Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Hukum dan Ketentuan Mahar di Dalam Fikih dan Hukum Positif Indonesia

Hukum dan Ketentuan Mahar di Dalam Fikih dan Hukum Positif Indonesia

Written By apaaja on Minggu, 02 November 2014 | 10.14.00

Kisah gadis ini mengilhami saya untuk mempublis tulisan lama tentang mahar
Pengertian dan Dasar Hukum Mahar
Maskawin dalam pembahasan fikih munakahat memiliki beberapa sebutan. Bahkan As San’ani dalam kitab Subulussalam menyatakan bahwa terdapat delapan sebutan untuk maskawin yaitushidaq, mahar, nahlah, faridhah, hiba’, ajr, ‘uqr, dan ‘alaiq.
Kesemua istilah diatas jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan maskawin. Sedangkan secara istilahi, para ulama memberikan beberapa pengertian.
·         As Syafi’I menyatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang  lelaki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
·         Muhammad bin Muhammad Al Babartiy dari kalangan mazhab Hanafiyah menjelaskan dalam kitab Al-Inayah Syarhul Hidayah bahwa mahar adalah sejumlah harta yang wajib diberikan oleh suami  (kepada istri) sebagai balasan atas bolehnya sang suami menyetubuhi istri.
·         Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam dalam kitab Taysirul Allam menyebutkan bahwa mahar adalah pembayaran yang diberikan ketika nikah atau sesudahnya kepada wanita sebagai pemberian kepadanya karena ia teleh menghalalkan kemaluannya.
·         Zakiyah Drajat mengartikan mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan raasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik bentuknya benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya)
·         Dalam Kompilasi Hukum Islam, dikatakan bahwa mahar  adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam BAB I Pasal 1 Butir ).
Dari beragam pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa mahar adalah harta atau jasa yang wajib diberikan oleh mempelai pria  kepada mempelai wanitanya  dengan jumlah yang telah disepakati oleh keduanya. Pemberian itu diberikan disebabkan halalnya wanita bagi pria tersebut dan sebagai tanda tanggung jawab, kesungguhan serta ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan raasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Dasar hukum mahar adalah Al-quran, As-sunnah, ijma’ dan qiyas[1]. Ayat Al-quran yang menetapkan mahar antara lain firman-Nya pada surah An-Nisa : 4,
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (4)
4.  Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
An-Nisa : 24 dan 25 ;
...فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ...
Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;
...وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ....
Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
Dan ayat-ayat yang lain.
Dasar mahar juga terdapat di dalam Sunnah Rasulullah saw baik itu perbuatan, perkataan, ataupun penetapan beliau. Contoh hadis yang menetapkan adanya mahar antara lain hadis tentang wanita yang menghadiahkan dirinya kepada Rasulullah namun beliau menolaknya lalu kepada seorang lelaki yang hendak mempersunting wanita itu Rasulullah                         bersabda التمس ولو خاتماً من حديد (Sahih Bukhari, No : 5014 )فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ : «انْظُرْ وَلَوْ خَاتِماً مِنْ حَدِيد (Sahih Muslim No : ) hadis ini juga diriwayatkan oleh  imam-imam yang lain dengan lafal beragam. Selain hadis tersebut masih ada hadis lainnya. Menurut Al Bassam ulama telah berijma tentang tetapnya mahar karena banyaknya nash-nash yang menunjukan bahwa mahar memang disyariatkan (masyruiyat).

Hukum Mahar
Ulama telah bersepakat bahwa mahar hukumnya wajib. Mereka mencapai kesepakatan tersebut karena banyaknya nash-nash baik Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah yang memerintahkan mahar. Misalnya firman Allah pada surah An-Nisa ayat 24-25  serta hadis di atas. Selain itu, kedudukannya sebagai syarat nikah, bahkan rukun nikah menurut Imam Malik menyebabkan pemberian mahar menjadi sesuatu yang diwajibkan.
Hukum positf di Indonesia yang tertuang di dalam Kompilasi Hukum Islam juga menetapkan hal serupa. Di dalam KHI BAB V Pasal 10 disebutkan “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.”.

 Jumlah Mahar
Para fuqaha telah sepakat bahwa mahar tidak memiliki batas maksimal, namun mereka berbeda pendapat mengenai jumlah terkecil yang dapat dijadikan mahar. Imam Asy-syafi’i , Ahmad, Abu Tsaur, Ishaq dan para fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendaspat bahwa tidak ada batas minimal bagi mahar. Menurut mereka segala sesuatu yang memiliki harga dan dapat dijadikan ukuran harga bagi sesuatu yang lain sah dijadikan mahar.

Pendapat ini juga didukung oleh Abdurrahman Al-jaziri dan As-San’ani. Al-Qadhi Iyadh menukil ijma’ ulama bahwa suatu  pernikahan tidak sah jika maharnya tidak memiliki nilai.Walaupun Asy-syafi’i menyatakan bahwa setiap yang bernilai sah dijadikan mahar namun menurut As-san’ani, As-syafi’i menyatakn bahwa mahar yang mustahab adalah senilai lima ratus dirham untuk menggembirakan hati sang istri.

Sedangkan Ibnu Hazm seorang pemuka mazhab Zhahiri menyatakan bahwa mahar sah dengan segala sesuatu yang dapat dikatakan “sesuatu” (شيء). Dengan pernyataannya tersebut, berarti beliau tidak menetapkan batas minimal bagi mahar, sehingga ia menyatakan bahwak sebiji gandumpun dapat menjadi mahar karena sebiji gandum juga dapat disebut sesuatu. Namun pendapat ini lemah dan telah dibantah seperti dijelaskan di dalam kitab Subulussalam.

Ada pula ulama yang menetapkan adanya batas minimal bagi mahar. Imam Malik berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah seperempat dinar dengan emas murni, atau  tiga dirham perak atau dengan barang dagangan yang senilai dengannya. Menurut ulama Hanafiyah bastas minimal bagi mahar adalah sepuluh dirham.

Mengenai jumlah mahar, menurut kami kita harus melihat pada makna hakiki dari mahar itu sendiri. Menurut Al-jaziri makna sebenarnya dari mahar adalah sebagai simbol atau isyarat bahwa sang suami telah diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya sejak mereka sah sebagai suami istri. Jadi mahar bukanlah “bayaran” dari suami kepada istri atau keluarga istri, karena jika kita memakai paradigma “bayaran” ini, maka keluarga istri tentu saja akan menetapkan mahar yang tinggi sebagai harga dari putri mereka. Fenomena inilah yang ada pada sebagian kalangan sehingga memberatkan calon suami, akibatnya banyak pemuda dan pemudi yang tidak sanggup menyempurnakan agama mereka denga menikah karena tidak sanggup memenuhi tuntutan mahar yang mahal.

Maka menurut kami, mahar sebaiknya tidak terlalu memberatkan calon suami. Mahar haruslah sesuai dengan kadar kemampuan suami, jika memang suaminya seorang yang mampu, maka tidak ada salahnya memberikan mahar yang tinggi untuk menyenangkan hati istrinya. Namun jika ia seorang yang kurang mampu maka pihak istri harus ridha dengan mahar yang disanggupi pihak suami.
Di dalam KHI asas kesederhanaan dan saling rela sangat diperhatikan sebagaimana disebutkan dalam pasal 31 bab mahar (bab V) ; Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Macam-macam Mahar
Jika melihat pada segi sebab diwajibkannya, menurut Al-jaziri mahar dibagi menjadi dua macam.  Al-jaziri menyebutkan pertama adalah mahar yang wajib dibayar karena adanya akad yang sah dan kedua adalah  mahar yang menjadi wajib karena telah terjadinya persetubuhan baik akadnya sah, fasid ataupun syubhat (diragukan sah tidaknya).
Sedangkan jika dilihat dari disebut tau tidaknya ketika akad nikah,  para fuqaha telah sepakat bahwa mahar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar  mitsli.

a. Mahar Musamma
Kata musamma berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang disebutkan. Mahar dinamakan mahar musamma apabila mahar tersebut disebutkan atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Terdapat beberapa ketentuan mengenai pelaksanaan mahar musamma. Ketentuan yang dimaksud mengenai kapan mahar musamma wajib diserahkkan selurhnya dan kapan ia diserahkan setengahnya.

Mahar musamma wajib diserahkan seluruhnya apabila telah terjadi dukhul. Hal ini telah menjadi kesepakatan ulama juga ditunjukan oleh nash Al-quran dalam surah An-nisa ayat empat. Ketentuan penyerahan mahar musamma seluruhnya setelah terjadinya dukhul tetap berlaku meskipun nikahnya rusak dengan sebab tertentu.  Di dalam KHI pasal 35 butir 1 disebutkan bahwa mahar musamma juga wajib diserahkan seluruhnya apabila suami meninggal dunia sebelum dukhul.
Mahar musamma diserahkan setengahnya apabila terjadi perceraian sebelm dukhul. Ketentuan in berdasarkan firman Allah di surah Al-baqarah ayat 237.

b. Mahar Mitsli
Mitsli berarti yang serupa atau sepadan. Mahar mitsli adalah sebutan bagi mahar yang tidak disebutkan kadar dan jumlahnya ketika akad nikah. Disebut mahar mitsli atau sepadan karena jumlah mahar tersebut disepadankan dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat. Selain dalam keadaan seperti disebutkan di atas (jika mahar tidak disebutkan ketika akad), mahar mitsli juga diberikan jika mahar musamma belum dibayar dan suami telah bercampur dengan istrinya padahal nikahnya tidak sah. 

Pembayaran mahar mitsli menjadi wajib bila kadarnya telah ditetaplan oleh hakim, atau menurut kesepakatan suami istri. Nikah fawaid yakni nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya  boleh saja menurut jumhur ulama. Kebolehannya ditunjkan oleh firman Allah ta’ala di surah Al-baqarah ayat 236 ;
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
Kalian tidak mendapatkan dosa  jika kalian menceraikan istri-istri kalian yang belum kalian sentuh atau belum kalian tetapkan mahar bagi mereka. (QS. Al-baqarah : 236).
Di dalam Kompilasi Hukum Islam  Pasal 34 butir  2 dikatakan “kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan.”. Pasal ini adalah dasar hukum positif di Indonesia bagi kebolehan mahar mitsli.

 Persyaratan Mahar
Abdurrahman Al-jaziri menetapak beberapa persyaratan pada mahar. Syarat-syarat itu antara lain ; 1). Barang yang menjadi mahar itu haruslah sesuatu yang memiliki nilai dan berharga, 2) suci dan bisa dimanfaatkan, 3) bukan barang hasil ghasab yakni barang orang lain yang diambil tanpa seizinnya namun bukan untuk dicuri tapi dengan niat akan dikembalikan lagi dan 4) mahar tersebut bukan barang yang tidak jelas keadaannya.

Syarat-syarat yang dikemukakan oleh Al-jaziri di atas hanya menjelaskan persyaratan bagi mahar yang berupa benda padahal telah disebutkan dalam defenisi mahar bahwa  jasa juga bisa dijadikan mahar. Menurut kami persyaratan utama bagi mahar adalah sesuatu yang bermanfaat bagi istri baik itu barang maupun jasa. Ukuran kemanfaatan tidak bisa ditetapakan karena hal itu bersifat relative tergantung pada keadaan sang istri, jika dia tidak bisa membaca Al-quran misalnya, maka yang paling bermanfaat adalah mengajarkannya membaca Al-quran. Namun jika ia mampu membaca Al-quran dengan baik lalu pihak suami mengajukan mahar mengajarkann ya membaca Al-quran, maka mahar semacam ini tidak ada manfaatnya.

Gugurnya Mahar.
Mahar  dapat gugur  seluruhnya atau separuhnya dengan adanya sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab tersebut  antara lain :
a.       Jika suami mencerarikan istrinya sebelum terjadinya persetubuhan (qobla dukhul), sedangkan maharnya tidak disebutkan ketika akad nikah.  Mengenai hal ini ada ulama yang berpandangan bahwa suami memberikan  mut’ah kepada istri sebagi perwujudan dari  tasrih bil ihsan melepaskan dengan cara yang baik.
b.      Mahar menjadi gugur bila terjadi perceraian sebelum adanya persetubuhan  yang disebabkan oleh kehendak istri, misalnya  si istri murtad sehingga wajib diceraikan.
c.       Apabila istrinya merelakan.
d.      Mahar gugur separuhnya bila istri diceraikan  sebelum dicampuri sedangkan maharnya telah disebutkan ketika akad (QS. Al-baqarah : 236) .

Ketentuan Pelaksanaan Mahar di dalam KHI
Meskipun telah kami sebutkan pada beberapa tempat  berbeda dalam tulisan ini, ada baiknya jika di akhir tulisan ini ketentuan pelaksanaan mahar di dalam KHI kembali kami sebutkan secara lengkap dan urut. Di dalam KHI mahar ketentuan mengenai mahar diatur pada pasal 30 – 38, lengkapnya sebagai berikut ;  
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1)         Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2)         Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon mempelai pria.
Pasal 34
(1)         Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan
(2)         Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35
(1)         Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2)         Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya.
(3)         Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1)         Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2)         Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

TULISAN INI BERASAL DARI BLOG LAMA SAYA YG PASWORDNYA HILANG HEHE
http://ayubalmarhum.blogspot.com/2011/07/seri-fikih-munakahat-all-about-mahar.html

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template