Semacam Pengantar
Di dalam al-Qur’an terdapat dalil yang umum dan yang
khusus. Ulama ushul fiqih telah melacak bahwa dalil-dalil umum di dalam al-Qur’an
terkadang tidak belaku umum tapi ada penghususan-penghususan yang disebut takhsis.
Petunjuk yang menunjukan adanya penghususan disebut mukhassis.
Nah ada dua macam mukhasiss, ada yang munfashil
alias berada di tempat lain di dalam al-Qur’an ada pula yang bersambung atau
disebut muttashil. Mukhassis muttashil berada di dalam ayat yang sama
atau berdekatan dengan ayat yang dikhususkannya.
Ada lima macam mukhasis muttasil. Dan karena ada
seorang teman baik saya yang tadi bertanya, maka dibawah ini ada penjelasan
singkatnya. Semoga bisa dipahami dan semoga saya juga cepat lulus jadi sarjana
seperti teman saya itu.
Pertama ; Istisna
Istisna secara bahasa adalah pengecualian. Bahasannya
luas sekali sebenarnya, tapi kita ambil yang simpel dan mudah dimengerti saja. Biasanya
istisna ini ditandai dengan kata bahasa Arab yang artinya “kecuali”, ya
namanya juga pengecualian. Nah kata itu adalah “illa = الا”.
Contohnya di surah an-Nur 4-5 dan al-Maidah 23. Coba kita lihat an-Nur : 4-5.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
Ayat ini menjelaskan bahwa semua orang yang pernah
menuduh perempuan baik-baik berzina dan tuduhannya tersebut tidak terbukti
tidak boleh lagi diterima persaksainnya selamanya. Ini sifatnya umum, semua
penuduh zina. Tapi dikhususkan dengan adanya kata “illa allazina”
kecuali yang bertaubat dan memperbaiki kesalahannya, beramal saleh maka Allah
mengampuni mereka. Persaksainnya diterima lagi.
Ohya, saya jadi ingat, salah satu argumen feminis kurang
kerjaan menolak otoritas hadis dari Abu Bakrah yang dianggap misogenis adalah
karena Abu Bakrah ini pernah menuding orang berzina dan tidak terbukti. Mereka bilang
kesaksiannya tidak boleh lagi diterima, nah, pelajaran tentang istisna ini
mengubur argumen mereka di dalam lumpur permen karet bekas dikunyah Suneo.
Kedua Sifat
Sifat ya sifat, hehe sudah diserap ke dalam bahasa
indonesia. Intinya ini adalah pengcualian bagi sesuatu yang memiliki sifat
tertentu, biasanya ditandai dengan adanya kata “yang” di dalam bahasa Arab kata
itu adalah “allati/alladzi = الذي/ التي
”. Biar lebih jelas,
langsung saja contohnya di surah an-Nisa : 23 ;
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Buka al-Qur’annya, baca ayat di atas. Ayat ini memuat
daftar dari perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki muslim. Nah
salah satunya adalah putri tiri kita dari perempuan yang pernah kita nikahi. Skenarionya
begini, ada seorang janda yang sudah punya putri, trus kamu nikahi lalu kamu
ceraikan lagi. Apakah kamu bisa menikahi
putrinya setelah ibunya kamu ceraikan?
Berdasarkan keumuman dalil di atas tidak boleh. Tapi ada penghususan menggunakan sifat ; jika ibunya belum pernah kamu gauli sebelum diceraikan, maka putrinya itu halal untuk kamu nikahi. Tapi jika sudah digauli, maka ia dianggap seperti putrimu, kata as-Sa’di di dalam tafsirnya, dan akan sangat disgusting jika ada ayah yang menikahi putrinya. Jadi, di sini ada penghususan dengan menggunakan sifat ditandai dengan adanya kata alllatiy..
Berdasarkan keumuman dalil di atas tidak boleh. Tapi ada penghususan menggunakan sifat ; jika ibunya belum pernah kamu gauli sebelum diceraikan, maka putrinya itu halal untuk kamu nikahi. Tapi jika sudah digauli, maka ia dianggap seperti putrimu, kata as-Sa’di di dalam tafsirnya, dan akan sangat disgusting jika ada ayah yang menikahi putrinya. Jadi, di sini ada penghususan dengan menggunakan sifat ditandai dengan adanya kata alllatiy..
Ketiga, Syarat
Ada juga penghususan dalam al-Qur’an yang menggunakan
syarat. Biasanya syarat memakai kata “jika” dalam bahasa Arab “in = ان”.
Contoh ngawurnya ; semua perempuan di UMY cantik jika perempuan itu kuliah di
Ma’had ‘Ali. kalimat ini adalah kalimat
umum yang dikhususkan dengan syarat. Awalnya seolah-olah saya menggap semua
perempuan di UMY cantik, tapi ternyata ada penghususan dengna syarat kuliah
juga di Ma’had Ali, yang tidak kuliah di Ma’had Ali keluar dari kategori ini. (tidak
usah terlalu dipikirkan ya, ini Cuma contoh).
Contoh yang benar ada di surah al-Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
Di dalam ayat ini diwajibkan bagi setiap orang yang
mendekati kematian agar membuat wasiat bagi kedua orang tua dan kerabatnya. Wasiat
dalam konteks ini adalah harta, wasiat untuk memberikan kepada orang tua atau
kerabat jumlah tertentu dari harta. Ayat ini umum, tapi ada penghususan yakni “jika
ia meninggalkan harta berlimpah”. Al-Khair menurut as-Sa’di adalah harta
yang buanyak sekali. Maka jika ia tidak meninggalkan harta berlimpah,
untuk apa pakai wasiat segala? Jika tidak ada penghussan dalam ayat ini pasti
akan sangat memberatkan. Bayangkan saja ada seorang kakek-kakek miskin yang
tidak punya apa-apa akan meninggal, eh dia malah diwajibkan membuat surat
wasiat akan memberikan harta kepada kerabatnya. Kan dak tidak masuk akal tayyeee
(logat Madura). Jadi wasiat dikhususkan bagi yang punya harta peninggalan
yang banyak. Apa ukurannya? Menurut as-Sa’diy sesuai urf atau budaya
masing-masing masyarakat.
Keempat, Gayah
Gayah artinya
batas dari sesuatu. Bisa juga berarti tujuan akhir. Dalam konteks ushul fikih maka
suatu dalil yang disertai gayah hukumnya akan selalu berlaku hingga gayah
tersebut terlampaui. Gayah ditandai
dengan kata “hingga, sampai” yang di dalam bahasa Arab adalah “Hatta dan ilaa =
حتي/الي”
. Dalam ucapan sehari-hari pun kadang
kita membuat penghususan semacam ini, misalnya ; istriku, kamu akan selalu
menjadi permata hatiku hingga ajal menjemputmu. Implikasi dari gombalan ini
adalah bahwa si istri menjadi permata hati khusus selama ia masih hidup.
Contoh dalil umum yang dikhsuskan dengna syarat ada di
surah al-Baqarah : 222
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Ayat di atas adalah dalil umum yang melarang kita
mendekati wanita yang sedang haid. Tentu saja boleh duduk berdekatan, tadi saya
lupa menuliskan tanda petik. Jadi ayat ini melarang kita “mendekati” perempuan
yang sedang haid. Oke sudah ada tanda petiknya, yang dewasa pasti faham ya? Fahimtum?
(jamaah ikhwan : fahimnaaa). Akan tetapi ayat di atas dikhususkan dengan adanya
gayah yakni sampai mereka telah kembali bersih alias berhenti haid. Penghusuannya
ada pada kalimat “hatta yathhurna”
Kelima, badal ba'd min kulli
Badal ba’d min
al-kulli. Badal artinya pengganti, ba’d min al-Kulli artinya
sebagian tertentu dari keseluruhan sesuatu. Ini memang isitilah di dalam nahwu,
saya juga bingung apa kaidah bahasa yang sepadan di dalam Bahasa Indonesia,
apalagi bahasa alay.
Badal adalah penjelasan lebih lanjut dari kata yang masih ambigu di dalam suatu kalimat. Misalnya ada mahasiswa yang berteriak “woi, si Udin jatuh dari motor!” trus dia berhenti, trus teriak lagi “Itu lho Udin sodaramu..” Di dalam kalimat pertama tadi “Udin” masih ambigu, ini Udin yang mana ya? Tapi dengan penjelasan lanjutan “itu lho Udin saudaramu” maka jadi jelas bahwa yang jatuh dari motor itu adalah saudaramu yang namanya Udin. Makanya saudaramu itu dididik yang benar, jangan suka main monopoli di atas motor yang lagi parkir.
Penjelasan semacam ini dalam bahasa Arab ada bermacam-macam, salah satunya adalah badal ba’d min al-kulli. Badal ini adalah penjelasan lanjutan yang menyebutkan sebagian yang dimaksud dari kata yang masih ambigu. Misalnya “Rotimu yang kamu simpan di kulkas itu kumakan ya...” “setengahnya aja bro..” Pada kalimat pertma masih belum jelas, rotinya itu dimakan sampai habis atau gimana, tapi dengan adanya badal yang berbunyi “setengahnya aja bro..” maka jelaslah bahwa yang kumakan itu cuma setengahnya.
Jika diterjemahkan, badal bisa diwakili oleh kata “yaitu” atau “yakni”. Misalnya jika dua contoh di atas dijadikan kalimat Bahasa Indonesia yang baku ; saya memakan rotimu, yaitu setengahnya. Udin jatuh dari motor, yakni Udin saudaramu.
Di dalam ushul fikih, badal ba’d
min al-kulli juga termasuk alat untuk menghususkan dalil umum alias muhkassis.
Contohnya ada di surah Ali Imran : 97.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97)
Penggalan pertama ayat ini adalah
perintah bersifat kepada semua manusia (an-Nas) untuk berhaji ke
Baitullah. Tentu hal itu akan sangat memberatkan. Untunglah Allah ta’ala
menghusukannya dengan badal ba’d min kulli yang ditandai dengan kata “man
= من” Maka arti ayat ini adalah ; Allah memerintahkan
kepada manusia untuk berhaji ke
Baitullah, yaitu mereka yang sanggup melaksakannya. “man
istata’a (yaitu mereka yang sanggup)” adalah badal atau penjelasan lebih
lanjut dari kata “an-nas (seluruh manusia)” yang masih umum.
Catatan Kaki
Korengan
Sebenarnya di dalam buku yang
saya rujuk kadang diberikan contoh yang lebih mudah dimengerti, tapi saya berusaha
menggunakan contoh dari teman yang nanya itu. Semoga penjelasan ini bisa
dimengerti dan menjadi tambahan ilmu bagi yang belum tahu. Saya senang sekali
menuliskan ini, akhirnya saya buka-buka lagi buku-buku tua dari jaman kuliah di
Kaliurang dulu. Jika ada yang mau ditanyakan tinggalkan di kotak komentar. Termasuk
kamu Mad .. heheh
Ingat 9 April pilih partai nomor
20!