keluarga Qaem Aulassyahied "sakinah ma waddah wa ar-rahmah euyyyyy..... |
Feminisme
Sebagai Faham dan Gerakan
Bagi faham feminisme[1],
budaya patriarki adalah sumber dari segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan. Adanya bentuk ketidak-adilan perempuan itu terjadi karena kondisi sosial di banyak negara
-baik di aspek domestik hingga publik- menjadikan laki-laki sebagai pusat
segala kegiatan. Sementara perempuan dijadikan “pelaku nomor dua”, aktivitas
publiknya dibatasi, ruang menumpahkan aspirasi menjadi sempit, dan segala aspek
yang menjadi kebutuhan perempuan tidak ditentukan oleh perempuan sendiri,
tetapi justru ditentukan oleh laki-laki sebagai imbas dari hegemoni laki-laki.[2] Sehingga,
budaya patriarki yang terbentuk dari berbagai nilai dan keyakinan, pada
akhirnya melahirkan lima sektor pokok ketidak-adilan perempuan yang, bagi kaum
feminis, harus segera diselesaikan. Pertama, marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi. Kedua subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik. Ketiga pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif.
Keempat kekerasan (violence). Kelima beban kerja lebih panjang dan
banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[3]
Bahkan tidak segan-segan, dampak dari sistem patriarkhi ini menurut
faham feminisme, menjurus dan berakar hingga sektor masyarakat paling mikro dan
mendasar yaitu institusi rumah tangga. Segala keyakinan dan nilai yang
mendiskreditkan kaum perempuan mulai diajarkan ditanamkan dan dipraktekkan
dalam hubungan rumah tangga.[4]
Sebut saja Katte millet, seorang penggiat dan pejuang faham feminisme
mendeskripsikan keluarga sebagai unit patriarkhis dan bagian dari patriarkhi
secara keseluruhan. Untuk itu, keluarga memerlukan definisi baru karena
definisi yang ada sekarang berasal dari asumsi mengenai dominasi laki-laki.[5] Adanya
kenyataan di atas, tentu bagi umat Islam perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, Tulisan
ini mencoba membahas lebih lanjut gugatan faham feminisme terhadap institusi
rumah tangga dan bagaimana gugatan itu juga berujung pada menggugat Islam
sebagai agama yang sangat menganjurkan terbentuknya rumah tangga. Selain itu,
tentunya tulisan ini mencoba memaparkan letak kesalahan faham ini dengan
menjelaskan kritikan-kritikan atas tiap gugatan tersebut secara ringkas.
Rumah
Tangga dalam Pandangan Feminisme
Sebagai
gerakan yang melabeli dirinya “pembebas perempuan”, feminisme kini menyuarakan
penolakan atas pandangan umum bahwa rumah tangga merupakan sumber kebahagian
laki-laki dan perempuan yang terikat oleh hubungan sakral yang dibangun atas
cinta dan saling percaya. Simone de Beauvoir menyatakan bahwa ;
The first reason is that she must provide the society with
children; only rarely- as in sparta and to some extent under nazi regime- does
the state take women under direct guardianship and ask only that she be a
mother. But even the primitive societies that are not aware of the paternal
generative role demand that woman have a husband, for second reason why
marriage is enjoined is that woman’s function is to satisfy a male’s sexual
needs and to take care of his husband.[7]
Dua alasan tersebut, dapat disimpulkan dengan jelas, bahwa dalam
pandangan Simon, pernikahan yang membentuk keluarga hanyalah untuk memenuhi
kebutuhan seorang laki-laki (suami). Perempuan dalam pernikahan, hanya akan
menjadi ibu yang bertugas menjaga anaknya dan untuk menjadi pemuas seks suami
dan merawatnya.
pandangan seperti ini ternyata bukan hanya berangkat dari apa yang
diyakini oleh Simon De Beauvoir saja. Bahkan semua bentuk dan aliran feminis
menggugat institusi rumah tangga dengan alasan yang pada dasarnya tidak jauh
berbeda dari apa yang diungkapkan oleh Simon sebelumnya. Bagi pandangan
feminisme liberal, perempuan dan laki-laki secara ontologis memiliki hak yang
sama, namun terhalang karena wilayah domestik menempatkan perempuan harus
bergantung pada suami. Sehingga kesalahan fatal yang menghalangi hak perempuan
adalah adanya institusi keluarga.[8]
Adapun feminisme radikal lebih ekstrim dari itu. Aliran ini beranggapan bahwa
ketertindasan perempuan terjadi karena adanya interaksi dengan laki-laki hatta
interaksi seksual.[9]
Oleh karenanya, pernikahan yang mengharuskan keterikatan laki-laki dan
perempuan hanya akan semakin memperparah ketertindasan perempuan. Feminis
sosialis atau marxis juga menentang institusi rumah tangga, sebab bagi mereka
pembebasan perempuan harus dilakukan dengan melibatkan perempuan dalam sektor
industri. Hal yang selama ini menghalangi terwujudnya upaya tersebut adalah
domestikasi perempuan dalam institusi rumah tangga yang membatasi andil
perempuan hanya pada wilayah keluarga.[10]
Dengan demikian faham feminisme, dengan segala pecahan alirannya, sepakat bahwa
institusi rumah tangga merupakan penjara bagi kebebasan perempuan.
Islam, sebagai salah satu ajaran yang sangat menekankan terwujudnya
institusi rumah tangga juga tidak luput dari gugatan kaum feminis. Gugutan
mereka, secara sepihak dialamatkan kepada Islam berdasarkan tradisi-tradisi di
negara-negara mayoritas muslim yang, dalam hasil penelitian mereka sangat tidak
menghargai perempuan.[11] Ghada
Karmi, dalam Women Islam dan Patriarchalisme, merujuk pernyataan Fatima
Mernissi dan Nawal Sa’dawi untuk memprlihatkan fakta budaya dan tradisi Islam
yang sangat patriarkhis.[12] tidak
jauh berbeda, Anne Sofie Rolald juga meyakini bahwa terdapat hukum-hukum Islam
yang dilegitimasi oleh ayat al-Qur’an sarat dengan tindakan yang bernuansa diskriminatif
terdapat perempuan, seperti wajibnya hijab sebagai pemisahan sosial dan sahnya
poligami sebagai pelecehan seksual dan praktek pernikahan yang sangat bias
gender.[13].
Kritik
Terhadap Pandangan Feminisme Menurut Perspektif Islam
Untuk
Meninjau kembali gugatan feminisme terhadap institusi keluarga, –sebagaimana
yang telah dipaparkan sebelumnya- maka perlu dilihat dari bagaimana sebenarnya Barat
menempatkan perempuan. Hal ini karena, feminisme sendiri muncul
dilatarbelakangi oleh kondisi Barat abad pertengahan. Pada abad tersebut gereja
memegang kekuasan yang sentral. Namun kekuasaan tersebut, ternyata melahirkan
bentuk otoritas yang kejam bagi pihak yang dianggap menentang ajaran gereja.
Dengan adanya mahkamah inkuisisi, nasib masyarakat utamanya perempuan tidak
luput dari kekejian doktrin gereja yang sangat ekstrim.[14] Sejalan
dengan hal tersebut, dalam A History of western Society dinyatakan bahwa
sejak masa lahirnya tokoh semisal Plato, Aristoteles, diikuti St. Agustinus dan
Thomas Aquinas hingga John locke, Rousseau dan Nietzhce di awal abad Modern,
citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki.
Paderi-paderi gereja pun dengan tegasnya menuding perempuan sebagai pembawa
sial dan sumber malapetaka, biang keladi kejatuhan adam dari surga.[15]Lebih
spesifik lagi, adanya domestikasi perempuan dalam institusi rumah tangga, konon
dimulai sejak Socrates membuatkan istrinya xanthippe, sebuah rumah yang
bermakna sebagai lokus bagi wilayah operasional sang istri.[16]
Trauma
mendalam ini, jika dibawa pada nilai ajaran Islam tentu sangat tidak sesuai. Karena
terbukti Islam, saat masanya datang, telah merubah tradisi mendasar kaum Arab
yang sangat tidak menghargai perempuan menjadi tradisi yang menghargai hak-hak
perempuan. Seperti Islam menghapus pembunuhan perempuan. Aqiqah yang sebelumnya
adalah tradisi untuk kelahiran bayi laki-laki, juga diperuntukkan buat
perempuan. Pemberian hak memilih pasangan diserahkan pada perempuan. Begitu
juga mas kawin dan hak waris perempuan yang sebelum Islam datang, sama sekali
tidak diberikan.[17]
Berdasarkan ini, maka sangat tidak tepat jika gugatan feminisme ini diarahkan
pada Islam, karena semenjak dahulu Islam sudah menempatkan perempuan ditempat
yang adil.
Bahkan,
bagi Islam, penolakan feminisme terhadap institusi keluarga merupakan suatu hal
yang sangat tidak tepat. Anggapan feminis bahwa keluarga adalah tempat awal
diskriminasi perempuan adalah sebuah sikap yang tidak bijak. Karena pada
kenyataannya, tidak semua perempuan mengalami ketertindasan dalam rumah tangga
dan tidak semua rumah tangga menjadikan perempuan mengalami ketidak-adilan. Dalam Islam, konsep pernikahan tidak hanya
didasarkan pada seks semata. Sebab dengan menikah, akan melahirkan hubungan
manusia yang luas dan kompleks. Kewajiban untuk melahirkan keturunan,
mencintai, mendukung menghibur, menuntun, mendidik, menolong, menemani,
merupakan kewajiban tiap anggota keluarga dalam asas saling melengkapi
dilandasi dan diatur oleh aturan wahyu. Hal itu jelas terlihat dari kategori dzu
qurban atau perkerabatan sangat menonjol dalam al-Qur’an.[18]Untuk
itu, maka di dalam Islam, tidak dikenal istilah kesetaraan. Karena pada
dasarnya baik laki-laki dan perempuan memang berbeda; sama-sama memiliki
kelebihan dan kekurangan. Menurut Alexis Carrel, sebagaimana yang dikutip oleh
Quraish Shihab, bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan, tidak hanya pada
kelamin dan pendidikannya, tapi keseluruhan anggota badan dengan unsur-unsur
kimiawi dalam diri masing-masing. Setiap sel dari perempuan memiliki ciri khas,
yang dengan itu melahirkan sifat, sikap dan ciri khas keperempuanan.[19]Hal
ini menunjukkan, perbedaan peran yang ditetapkan Islam dalam rumah tangga
bukanlah diskriminasi atau segregasi. Ismail Raji al-Faruqi menyatakan bahwa
Kedua peran suami-istri sama-sama tunduk di bahwa norma dan nilai Islam. Jika
memang keadaan memaksa, aktivitas laki-laki dan perempuan boleh berpindah ke
kawasan satu sama lain tanpa disertai prasangka negatif pada apa-apa yang sudah
ditetapkan.[20]
Penjelasan
ini, tentunya memberikan gambaran secara umum bahwa, gugatan terhadap Islam
yang dimulai dari sikap skepetisisme atas institusi rumah tangga merupakan
sebuah kesalahan besar. Setidaknya, ada satu kesalahan besar dalam pandangan
feminisme atas Islam, yaitu salah melihat tradisi yang dianggapnya sebagai
bagian dari Islam. Sebagaimana yang telah dikutipkan dari ungkapan Ghada Karmi
dalam tulisannya, bahwa nilai-nilai Islam membentuk tradisi patriarki yang
sangat tidak menempatkan perempuan sebagaimana mestinya.[21]Di
sinilah letak kesalahan besar dari pandangan kaum feminis. Menjadikan tradisi
sebagai bukti bahwa Islam adalah sumber ketidak-adilan bagi perempuan adalah
hal yang tidak masuk akal. Karena tidak semua tradisi yang terjadi di
negara-negara Islam itu mencerminkan nilai-nilai Islam itu sendiri, bahkan
tidak jarang ada yang bertentangan.[22]
Banyak sekali contoh tradisi yang dianggap sebagai bagian dari Islam, padahal
senyatannya itu adalah praktek yang bersumber dari tradisi setempat, di
antaranya: Dalam setengah masyarakat benua di India, janda tidak dibenarkan
kawin lagi. Di Punjab dan Uttar Pradesh (India), perempuan Muslim tidak boleh
mewarisi harta. Sebahagian dari pada amalan adat lain yang menimbulkan
kekerasan terhadap perempuan adalah pembunuhan muruah (honour crimes) di timur
tengah., khitan anak perempuan yang melampau di negara Afrika seperti Sudan dan
Mesir.[23]
Tradisi-tradisi
yang diungkapkan di atas, tidak diragukan lagi, sangat jauh dari nilai-nilai keIslaman.
Sebab, dengan jelas dalam Islam, perempuan mendapatkan hak dan kebebasannya. [24]Melihat
adanya penilaian yang salah tersebut, sangat wajar ketika Nikki R. Kiddie menyatakan
bahwa kebanyakan pengkaji Barat yang tidak pakar dalam kajian kawasan
(terutamanya Asia Barat) akan menohok sisi negatif pola hubungan gender di
dunia Islam dan digambarkan perempuan Islam sebagai mangsa (victim) koleh
masyarakat lelaki.[25] Adanya
penilaian yang salah ini, Dengan demikian, menunjukkan bahwa ketidak-adilan
tersebut bukan bagian dari ajaran Islam. Sebalikanya, berasal dari tradisi masyrakat
setempat atau dari amalam menyimpang dari syariat Islam karena akulturasi
budaya setempat. Termasuk di dalamnya adalah konsep tradisi patriarkis yang
berlebihan[26]
dan kesalahan konsep institusi rumah tangga yang sangat jauh dari gambaran
ideal yang dirumuskan oleh Islam sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya.
Wallahu
a’lam bis-shawab
[1] Istilah
feminis berasal dari bahasa latin femina, perempuan. akar katanya fides
dan minus menjadi fe-minus yang berarti kurang iman. Hamid fahmi
Zarkakasyi, Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam. Dalam Jurnahl Islamia,
Vol.III, No.5, 2010, p.4. secara istilah bisa difahami sebagai sebuah keyakinan
bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena aspek gender dan jenis
kelaminnya. Untuk itu perlu ada upaya untuk menyamakan laki-laki dan perempuan
dalam segala bidang dengan menganalisa penyebab, pelaku dan penindasan
perempuan dan melakukan penyadaran dan pergerakan. Lihat oxford learner’s ocket
dictionary, new Edition. Oxford University Press. 1995. Bisa juga dilihat di
Maggie Human, ensiklopedia feminisme, judul asli dicionary of
feminist theories, terj Mundi Rahayu. (Yogyakarta: Fajar pustaka baru,
2007), p. 158
[2] Menurut
Siti Musdah Mulia, terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan ketidakadilan
gender khususnya terhadap perempuan. Pertama, dominasi budaya patriarki, kedua
interpretasi ajaran agama sangat didominasi pendangan yang bias gender dan bias
patriarki. Ketiga, hegemoni negara yang begitu dominan. Untuk itu perlu ada
counter idelolgy dan counter hegemony. Siti musdah muliah (2007), Islam dan
Inspirasi Kesetaraan gender. yogyakarta, Kibar Press,p. 58-59
[3] Mansour Fakih,
Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka pelajar,
2007)
[4] Hal ini
terbukti salah satunya dari perjuangan
mereka dalam membangun undang-undang yang berbasis gender, dimulai dari
mengatur rumah tangga. Contohnya: di Indonesia, diratifikasinya isi CEDAW
sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Kemudian Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak , dan mereka berupaya
melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Juga peraturan
pemerintah republik indonesia nomor 4 tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan
kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. IKAPI jakarta, Hak
Azasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta,
Pusat Kajian Wanita Gender Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia,
2007), p. 246-270 dan 271-286
[5] Memberikan
definisi baru dalam hal ini, adalah membangun rumah tangga berdasarkan sistem
matliniear. Para sejarawan feminis, sangat menaruh perhatian dan harapan besar
terwujudnya kembali keluarga yang berdasarkan sistem matrilinear ini, di mana
perempuan dengan bebas meninggalkan suami lain dan mencari pria lain. lihat
Maggie Human ensiklopedia feminisme...,, p. 5 dan 144
[6] Simone de
beauvoir, the second sex, (New york: library of congress cataloging in
publication data, 1953),p.425
[7] Ibid, p. 427
[8] Lihat Fakih Mansour,
membincang feminisme, diskursus gender perspektif Islam, (Surabaya:
risalah Gusti, 2000), p.39.
[9] Ratna
Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandanng baru tentang relasi Gender, (Bandung:
Mizan, 1999), p. 178
[10] Lihat yunahar
Ilyas, kesetaraan gender dalam al-Qur’an: Studi pemirikan para Mufassir,
(Yogyakarta: Labda Press, 2006), p.21.
[11]
Najlah naqiyyah, Otonomi Perempuan, (Malang: Bayumedia Pubhlising,
2005),p.88. lihat juga Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan.
Terj. Islam and liberation theology, penj. Agung Prihantoro.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 203. Syarif Hidayatullah juga
mengungkapkan bahwa Pada akhir kekhalifaan Abbasyiah yaitu pada pertengahan
abad ke-13 M, sistem harem telah tegak kokoh. Pada periode inilah, lahirnya
tafisr-tafsir klasik semisal tafsir athabari, tafsir ar-razi, tafsir ibnu
katsir dan lainnya. Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010),p.18
[12] Berikut
pernyataan Fatima Mernissi yang dikutip:
The
sexual umma is based on sexual segregation and the subordination of one
sex to the other. Women, members of the domestic universe, are subject to the
authory of men, members of the umma universe. Separation and subordination are
embodied in institutions wich enforce non-communication and non-interaction
Sementara,
pernyataan Nawal Sa’dawi, adalah:
Arab
men look upon their women as bodies which must remain forever youthful. The
value of women deteriorates with age. Attitudes towards the age of women, their
youth and their beauty, can be easly understood againts this background. Their
youth extends in fact over the years during which they are capable of giving
the husband sexual pleasure, bearing chlidren for him, and serving the family.
It usually extends from the beginning of buerty, that is from the first
menstrual period, until the menopause. In other wordsm it encompasses the whole
of her fertile age from roughly fifteen to forty-five years.
Dengan dua
pernyataan ini, ghada karmi ingin membuktikan bagaimana tradisi di wilayah
mayoritas muslim memang menempatkan perempuan sebagai bagian dalam memenuhi
kebutuhan laki-laki. Ghada karmi, women, Islam and Patriarchalisme,
dalam feminism and Islam legal and literary perspectives, disampaikan
untuk centre of Islamic and middle eastern law school of oriental and african
studies universty london, ITHACA press, 1997, p.69-70
[13] Anne Sofie
Roald (2001), Women in Islam: the Western Experience. London
Routledge,p.109-110
[14] Adian Husaini,
Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, (Gema Insani Press,
2004), p.158-159
[15] McKay, John P, Bennet
D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, Second
Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1983, hal. 437 s/d 541
[16] Lebihh jauh baca
Genevieve Lloyd, Reason, Science, and Domination Matter, dalam evelyn
Fox Keller and Hellen E. Longino (Eds.,) Feminism and Science (New York: Oxford University Press, 1996)
[17]
Musdah Mulia, Muslimah Sejati: Menempuh jalan Islam Meraih Ridha Ilahi, (Bandung,
MARJA, 2011),p.45-49
[18] haykal, the
Life of Muhammad, Farewell Pilgmare. Dalam Ismail Raji’ al-Faruqi, Tauhid,
(International Islamic federation of
student organsation: ABIM, t.t), p.486.
[19] Quraish
Shihab, konsep perempuan menurut Qur’an Hadis dan sumber-sumber ajaran Islam
(Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1991), p.26
[20] Ismail Raji’
al-Faruqi, Tauhid, International Islamic federation of student
organsation: ABIM, t.t), p.141
[21] Lihat kembali,
bagaimana ia mengutip perkataan Fatima Mernissi dan Nawal Sa’dawi yang
menggambarkan masyarakat Muslim Maroko dan Arab, dalam keseharian dan adatnya,
banyak melakukan tindak kekerasan dan pelecehan atas perempuan. ghada karmi, women,
Islam and Patriarchalisme, dalam feminism and Islam legal and literary
perspectives..., p. 69-70
[22] Mohd Anuar
Ramli mengatakan bahwa Dunia Islam mengalami enkulturassi dengan mengadopsi
budaya-bydaya androcentrism (berpusat kepentingan lelaki). Wilayah Islam
bertambah luas ke bekas wilayah jajahan parsi di timur, bekas jajahan rom
dengan pengaruh kebudayaan yunaninya di Barat, dan ke afrika, seperti mesir
denfan sisa-sisa kebudayaan mesir kuninya dibagian slatan. Pusat kebudayaan tua
tersebut menmperlalukan kaum perempuan sebagai the second sex. Mohd Anuar
Ramli, Bias Gender dalam Masyarakat Muslim: Antara Ajaran Islam dengan
tradisi Tempatan, Jurnal Fiqh, Academy of Islamic Studies, University
Malaya No. 7 (2010), p. 56
[23] Honor killing
in a cross-cultural context dalam uni wikan (2008), in honor of fadime: murder
and shame. (terj) anna paterson, edisi reviisi, chicahgo, illinois: university
of chicago press, p. 70; iftkhar haider malik (2005), culture and costums of
pakistan conneticut; greenwood press, p. 145 dan 149. Dikutip dari Mohd Anuar
Ramli, Bias Gender dalam Masyarakat Muslim: Antara Ajaran Islam dengan
tradisi Tempatan, Jurnal Fiqh, Academy of Islamic Studies, University
Malaya No. 7 (2010), p. 66
[24] Kaum perempuan
mendaptakan kebebasan hak hidup dan kesaksian, dalam hak penikahan, dari pada
mengalami pelecehan seksual tanpa batasan, kaum perempuan mendapatkan hak
kebebasan dan kemulian muruah al-Baqarah 2: 282, an-nisa: 3 lelaki dan
perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam aspek ibadah,
muamalah. Ibrahim Madkur, fi al-Fikr al-Islami, Kaherah: samirco lo
al-tiba’ah wa al-Nasyr, h. 163, Muhammad Qut, Syubhat Hawl al-Islam Kaherah:
Dar al-Syuruq, p. 114
[25] Nikkie R.
Keddie 2007, Women in then middle east: past and persent.New Jersey:
USA, Princeton universty press, h. 10