ingat broh.. |
Problem Istilah dan Argumen Kaum Liberal
Pandangan Islam terhadap homoseksualitas selain
didasrkan atas penemuan ilmuwan tentang fenomena ini, harus pula didasarkan
atas wahyu. Wahyu yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad
saw adalah petunjuk yang tetap. Dengan demikian, dasar penilaian terhadap
homoseksualitas tidak berubah seiring perkembangan masyarakat, melainkan
menetapi keputusan Allah. Olehnya, para ulama telah sepakat bahwa
homoseksualitas adalah sesuatu yang terlarang.[1]
Kesepakatan tersebut terjadi sebab larangan homoseksual telah jelas di dalam
wahyu, bukan karena pengaruh heteronormativisme seperti yang diyakini pemikir
liberal.[2]
Sebelum membahas pandangan Islam tentang
homoseksualitas, perlu dijelaskan dahulu istilah yang digunakan untuk
homoseksualitas di dalam perspektif Islam. Istilah yang umum digunakan untuk
homoseksual adalah liwāṭ. Namun demikian, pemikir seperti Musdah Mulia
dan Husein Muhammad membedakan liwāṭ dengan homoseksual, menurut mereka
liwāṭ adalah perbuatan sodomi atau anal seks yang bisa dilakukan siapa
saja termasuk pria heteroseks dan biseksual, sedangkan homosesksualitas lebih
bersifat psikologis sehingga lebih tepat digunakan istilah mukhannaṡ.[3]Arah argumen mereka adalah untuk membenarkan
homoseksualitas sebab para ahli fikih memang menerima adanya mukhannaṡ bi al-khalq, yaitu mereka yang terlahir sebagai pria dengan sifat-sifat feminim. Inti
dari pendapat ini adalah mengarahkan pengharaman hanya kepada tindakan sodomi
(prakek anal seks) sedangkan orientasi homoseksual harus diterima dengan rida.[4]
Argumen mereka tidak tepat, baik dari sudut pandang
psikologi maupun Islam. Istilah mukhannaṡ lebih
tepat diartikan effeminate yang berarti “keperempuan-perempuanan” atau
“bersifat seperti perempuan”. Hadis tentang mukhannaṡ jelas merujuk kepada keadaan ini. Rasulullah bersabda yang diriwayatkan
Ibnu Abbas di dalam Sahih Bukhari, ، لَعَنَ النَّبِىُّ ، عليه السَّلام ،
الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النِّسَاءِ ،. artinya
“Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang
menyerupai laki-laki.” Menurut Ibnu Baththal, Rasulullah melaknat mereka bukan
karena memang adanya sifat perempuan dalam dirinya yang merupakan ciptaan
Allah. Laknat itu disebabkan oleh mereka yang memperturutkan kecendrungan itu
dan berdandan seperti perempuan, laknat ini juga berlaku bagi laki-laki tulen
yang sengaja menyerupai perempuan.[5]
Jadi istilah mukhannaṡ tidak ada kaitannya dengan orientasi
seksual terhadap sesama jenis, melainkan
pada perilaku menyerupai penampilan lawan jenis, maka ia lebih tepat
diartikan effeminate, bukan homosexual. Mengidentikan
homoseksualitas dengan effeminate jelas keliru. Mengasosiasikan kaum
homoseksual dengan sifat tersebut, oleh psikolog dan pembela hak-hak LGBT
justru dianggap homophobia.[6]
Istilah yang tepat untuk homoseksualitas adalah
istilah liwāṭ (اللواط) sedangkan pelakunya disebut lūṭiy
(اللوطي), para
ulama dari kalangan ahli fikih, mufassir, ahli hadis dan ahli bahasa telah
sepakat dengan penggunaan terminologi ini.[7] Istilah ini (liwāṭ dan lūṭiy)
bukan saja merujuk kepada tindakan seksual (sexual behavior) tapi juga
merujuk kepada orientasi seksual, yang secara psikologis melibatkan persaan
cinta dan ketertarikan. Hal ini bisa dilihat dari akar kata “لوط ” yang
secara etimologis mengandung pengertian cinta dan melekat atau cinta yang melekat
di hati (al-hub al-lāziq bi al-qalbi) sebagaimana disebutkan di dalam Lisān
al-‘Arab.[8] Meskipun istilah
liwāṭ sesungguhnya diambil dari nama Nabi Luth, tapi makna kebahasaan
yang terkandung di dalam akar katanya tetap mengikut di dalam kata liwāṭ dalam
kaitannya dengan homoseksualitas. Bakr bin Abdillah Abu Zayd menegaskan
di dalam Mu’jam Manāhī
al-Lafẓiyah;
أن المعنى
لُغة لا يأبي دخوله في مشموله ، ومن ثم إطلاقه عليه ؛ لتوفر معانيه في هذه الفِعْلة من جهة قوة الباعث : الحب
والشهوة للذكران ، انظر إلى قول الله - تعالى - عن قوم لوط في تقريعه ولومه لهم -
: {إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ
أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ} [ لأعراف:81] ، فقوله شهوة
فيه معنى الحب الذي هو من معاني
لَوَطَ
Kedudukan kata syahwah (شهوة) di
dalam surah al-A’rāf ayat 81 dan an-Naml ayat 55 sebagai maf’ūl li ajlih,
semakin mempertegas unsur orientasi seksual di dalam perbuatan kaum Luth.[9]
Kutukan yang diturnkan kepada mereka juga ada kaitannya dengan orientasi yang
mereka perturutkan. Selain kata liwāṭ bagi homoseksualitas yang
melibatkan perempuan, atau lesbianisme di dalam khazanah Islam dikenal isitlah siḥāq
(سحاق). Istilah
ini digunakan oleh Nabi Muhammad di dalam hadisnya dan menyebutnya sama kejinya
dengan zina.[10]
Secara istilah dan bahasa, siḥāq adalah perbuatan perempuan terhadap
perempuan lainnya sebagaimana yang ia lakukan bersama laki-laki.[11]
Jadi siḥāq mencakup praktik lesbianisme, kecendrungan terhadapnya
(orientasi seks lesbian) jelas merupakan syahwat yang harus dilawan.
Allah tentu tidak menghukum bila homoseksualitas hanya
berupa keinginan dalam hati, tapi membiarkannya dan tidak melawannya lalu
memperturutkannya adalah sebab turunnya laknat. Oleh karena itu, pada bagian
berikutnya akan dibahas tentang pandangan Islam terhadap kecendrungan
homoseksual yang muncul di dalam hati manusia. Bahasan tentang hal ini akan
dilihat dalam seri berikutnya.
[1] Qasim
Nurseha, “Kekeliruan Kaum Liberal Soal Homoseksual”, ISLAMIA, 3.5.
(2010), hal 141
[2] Husein
Muhammad et al, Fiqh Seksualitas Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-hak
Seksualitas, (tt : PKBI, tth),hal 16 - 17
[3] I bid, hal 90.
[4] Ibid, hal
91-95
[5] Untuk
penjelasan Ibnu Baththal, lihat Abu al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abdil Malik bin
Baththal al-Bakri al-Qurtubi, Syarhu Sahih al-Bukhari li Ibni al-Baththal, (Riyad
: Maktabah al-Rusyd, 2003) vol IX, hal 141-142
[6] Brent L.
Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality,...hal 93. Lihat juga Vernon A. Rosario, Homosexuality and
Science... hal 120.
[7] Bakr bin
Abdillah Abu Zayd, Mu’jam Manahi al-Lafdzhiyah wa Ma’ahu Fawaid fi Alfadz, (Riyad
: Dar al-‘Ashimah, 1996), hal 477
[8] Teksnya
berbunyi ; وإِني لأَجد له في قلبي لَوْطاً ولَيْطاً يعني الحُبَّ اللازِقَ
بالقلب ولاط حُبُّه بقلبي يَلوط لَوْطاً لَزِقَ.
Lihat, Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan
al-‘Arab, (Beirut : Dar as-Shadir, tt) vol. VII. hal 394.
[9] Muhyiddin bin
Ahmad Musthafa Darwisy, I’rab al-Qur’an wa Bayanuhu, (Damaskus dan
Beirut : Dar al-Yamamah, 1415H ), vol. III, hal 395.
[10]عن واثلة قال:
قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم: «سحاق النساء بينهن زنا.
Hadis tersebut diriwayatkan Abu Ya’la, dan at-Thabrani, rijalnya tsiqah. Lihat
al-Hafidz Nur ad-Din Ali bin Abi Bakr al-Haitsami, Majma’ Dzawaid wa
Manba’al-Fawaid, (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), vol. VI. hal 227
[11]Wizarah
al-Awfaq wa Syuun al-Islami, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (tt :
Dar as-Safwah, 1427H), vol. XXIV. hal 251