Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Homoseksualitas Dalam Islam (3); Perspektif Hukum Syariah

Homoseksualitas Dalam Islam (3); Perspektif Hukum Syariah

Written By apaaja on Sabtu, 30 Januari 2016 | 01.11.00

ingat kata Patrick
Dari perspektif lain, homoseksualitas menyalahi fitrah penciptaan tubuh manusia. Secara biologis manusia telah diciptakan saling berpasangan sebagai akomodasi dari kecendrungan untuk saling ketertarikan di antara laki-laki dan perempuan. Struktur tubuh perempuan telah dibuat untuk bisa mengandung dan melahirkan sedangkan laki-laki untuk membuahi perempuan. Al-Hasan al-Bashri, sebagaimana disebutkan oleh az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa kata mawaddah di dalam surah Rum ayat 21 --yang berbicara tentang pernikahan-- adalah kiasan bagi hubungan intim (jima’) sedangkan rahmah adalah kiasan untuk anak keturunan.[1] Olehnya, fitrah peciptaan syahwat yang disalurkan lewat lembaga pernikahan adalah memperoleh keturunan (prokreasi), selain tentu saja untuk berbagi rasa sayang dan cinta. Aktivitas seksaul prokreasi adalah sesuatu yang penting. Dengan memadukan analisa Ibnu Khaldun dan Giambattista Vico, sejarawan Italia Angelo Bertolo memperingatkan kolapsnya peradaban Barat akibat angka kelahiran yang semakin menurun.[2]
Keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi adalah bagian dari fitrah penciptannya. Sejak awal, manusia diberikan amanah untuk menjadi khalīfah di muka bumi.[3] Amanah ini menurut al-Attas bukan hanya berarti pengusaan atas bumi dalam konteks sosio-politik atau mengontrol alam melalui temuan sains, tapi lebih pada pertanggung jawaban untuk memeliharanya dengan jiwa (nafs) dan akal yang jernih.[4] Beban khalīfah juga termasuk beban memlihara dirinya sendiri. Untuk menajalankan amanah ini maka keberlangsungan hidup umat manusia adalah sebuah priorias penting yang dijaga oleh syariah. Para ulama telah merumuskan bahwa salah satu tujuan syariat (maqāṣid as-syarī’ah) adalah menjaga keberlangsungan garis keturunan manusia (hifẓ an-nasl). Selain itu, syariah juga bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa manusia (hifẓ an-nafs).[5] Olehnya perbuatan-perbuatan yang mengancam kedua hal tersebut menjadi tindakan-tindaklan terlarang di dalam syariat dan padanya dikenai hukuman. Al-Ghazāli menyebutkan homoseksual sebagai dosa yang diharamkan karena akan memutuskan keuturunan.[6] Selain itu, penemuan sains menunjukan gaya hidup homoseksual beresiko besar terinfeksi virus mematikan, AIDS. Dengan demikian, pada perbuatan ini syariat mengenakan hukuman-hukuman tertentu.
Dalam menjatuhkan hukuman, syariah hanya berkaitan dengan tindakan lahir dan tidak menyentuh keadaan batin manusia. Rasulullah sendiri menegaskan bahwa ia hanya memberikan hukuman bagi sesuatu yang zahir dan membiarkan Allah mengurusi batin manusia.[7]Dengan demikian, aspek homoseksualitas yang dikenai hukuman bila terbukti hanyalah dimensi perbuatannya saja yakni praktik hubungan seksual sejenis. Baik antara laki-laki maupun perempuan (lesbianisme). Homoseksualitas dalam pengertian orientasi seksual yang masih berupa kecendrungan dalam hati untuk menyukai sesama jenis tidak dikenai hukuman. Namun demikian, ia tetaplah syahwat terlarang yang harus dilawan,  tidak boleh dibiarkan atau dilampiaskan sebagaiman telah dijelaskan di sebelumnya. Hal ini juga menunjukan bahwa hukuman dikenakan kepada siapapun pelaku hubungan seksual sesama jenis (liwāţ atau siḥāq), termasuk laki-laki atau perempuan yang secara psikologis heteroseksual. Hukuman yang disebutkan di sini tidak termasuk anal seks yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan (liwāţ as-sugrā).
Di dalam hukum liwāţ dan siḥāq terdapat masalah-masalah yang telah disepakati ulama dan ada pula yang masih menjadi perbedaan pendapat. Para ulama telah sepakat terhadap keharaman perbuatan ini dan bahwa padanya harus dijatuhi hukuman. Dasar pengharamannya adalah ayat-ayat al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Mereka juga sepakat bahwa hukuman hanya bisa ditetapkan apabila terdapat saksi yang melihat langsung seperti pada ketentuan zina ;Imam  Ahmad, Imam Syafi’i dan Imam Malik menyatkan saksinya empat sedangkan Imam Abu Hanifah menetapkan dengan dua saksi[8] Hukuman juga bisa berlaku dengan pengakuan pelakunya. Di dalam liwāţ atau siḥāq juga berlaku hukuman qażf bagi mereka yang menuduh seseorang melakukan perbuatan tersebut tapi tidak bisa membutikannya.[9] Oleh karena itu, di dalam Islam tidak akan ditemukan tindakan diskriminatif terhadap orang-orang homosekesual hanya karena orientasi atau kecendrungan dalam diri mereka, tapi bila ia melakukan tindakan homoseksual maka ia wajib dikenai hukuman. Seseorang yang secara serampangan menuduh orang lain seorang pelaki praktik homoseksual tanpa bisa membuktikan diancam hukuman cambuk, sebagai realisasi pidana qażf.
Ulama berbeda pendapat dalam bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada pelakunya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman liwāţ adalah sama dengan hukuman  hadd bagi pezina, yakni rajam bagi pelaku muḥṣān (telah beristri) dan cambuk serta diasingkan bagi pelaku gair muḥṣān (belum beristri). Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman pelaku liwāţ hanyalah berupa ta’ẓir, dimana bentuk hukumannya diserahkan kepada penguasa atau hakim.[10] Adapun bentuk hukuman bagi pelaku lesbianisme atau sihāq adalah ta’zhir. Para ulama bersepakat bahwa pelaku lesbianisme atau sihāq tidak dikenai hukuman hādd seperti pada pelaku zina. Bagi mereka hanya dikenakan hukuman ta’zhir, yakni bentuk hukuman diserahkan kepada penguasa atau hakim. Hukuman yang diberikan hendaknya bisa bisa membuat jera.[11]
Dua pendapat ini masing-masing memiliki perincian. Meskipun Imam Abu Hanifah menetapkan hukuman ta’zhir kepada pelaku liwāţ, tapi muridnya yakni Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat seperti jumhur. Lebih jauh lagi, menurut mereka apabila pelaku liwāţ yang masih bujangan terus-menerus mengulangi perbuatannya meski telah dikenai hukuman cambuk maka orang tersebut boleh dijatuhi hukuman mati. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth keduanya dikenai hukuman rajam, baik yang melakukan penetrasi (al-fā’il) maupun pasangannya (al-maf’ūl). Syarat dijatuhkannya hukuman ini menurut mereka hanyalah sampainya umur balig (at-taklīf) tidak disyaratkan harus Islam. Sedangkan mazhab Syafi’iyah juga berpendapat sama, yakni pelaku maupun pasangannya sama-sama dibunuh berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas dimana Rasulullah memerintahkan untuk membunuh kedua pasangan yang didapati melakukan perbuatan liwāţ. Ulama Hanabilah sepakat dengan pendapat ini. Sebagian ulama Syafi’iyah memilih pendapat seperti Imam Abu Hanifah yakni dikenai hukuman ta’zhir kepada pelaku penetrasi (al-fā’il). Adapun pasangan yang padanya dilakukan penetrasi (al-maf’ūl) apabila ia masih anak-anak, atau dipaksa, atau orang gila maka ia tidak dikenai hukuman. Namun apabila ia sudah balig serta melakukannya dengan sukarela maka ia dikenai hukuman cambuk atau diasingkan, baik ia muhsan maupun gair muhsan.[12]     
Dari pemaparan di atas, dapat disimplukan bahwa semua ulama sepakat tentang keharaman tindakan homoseksualitas, baik liwāţ maupun sihāq. Mereka juga sepakat tentang keharusan menjatuhkan hukuman atas mereka. Perbedaan hanya pada takyīf atau tata cara hukuman yang dijatuhkan. Sebagian berpendapat harus diterapkan hukuman hādd zina dimana bentuk hukumnya sudah tetap ; rajam dan cambuk. Sedangkan ulama lainnnya berpendapat hukumannya berbentuk ta’hzir dimana bentuk hukumannya diserahkan kepada pemerintah. Untuk konteks Indonesia dimana hukum pidana Islam belum diterapkan, hukum ta’zhir lebih aplikatif yakni hukuman bagi pelaku homoseksualitas diserahkan kepada pemerintah melalui penetpan pereaturan tertentu.


[1] Ayat yang dimaksud adalah
 وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Lihat ; Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Ahmad az-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqaiq Ghawamid at-Tanzil, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Arabiy), vol. III. hal 473
[2] Angelo Bertolo, The Imminent Collapse of America and of the Whole Western Civilization, (Indiana : iUniverse, 2012), hal 166.
[3] QS. Al-Baqarah (2) : 30
[4]  Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena ... hal 145
[5] Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Garnathi as-Syathibi, al-Muwafaqat, (tt : Dar Ibn ‘Affan, 1997), vol. II. Hal 17 – 19.
[6]Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulim ad-Din, (Kairo : Lajnat Nashr al-Thaqafa al-Islamiyya, 1356 H), vol XI.  hal 2100
[7] Hadis yang dimaksud adalah hadis panjang yang didalamnya terdapat lafal  berbunyi ; إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أُنَقِّبَ عَنْ قُلُوب النَّاس وَلَا أَشُقَّ بُطُونَهُمْ. Hadis diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi dalam penjelasan ringkasnya tentang hadis ini mengikuti Imam Nawawi yang memaknai bahwa Nabi Muhammad hanya menghukumi zahirnya perlilaku, sedangkan rahasia hati diserahkan kepada Allah. Lihat Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar bi Naqli al-‘Adli ‘an al-‘Adli ila Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, (Beirut : Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, tt) vol. II, hal 742
[8] Al-Wazir Abu al-Muzaffar Yahya bin Muhammad bin Hubairah asy-Syaibani, Ikhtilaf al-Aimmati al-‘Ulama, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Imiyah, 2002), vol. II. hal  255 – 256
[9] Wizarah al-Awfaq wa Syuun al-Islami, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah...., vol. XXXV. hal 342
[10] Ibid. hal 340
[11] Abd ar-Rahman bin Muhammad ‘Aud al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), vol. V. hal 136
[12] Ibid, hal 339 – 342.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template