Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Melawan Eksploitasi Tubuh Perempuan ; Antara Feminisme Barat dan Islam (1)

Melawan Eksploitasi Tubuh Perempuan ; Antara Feminisme Barat dan Islam (1)

Written By apaaja on Rabu, 10 Februari 2016 | 23.01.00

بِسْÙ…ِ اللَّÙ‡ِ الرَّØ­ْÙ…َÙ†ِ الرَّØ­ِيمِ


ironi feminisme
Makalah ini akan mendiskusikan salah satu tema besar dalam pergerakan dan pemikiran feminism Barat, yakni persoalan eksploitasi terhadap tubuh perempuan Bagaimana pun feminism modern lahir dalam konteks peradaban Barat, olehnya Pembahasan dimulai dari tinjauan terhadap cara Barat memperlakukan perempuan, kemudian usaha feminisme dalam merombak masyarakat tersebut. Selanjutnya akan ditunjukan titik fatal yang membuat feminisme terjebak pada pola yang sama dengan masyarakat yang mereka lawan. Berikutnya, dipaparkan cara Islam yang unik dalam melihat persoalan ini. 



Pembukaan
Bagi kaum feminis, tubuh adalah aset terbesar perempuan dan selalu menjadi sasaran penindasan ; objektifikasi, eksploitasi, segregasi, pembentukan citra ideal dan sederet dosa-dosa patriarkis yang lain. Olehnya, mereka beranggapan kontrol penuh atas tubuh mereka adalah bentuk kebebasan yang perlu dicapai. Dari sinilah lahir slogan my body is my right yang menjadi salah satu slogan kampanye feminis.[1] Bentuk paling ekstrimnya bisa dilihat pada aksi nudis kelompok feminis ektrim Femen. Dengan menanggalkan pakaian dan menentang semua norma, gadis-gadis Femen beranggapan telah meruntuhkan alat kotrol musuh mereka. Pakaian adalah simbol fashion, alat perusahaan mengeksploitasi tubuh perempuan demi meraih keuntungan. Sedangkan norma terutama norma agama adalah konstruk masyarakat patriarkis untuk membatasi ruang gerak perempuan.
Fenomena di atas adalah gambaran kebingungan yang tragis dalam masyarakat Barat ketika mencari format terbaik dalam menghadapi eksploitasi tubuh perempuan. Islam menawarkan solusinya sendiri yang berangkat dari ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah serta telah dipraktikan dalam sejarah. Makalah ini akan mendiskusikan tentang solusi tersebut. Pembahasan dimulai dari tinjauan singkat terhadap cara Barat memperlakukan perempuan, kemudian usaha feminisme dalam merombak masyarakat tersebut. Feminisme yang dimaksud dalam makalah ini adalah gerakan perempuan yang mendapatkan momentum kelahirannya dari pemikiran Mary Wollstonecratf pada abad ke-18 di Eropa dimana kemunculannya sangat kental dengan konteks peradaban Barat. Selanjutnya, akan ditunjukan titik fatal yang membuat feminisme terjebak pada pola yang sama dengan masyarakat yang mereka lawan. Berikutnya, dipaparkan cara Islam yang unik dalam melihat persoalan ini.  

Perempuan di Barat ; Keterjebakan Pada Tubuh
Di dalam sejarah peradaban Barat, perempuan telah menjadi korban dari persekusi yang berlarut-larut. Pandangan rendah terhadap perempuan bisa ditarik hingga masa Yunai yang sering diagung-agungkan sebagai akar kebudayaan Barat. Aristoteles, filsuf agung Athena itu, berkata bahwa perempuan adalah “pria yang belum lengkap”.[2] Ketika peradaban Barat diambil alih oleh Kekristenan setelah masa Konstantin Agung, nasib perempuan tidak banyak berubah. Pada masa dark age, Gereja menguasai seluruh lini kehidupan di Barat dan membentuk cara mereka melihat dunia.[3] Pandangan petinggi gereja yang sangat negatif terhadap perempuan otomatis mempengaruhi cara masyarakat Barat dalam memperlakukan perempuan.[4]
Sejarah mencatat berbagai pernyataan dan sikap orang-orang Gereja berpengaruh yang sangat merendahkan perempuan. St. John Chrysostom (345 M – 407 M) menegaskan bahwa perempuan adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketidak beruntungan yang cantik.[5]Ketika Thomas Aquinas merumuskan teologi Kristen alam Summa Theologia, ia masih mempertahankan pandangan misogenis tersebut. Aquinas mengungkapkan lagi pendapat Aristoteles bahwa perempuan adalah bentuk tidak sempurna dari laki-laki (defect male). Immanuel Kant pun memiliki pendapat buruk tentang perempuan. Baginya, perempuan hanya tertarik pada kecantikan, keanggunan, dan sejenisnya, mereka tidak memiliki kemampuan kognitif yang memadai.[6] Tertulian, Bapak Gereja, yang lain mengatakan bahwa semua perempuan adalah perempuan adalah pintu gerbang iblis,  sumber godaan, melanggar  pohon  terlarang, orang pertama yang mendustai hukum Tuhan,  berani menggoda Adam  yang  Iblis pun tidak berani melakukannya,  merusak  imej Tuhan,  dan penyebab  kematian  Anak  Allah (Yesus) untuk menebus dosa manusia.[7]
Pandangan hina terhadap perempuan ini kemudian menjadi landasan dari pesekusi yang bisa terjadi melalui berbagai praktik. Pada masa ini perempuan mengalami penyiksaan yang dahsyat oleh gereja dengan institusi Inquisisi. Kedudukan perempuan yang rendah di mata Gereja membaut mereka gampang dituduh terlibat di dalam praktik heresy, atau perbuatan bidah melawan ortodoksi Gereja. Selain itu, peremuan juga kerap dihukum bakar hidup-hidup sebab dituduh sebagai penyihir. Praktek witch-hunt yang pernah dilakukan di daratan Eropa pada masa abab pertengahan ini merupakan salah satu bentuk penindasan perempuan yang paling kejam. Elspeth Whithney dalam penelitiannya tentang peristiwa ini mengungkapkan bahwa faktor gender sangat dominan di dalam praktek perburuan penyihir tersebut. Kebanyakan korban merupakan perempuan.[8]
Ketika akhirnya Eropa memasuki masa pencerahan, perempuan pun menemukan celah untuk memperbaiki nasib mereka. Gerakan yang timbul dari kesemaptan ini lambat laun berkembang menjadi feminisme. Olehnya, feminisme adalah reaksi dari sikap masyarakat patriarkis di Barat pada masa lalu yang menindas dan merendahkan perempuan.[9] Pelopor dari feminisme modern yang juga disebut feminisme gelombang pertama adalah Mary Wollstonecratf yang pada tahun 1792 menulis sebuah buku berjudul Vindication Right of Women. Bersama dengannya ada pula tokoh seperti Eilizabenth Cady Stanton dan Sejeourner Truth. Tujuan feminisme gelombang pertama adalah mendapatkan hak-hak politik dan kesempatan ekonimi yang setara dengan laki-laki. Berikutnya muncul feminisme gelombang kedua 1949 dengan terbitnya buku Simone de Beauvoir yang berjudul The Second Sex. Tuntutan feminisme gelombang kedua ini lebih jauh lagi seperti gugatan atas insitusi rumah tangga, seksualitas dan lainnya. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang menekankan pada women’s diversity sehingga aspirasi wanita kulit berwarna juga harus didengarkan.[10]  Karakterisitik kebudayaan Barat yang efer shifting tanpa ada pegangan yang pasti membuat mereka selalu berubah dalam menilai segala sesuatu[11]. Krakterisitik ini juga berlaku dalam cara mereka memperlakukan perempuan. Ketika masyarakat Barat mengalami perubahan dari suatu peradaban yang dikontrol gereja menjadi masyarakat liberal, maka cara mereka memperlakukan perempuan pun berubah. Pandangan dunia liberal menghasilkan gerakan feminisme liberal marxis-sosialis. Begitu juga ketika posmodernisme berkembang di Barat, gerakan perempuan di sana menjadi bercorak posmodernis dan melahirkan feminisme posmodernis.[12] Setiap gelombang gerakan tersebut menekankan tujuan perjuangan mereka pada hal-hal yang berbeda tergantung cara mereka melihat perempuan.
Apabila dicermati, setiap cara pandang di atas selalu melihat perempuan dengan penekanan pada tubuh mereka. Aristoteles menilai rendah perempuan sebab menurut pengamatannya, perempuan adalah lebih lemah secara fisik, pasif dan bagaikan kebuh yang siap ditanami para pria. Tokoh-tokoh Gereja yang berangkat dari  doktrin original sin yang melimpahkan kesalahan kepada Eva melihat kutukan kepada perempuan termanifestasi dalam bentuk kehamilan yang menyakitkan. Ketika terbebas dari kekuasaan penuh Gereja pun, masyarakat Barat masih terus menilai perempuan berdasarkan tubuhnya. Akibatnya munculah objektifikasi dan idealisasi tubuh perempuan dimana masyarakat memberikan standar-standar tertentu yang harus dipenuhi oleh tubuh perempuan, para perempuan pun terpaksa mengikutinya sehingga terkadang menghasilkan ketegangan mental.[13]
Objektivikasi juga menggambarkan bagaimana tubuh perempuan direpresentasikan secara negatif sebagai objek dari pandangan laki-laki dalam konvensi-konvensi visual baik seni adiluhung maupun budaya populer.[14] Idealisasi di dalam seni adiluhung tampak pada tradisi The Old Master seniman-seniman ternama seperti Raphael, Da Vinci dan lainnya yang menggambarkan tubuh peremuan dengan bentuk tertentu, bentuk-bentuk tersebutlah yang disebut “cantik” atau “indah”.  Sedangkan pada budaya populer tampak jelas pada iklan-iklan kosmetik atau pencitraan tokoh cantik di dalam film dan sinetron.
Objektivikasi dan idealisasi tubuh perempuan menjadi semakin buruk bila ia bertemu dengan kerakusan kapitalisme. Pertemuan ini menghasilkan penindasan terhadap perempuan yang lebih kejam bernama eksploitasi. Isitilah ini adalah nomenklatur kunci dalam teori Marxian yang kemudian diterima secara umum dalam kajian sosial, termasuk dalam narasi feminis. Secara ringkas, eksploitasi dapat dimaknai sebagai hubungan transaksional dua entitas yang tidak adil. Letak ketidak adilan itu bisa dilihat ketika salah satu pihak terus tumbuh berkembang disebabkan hubugan tersebut sedangkan pihak lainnya justru stagnan dalam penderitaan.[15] Dalam konteks tubuh perempuan, industri membuat hubungan transaksional dengan perempuan dan memanfaatkan tubuhnya untuk berkembang tetapi pada saat yang sama perempuan dibiarkan tetap stagnan bahkan menderita. Eksploitasi tetap ada sebab masyarakat tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk keluar dari belenggu pesona tubuhnya sendiri. Pesona tersebut menjadi satu-satunya nilai jualnya sebab hanya pesona tubuhlah yang dianggap berharga darinya. Lingkaran ini terus berlanjut sebab pihak-pihak pengeksploitasi, bisa terus meraih keuntungan dari tubuh perempuan.
 Respon feminisme terhadap objektifikikasi, idealisasi, dan eksploitasi pun justru berangkat dari titik pandang yang sama ; yakni tubuh perempuan. Feminisme gelombang kedua pada tahun 1970-an menitik beratkan wacana mereka salah satunya pada perlawanan terhadap objektifikasi. Perlawanan tersebut terepresentasikan dalam bentuk penolakan atas fesyen dan acara yang mengangungkan tubuh perempuan seperti pemilihan ratu kecantikan. Mereka hendak “mencemarkan” citra ideal yang dibentuk oleh masyarakat patrirkis atau industri terhadap tubuh perempuan.[16] “Pencemaran” tersebut bermakna bahwa para feminis membuat representasi lain tentang tubuh perempuan yang berlawanan dengan idealisasi yang ada. Feminis menolak keras tubuh yang diidealkan di dalam fesyen ala industri sembari membentuk fesyen mereka sendiri dalam bentuk potongan rambut pendek, setelan laki-laki, dan telinga yang tertindik. Ironis memang, sebab protes tersebut malah membuat mereka semakin tenggelam menjadi male clone, (tiruan laki-laki) yang justru menegaskan kualitas maskulin sebagai parameter keunggulan.[17]
Keterjebakan ini terus berlanjut seiring berkembangnya teori feminis dalam portes mereka terhadap masyarakat. Ketika feminis hendak melawan idealisasi tubuh perempuan di dalam budaya adiluhung yang diwakili Old Master. Para seniman old master membuat karya seni berupa tubuh telanjang perempuan. Tubuh-tubuh tersebut diproyeksikan menjadi bentuk ideal perempuan. Pelukis kontemporer, Monet, melalui karyanya telanjangnya Olympia berusaha “merusak” citra ideal tersebut melalui realisme lukisannya yang menunjukan sang perempuan memandang dengan tatapan sombong dan skeptik.[18] Aliran feminis dari gelombang kedua hingga feminisme posmodern bahkan pejuang postfeminisme terus bertarung di arena tubuh perempuan. Fiona Carson ketika membahas persoalan tubuh dan feminisme menyatakan ;
Kritik feminis telah berkembang serlama tiga puluh tahun terakhir sebagai sebuah pengemimbang dari proses konstan atas objektivikasi dan idealisasi yang dibangun oleh industri dan media, yang melalui proses-proses internalisasi telah menjadi sensor kultural di dalamnya. Seiring berjalannya waktu semakin beragam pula saura kritikan yang mencerminkan perbedaan-perbedaan sudut pandang dalam feminisme.[19]

Dus, feminisme melawan idealisasi tubuh dengan menciptakan bentuk tubuh yang mereka anggap melawan citra ideal. Sama seperti masyarakat yang hendak mereka lawan, feminisme juga terjebak pada penilaian utama dan ultima terhadap tubuh. Penilaian yang berbasis tubuh telah menjadi sumber penderitaan perempuan di Barat dan masyarakat lain yang telah terbaratkan. Naomi Wolf menegaskan bahwa bahkan setelah perempuan mendapatkan kebebasan seperti yang dituntut gerakan feminisme tahun 1970-an,  perempuan masih terus menghadapi rintangan yang lebih mengerikan. Rintangan tersebut berupa citra-citra kecantikan yang lebih kejam dan berat yang hadir untuk diikuti.[20] Ketika feminis hendak melawan citra tersebut, mereka justru menghadirkan citra lainnya yang secara tidak langsung adalah bentuk dikte sendiri untuk menunjukan tubuh perempuan yang seharusnya.
Keterjebakan gerakan feminis seperti di atas bisa dibaca sebagai bentuk keterkungkungan mereka di dalam worldview Barat yang menjadi tempat kelahirannya. Meskipun hadir sebagai protes atas nasib buruk perempuan di barat pada masa lalu dan perjuangan atas hak mereka pada masa kini, feminisme tetap berada di dalam kerangkeng worldview peradaban tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Attas, Alparslan atau Ninian Smart, sebuah gerakan sosial dan intelektual akan selalu bersumber dari suatu worldview tertentu.[21] Ciri utama pandangna dunia Barat adalah sekularistik, oleh karena itu mereka tidak pernah melihat dunia ini lebih dari sekedar benda fisik tanpa memiliki nilai metafisik. Konsekuensi selanjutnya adalah penilaian materialistik terhadap segala sesuatu, termasuk perempuan. Maka perempuan akan dinilai berdasarkan tubuhnya semata, sebab tubuhlah yang menjadi bentuk di sini dan kini (seaculum) dari seorang perempuan. Baik dan buruknya perempuan akan terbatas pada diskursus tubuh, sebab sistem nilai dalam worldview sekular telah menjadi relativ[22]. Satu-satunya yang tetap dan bisa dijadikan landasan penilaian adalah tubuh material perempuan.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa akar dari objektvikasi, idealisasi dan berakhir pada eksploitasi yang kejam adalah bentuk penilaian yang terjebak pada tubuh. Gerakan feminisme yang melawan justru terjebak pada perangkap yang sama. Sebabnya karena feminsme, seperti semua bentuk penindasan yang hendak mereka lawan, adalah sama-sama produk dari worldview Barat. Islam yang memiliki wordview-nya sendiri yang berasal wahyu tentu memiliki pandangan dan solusinya sendiri. Berikutnya akan ditunjukan bagaiamana solusi Islam dalam melakukan liberasi terhadap perempuan baik secara historis maupun normatif.  Pembahasan berikutnya dilanjutkan dengan gejala mutakhir dimana ajaran Islam yang liberatif justru menunjukan tanda-tanda eksploitatf disebabkan infiltrasi worldview Barat ke dalam benak kolektif kaum muslimin.


*Penulis adalah alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah. Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal MUWAZAH, Vol. 7 Nomor 1, Juni 2015. Hal 16 - 26
[1] Kampanye PES Woman’s Campaign yang digalakan pada tahun 2010 misalnya menggunakan slogan ini., lihat situs mereka http://www.pes.eu/my_body.  Amnesti internasional juga menggunakan slogan yang sama bisa dilihat di situs resmi mereka https://campaigns.amnesty.org/campaigns/my-body-my-rights.
[2] Jostein Gardner, Dunia Sophie, (Bandung : Mizan, 2013),p 193
[3] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat ; Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), p 33.
[4]Hamid Fahmi Zarkasyi, "Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam," dalam Hendri Salahuddin, ed., Indahnya Keserasian Gender dalam Islam (Jakarta : KMKI, 2012),p xx
[5] Dinar Dewi Kania “Isu Gender; Sejarah dan Perkembangannya” Islamia, vol. 3 no. 5 (2010), p. 28
[6] Ibid, p 28
[7] Hendri Salahuddin, “Konsep Gender, Agama dan Budaya”, ( Makalah disampaikan dalam acara “Gender Summit” di Smesco Exhibition & Convention Hall Jakarta, pada 27 Juni 2012) , p 7.
[8] Elspeth.Whithney "The Witch" She"/The Historian" He": Gender And The Historiography Of The European Witch-Hunts." Journal of women's history 7.3 (1995)p  77.
[9] Dinar Dewi Kania “Isu Gender; Sejarah dan Perkembangannya” Islamia, vol. 3 no. 5 (2010), p. 29
[10] Ibid, p 31 – 33.
[11] Syed Muhammmad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulersime, (Bandung : PIMPIN, 2011), p 5
[12] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat ; Refleksi Tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi, (Jakarta : INSISTS, 2012), p 265.
[13] Barbara L. Fredrickson,, And TomiAnn Roberts. "Objectification Theory."Psychology Of Women Quarterly 21.2 (1997): 173
[14] Sarah Gamble, Feminisme dan Postfeminisme, (Yogyakarta : Jalasutra, 2010)p 148
[15] Brigitta Benzing et al, Exploitation and Overexploitation in Societies Past and Present, (Munster : LIT Verlag, 2003) hal 21
[16] Sarah Gamble, Feminisme dan Postfeminisme...p 148
[17] Ratna Megawangi, “Sekapur Sirih”, dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam ; Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung : Mizan, 1999),p 8.
[18] Sarah Gamble, Feminisme dan Postfeminisme...p 152.
[19] Ibid, p 161
[20] Naomi Wolf, The Beauty Myth How Images of Beauty Are Used Against Women, (New York : Harper Collins Perrenial, 2002)p 10
[21] Hamid Fahmi Zarkasyi, “Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam”, Islamia, vol. 3 no. 5 (2010), p. 4
[22] Ciri  worldview sekuler ini adalah bentuk dari pandangan Weber, untuk lebih lengkap serta kritik Islam terhadapnya, lihat  Syed Muhammmad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulersime, (Bandung : PIMPIN, 2011), p 18 – 40.
 
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template