بِسْÙ…ِ اللَّÙ‡ِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِيمِ
Makalah ini akan mendiskusikan salah satu tema besar dalam pergerakan dan
pemikiran feminism Barat, yakni persoalan eksploitasi terhadap tubuh perempuan
Bagaimana pun feminism modern lahir dalam konteks peradaban Barat, olehnya Pembahasan
dimulai dari tinjauan terhadap cara Barat memperlakukan perempuan, kemudian
usaha feminisme dalam merombak masyarakat tersebut. Selanjutnya akan ditunjukan
titik fatal yang membuat feminisme terjebak pada pola yang sama dengan
masyarakat yang mereka lawan. Berikutnya, dipaparkan cara Islam yang unik dalam melihat
persoalan ini.
Pembukaan
Bagi kaum
feminis, tubuh adalah aset terbesar perempuan dan selalu menjadi sasaran
penindasan ; objektifikasi, eksploitasi, segregasi, pembentukan citra ideal dan
sederet dosa-dosa patriarkis yang lain. Olehnya, mereka beranggapan kontrol
penuh atas tubuh mereka adalah bentuk kebebasan yang perlu dicapai. Dari
sinilah lahir slogan my body is my right yang menjadi salah satu slogan
kampanye feminis.[1]
Bentuk paling ekstrimnya bisa dilihat pada aksi nudis kelompok feminis ektrim
Femen. Dengan menanggalkan pakaian dan menentang semua norma, gadis-gadis Femen
beranggapan telah meruntuhkan alat kotrol musuh mereka. Pakaian adalah simbol
fashion, alat perusahaan mengeksploitasi tubuh perempuan demi meraih
keuntungan. Sedangkan norma terutama norma agama adalah konstruk masyarakat
patriarkis untuk membatasi ruang gerak perempuan.
Fenomena di
atas adalah gambaran kebingungan yang tragis dalam masyarakat Barat ketika
mencari format terbaik dalam menghadapi eksploitasi tubuh perempuan. Islam menawarkan
solusinya sendiri yang berangkat dari ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah serta
telah dipraktikan dalam sejarah. Makalah ini akan mendiskusikan tentang solusi
tersebut. Pembahasan dimulai dari tinjauan singkat terhadap cara Barat
memperlakukan perempuan, kemudian usaha feminisme dalam merombak masyarakat
tersebut. Feminisme yang dimaksud dalam makalah ini adalah gerakan perempuan
yang mendapatkan momentum kelahirannya dari pemikiran Mary Wollstonecratf pada
abad ke-18 di Eropa dimana kemunculannya sangat kental dengan konteks peradaban
Barat. Selanjutnya, akan
ditunjukan titik fatal yang membuat feminisme terjebak pada pola yang sama
dengan masyarakat yang mereka lawan. Berikutnya, dipaparkan cara Islam
yang unik dalam melihat persoalan ini.
Perempuan di Barat ; Keterjebakan
Pada Tubuh
Di dalam
sejarah peradaban Barat, perempuan telah menjadi korban dari persekusi yang
berlarut-larut. Pandangan rendah terhadap perempuan bisa ditarik hingga masa
Yunai yang sering diagung-agungkan sebagai akar kebudayaan Barat. Aristoteles,
filsuf agung Athena itu, berkata bahwa perempuan adalah “pria yang belum
lengkap”.[2]
Ketika peradaban Barat diambil alih oleh Kekristenan setelah masa Konstantin
Agung, nasib perempuan tidak banyak berubah. Pada masa dark age, Gereja
menguasai seluruh lini kehidupan di Barat dan membentuk cara mereka melihat
dunia.[3]
Pandangan petinggi gereja yang sangat negatif terhadap perempuan otomatis
mempengaruhi cara masyarakat Barat dalam memperlakukan perempuan.[4]
Sejarah
mencatat berbagai pernyataan dan sikap orang-orang Gereja berpengaruh yang
sangat merendahkan perempuan. St. John Chrysostom (345 M – 407 M) menegaskan
bahwa perempuan adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan
bencana yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketidak
beruntungan yang cantik.[5]Ketika
Thomas Aquinas merumuskan teologi Kristen alam Summa Theologia, ia masih
mempertahankan pandangan misogenis tersebut. Aquinas mengungkapkan lagi
pendapat Aristoteles bahwa perempuan adalah bentuk tidak sempurna dari
laki-laki (defect male). Immanuel Kant pun memiliki pendapat buruk
tentang perempuan. Baginya, perempuan hanya tertarik pada kecantikan,
keanggunan, dan sejenisnya, mereka tidak memiliki kemampuan kognitif yang
memadai.[6]
Tertulian, Bapak Gereja, yang lain mengatakan bahwa semua perempuan adalah
perempuan adalah pintu gerbang iblis,
sumber godaan, melanggar
pohon terlarang, orang pertama
yang mendustai hukum Tuhan, berani
menggoda Adam yang Iblis pun tidak berani melakukannya, merusak
imej Tuhan, dan penyebab kematian
Anak Allah (Yesus) untuk menebus
dosa manusia.[7]
Pandangan hina
terhadap perempuan ini kemudian menjadi landasan dari pesekusi yang bisa terjadi
melalui berbagai praktik. Pada masa ini perempuan mengalami penyiksaan yang
dahsyat oleh gereja dengan institusi Inquisisi. Kedudukan perempuan yang rendah
di mata Gereja membaut mereka gampang dituduh terlibat di dalam praktik heresy,
atau perbuatan bidah melawan ortodoksi Gereja. Selain itu, peremuan juga
kerap dihukum bakar hidup-hidup sebab dituduh sebagai penyihir. Praktek witch-hunt
yang pernah dilakukan di daratan Eropa pada masa abab pertengahan ini
merupakan salah satu bentuk penindasan perempuan yang paling kejam. Elspeth Whithney dalam penelitiannya tentang peristiwa ini mengungkapkan bahwa
faktor gender sangat dominan di dalam praktek perburuan penyihir tersebut.
Kebanyakan korban merupakan perempuan.[8]
Ketika
akhirnya Eropa memasuki masa pencerahan, perempuan pun menemukan celah untuk
memperbaiki nasib mereka. Gerakan yang timbul dari kesemaptan ini lambat laun
berkembang menjadi feminisme. Olehnya, feminisme adalah reaksi dari sikap
masyarakat patriarkis di Barat pada masa lalu yang menindas dan merendahkan
perempuan.[9] Pelopor
dari feminisme modern yang juga disebut feminisme gelombang pertama adalah Mary
Wollstonecratf yang pada tahun 1792 menulis sebuah buku berjudul Vindication
Right of Women. Bersama dengannya ada pula tokoh seperti Eilizabenth Cady
Stanton dan Sejeourner Truth. Tujuan feminisme gelombang pertama adalah
mendapatkan hak-hak politik dan kesempatan ekonimi yang setara dengan
laki-laki. Berikutnya muncul feminisme gelombang kedua 1949 dengan terbitnya
buku Simone de Beauvoir yang berjudul The Second Sex. Tuntutan feminisme
gelombang kedua ini lebih jauh lagi seperti gugatan atas insitusi rumah tangga,
seksualitas dan lainnya. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang
menekankan pada women’s diversity sehingga aspirasi wanita kulit
berwarna juga harus didengarkan.[10]
Karakterisitik kebudayaan Barat yang
efer shifting tanpa ada pegangan yang pasti membuat mereka selalu
berubah dalam menilai segala sesuatu[11].
Krakterisitik ini juga berlaku dalam cara mereka memperlakukan perempuan. Ketika
masyarakat Barat mengalami perubahan dari suatu peradaban yang dikontrol gereja
menjadi masyarakat liberal, maka cara mereka memperlakukan perempuan pun
berubah. Pandangan dunia liberal menghasilkan gerakan feminisme liberal
marxis-sosialis. Begitu juga ketika posmodernisme berkembang di Barat, gerakan
perempuan di sana menjadi bercorak posmodernis dan melahirkan feminisme
posmodernis.[12]
Setiap gelombang gerakan tersebut menekankan tujuan perjuangan mereka pada
hal-hal yang berbeda tergantung cara mereka melihat perempuan.
Apabila dicermati,
setiap cara pandang di atas selalu melihat perempuan dengan penekanan pada tubuh
mereka. Aristoteles menilai rendah perempuan sebab menurut pengamatannya,
perempuan adalah lebih lemah secara fisik, pasif dan bagaikan kebuh yang siap
ditanami para pria. Tokoh-tokoh Gereja yang berangkat dari doktrin original sin yang melimpahkan
kesalahan kepada Eva melihat kutukan kepada perempuan termanifestasi dalam
bentuk kehamilan yang menyakitkan. Ketika terbebas dari kekuasaan penuh Gereja
pun, masyarakat Barat masih terus menilai perempuan berdasarkan tubuhnya.
Akibatnya munculah objektifikasi dan idealisasi tubuh perempuan dimana
masyarakat memberikan standar-standar tertentu yang harus dipenuhi oleh tubuh
perempuan, para perempuan pun terpaksa mengikutinya sehingga terkadang
menghasilkan ketegangan mental.[13]
Objektivikasi
juga menggambarkan bagaimana tubuh perempuan direpresentasikan secara negatif
sebagai objek dari pandangan laki-laki dalam konvensi-konvensi visual baik seni
adiluhung maupun budaya populer.[14]
Idealisasi di dalam seni adiluhung tampak pada tradisi The Old Master seniman-seniman
ternama seperti Raphael, Da Vinci dan lainnya yang menggambarkan tubuh peremuan
dengan bentuk tertentu, bentuk-bentuk tersebutlah yang disebut “cantik” atau
“indah”. Sedangkan pada budaya populer
tampak jelas pada iklan-iklan kosmetik atau pencitraan tokoh cantik di dalam
film dan sinetron.
Objektivikasi
dan idealisasi tubuh perempuan menjadi semakin buruk bila ia bertemu dengan
kerakusan kapitalisme. Pertemuan ini menghasilkan penindasan terhadap perempuan
yang lebih kejam bernama eksploitasi. Isitilah ini adalah nomenklatur
kunci dalam teori Marxian yang kemudian diterima secara umum dalam kajian
sosial, termasuk dalam narasi feminis. Secara
ringkas, eksploitasi dapat dimaknai sebagai hubungan transaksional dua entitas
yang tidak adil. Letak ketidak adilan itu bisa dilihat ketika salah satu pihak
terus tumbuh berkembang disebabkan hubugan tersebut sedangkan pihak lainnya
justru stagnan dalam penderitaan.[15]
Dalam konteks tubuh perempuan, industri membuat hubungan transaksional dengan
perempuan dan memanfaatkan tubuhnya untuk berkembang tetapi pada saat yang sama
perempuan dibiarkan tetap stagnan bahkan menderita. Eksploitasi tetap ada sebab
masyarakat tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk keluar dari
belenggu pesona tubuhnya sendiri. Pesona tersebut menjadi satu-satunya nilai
jualnya sebab hanya pesona tubuhlah yang dianggap berharga darinya. Lingkaran
ini terus berlanjut sebab pihak-pihak pengeksploitasi, bisa terus meraih
keuntungan dari tubuh perempuan.
Respon feminisme terhadap
objektifikikasi, idealisasi, dan eksploitasi pun justru berangkat dari titik
pandang yang sama ; yakni tubuh perempuan. Feminisme gelombang kedua pada tahun
1970-an menitik beratkan wacana mereka salah satunya pada perlawanan terhadap
objektifikasi. Perlawanan tersebut terepresentasikan dalam bentuk penolakan
atas fesyen dan acara yang mengangungkan tubuh perempuan seperti pemilihan ratu
kecantikan. Mereka hendak “mencemarkan” citra ideal yang dibentuk oleh
masyarakat patrirkis atau industri terhadap tubuh perempuan.[16] “Pencemaran”
tersebut bermakna bahwa para feminis membuat representasi lain tentang tubuh
perempuan yang berlawanan dengan idealisasi yang ada. Feminis menolak keras
tubuh yang diidealkan di dalam fesyen ala industri sembari membentuk fesyen
mereka sendiri dalam bentuk potongan rambut pendek, setelan laki-laki, dan
telinga yang tertindik. Ironis memang, sebab protes tersebut malah membuat
mereka semakin tenggelam menjadi male clone, (tiruan laki-laki) yang
justru menegaskan kualitas maskulin sebagai parameter keunggulan.[17]
Keterjebakan
ini terus berlanjut seiring berkembangnya teori feminis dalam portes mereka
terhadap masyarakat. Ketika feminis hendak melawan idealisasi tubuh perempuan
di dalam budaya adiluhung yang diwakili Old Master. Para seniman old
master membuat karya seni berupa tubuh telanjang perempuan. Tubuh-tubuh
tersebut diproyeksikan menjadi bentuk ideal perempuan. Pelukis kontemporer,
Monet, melalui karyanya telanjangnya Olympia berusaha “merusak” citra
ideal tersebut melalui realisme lukisannya yang menunjukan sang perempuan
memandang dengan tatapan sombong dan skeptik.[18] Aliran
feminis dari gelombang kedua hingga feminisme posmodern bahkan pejuang
postfeminisme terus bertarung di arena tubuh perempuan. Fiona Carson ketika
membahas persoalan tubuh dan feminisme menyatakan ;
Kritik feminis
telah berkembang serlama tiga puluh tahun terakhir sebagai sebuah pengemimbang
dari proses konstan atas objektivikasi dan idealisasi yang dibangun oleh
industri dan media, yang melalui proses-proses internalisasi telah menjadi
sensor kultural di dalamnya. Seiring berjalannya waktu semakin beragam pula
saura kritikan yang mencerminkan perbedaan-perbedaan sudut pandang dalam
feminisme.[19]
Dus, feminisme
melawan idealisasi tubuh dengan menciptakan bentuk tubuh yang mereka anggap
melawan citra ideal. Sama seperti masyarakat yang hendak mereka lawan,
feminisme juga terjebak pada penilaian utama dan ultima terhadap tubuh. Penilaian
yang berbasis tubuh telah menjadi sumber penderitaan perempuan di Barat dan
masyarakat lain yang telah terbaratkan. Naomi Wolf menegaskan bahwa bahkan
setelah perempuan mendapatkan kebebasan seperti yang dituntut gerakan feminisme
tahun 1970-an, perempuan masih terus
menghadapi rintangan yang lebih mengerikan. Rintangan tersebut berupa
citra-citra kecantikan yang lebih kejam dan berat yang hadir untuk diikuti.[20]
Ketika feminis hendak melawan citra tersebut, mereka justru menghadirkan citra
lainnya yang secara tidak langsung adalah bentuk dikte sendiri untuk menunjukan
tubuh perempuan yang seharusnya.
Keterjebakan
gerakan feminis seperti di atas bisa dibaca sebagai bentuk keterkungkungan
mereka di dalam worldview Barat yang menjadi tempat kelahirannya.
Meskipun hadir sebagai protes atas nasib buruk perempuan di barat pada masa
lalu dan perjuangan atas hak mereka pada masa kini, feminisme tetap berada di
dalam kerangkeng worldview peradaban tersebut. Sebagaimana yang
ditegaskan oleh al-Attas, Alparslan atau Ninian Smart, sebuah gerakan sosial
dan intelektual akan selalu bersumber dari suatu worldview tertentu.[21] Ciri
utama pandangna dunia Barat adalah sekularistik, oleh karena itu mereka tidak
pernah melihat dunia ini lebih dari sekedar benda fisik tanpa memiliki nilai
metafisik. Konsekuensi selanjutnya adalah penilaian materialistik terhadap
segala sesuatu, termasuk perempuan. Maka perempuan akan dinilai berdasarkan
tubuhnya semata, sebab tubuhlah yang menjadi bentuk di sini dan kini (seaculum)
dari seorang perempuan. Baik dan buruknya perempuan akan terbatas pada
diskursus tubuh, sebab sistem nilai dalam worldview sekular telah
menjadi relativ[22].
Satu-satunya yang tetap dan bisa dijadikan landasan penilaian adalah tubuh
material perempuan.
Dari sini kita
bisa menyimpulkan bahwa akar dari objektvikasi, idealisasi dan berakhir pada
eksploitasi yang kejam adalah bentuk penilaian yang terjebak pada tubuh.
Gerakan feminisme yang melawan justru terjebak pada perangkap yang sama.
Sebabnya karena feminsme, seperti semua bentuk penindasan yang hendak mereka lawan,
adalah sama-sama produk dari worldview Barat. Islam yang memiliki wordview-nya
sendiri yang berasal wahyu tentu memiliki pandangan dan solusinya sendiri.
Berikutnya akan ditunjukan bagaiamana solusi Islam dalam melakukan liberasi
terhadap perempuan baik secara historis maupun normatif. Pembahasan berikutnya dilanjutkan dengan
gejala mutakhir dimana ajaran Islam yang liberatif justru menunjukan
tanda-tanda eksploitatf disebabkan infiltrasi worldview Barat ke dalam
benak kolektif kaum muslimin.
*Penulis adalah alumni Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah. Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal MUWAZAH, Vol. 7 Nomor 1, Juni
2015. Hal 16 - 26
[1] Kampanye PES Woman’s Campaign yang digalakan pada tahun 2010 misalnya
menggunakan slogan ini., lihat situs mereka http://www.pes.eu/my_body. Amnesti internasional juga menggunakan slogan
yang sama bisa dilihat di situs resmi mereka
https://campaigns.amnesty.org/campaigns/my-body-my-rights.
[2] Jostein Gardner, Dunia
Sophie, (Bandung : Mizan, 2013),p 193
[3] Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat ; Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta
: Gema Insani Press, 2005), p 33.
[4]Hamid
Fahmi Zarkasyi, "Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam," dalam
Hendri Salahuddin, ed., Indahnya
Keserasian Gender dalam Islam (Jakarta
: KMKI, 2012),p xx
[5] Dinar Dewi Kania “Isu
Gender; Sejarah dan Perkembangannya” Islamia, vol. 3 no. 5 (2010), p. 28
[6] Ibid, p 28
[7] Hendri Salahuddin,
“Konsep Gender, Agama dan Budaya”, ( Makalah disampaikan dalam acara “Gender
Summit” di Smesco Exhibition & Convention Hall Jakarta, pada 27 Juni 2012)
, p 7.
[8] Elspeth.Whithney
"The Witch" She"/The Historian" He": Gender And The
Historiography Of The European Witch-Hunts." Journal of women's
history 7.3 (1995)p 77.
[9] Dinar Dewi Kania “Isu
Gender; Sejarah dan Perkembangannya” Islamia, vol. 3 no. 5 (2010), p. 29
[10] Ibid, p 31 – 33.
[12] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat ; Refleksi Tentang Islam, Westernisasi
dan Liberalisasi, (Jakarta : INSISTS, 2012), p 265.
[13] Barbara L. Fredrickson,,
And Tomi‐Ann Roberts.
"Objectification Theory."Psychology Of Women Quarterly 21.2
(1997): 173
[14] Sarah Gamble, Feminisme
dan Postfeminisme, (Yogyakarta : Jalasutra, 2010)p 148
[15] Brigitta Benzing et al, Exploitation and
Overexploitation in Societies Past and Present, (Munster : LIT Verlag, 2003)
hal 21
[17] Ratna Megawangi, “Sekapur Sirih”, dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam
; Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung
: Mizan, 1999),p 8.
[20] Naomi Wolf, The Beauty Myth How Images of Beauty Are Used Against Women,
(New York : Harper Collins Perrenial, 2002)p 10
[21] Hamid Fahmi Zarkasyi, “Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam”, Islamia,
vol. 3 no. 5 (2010), p. 4
[22] Ciri worldview sekuler ini
adalah bentuk dari pandangan Weber, untuk lebih lengkap serta kritik Islam
terhadapnya, lihat Syed Muhammmad Naquib
al-Attas, Islam dan Sekulersime, (Bandung : PIMPIN, 2011), p 18 – 40.