik mana kita bertemu dan dimana titik seteru. Olehnya
dialog perlu memiliki dua bentuk. Untuk masalah-masalah prinsip keyakinan, maka
arah dialog adalah diskusi produktif tentang klaim kalim kebenaran yang
bertentangan. Gelontorkanlah argumen, berdebat hingga muncul siapakah yang
benar. Namun dialog pada masalah masalah kemanusiaan yang dihadapi bersmaa
perlu pula digalakan. Mencari solusi bagi penyakit kemiskinan, kebodohan, dan
KKN misalnya. Dalam hal ini, umat lintas golongan dan agama perlu berdialog,
mencari obat yang paling manjur.
Jika
menilik ke buku KRH Hadjid tentang tujuh falsafah itu, tampaknya dua model
dialog itulah yang dilakukan oleh Kiyai Dahlan dan murid-muridnya. Bukti
sederhanyanya adalah keluwesan Kiyai Dahlan dalam bergaul dengan orang orang
Kristen Belanda. Bahkan karena itu, Muhammadiyah sempat dicap antek kafir
penjajah. Di sekolah dan klinik kesehatan yang awal awal didirikan, model Barat
dipakai, orang Kristen dijadikan rekan. Namun ingat pula, bahwa di antara
bacaan Kiyai Dahlan adalah kitab kitab polemik Islam Kristen yang berpengaruh
hingga kini. KRH Hadjid mengamati bahwa gurunya itu gemar menelaah al Islam wa
an Nashraniyah-nya Abduh bahkan Izharulhaq-nya Rahmatullah al Hindi. Kitab yang
terakhir disebut ini adalah buku induk Kristologi kritis yang jadi rujukan
utama Ahmad Deedat, pendebat ulung itu.
sumber gambar : blog keren ini