Salah satu tema sentral dalam problem homoseksual dari segi teologis adalah
bahwa keadaan tersebut --orientasi seksual kepada sesama jenis-- adalah bagian
dari kodrat Allah kepada seseorang. Beberapa pemikir liberal pun menghalalkan
homoseksual dengan dalih ini. Tim penulis Fiqih Seksualitas misalnya
menyatakan bahwa homoseksualitas adalah takdir, sehingga harus diterima (rida)
oleh yang bersangkutan dan ditolerir oleh masyarakat.[1]
Di dalam Islam, konsep yang memiliki kaitan dengan ini adalah fitrah penciptaan
manusia. Sebab term fitrah digunakan untuk menggambarkan keadaan manusia ketika
lahir di muka bumi ini.[2]
Istilah ini bahkan digunakan di dalam al-Qur’an dalam narasi yang menggambarkan
penciptaan langit, bumi, dan manusia.[3]
Secara etimologi fitrah memiliki beberapa makna. Kata fitrah adalah serapan
dari bahasa Arab فطرة, sehingga pengertiannya akan dibahas dari
sudut pandang bahasa Arab. Kata ini berasal dari فطر (fa ṭa ra) yang berarti menguak atau membelah.
Sementara para ahli bahasa menambahkan bahwa fitrah adalah menciptakan
sesuatu untuk pertama kali/ tanpa ada bentuk sebelumnya, fitrah juga bisa
diartiakan asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar[4], fitrah juga bisa diartikan keadialan suci[5]. Artinya fitrah merupakan penciptaan seseorang yang
sesuai dengan agama yang benar dan tuntutan akan hakikat kehidupan yaitu
mencari keadilan tentang penyembahan akan tuhan. Fitrah merupakan sifat bawaan
yang ada sejak lahir[6]. Dari sini disimpulkan bahwa dalam konsep fitrah,
manusia pada dasarnya sudah memiliki kecendrungan untuk mengikuti kebaikan.
Olehnya konsep fitrah tidak bisa disamakan dengan teori tabularasa bahwa
manusia lahir dalam keadaan netral tidak memiliki potensi apa-apa.[7]
Potensi kebaikan yang tertanam di dalam diri manusia sesuai fitrahnya
adalah potensi untuk taat kepada Allah. Hal tersebut jelas, sebab tujuan
penciptaan manusia adalah menjadi hamba yang taat kepada-Nya.[8]
Untuk mencapai ketaatan tersebut tentu saja manusia telah dikaruniai
pengetahuan tentang Allah sejak perjanjian primordial.[9]Al-Attas
di dalam penejelasanya mengenai nature of man, menyatakan bahwa
agama dan pengetahuan instrinsik di
dalam jiwa manusia merupakan bagian dari fitrah penciptaannya.[10]
Penggunaan kata fitrah di dalam surah ar-Rum : 30, menguatkan pengertian ini.
Di dalam ayat tersebut, frasa fitratallāhi disandingkan dengan ad-dīn
hanīfah. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah
memang menciptakan (faţara) makhluknya di atas keislaman. Abu Hurairah
mengutip ayat tersebut setelah meriwayatkan hadis pokok tentang fitrah, ini
menunjukan bahwa Abu Hurairah memahami fitrah terkait erat dengan kebaikan dan
secara khsus kepada Islam.[11]
Berdasarkan konsep fitrah ini, maka dalam konteks noramlitas dari
perspektif Islam, seorang yang normal adalah seorang yang berada di atas
fitrahnya yaitu cenderung kepada kebaikan. Konsep normal dan abnormal sangat
penting dipahami sebab dari sinilah akan ditputuskan, apakah homoseksualitas
merupakan keadaan asal yang normal bagi manusia atau bukan. Normalitas dari
perspektif para ulama disebut sebagai keadaan hati yang sehat (al-qalb
as-salīm). Di dalam karyanya Igāṡah al-Luhfān, Ibn al-Qayyim al-Jauzīyah merangkum pendapat para ulama mengenai
karakteristik hati yang sehat, yakni hati yang selamat (salima) dari
setiap keinginan (syahwah) yang bertentangan dengan perintah atau
melanggar larangan Allah serta hati yang selamat dari keragu-raguan (syubhāt)
yang bertentangan dengan kabar dari-Nya.[12]
Jadi ada dua penyebab utama hati menjadi sakit ; syahwah dan syubhah.
Syahwat di dalam bahasa Indonesia lebih berkonotasi pada nafsu
seksual, tapi dalam pengertian al-Qur’an, syahwat pada dasarnya adalah anugrah
yang diberikan Allah kepada manusia dan harus digunakan pada jalan kebaikan.
Al-Ragib al-Asfahānī di dalam al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān menjelaskan
bahwa syahwat adalah dorongan kuat terhadap jiwa agar meraih yang
diinginkannya. Syahwat memiliki dua bentuk, ada yang baik (syahwah ṣādiqah)
dan ada pula yang buruk (kāżibah).[13]
Syahwat yang buruk adalah dorongan jiwa untuk meraih sesuatu yang dilarang oleh
Allah. Homoseksualitas di dalam al-Qur’an disifati sebagai syahwat yang buruk (fāḥisyah).[14]
Perbuatan lain yang disifati dengan kata fāḥisyah oleh al-Qur’an adalah
perzinahan, olehnya beberapa ulama menyamakan antara perbuatan liwāţ kaum
homoseks dengan perbautan zina. Hubungan dari keduanya adalah sama-sama
ekspresi syahwat yang kelaur dari fitrah manusia.
Godaan untuk menyimpang dari fitrah
melalui syahwat adalah bentuk ujian Allah kepada manusia. Manusia tidak
diciptakan untuk terus-menerus suci sepanjang hidup mereka. Syed Muhammad
Naquib al-Attas menejalaksan bahwa meskipun telah memiliki fitrah yang innate
pada dirinya, manusia tetap memiliki potensi untuk berbuat salah. Perbuatan
tersebut berasal dari kelupaannya terhadap fitrah dirinya. Manusia disebut al-insān,
karena sebab ini. Insān seakar dengan kata nisyān, yang
berarti lupa.[15]
Di dalam al-Qur’an sendiri telah disebutkan bahwa Allah mengilhamkan fujūr dan
taqwa ke dalam jiwa manusia (nafs).[16]
Fujūr menurut ar-Rāgib berarti tercabiknya tabir agama (syaqq satri
diyānah).[17]
Maka fujūr yang telah diilhamkan Allah kepada jiwa manusia adalah
potensi kerusakan fitrah. Namun demikian, Allah pun telah mengilhamkan taqwa
yang berarti menjaga diri.
Dari perspektif ini, homoseksualitas dipandang sebagai bagian dari fujūr
yang harus dilawan dengan taqwa oleh mereka yang merasakan
kecendrungannya. Telah dipaparkan pada bagian kajian psikologis, bahwa meskipun
ada kemungkinan genetik dalam etiologi homoseksual, faktor lingkungan tetap
yang paling dominan. Sebagaiman disebutkan dalam hadis bahwa fitrah bisa
berubah karena faktor lingkungan dan pola asuh di kelaurganya.[18]Meski
demikian, ia bisa saja berubah jika memiliki motivasi yang kuat. Taqwa adalah
sumber motivasi tersebut. Manusia harus melawan semua kecendrungan buruk pada
dirinya. Para ulama telah merumuskan upaya beranjaknya jiwa manusia dari
tingkatan pergolakan melawan fujūr hingga menjadi jiwa yang tenang (an-nafs
al-muţmainnah). Rumusan tersebut diderivasi dari pembagian al-Qur’an atas
jiwa manusia menjadi tiga macam ; an-nafs al-ammārah bi as-su’, an-nafs
al-lawwāmah, dan an-nafs al-muţmainnah.[19]
Pembagian nafsu menjadi tiga di
atas sebenarnya adalah entitas yang sangat dinamis, manusia senantiasa berusaha
beranjak menjadi lebih biak. Fitrah manusia senantiasa beredar di antara tiga
keadaan tersebut. Keadaan pertama adalah an-nafs al-ammārah bi as-su’, secara
literal berarti jiwa yang selalu mengarahkan diri pada keburukan.[20]
At-Tustari di dalam tafsirnya menyebutkan empat tabiat dari nafsu ini yang
membuatnya menjadi tingkatan terendah ; pertama nafsu hewani (bahāim)
yang berpusat pada pemuasan birahi seksual dan nafsu makan ; kedua nafsu
syaitani (tab’u asy-syayāţīn) yang mendorong manusia untuk tenggelam
dalam perbuatan yang sia-sia ; keiga nafsu ini akan mendorong
orang-orang untuk berbuat licik dan menipu ; keempat, nafsu ini selalu
mendorong seseorang untuk berlaku sombong dan angkuh seperti Iblis (al-abālisah
al-istikbār).[21]
Orientasi homoseksual jelas merupakan dorongan dari nafsu ini, khususnya pada
tabiat bahāim yang mendorong seseorang untuk selalu mencari kepuasan
seksual. Bila diikuti, maka nafsu ini akan meminta pemenuhan menjadi
tindakan homoseksual. Apabila
tidak ada perlawanan, maka seseorang berorientasi homoseksual akan melakukan come
out, dan menjadi gay. Ia akan merasa bangga atas maksiat yang dilakukannya.
Pada tahap ini, ia telah jatuh di dalam perangkap keempat yakni menjadi angkuh
dengan penyimpangannya dari fitrah.
Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk melawan kecendrungan
nafsu yang buruk. Meskipun manusia bisa saja jatuh ke dalam keadaan
buruk sebab kealpaannya, Allah telah memberikan mereka potensi berupa ilmu
serta kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, kemudian manusia
diberkan petunjuk langsung berupa wahyu. Allah memberikan manusia kekutan ikhtiyār,
yakni kemampuan untuk selalu memilih jalan terbaik.[22]
Bahkan manusia yang telah jatuh ke dalam keburukan akan merasa gelisah atas
keadannya tersebut. keadaan gelisah karena penyimpangan ini disebut an-nafs
al-lawwāmah.[23] Secara literal
lawwāmah berarti selalu menyalahkan dirinya, menyesali keadannya.
Seorang yang berada pada keadaan ini selalu menyesali dirinya sembari terus
bersungguh-sungguh melakukan kebaikan.[24]
Keadaan ini merupakan langkah besar pertama dalam perkembangan psiko-spritual
seseorang. Dari perspektif lain, Ibn al-Qayyim menyebut keadaan ini sebagai
hati yang sakit (al-qalb al-marīḍ). Ciri hati sakit adalah padanya ada
kecintaan kepada Allah tapi ia senantiasa dibayangi syahwat yang berusaha
memalingkannya dan selalu ia lawan dengan gelisah.[25]
Dalam keadaan nafs al-lawwāmah seseorang harus terus menerus
mengikuti ilmu dari Allah (wahyu) serta mengikuti akal sehatnya. Al-Attas
menegaskan bahwa manusia di dalam tahapan ini sedang berjuang melawan nafsu
hewani (animal powers). Untuk memenangkan pertarungan tersebut, ia harus
memakai ilmu pengetahuannya, akhlak yang sempurna, serta usaha yang kuat.[26]
Muslim yang mengalami keadaan ini juga perlu senantiasa meminta pertolongan
kepada Allah, Dia akan senantiasa memenuhi permohonannya.[27]
Seoarng yang memiliki kecendrungan homoseksualitas di dalam dirinya dan merasa
gelisah atas keadaan tersebut sedang berada di fase ini. Maka ia seharusnya
mengikuti tuntunan wahyu untuk menjauhinya. Kajian psikologi yang telah disebutkan
di atas telah menunjukan bahwa ia bisa berubah bila menguatkan motivasinya.
Akal sehat harus didahulukan di atas keinginan nafsunya. Telah terbukti bahwa
kaum homoseksual yang berkecimpung di dalam kehidupan gay adalah kelompok
paling rentan terhadap penularan penyakit kelamin dan AIDS. Seorang yang
memiliki akal sehat akan menghindarkan
dirinya dari kecelakaan dunia dan akhirat.
Manusia yang berhasil melewati tahapan an-nafs al-lawwāmah akan
memperolah ketenangan batin di sisi Allah. Keadaan ini disebut a-nafs al-muţmainnah yang secara literal berarti jiwa yang
tenang.[28]
Al-Khāzin di dalam tafsirnya menggambarkan jiwa ini sebagai jiwa yang menetapi
keimanan, ketakwaan, membenarkan dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah.
Ia rida terhadap keadaan dirinya sesuai ciptaan Allah.[29]
Bagi seorang yang memiliki kecendrungan homoseksual dan berhasil mengatasinya,
ia harus tunduk kepada ketentuan Allah meskipun itu tidak mudah. Ia rida
terhadap cobaan dari Allah berupa kecendrungan menyukai sesama jenis. Bentuk
keridaannya ini bukanlah dengan mengikuti kecendrungan tersebut sebagaimana
yang disebutkan oleh kaum liberal. Keridaan yang sesungguhnya, sebagaiman
ditegaskan al-Khazin, adalah rida mengikuti ketentuan wahyu meskipun ia harus
berusaha melawan kecendrungan buruk dalam dirinya. Allah memastikan ujian yang
diberikan pasti bisa dilewati oleh hamba-Nya.[30]
Apabila dirinya sukar dalam usaha tersebut, ia jatuh kembali di dalam
homoseksualitas selama terapi, maka ia tidak boleh berputus asa. Allah bersedia
senantiasa menerima taubat dari hamba-Nya[31]
[1] Husein
Muhammad et al, Fiqh Seksualitas... hal 17
[2] Yasien Mohamed. "Fitrah And Its
Bearing On The Principles Of Psychology."American Journal of Islamic
Social Science 12.1 (1995), hal 2
[3] Baharuddin, Aktualisasi
Psikolog Islam...., hal 17
[4]Louis Ma’luf
dan Fr. Bernard Tottel, Qamus al-Mujid (Bairut:Darul al-Mausyaraq, 2003)
hal. 577
[5]Dyayadi, M.T, Kamus
Lengkap Islamologi, (Yogyakarta, 2009), hal.181
[6] Achmad Warson
Munawar, Kamus Al-Munawir, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997),
hal.1063
[7] Baharuddin, Aktualisasi
Psikolog Islam....hal 27.
[8] QS.
adz-Dzariyat: 56
[9] Al-Maraghi
menjelaskan bahwa makna “وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ” dalam surah adz-Dzariat : 56 adalah manusia
diciptakan untuk mengenal Allah lalu menaatinya, sehingga pengetahuan
tentang-Nya adalah pra-syarat ketaatan. Amhad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir
al-Maraghi, (Kairo : Syirkah Mustafa Bab al-Halabi wa Abnah, 1946), vol.
XXVII, hal 13.
[10] Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Prologomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur
: ISTAC, 1995), hal 144
[11] Hadis yang
dimaksud adalah hadis riwawat Bukhari :
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو
سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ
فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُولُ: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَاف لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِق ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
[12] Teks aslinya
berbunyi ;
وقد اختلفت عبارات الناس في معنى
القلب السليم والأمر الجامع لذلك : أنه الذي قد سلم من كل شهوة تخالف أمر الله
ونهيه ومن كل شبهة تعارض خبره .
Muhammad bin
Abu Bakar Ayyub az-Zar’i Abu Abdullah Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ighatsah
al-Luhfan, (Beirut : Dar al-Ma’arif, 1975) vol I, hal 7.
[13] Al-Husain bin
Muhammad bin Mufadhdhal Abū al-Qāsim al-Ragib al-Asfahani, al-Mufradāt fī
Garīb al-Qur’ān, (Damaskus : Dār al-‘Ilm, 1412 H), vol I. hal 468.
[14] QS. Al-A’raf
(7): 80-81.
[15] Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Prologomena....hal 144
[16] QS. Asy-Syams
(91) :
[17] Al-Husain bin
Muhammad bin Mufadhdhal Abu al-Qasim al-Raghib al-Asfahani, Mufradat fi
Gharib...hal 626.
[18] Ini merujuk
kepada hadis yang telah disebutkan sebelumnya yakni lafal ; فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِه
[19] Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Prologomena....hal 145
[20] QS. Yusuf
(12) : 53
[21] Abu Muhammad
Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Rafi’ at-Tustari, Tafsir at-Tustari, (Beirut
: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1423 H), vol I, hal 82
[22] Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Prologomena....hal 145
[23] QS.
Al-Qiyamah (75) : 2
[24] Jalal ad-Din
Muhammad Ahmad al-Mahalli dan Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar
as-Suyuti, Tafsir al-Jalalaini, (Kairo : Dar al-Hadis, tt), vol I. hal
779.
[25] Muhammad bin
Abu Bakar Ayyub az-Zar’i Abu Abdillah Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ighatsah
al-Luhfan...vol. I, hal 9.
[26] Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Prologomena....hal 147
[27] QS Al
Mukmin:60
[28] QS. Al-Fajr
(89) : 27
[29] Alauddin Ali
bin Muhammad Abu al-Hasan al-Khazin, Lubab at-Ta’wil bi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut
: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415), vol. IV, hal 428
[30] QS.
Al-Baqarah (2) : 286
[31] QS. Az-Zumar
(39) : 53- 54