ingat kata Patrick |
Dari perspektif lain, homoseksualitas menyalahi fitrah penciptaan tubuh
manusia. Secara biologis manusia telah diciptakan saling berpasangan sebagai
akomodasi dari kecendrungan untuk saling ketertarikan di antara laki-laki dan
perempuan. Struktur tubuh perempuan telah dibuat untuk bisa mengandung dan
melahirkan sedangkan laki-laki untuk membuahi perempuan. Al-Hasan al-Bashri,
sebagaimana disebutkan oleh az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya, menyebutkan
bahwa kata mawaddah di dalam surah Rum ayat 21 --yang berbicara tentang
pernikahan-- adalah kiasan bagi hubungan intim (jima’) sedangkan rahmah
adalah kiasan untuk anak keturunan.[1]
Olehnya, fitrah peciptaan syahwat yang disalurkan lewat lembaga pernikahan
adalah memperoleh keturunan (prokreasi), selain tentu saja untuk berbagi rasa
sayang dan cinta. Aktivitas seksaul prokreasi adalah sesuatu yang penting.
Dengan memadukan analisa Ibnu Khaldun dan Giambattista Vico, sejarawan Italia
Angelo Bertolo memperingatkan kolapsnya peradaban Barat
akibat angka kelahiran yang semakin menurun.[2]
Keberlangsungan hidup umat manusia di muka
bumi adalah bagian dari fitrah penciptannya. Sejak awal, manusia diberikan
amanah untuk menjadi khalīfah di muka bumi.[3] Amanah ini menurut al-Attas bukan
hanya berarti pengusaan atas bumi dalam konteks sosio-politik atau mengontrol
alam melalui temuan sains, tapi lebih pada pertanggung jawaban untuk
memeliharanya dengan jiwa (nafs) dan akal yang jernih.[4] Beban khalīfah juga termasuk beban memlihara dirinya sendiri. Untuk
menajalankan amanah ini maka keberlangsungan hidup umat manusia adalah sebuah
priorias penting yang dijaga oleh syariah. Para ulama telah merumuskan bahwa
salah satu tujuan syariat (maqāṣid as-syarī’ah) adalah menjaga keberlangsungan garis keturunan
manusia (hifẓ an-nasl). Selain itu, syariah juga bertujuan untuk
menjaga keselamatan jiwa manusia (hifẓ an-nafs).[5] Olehnya perbuatan-perbuatan yang
mengancam kedua hal tersebut menjadi tindakan-tindaklan terlarang di dalam
syariat dan padanya dikenai hukuman. Al-Ghazāli menyebutkan homoseksual sebagai
dosa yang diharamkan karena akan memutuskan keuturunan.[6] Selain itu, penemuan sains
menunjukan gaya hidup homoseksual beresiko besar terinfeksi virus mematikan,
AIDS. Dengan demikian, pada perbuatan ini syariat mengenakan hukuman-hukuman
tertentu.
Dalam menjatuhkan hukuman, syariah hanya berkaitan dengan tindakan lahir
dan tidak menyentuh keadaan batin manusia. Rasulullah sendiri menegaskan bahwa
ia hanya memberikan hukuman bagi sesuatu yang zahir dan membiarkan Allah
mengurusi batin manusia.[7]Dengan
demikian, aspek homoseksualitas yang dikenai hukuman bila terbukti hanyalah
dimensi perbuatannya saja yakni praktik hubungan seksual sejenis. Baik antara
laki-laki maupun perempuan (lesbianisme). Homoseksualitas dalam pengertian
orientasi seksual yang masih berupa kecendrungan dalam hati untuk menyukai
sesama jenis tidak dikenai hukuman. Namun demikian, ia tetaplah syahwat
terlarang yang harus dilawan, tidak
boleh dibiarkan atau dilampiaskan sebagaiman telah dijelaskan di sebelumnya.
Hal ini juga menunjukan bahwa hukuman dikenakan kepada siapapun pelaku hubungan
seksual sesama jenis (liwāţ atau siḥāq), termasuk laki-laki atau
perempuan yang secara psikologis heteroseksual. Hukuman yang disebutkan di sini
tidak termasuk anal seks yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan (liwāţ
as-sugrā).
Di dalam hukum liwāţ dan siḥāq terdapat masalah-masalah yang
telah disepakati ulama dan ada pula yang masih menjadi perbedaan pendapat. Para
ulama telah sepakat terhadap keharaman perbuatan ini dan bahwa padanya harus
dijatuhi hukuman. Dasar pengharamannya adalah ayat-ayat al-Qur’an, hadis, dan
ijma’. Mereka juga sepakat bahwa hukuman hanya bisa ditetapkan apabila terdapat
saksi yang melihat langsung seperti pada ketentuan zina ;Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan Imam Malik menyatkan
saksinya empat sedangkan Imam Abu Hanifah menetapkan dengan dua saksi[8]
Hukuman juga bisa berlaku dengan pengakuan pelakunya. Di dalam liwāţ atau
siḥāq juga berlaku hukuman qażf bagi
mereka yang menuduh seseorang melakukan perbuatan tersebut tapi tidak bisa
membutikannya.[9]
Oleh karena itu, di dalam Islam tidak akan ditemukan tindakan diskriminatif
terhadap orang-orang homosekesual hanya karena orientasi atau kecendrungan
dalam diri mereka, tapi bila ia melakukan tindakan homoseksual maka ia wajib
dikenai hukuman. Seseorang yang secara serampangan menuduh orang lain seorang
pelaki praktik homoseksual tanpa bisa membuktikan diancam hukuman cambuk,
sebagai realisasi pidana qażf.
Ulama berbeda pendapat dalam bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada
pelakunya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman liwāţ adalah sama
dengan hukuman hadd bagi pezina,
yakni rajam bagi pelaku muḥṣān (telah beristri) dan cambuk
serta diasingkan bagi pelaku gair muḥṣān (belum beristri). Sedangkan
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman pelaku liwāţ hanyalah berupa ta’ẓir,
dimana bentuk hukumannya diserahkan kepada penguasa atau hakim.[10]
Adapun bentuk hukuman bagi pelaku lesbianisme atau sihāq adalah ta’zhir.
Para ulama bersepakat bahwa pelaku lesbianisme atau sihāq tidak
dikenai hukuman hādd seperti pada pelaku zina. Bagi mereka hanya
dikenakan hukuman ta’zhir, yakni bentuk hukuman diserahkan kepada
penguasa atau hakim. Hukuman yang diberikan hendaknya bisa bisa membuat jera.[11]
Dua pendapat ini masing-masing memiliki perincian. Meskipun Imam Abu
Hanifah menetapkan hukuman ta’zhir kepada pelaku liwāţ, tapi
muridnya yakni Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat seperti jumhur. Lebih jauh
lagi, menurut mereka apabila pelaku liwāţ yang masih bujangan
terus-menerus mengulangi perbuatannya meski telah dikenai hukuman cambuk maka
orang tersebut boleh dijatuhi hukuman mati. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
barang siapa yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth keduanya dikenai hukuman
rajam, baik yang melakukan penetrasi (al-fā’il) maupun pasangannya (al-maf’ūl).
Syarat dijatuhkannya hukuman ini menurut mereka hanyalah sampainya umur balig (at-taklīf)
tidak disyaratkan harus Islam. Sedangkan mazhab Syafi’iyah juga berpendapat
sama, yakni pelaku maupun pasangannya sama-sama dibunuh berdasarkan hadis dari
Ibnu Abbas dimana Rasulullah memerintahkan untuk membunuh kedua pasangan yang
didapati melakukan perbuatan liwāţ. Ulama Hanabilah sepakat dengan
pendapat ini. Sebagian ulama Syafi’iyah memilih pendapat seperti Imam Abu
Hanifah yakni dikenai hukuman ta’zhir kepada pelaku penetrasi (al-fā’il).
Adapun pasangan yang padanya dilakukan penetrasi (al-maf’ūl) apabila ia
masih anak-anak, atau dipaksa, atau orang gila maka ia tidak dikenai hukuman.
Namun apabila ia sudah balig serta melakukannya dengan sukarela maka ia dikenai
hukuman cambuk atau diasingkan, baik ia muhsan maupun gair muhsan.[12]
Dari pemaparan di atas, dapat disimplukan bahwa semua ulama sepakat tentang
keharaman tindakan homoseksualitas, baik liwāţ maupun sihāq. Mereka
juga sepakat tentang keharusan menjatuhkan hukuman atas mereka. Perbedaan hanya
pada takyīf atau tata cara hukuman yang dijatuhkan. Sebagian berpendapat
harus diterapkan hukuman hādd zina dimana bentuk hukumnya sudah tetap ;
rajam dan cambuk. Sedangkan ulama lainnnya berpendapat hukumannya berbentuk ta’hzir
dimana bentuk hukumannya diserahkan kepada pemerintah. Untuk konteks
Indonesia dimana hukum pidana Islam belum diterapkan, hukum ta’zhir
lebih aplikatif yakni hukuman bagi pelaku homoseksualitas diserahkan kepada
pemerintah melalui penetpan pereaturan tertentu.
[1] Ayat yang
dimaksud adalah
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً
وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Lihat ; Abu
al-Qasim Mahmud bin Umar bin Ahmad az-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqaiq
Ghawamid at-Tanzil, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Arabiy), vol. III. hal 473
[2] Angelo
Bertolo, The Imminent Collapse of America and of the Whole Western
Civilization, (Indiana : iUniverse, 2012), hal 166.
[3] QS.
Al-Baqarah (2) : 30
[4] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena
... hal 145
[5] Ibrahim bin
Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Garnathi as-Syathibi, al-Muwafaqat, (tt :
Dar Ibn ‘Affan, 1997), vol. II. Hal 17 – 19.
[6]Muhammad bin
Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulim ad-Din, (Kairo : Lajnat Nashr
al-Thaqafa al-Islamiyya, 1356 H), vol XI.
hal 2100
[7] Hadis yang
dimaksud adalah hadis panjang yang didalamnya terdapat lafal berbunyi ; إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أُنَقِّبَ
عَنْ قُلُوب النَّاس وَلَا أَشُقَّ بُطُونَهُمْ.
Hadis diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi dalam
penjelasan ringkasnya tentang hadis ini mengikuti Imam Nawawi yang memaknai bahwa
Nabi Muhammad hanya menghukumi zahirnya perlilaku, sedangkan rahasia hati
diserahkan kepada Allah. Lihat Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi
an-Naisaburi, al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar bi Naqli al-‘Adli ‘an al-‘Adli
ila Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, (Beirut : Dar Ihya at-Turats
al-‘Arabi, tt) vol. II, hal 742
[8] Al-Wazir Abu
al-Muzaffar Yahya bin Muhammad bin Hubairah asy-Syaibani, Ikhtilaf
al-Aimmati al-‘Ulama, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Imiyah, 2002), vol. II.
hal 255 – 256
[9] Wizarah
al-Awfaq wa Syuun al-Islami, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah....,
vol. XXXV. hal 342
[10] Ibid.
hal 340
[11] Abd ar-Rahman
bin Muhammad ‘Aud al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut
: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), vol. V. hal 136
[12] Ibid, hal
339 – 342.