Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » , , , » Mengenal Pendekatan Kontekstualisme ala Abdullah Saeed (1)

Mengenal Pendekatan Kontekstualisme ala Abdullah Saeed (1)

Written By Qaem Aulassyahied on Senin, 07 Desember 2015 | 21.18.00

Foto Abdullah Saeed dan cover bukunya


Tulisan ini merupakan Summary atas buku “Reading The Qur’an in The Twenty-First Century: A Contextualist Approach” karangan Abdullah Saeed, Bagian: Backround and Examples of Contextualism. Di dalamnya akan dipaparkan secara sederhana peta pemikiran Abdullah Saeed dalam menampilkan pendekatan Kontekstualisme. Begitu juga ada usaha dari penulis untuk memberikan sedikit komentar.

Latar Belakang: Tekstualisme dan pentingnya Kontekstualisme

Pada bagian awal ini, Abdullah Saeed menjelaskan terlebih dahulu terkait perkembangan penafsiran mulai dari awal abad ke tujuh hingga abad moderen. Poin penting yang bisa ditangkap dari penjelsan itu adalah bahwa pendekatan tekstualis merupakan pendekatan yang pertama kali digunakan untuk menginterpretasi makna ayat al-Qur’an. Tekstualisme sendiri merupakan pendekatan yang sepenuhnya bergantung pada makna literal teks. Dominannya penggunaan tekstualis ini dapat dilacak pada tradisi ilmu tafsir dan fiqih yang mengutamakan kajian dengan mendasari pada pendekatan tekstualis, utamanya persoalan yang berkaitan dengan lokal legal teks dan persoalan fiqh. 

Bagi Abdullah Saeed, pendekatan tekstualis menjadi penting digunakan apabila ayat-ayat al-Qur’an yang hendak diinterpretasikan tergolong ayat-ayat non-kontekstual. Adanya tipe ayat seperti ini didasari dari kenyataan bahwa ayat tersebut dapat secara langsung relevan untuk berbagai macam konteks. Contohnya, ayat-ayat yang secara keseluruhan tidak dijelaskan secara spesifik dan detail. Seperti tidak adanya nama tempat, orang, peristiwa dan dijelaskan secara naratif. Tidak adanya penjelasan spesifik tersebut menunjukkan nilai pokok yang bisa ditangkap secara tekstual berlangsung secara universal. Seperti, ayat yang bercerita tentang penciptaan semesta dan Adam yang mengandung nilai universal tentang kekuataan penciptaan Allah, atau juga cerita tentang pertentangan antara Nabi Musa dan Fir’aun yang mengandung prinsip dasar bahwa kebaikan akan selalu menang dari kejahatan. Semua gagasan dan pelajaran dari ayat seperti ini bisa dibaca dan difahami langsung dari teksnya serta bisa diaplikasikan di berbagai konteks, kultur, waktu dan tempat, karena menunjukkan nilai universal atau apa yang disebut oleh Abdullah Saeed sebagai “trans-historical.”

Pendekatan tekstualis kemudian menjadi masalah jika dihadapkan pada ayat-ayat yang memang dilatarbelakangi dan sangat erat hubungannya dengan konteks yang dijelaskan secara mendetail dan spesifik. Sebab, penjelasan yang sangat spesifik tersebut mau tidak mau menggambarkan betapa konteks ketika itu sangat mempengaruhi berlakunya ajaran atau prinsip dari bagian ayat ini. Sehingga dalam beberapa fakta, pembacaan secara tekstualis gagal menghasilkan makna yang bisa menggambarkan nilai universal apa yang terkandung di dalamnya. Kegagalan itu akan terlihat ketika penerapannya menemui benturan masalah dengan keadaan zaman moderen sekarang yang tentunya memiliki konteks keadaan dan waktu yang sangat berbeda.

Kenyataan seperti inilah yang membuat Abdullah Saeed merasa berkepentingan untuk menjelaskan pendekatan kontekstualisme sebagai sebuah alternatif baru dalam menggali makna al-Qur’an dan kemudian bisa diaplikasikan di zaman sekarang. Bentuk aplikasi yang tentunya menjadi solusi atas permasalahan kontemporer tanpa mengubah substansi dari ajaran Islam itu sendiri.

Proses Pendekatan Kontekstualisme

Pada bagian ini, di beberapa tempat Abdullah saeed mendefinisikan pendekatan kontekstual. Dari beberapa keterangan itu dapat diketahui bahwa pendekatan kontekstual memiliki ciri di antaranya: pertama, membaca al-Qur;an melalui konteks historis saat pewahyuan turun dengan metode hermeneutika dan kemudian menginterpretasikan makna ayat berdasarkan konteks tersebut. kedua pendekatan kontekstual adalah sebuah pendekatan yang menyediakan metodologi interpretasi al-Qur’an yang bisa berlaku untuk semua waktu, dengan berangkat dari makna literal perintah al-Qur’an sambil memelihara tujuan dan semangat perintah tersebut. ketiga pendekatan kontekstual merupakan sebuah metode interpretasi yang berbasis pada lokal konteks al-Qur’an pada saat pewahyuan menuju aplikasi nilai pada konteks abad moderen.

Beberapa pengertian yang diberikan Abdullah Saeed di atas meniscayakan satu poin penting. Poin penting tersebut adalah pendekatan ini menempatkan konteks sebagai gagasan utama dalam mencari makna yang tepat di dalam al-Qur’an. oleh sebab itu, Abdullah Saed menekankan makna kata “konteks” yang ia maksud. Bagi Abdullah Saeed, konteks adalah cakupan konsep yang memasukkan berbagai macam hal secara universal. Ia mencontohkan, jika kita hendak mengkaji sesuatu dalam aspek linguistik, maka yang menjadi titik fokus secara primer tidak hanya terletak pada susunan kalimat, prasa atau kaidah penulisan teksnya. Tetapi lebih dari itu, pendekatan konteks meniscayakan seseorang untuk mempertimbangkan aspek yang jauh lebih luas, berupa aspek sosial, politik, ekonomi, kultural dan setting intelektualnya. Konteks  semacam inilah yang disebut oleh Abdullah Saeed sebagai makro konteks.

Dalam menginterpretasi makna al-Qur’an dengan pendekatan kontekstual, Abdullah menetapkan dua makro konteks yang di mana setiap peneliti harus punya sensitifitas tinggi terhadap keduanya. Pertama, konteks saat pewahyuan turun. Konteks pada bagian ini meniscayakan adanya analisa secara mendalam terkait dengan keadaan sosial, politik, ekonomi kultural, dan setting intelektual saat al-Qur’an diwahyukan, saat kodifikasi, tempat di mana wahyu turun dan keadaan masyarakat yang menjadi sasaran diturunkannya wahyu tersebut. Luasnya konteks yang perlu dianalisa tersebut mengharuskan adanya tambahan gagasan, pemikiran, asumsi, nilai, bentuk kepercayaan dan norma kultural yang berlaku saat itu. Tujuannya ialah untuk memperoleh pengetahuan yang tepat dalam rangka memahami makna hakiki teks yang berangkat dari pengetahuan tersebut. Konteks ini diistilahkan oleh Abdullah Saeed sebagai “makro konteks pertama.”

Kedua, konteks yang perlu diperhatikan adalah konteks periode sekarang. Konteks tersebut meliputi gambaran tindakan atau keadaan yang terjadi pada hari ini. konteks ini meliputi berbagai element, seperti keadaan saat penafsir hidup, kondisi psikologi masyarakat, kultur kontemporer dan norma-norma religius, pemikiran politik, insititusi dan gagasan ekonomi, sistem, nilai dan norma lainnya. Konteks ini juga memasukkan bentuk pendidikan, tujuan ekonomi dan politik serta segala hal yang ditetapkan dan diusahakan oleh masyarkat moderen untuk memelihara bebagai hak dan kepentingan yang diakui pada umumnya. Konteks ini, diistilahkan sebagai “makro konteks kedua”.

Usaha yang kemudian harus dilakukan setelah mendapatkan pengetahuan dari hasil analisa terhadap makro konteks pertama dan kedua adalah “menerjemahkan” makna ayat  berlandaskan hasil analisa dari makro konteks pertama menuju penerapannya pada makro konteks kedua. Usaha ini mengharuskan adanya suatu penghubung yang bisa menghubungkan secara dekat dua konteks yang berbeda ini tanpa melewatkan satu pun element di antara dua makro konteks tersebut. penghubung itu kemudian diistilahkan oleh Abdullah Saeed sebagai konektor conteks[1]

Tanpa adanya konektor conteks, mustahil menghubungkan dua periode dengan tepat. Untuk membentuk konektor konteks, Abdullah Saeed menggunakan metode hermeneutika historis yang dengannya bisa melacak tema, gagasan, pengetahuan, pemikiran dan atau prinsip nilai dari ayat yang telah dikaji berdasarkan data makro konteks pertama. Prinsip nilai ini tentunya harus memiliki sifat dasar fleksibel dan dinamis, dalam arti bisa diinterpretasikan secara terus menerus atau bisa senantiasa maknanya diadaptasi dalam al-Qur’an dan berlaku untuk semua zaman. Secara sederhananya konektor konteks harus bisa memastikan suatu pengertian yang telah ditetapkan sebagai prinsip utama di dalam tema besar al-Qur’an bisa diterapkan oleh generasi muslim secara berkesinambungan. Dengan semua penjelasan itu maka, didapatkan sebuah framework kontekstualisme yang memungkinkan untuk membaca al-Qur’an dengan cara menekankan pada relevansi yang selalu sesuai dengan masyarakat moderen hingga generasi setelahnya.

Contoh penerapan sederhana dari metode di atas yang dijelaskan oleh Abdullah Saeed adalah zakat. Zakat sendiri difahami sebagai kewajiban memberikan sebagian pemasukan, tabungan atau harta kita kepada kategori orang yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an sebagai yang berhak menerima zakat. Zakat termasuk amalan yang dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadis secara spesifik; mulai dari kadar harta yang dikeluarkan sebanyak 2, 5 persen dan juga ketentuan barang-barang apa saja yang berhak dizakati dan golongan orang-orang yang berhak menerimanya.

Bagi Abdullah Saaed, dengan menggunakan pendekatan kontekstualis, dapat diketahui bahwa di antara prinsip universal dari perintah zakat ialah adanya sistem perpajakan yang dapat mengatur kemaslahatan masyarakat ketika itu. Peraturan yang sedemikian spesifik dalam mengatur perhitungan harta dan berapa yang dikeluarkan, serta barang apa saja dan siapa saja yang berhak mendapatkan adalah aturan perpajakan yang sudah sangat maju di masyarakat ketika itu mengingat belum ada satu pun sistem perpajakan yang berlaku. 

Pada kenyataannya, prinsip ini tidak dijiwai secara mendalam. Perdebetan fiqh hingga sekarang terkait masalah zakat sangat terbatas karena anggapan bahwa aturan zakat merupakan sesuatu yang “keramat” dan hanya perlu tunduk dan patuh pada dalil yang tersedia saja. akibatnya zakat sebagai sistem perpajakan dan pengelolaan harta lambat laun mulai terkikis fungsinya.

Dengan pendekatan kontekstual, persoalan di atas kemudian bisa diatasi. Sebab tentunya dengan pendekatan ini maka nilai prinsip tadi diusung kembali sebagai kunci pokok penerapan zakat. Sehingga yang menjadi pertanyaan mendasar, -misalnya- kenapa hanya 2.5 persen saja? dan kenapa tidak bisa diperluas barang atau usaha yang perlu dizakati?. Pertanyaan semacam itu tentu berangkat dari perkembangan masyarakat kekinian yang jauh lebih problematis dan kompleks dibanding masyarakat pada abad di mana perintah zakat baru diwahyukan. Kesimpulannya, dengan pendekatan kontekstual, fungsi zakat akan senantiasa hidup di zaman sekarang, sebagaimana ia hidup dan bermanfaat di zaman lalu.

Tujuan Pendekatan Kontekstualisme; Nilai Interpretasi Umar bin Khattab

Dalam bab ini Abdullah Saeed dengan jujur menyadari bahwa setidaknya terdapat dua penghalang mengapa hingga sekarang pendekatan kontekstualis belumlah berkembang secara signifikan. Di satu sisi, beberapa kalangan ulama, khususnya kelompok hard-tekstualis mengklaim posisi pendekatan kontektualis merupakan pendekatan yang tidak islami bahkan anti Islam. Di sisi lain, para peneliti yang mengusung metode kontekstual belum mampu menghadirkannya dengan sistematisasi yang baik; lebih cenderung meninggalkan konteks di mana wahyu turun dan hanya menitik beratkan perhatian mereka pada konteks moderen sekarang.

Dua masalah ini kemudian membuat Abdullah Saeed secara rendah hati mencoba sebisa mungkin menjelaskan pendekatan kontekstual secara porposonal. Setidaknya ada beberapa tujuan yang bisa disimpulkan. (1). Dengan tulisan ini Abdullah Saeed ingin membuktikan bahwa pendekatan kontekstual justru merupakan pendekatan yang paling Islami. Untuk itu, ia dengan terang-terangan menyatakan bahwa tulisan ini tidaklah untuk menggugat kerja besar dan hasil-hasil yang telah dilakukan ulama-ulama terdahulu. Pendekatan ini juga bukan upaya mereduksi makna-makna yang didapatkan dari pendekatan literal, melainkan justru memperluas dan mengembangkannya. Cara ini dikatakan oleh Abdullah Saeed sangat islami, karena memiliki akar keilmuan yang sangat kuat. Akar itu bahkan bisa didapatkan semenjak abad pertama Islam dari sosok besar tokoh Islam, Umar bin Khattab, sang khalifah kedua.

 Memahami cara intrepretasi Umar dalam sejarah, bagi Abdullah Saeed menyadarkan kita bahwa betapa Umar r.a sangat meyakini terdapat nilai-nilai prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an yang berlaku universal. Dalam rangka itu, Umar bin Khattab secara sadar memahami al-Qur’an dengan sangat kontekstual.

(2). Dengan tulisan ini juga Abdullah Saeed ingin memperlihatkan bagaimana seharusnya pendekatan kontekstual yang difahami oleh beberapa peneliti moderen. Bahwa pendekatan kontekstual yang falid harus bisa menampung makna terdalam dari ayat dengan mengindahkan kondisi ketika “makna” itu tercipta di zaman ketika wahyu turun, lalu menjadikan makna itu sebagai sebuah nilai universal dan membawanya ke zaman sekarang agar bisa diterapkan sesuai konteks kekinian. 

Susunan Buku

Buku ini terdiri dari empat bagian. Pada bagian pertama diuraikan perkembangan interpretasi al-Qur’an hingga periode moderen. Uraian ini menjelaskan tentang konteks yang menjadi pembahasan moderen terkait masalah interpretasi dan gagasan pokoknya. Dalam penjelasan itu, dianalisa beberapa konteks dan metode interpretasi yang telah berlaku pada pra moderen dan memperlihatkan bagaimana pembacaan secara tekstual kemudian dikembangkan sebagai metode tafsir tradisional. Pada bagian ini juga dianalisa contoh historis keterangan penggunaan interpretasi kontekstual. Yaitu interpretasi yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Contoh ini menyimpulkan bahwa pendekatan kontekstual hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah memliki akar sejak awal periode Islam. Dengan melihat interpretasi Umar yang kontekstual tersebut, dianalisa dan dijelaskan bagaimana pendekatan tekstual yang selama ini telah mendominasi penafsiran terkait relasi laki-perempuan memunculkan kontra posisi dan –di samping itu- secara nyata kontekstual bisa memberikan alternatif interpretasi yang bisa menjawab persoalan dan menjadi penjelasan yang tepat untuk hari ini.

Bagian kedua adalah bagian yang terpenting. Di situ dijelaskan gagasan pokok dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pendekatakan Kontekstual. Dijelaskan bagaimana pewahyuan yang dihubungkan dengan konteksnya; bagaimana secara herarkis susunan nilai-nilai pokok yang terkandung di dalam al-Qur’an; bagaimana nilai-nilai tersebut bisa digunakan dalam framework kontekstual; bagaimana melihat teks-teks yang bertemakan sama dan halangan apa saja yang berhubungan dengan pemaknaan hadis dalam pendekatan ini; bagaimana pula melihat kriteria dalam penggunaan hadis. Menjelaskan juga tentang fariasi metode yang bisa digunakan untuk membahas terkait persoalan pemaknaan dengan tetap mempertahankan aspek yang absolut di dalam ajaran al-Qur’an dan nilai fundamental dengan pendekatan kontekstual. Bagian terakhir pada bab ini, disediakan ringkasan terkait gagasan pokok pendekatan kontekstual dan memperlihatkan petunjuk secara praktis dalam pengunaan pendekatan ini.

Terkait dengan contoh-contoh, tidak dipaparkan secara komperhensif antara interpretasi pra moderen dengan moderen. Abdullah Saeed sendiri mengakui bahwa ia hanya mengambil sebagian kecil penafsir dan memperlihatkan pola penafsiran yang berbeda di antara mereka. Penafsir dari pra moderen merujuk kepada al-Thabari, al-Zamakhsyari, al-Razi, al-Qurtubi, dan Ibn Katsir. Sementara dari moderen diwaliki oleh Sayd Qutb, al-Maududi dan al-Thabataba’i.

            Tujuan di dalam eksplorasi beberapa tafsiran ini adalah untuk memperlihatkan perubahan secara berangsur-angsur pandangan muslim terkait persoalan interpretasi al-Qur’an dengan sumber yang diambil dari data-data dari persoalan tersebut -yang mana menjadi data penting yang diperdebatkan hingga periode moderen. 

Empat bagian ini ditampilkan dengan berbagai interpretasi berbeda terhadap ayat yang berkaitan dengan tema secara spesifik. Untuk memberikan batasan pada buku ini, Abdullah Saeed tidak secara detail menampikan penafsiran untuk semua teks. Tetapi ia meringkas beberapa pandangan terkait persoalan itu, dalam rangka ]memberikan kotenks atas jenis pemikiran yang mungkin saja telah ada hubungannya dengan interpretasi satu ayat atau kata dalam persoalan tersebut.

Contoh-contoh dalam buku ini adalah mengenai firman Allah 4:34 terkait masalah relasi gender, terkait persoalan penyaliban dan kematian yesus, perbedaan pandangan tentang syura yang dikaitkan dengan pemerintahan dan demokrasi dan contoh terakhir permasalahan riba.

 (lanjut analisis dan kesimpulan pada mengenal pendekatan tekstualisme ala Abdullah Saeed (2))


[1] Konektor Konteks –sebagaimana yang dijelaskan ust Shahiron Syamsuddin adalah seluruh masa yang menjadi penghubung antara masa penurunan wahyu dan masa sekarang. Masa itu terhitung pada masa sahabat pasca nabi wafat, para tabi’in, atba’ tabi’in, para ulama shalaf dan ulama kontemporer. Secara sederhana konektor konteks bisa dilihat dari berbagai macam tafsir-tafsir yang berkembang hingga sekarang.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template