SEBAGAI negara yang memiliki pengaruh besar di pentas global, segala
dinamika di dalam negeri Amerika Serikat sedikit banyak memiliki dampak
mendunia. Termasuk keputusan Mahkamah Tinggi negeri Paman Sam untuk
melegalkan pernikahan sesama jenis. Perusahaan-perusaaan besar sontak
mengganti logo mereka dengan latar pelangi, bendera kebanggaan pejuang
LGBTQ (Lesbian Gay Biseksual Transeksual dan Queer), tak kurang dari
Mark Zuckenberg, pemilik raksasa telekomunikasi dunia Facebook, mengucapkan
selamat kepada kemenangan kaum Gay ini. Sejumlah pesohor pun turut
merayakan momen yang oleh Obama disebut sebagai kemenangan besar
tersebut.
Di negeri kita reaksi yang muncul pun beragam. Para pejuang hak-hak
LGBT yang memang telah lama bergerilya berusaha menggolkan agenda mereka
tentu sangat senang. Beberapa artis juga tampak latah mensyukurinya.
Reaksi kontra tentu lebih terlihat, terutama di kalangan umat beragama,
khususnya kaum muslimin. Sejumlah media online yang dikelola umat Islam
memberitakannya dengan nada negatif. Memang reaksi tersebut sudah wajar
dan seharusnya, sebab homoseksualitas merupakan tindakan yang dikutuk
agama.
Namun mengutuk dan ber-nauzubillah saja tidak cukup.
Legalisasi pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat menyisakan sebuah
renungan penting bagi umat Islam di Indonesia. Tidak mustahil hal serupa
akan terjadi di negeri kita ini, sebab beberapa dekade yang lalu,
legalisasi pernikahan gay pun tampaknya mustahil di Amerika. Bila proses
yang dulu berlangsung di Amerika dan negara Barat pada umumnya juga
terjadi di Indonesia, maka kelak anak cucu kita bisa saja menyaksikan
keputusan serupa ditetapkan di negri ini.
Legalisasi pernikahan gay di Amerika Serikat tidak bisa dipisahkan
dari sejarah penerimaan homoseksualitas di dalam peradaban Barat secara
umum. Bila sejarah tersebut dicermati, tampaklah bahwa persepsi
masyarakat Barat terhadap homoseksualitas ternyata berubah seiring
perubahan basis nilai masyarakat tersebut. Di bawah pengaruh Gereja,
homoseksualitas dipandang sebagai dosa, para raja seperti Raja Henry
VIII menyebutnya kriminal. Ketika ilmuwan mengambil peran penting selama
Abad Pencerahan, homoseksualitas dianggap penyakit. Terakhir, ilmu
psikologi menganggapnya normal dan mengeluarkannya dari DSM (buku
panduan penyakit mental) pada tahun 1973 (Bayer, 1981)
perubahan persepsi masyarakat AS |
Di konteks Amerika pun, terjadi perubahan serupa. Pada awalnya,
rakyat Amerika termasuk konservatif dalam urusan homoseksual ini. Hingga
tahun 50-an mislanya, dibawah pemerintahan Eisenhower seorang pegawai
yang diketahui seorang homoseks akan dipecat. Gelombang revolusi rasial
dan seksual di tahun 60-an hingga 70-an akhirnya membawa angin segar
bagi kalangan homoseskual. Mereka mulai membentuk sel-sel gerakan dengan
meniru gerakan bawah tanah kaum komunis (Pickett, 2009).
Gerakan gay pertama muncul dengan “kalem” lewat gerakan “Gay is Good” tapi
kemudian segera menjadi radikal pasca tragedi Stonewall, ketika aktivis
gay menjadi korban kekerasan aparat polisi pada 27 Juni 1969 (Edsall,
2003). Masyarakat mulai tergiring untuk simpati kepada kaum gay,
generasi baru lebih liberal dari orang tua mereka. Sejak saat itu
aktivis gay mengampanyekan kesetaraan hak dalam menikah melalui berbagai
media. Mereka sangat kuat hingga mampu mempengaruhi keputusan para
psikolog untuk menormalkan homoseskaulitas (Satinofer, 1996 ; Cumming,
2005).
Menyambut kebangkitn kaum gay, kekuatan Kristen Amerika pun tidak
bisa banyak berkutik. Masyarakat mereka yang sekuler tidak lagi
mengindahkan petunjuk agama dalam menetukan yang baik dan buruk.
Nilai-niali liberal yang menitik beratkan pada kesetaraan dan kebebasan
semakin tertanam. John McGowan (2007) mengaitkan kebangkitan nilai-nilai
liberal dengan perubahan besar persepsi masyarakat Amerika terhadap
homoseksualtias. Dalam survei Gollup, pada tahun 1986 pendukung
pernikahan gay di Amerika Serikat hanya 32%, jumlah ini meningkat
signifikan menjadi 64% pada tahun 2010.
Dus, di balik penerimaan terhadap pernikahan sesama jenis secara
gradual di Amerika terdapat proses perubahan cara berfikir
masyarakatnya. Mereka semakin liberal dan meninggalkan ketentuan agama.
Pola pikir liberal akan mengutamakan apa yang dianggapnya hak azasi di
atas norma-norma agama. Meskipun bukan seorang homoseskual seorang yang
berpikir liberal akan mendukung pernikahan gay. Apabila generasi muda
Indonesia telah berpola pikir demikian, mereka tidak akan mau dengan
tegas menolak pernikahan sesama jenis. Maka, hal yang serupa di Amerika
Serikat bisa saja terjadi di Indonesia. Menanamkan nilai-nilai agama
adalah satu-satunya cara mencegahnya.
menjijikkan sekali ya kayak gitu
BalasHapusyoi mas, cuma realitasnya gitu lah
HapusBahayanya paham sekulerisme dan demokrasi, dimana opini dilumrahkan menjadi latar belakang penerbitan hukum.
BalasHapusBTW, itu pop up FB likesnya sulit banget ditutup, hehe
ya, bila suara mayoritas tidak dikendalikan oleh ketentuan Allah, maka tidak mustahil yang terjadi adalah kehancuran..
Hapushumm, langsung isi dulu komen trus pos pak, biar ilang hehe... itu namanya promo :D