Foto Abdullah Saeed dan cover bukunya |
Tulisan ini merupakan Summary atas buku “Reading The Qur’an in
The Twenty-First Century: A Contextualist Approach” karangan Abdullah
Saeed, Bagian: Backround and Examples of Contextualism. Di dalamnya akan
dipaparkan secara sederhana peta pemikiran Abdullah Saeed dalam menampilkan
pendekatan Kontekstualisme. Begitu juga ada usaha dari penulis untuk memberikan
sedikit komentar.
Latar
Belakang: Tekstualisme dan pentingnya Kontekstualisme
Pada bagian awal ini, Abdullah Saeed menjelaskan terlebih dahulu
terkait perkembangan penafsiran mulai dari awal abad ke tujuh hingga abad moderen.
Poin penting yang bisa ditangkap dari penjelsan itu adalah bahwa pendekatan
tekstualis merupakan pendekatan yang pertama kali digunakan untuk
menginterpretasi makna ayat al-Qur’an. Tekstualisme sendiri merupakan
pendekatan yang sepenuhnya bergantung pada makna literal teks. Dominannya
penggunaan tekstualis ini dapat dilacak pada tradisi ilmu tafsir dan fiqih yang
mengutamakan kajian dengan mendasari pada pendekatan tekstualis, utamanya
persoalan yang berkaitan dengan lokal legal teks dan persoalan fiqh.
Bagi Abdullah Saeed, pendekatan tekstualis menjadi penting digunakan
apabila ayat-ayat al-Qur’an yang hendak diinterpretasikan tergolong ayat-ayat
non-kontekstual. Adanya tipe ayat seperti ini didasari dari kenyataan bahwa
ayat tersebut dapat secara langsung relevan untuk berbagai macam konteks.
Contohnya, ayat-ayat yang secara keseluruhan tidak dijelaskan secara spesifik
dan detail. Seperti tidak adanya nama tempat, orang, peristiwa dan dijelaskan
secara naratif. Tidak adanya penjelasan spesifik tersebut menunjukkan nilai
pokok yang bisa ditangkap secara tekstual berlangsung secara universal.
Seperti, ayat yang bercerita tentang penciptaan semesta dan Adam yang
mengandung nilai universal tentang kekuataan penciptaan Allah, atau juga cerita
tentang pertentangan antara Nabi Musa dan Fir’aun yang mengandung prinsip dasar
bahwa kebaikan akan selalu menang dari kejahatan. Semua gagasan dan pelajaran
dari ayat seperti ini bisa dibaca dan difahami langsung dari teksnya serta bisa
diaplikasikan di berbagai konteks, kultur, waktu dan tempat, karena menunjukkan
nilai universal atau apa yang disebut oleh Abdullah Saeed sebagai “trans-historical.”
Pendekatan tekstualis kemudian menjadi masalah jika dihadapkan pada
ayat-ayat yang memang dilatarbelakangi dan sangat erat hubungannya dengan
konteks yang dijelaskan secara mendetail dan spesifik. Sebab, penjelasan yang
sangat spesifik tersebut mau tidak mau menggambarkan betapa konteks ketika itu
sangat mempengaruhi berlakunya ajaran atau prinsip dari bagian ayat ini. Sehingga
dalam beberapa fakta, pembacaan secara tekstualis gagal menghasilkan makna yang
bisa menggambarkan nilai universal apa yang terkandung di dalamnya. Kegagalan
itu akan terlihat ketika penerapannya menemui benturan masalah dengan keadaan
zaman moderen sekarang yang tentunya memiliki konteks keadaan dan waktu yang
sangat berbeda.
Kenyataan seperti inilah yang membuat Abdullah Saeed merasa
berkepentingan untuk menjelaskan pendekatan kontekstualisme sebagai sebuah
alternatif baru dalam menggali makna al-Qur’an dan kemudian bisa diaplikasikan
di zaman sekarang. Bentuk aplikasi yang tentunya menjadi solusi atas
permasalahan kontemporer tanpa mengubah substansi dari ajaran Islam itu
sendiri.
Proses
Pendekatan Kontekstualisme
Pada bagian ini, di beberapa tempat Abdullah saeed mendefinisikan
pendekatan kontekstual. Dari beberapa keterangan itu dapat diketahui bahwa
pendekatan kontekstual memiliki ciri di antaranya: pertama, membaca al-Qur;an
melalui konteks historis saat pewahyuan turun dengan metode hermeneutika dan
kemudian menginterpretasikan makna ayat berdasarkan konteks tersebut. kedua
pendekatan kontekstual adalah sebuah pendekatan yang menyediakan metodologi
interpretasi al-Qur’an yang bisa berlaku untuk semua waktu, dengan berangkat
dari makna literal perintah al-Qur’an sambil memelihara tujuan dan semangat
perintah tersebut. ketiga pendekatan kontekstual merupakan sebuah metode
interpretasi yang berbasis pada lokal konteks al-Qur’an pada saat pewahyuan
menuju aplikasi nilai pada konteks abad moderen.
Beberapa pengertian yang diberikan Abdullah Saeed di atas meniscayakan
satu poin penting. Poin penting tersebut adalah pendekatan ini menempatkan
konteks sebagai gagasan utama dalam mencari makna yang tepat di dalam
al-Qur’an. oleh sebab itu, Abdullah Saed menekankan makna kata “konteks” yang
ia maksud. Bagi Abdullah Saeed, konteks adalah cakupan konsep yang memasukkan
berbagai macam hal secara universal. Ia mencontohkan, jika kita hendak mengkaji
sesuatu dalam aspek linguistik, maka yang menjadi titik fokus secara primer
tidak hanya terletak pada susunan kalimat, prasa atau kaidah penulisan teksnya.
Tetapi lebih dari itu, pendekatan konteks meniscayakan seseorang untuk
mempertimbangkan aspek yang jauh lebih luas, berupa aspek sosial, politik, ekonomi,
kultural dan setting intelektualnya. Konteks
semacam inilah yang disebut oleh Abdullah Saeed sebagai makro
konteks.
Dalam menginterpretasi makna al-Qur’an dengan pendekatan kontekstual,
Abdullah menetapkan dua makro konteks yang di mana setiap peneliti harus punya
sensitifitas tinggi terhadap keduanya. Pertama, konteks saat pewahyuan
turun. Konteks pada bagian ini meniscayakan adanya analisa secara mendalam
terkait dengan keadaan sosial, politik, ekonomi kultural, dan setting
intelektual saat al-Qur’an diwahyukan, saat kodifikasi, tempat di mana wahyu
turun dan keadaan masyarakat yang menjadi sasaran diturunkannya wahyu tersebut.
Luasnya konteks yang perlu dianalisa tersebut mengharuskan adanya tambahan
gagasan, pemikiran, asumsi, nilai, bentuk kepercayaan dan norma kultural yang
berlaku saat itu. Tujuannya ialah untuk memperoleh pengetahuan yang tepat dalam
rangka memahami makna hakiki teks yang berangkat dari pengetahuan tersebut. Konteks
ini diistilahkan oleh Abdullah Saeed sebagai “makro konteks pertama.”.
Kedua, konteks yang
perlu diperhatikan adalah konteks periode sekarang. Konteks tersebut meliputi
gambaran tindakan atau keadaan yang terjadi pada hari ini. konteks ini meliputi
berbagai element, seperti keadaan saat penafsir hidup, kondisi psikologi
masyarakat, kultur kontemporer dan norma-norma religius, pemikiran politik,
insititusi dan gagasan ekonomi, sistem, nilai dan norma lainnya. Konteks ini
juga memasukkan bentuk pendidikan, tujuan ekonomi dan politik serta segala hal
yang ditetapkan dan diusahakan oleh masyarkat moderen untuk memelihara bebagai
hak dan kepentingan yang diakui pada umumnya. Konteks ini, diistilahkan sebagai
“makro konteks kedua”.
Usaha yang kemudian harus dilakukan setelah mendapatkan pengetahuan
dari hasil analisa terhadap makro konteks pertama dan kedua adalah “menerjemahkan”
makna ayat berlandaskan hasil analisa
dari makro konteks pertama menuju penerapannya pada makro konteks kedua. Usaha
ini mengharuskan adanya suatu penghubung yang bisa menghubungkan secara dekat
dua konteks yang berbeda ini tanpa melewatkan satu pun element di antara dua
makro konteks tersebut. penghubung itu kemudian diistilahkan oleh Abdullah
Saeed sebagai “konektor conteks[1]”
Tanpa adanya konektor conteks, mustahil menghubungkan dua periode
dengan tepat. Untuk membentuk konektor konteks, Abdullah Saeed menggunakan
metode hermeneutika historis yang dengannya bisa melacak tema, gagasan,
pengetahuan, pemikiran dan atau prinsip nilai dari ayat yang telah dikaji
berdasarkan data makro konteks pertama. Prinsip nilai ini tentunya harus
memiliki sifat dasar fleksibel dan dinamis, dalam arti bisa diinterpretasikan
secara terus menerus atau bisa senantiasa maknanya diadaptasi dalam al-Qur’an dan
berlaku untuk semua zaman. Secara sederhananya konektor konteks harus bisa
memastikan suatu pengertian yang telah ditetapkan sebagai prinsip utama di
dalam tema besar al-Qur’an bisa diterapkan oleh generasi muslim secara
berkesinambungan. Dengan semua penjelasan itu maka, didapatkan sebuah framework
kontekstualisme yang memungkinkan untuk membaca al-Qur’an dengan cara
menekankan pada relevansi yang selalu sesuai dengan masyarakat moderen hingga
generasi setelahnya.
Contoh penerapan sederhana dari metode di atas yang dijelaskan oleh
Abdullah Saeed adalah zakat. Zakat sendiri difahami sebagai kewajiban
memberikan sebagian pemasukan, tabungan atau harta kita kepada kategori orang
yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an sebagai yang berhak menerima zakat. Zakat
termasuk amalan yang dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadis secara spesifik;
mulai dari kadar harta yang dikeluarkan sebanyak 2, 5 persen dan juga ketentuan
barang-barang apa saja yang berhak dizakati dan golongan orang-orang yang
berhak menerimanya.
Bagi Abdullah Saaed, dengan menggunakan pendekatan kontekstualis,
dapat diketahui bahwa di antara prinsip universal dari perintah zakat ialah
adanya sistem perpajakan yang dapat mengatur kemaslahatan masyarakat ketika
itu. Peraturan yang sedemikian spesifik dalam mengatur perhitungan harta dan
berapa yang dikeluarkan, serta barang apa saja dan siapa saja yang berhak
mendapatkan adalah aturan perpajakan yang sudah sangat maju di masyarakat
ketika itu mengingat belum ada satu pun sistem perpajakan yang berlaku.
Pada kenyataannya, prinsip ini tidak dijiwai secara mendalam.
Perdebetan fiqh hingga sekarang terkait masalah zakat sangat terbatas karena
anggapan bahwa aturan zakat merupakan sesuatu yang “keramat” dan hanya perlu
tunduk dan patuh pada dalil yang tersedia saja. akibatnya zakat sebagai sistem
perpajakan dan pengelolaan harta lambat laun mulai terkikis fungsinya.
Dengan pendekatan kontekstual, persoalan di atas kemudian bisa
diatasi. Sebab tentunya dengan pendekatan ini maka nilai prinsip tadi diusung
kembali sebagai kunci pokok penerapan zakat. Sehingga yang menjadi pertanyaan
mendasar, -misalnya- kenapa hanya 2.5 persen saja? dan kenapa tidak bisa
diperluas barang atau usaha yang perlu dizakati?. Pertanyaan semacam itu tentu
berangkat dari perkembangan masyarakat kekinian yang jauh lebih problematis dan
kompleks dibanding masyarakat pada abad di mana perintah zakat baru diwahyukan.
Kesimpulannya, dengan pendekatan kontekstual, fungsi zakat akan senantiasa
hidup di zaman sekarang, sebagaimana ia hidup dan bermanfaat di zaman lalu.
Tujuan
Pendekatan Kontekstualisme; Nilai Interpretasi Umar bin Khattab
Dalam bab ini Abdullah Saeed dengan jujur menyadari bahwa
setidaknya terdapat dua penghalang mengapa hingga sekarang pendekatan
kontekstualis belumlah berkembang secara signifikan. Di satu sisi, beberapa
kalangan ulama, khususnya kelompok hard-tekstualis mengklaim posisi
pendekatan kontektualis merupakan pendekatan yang tidak islami bahkan anti Islam.
Di sisi lain, para peneliti yang mengusung metode kontekstual belum mampu
menghadirkannya dengan sistematisasi yang baik; lebih cenderung meninggalkan
konteks di mana wahyu turun dan hanya menitik beratkan perhatian mereka pada
konteks moderen sekarang.
Dua masalah ini kemudian membuat Abdullah Saeed secara rendah hati
mencoba sebisa mungkin menjelaskan pendekatan kontekstual secara porposonal.
Setidaknya ada beberapa tujuan yang bisa disimpulkan. (1). Dengan tulisan ini
Abdullah Saeed ingin membuktikan bahwa pendekatan kontekstual justru merupakan
pendekatan yang paling Islami. Untuk itu, ia dengan terang-terangan menyatakan
bahwa tulisan ini tidaklah untuk menggugat kerja besar dan hasil-hasil yang
telah dilakukan ulama-ulama terdahulu. Pendekatan ini juga bukan upaya
mereduksi makna-makna yang didapatkan dari pendekatan literal, melainkan justru
memperluas dan mengembangkannya. Cara ini dikatakan oleh Abdullah Saeed sangat
islami, karena memiliki akar keilmuan yang sangat kuat. Akar itu bahkan bisa
didapatkan semenjak abad pertama Islam dari sosok besar tokoh Islam, Umar bin
Khattab, sang khalifah kedua.
Memahami cara intrepretasi
Umar dalam sejarah, bagi Abdullah Saeed menyadarkan kita bahwa betapa Umar r.a
sangat meyakini terdapat nilai-nilai prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an
yang berlaku universal. Dalam rangka itu, Umar bin Khattab secara sadar
memahami al-Qur’an dengan sangat kontekstual.
(2). Dengan tulisan ini juga Abdullah Saeed ingin memperlihatkan
bagaimana seharusnya pendekatan kontekstual yang difahami oleh beberapa
peneliti moderen. Bahwa pendekatan kontekstual yang falid harus bisa menampung
makna terdalam dari ayat dengan mengindahkan kondisi ketika “makna” itu
tercipta di zaman ketika wahyu turun, lalu menjadikan makna itu sebagai sebuah
nilai universal dan membawanya ke zaman sekarang agar bisa diterapkan sesuai
konteks kekinian.
Susunan
Buku
Buku ini terdiri dari empat bagian. Pada bagian pertama diuraikan
perkembangan interpretasi al-Qur’an hingga periode moderen. Uraian ini
menjelaskan tentang konteks yang menjadi pembahasan moderen terkait masalah
interpretasi dan gagasan pokoknya. Dalam penjelasan itu, dianalisa beberapa
konteks dan metode interpretasi yang telah berlaku pada pra moderen dan
memperlihatkan bagaimana pembacaan secara tekstual kemudian dikembangkan
sebagai metode tafsir tradisional. Pada bagian ini juga dianalisa contoh
historis keterangan penggunaan interpretasi kontekstual. Yaitu interpretasi
yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Contoh ini menyimpulkan bahwa pendekatan
kontekstual hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah memliki akar
sejak awal periode Islam. Dengan melihat interpretasi Umar yang kontekstual
tersebut, dianalisa dan dijelaskan bagaimana pendekatan tekstual yang selama
ini telah mendominasi penafsiran terkait relasi laki-perempuan memunculkan
kontra posisi dan –di samping itu- secara nyata kontekstual bisa memberikan
alternatif interpretasi yang bisa menjawab persoalan dan menjadi penjelasan
yang tepat untuk hari ini.
Bagian kedua adalah bagian yang terpenting. Di situ dijelaskan
gagasan pokok dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pendekatakan Kontekstual.
Dijelaskan bagaimana pewahyuan yang dihubungkan dengan konteksnya; bagaimana
secara herarkis susunan nilai-nilai pokok yang terkandung di dalam al-Qur’an;
bagaimana nilai-nilai tersebut bisa digunakan dalam framework kontekstual; bagaimana
melihat teks-teks yang bertemakan sama dan halangan apa saja yang berhubungan
dengan pemaknaan hadis dalam pendekatan ini; bagaimana pula melihat kriteria
dalam penggunaan hadis. Menjelaskan juga tentang fariasi metode yang bisa
digunakan untuk membahas terkait persoalan pemaknaan dengan tetap
mempertahankan aspek yang absolut di dalam ajaran al-Qur’an dan nilai
fundamental dengan pendekatan kontekstual. Bagian terakhir pada bab ini, disediakan
ringkasan terkait gagasan pokok pendekatan kontekstual dan memperlihatkan
petunjuk secara praktis dalam pengunaan pendekatan ini.
Terkait dengan contoh-contoh, tidak dipaparkan secara komperhensif
antara interpretasi pra moderen dengan moderen. Abdullah Saeed sendiri mengakui
bahwa ia hanya mengambil sebagian kecil penafsir dan memperlihatkan pola
penafsiran yang berbeda di antara mereka. Penafsir dari pra moderen merujuk kepada
al-Thabari, al-Zamakhsyari, al-Razi, al-Qurtubi, dan Ibn Katsir. Sementara dari
moderen diwaliki oleh Sayd Qutb, al-Maududi dan al-Thabataba’i.
Tujuan
di dalam eksplorasi beberapa tafsiran ini adalah untuk memperlihatkan perubahan
secara berangsur-angsur pandangan muslim terkait persoalan interpretasi al-Qur’an
dengan sumber yang diambil dari data-data dari persoalan tersebut -yang mana
menjadi data penting yang diperdebatkan hingga periode moderen.
Empat bagian ini ditampilkan dengan berbagai interpretasi berbeda
terhadap ayat yang berkaitan dengan tema secara spesifik. Untuk memberikan
batasan pada buku ini, Abdullah Saeed tidak secara detail menampikan penafsiran
untuk semua teks. Tetapi ia meringkas beberapa pandangan terkait persoalan itu,
dalam rangka ]memberikan kotenks atas jenis pemikiran yang mungkin saja telah
ada hubungannya dengan interpretasi satu ayat atau kata dalam persoalan
tersebut.
Contoh-contoh dalam buku ini adalah mengenai firman Allah 4:34
terkait masalah relasi gender, terkait persoalan penyaliban dan kematian yesus,
perbedaan pandangan tentang syura yang dikaitkan dengan pemerintahan dan
demokrasi dan contoh terakhir permasalahan riba.
(lanjut analisis dan kesimpulan pada mengenal pendekatan tekstualisme ala Abdullah Saeed (2))
[1]
Konektor
Konteks –sebagaimana yang dijelaskan ust Shahiron Syamsuddin adalah seluruh
masa yang menjadi penghubung antara masa penurunan wahyu dan masa sekarang.
Masa itu terhitung pada masa sahabat pasca nabi wafat, para tabi’in, atba’
tabi’in, para ulama shalaf dan ulama kontemporer. Secara sederhana konektor konteks
bisa dilihat dari berbagai macam tafsir-tafsir yang berkembang hingga sekarang.