Dengan
motivasi beragam yang terbentang dari kepentingan ilmiyah murni hingga
kepentingan riset demi menopang imperialisme, para orientalis mempelajari Timur
dengan punuh kesungguhan. Islam sebagai salah satu elemen penting dari “Timur”
tentu saja menjadi salah satu bidang kajian mereka. Islam lalu didekati dengan
beragam pendekatan, mulai dari masyarakatnnya (umat Muslim), akidahnya, studi
hadis, ulum al-Qur’an, dan lain sebagainya. Salah satu pendekatan yang
digunakan adalah kajian semantik terhadap konsep-konsep kunci agama Islam. Salah
seorang tokoh yang sangat disegani dalam kajian semantik (kebahsaan) terhadap
Islam adalah Prof. Toshihiko Izutsu, seorang Guru Besar berbangsa Jepang yang
aktif di Universitas Mc Gill, sarang orientalis kelas berat itu.
Toshihiko
telah menelurkan banyak karya dalam bidang ini, beliau mampu mengkaji makna
kata-kata kunci dalam bangunan agama Islam lalu darinya mengurai bagaimana
pandangan alam Islam. Ia misalnya telah menulis God and Man Koran : Semantic
of the Quranic Welstancaung, yang membahas konsep “Allah” dan manusia
secara semantik lalu mengurai pandangan alam Islam berdasrkan makna semantik
terdalam dari kedua kata tersebut. Karyanya yang lain The Concept of Belief
in Islamic Theology, membahas makna semantik kata ”kufr” “iman” dan “islam”
dalam merumuskan konsep kepercayaan dalam Islam. Syamsuddin Arif bahkan
menyandingkannya dengan al-Attas dan ar-Raghib al-Asfahani dalam hal kajian
semantik Islam. Padahal kita tahu keduanya adalah ulama Islam yang ahli dalam
semantik. Al-Asfahani dalam Mufradat Alfadz al-Qur’an, mampu memberikan
kepada kita makna menyeluruh dan mendalam dari kosa kata- kosa kata al-Qur’an.
Oke,
cukulah dengan Prof. Izutsu, karena sebenarnya tokoh utama dalam tulisan ini
bukanlah beliau. Orientalis Jepang ini dibicarakan seperti di atas untuk
menunjukan kedalaman pengetahuannya tentang makna kata Bahasa Arab, dan betapa
otoritasnya dalam hal itu telah diakui, baik di dunia Islam ataupun sesama
koleganya di Barat. Poin itu penting diingat karena ia akan memainkan peran
penting dalam cerita yang akan kita simak berikut ini. Kisah ini adalah kisah
seorang Associated Profesor berkulit sawo matang dari sebuah negara
mayoritas Islam di Asia Tenggara yang menantang raksasa-raksasa orientalis di
sarang mereka sendiri, pasalnya sang Sawo Matang tidak terima Nabinya yang
agung dilecehkan dengan angkuh. Dialah HM. Rasjidi, ulama Nusantara yang masih
merasakan suasana rantai intelektual ulama Islam dari Timur Tengah ke Asia
Tenggara. Ia mungkin adalah generasi terakhir dari jaringan yang diungkap oleh
Prof Azyumardi Azra itu. Rasjidi muda
adalah murid langsung dari Syaikh Ahmad Soorkati yang kemudian membawanya ke
Mesir, di sana ia langsung dibimbing oleh tokoh-tokoh seperti Tanthawi Jauhari
dan al-Maraghi, dua mufassir besar era modern.
Ketika
itu, dalam sebuah sesi kuliah di Mc Gill tahun 1958, Prof.Joseph Schacht orientalis
yang terkenal dengan teori-teorinya yang destruktif terhadap bangunan agama
Islam menyampaikan sebuah pidato ilmiyah. Murid dari Ignaz Goldziher sang Syaikh
Mustasyrikin ini dengan terang-terangan mengangga bahwa hukum Islam adalah arbitrage,
karena waktu itu tidak ada hukum tertulis yang dijadikan tempat mencari
keadilan. Dengan kata lain, karena Nabi Muhammad saw tidak mendirikan
pemerintahan tetapi hanya membentuk ummah, maka segala perselisihan
diselesaikan menurut arbitrage (kekuasaan untuk menyelesaikan suatu
perkara menurut kebijaksanaan). Karena itulah, kata-kata yang dipakai untuk
mengetengahkan suatu sengketa adalah kata hakama yang berarti
"penengah" atau wasit, dan bukan qadha yang berarti
"memutuskan".Hal itu sama saja dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad
saw tidak pernah menyusun suatu konsep kenegaraan. Dan lebih jauh lagi, berarti semua hukum Islam
berasal dari gagasan Rasulullah saja, tidak ada hukum tertulis, artinya tidak
ada ketetapan yang berasal dari luar Rasulullah yakni wahyu.
Rasjidi yang menghadiri orasi ilmiyah itu langsung
mengajukan keberatan dan menyatakan bahwa Prof. Schacht telah salah memahami
kedua kata tersebut. Ulama yang lulus dengan predikat cumlaude dari
universitas Sorbone Prancis itu menegaskan bahwa qadha dan hakama adalah
sinonim dan itu bisa dibuktikan dalam al-Qur’an. Schacht justru menjawab bahwa
Rasjidi belum paham persoalan yang dibahas dan memintanya membaca lagi buku Histoire
De'l Organisation Jiduciare En Pays De L'islam (Sejarah Organsisasi
Kehakiman di Negara-negara Islam) yang dikarang Emillie Teyan. “Tuan belum
mendalami perosalan tersebut,” ujar Prof. Schacht. Seorang profesor yang lain
menuding si penyanggah yakni HM. Rasjidi sebagai seorang ‘orotdox’, sebutan
yang berkonotasi tidak baik. Melihat situasi yang menegang itu, Profesor
Cantwell Smith, tokoh orientalis yang juga sangat disegani di Mc Gill
memutuskan untuk meliburkan perkuliahan selama satu hari, dan menggelar
perdebatan seputar teori yang diajukan Schacht.
Sesi
debat tersebut diawali dengan pidato sanggahan dari HM. Rasjidi, beliau
menyampaikannya di depan Cantwell Smith,
Schacht, dan guru-guru besar lainnya. Di dalam pidatonya HM. Rasjidi menegaskan
bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad saw melakukan proses hukum dalam pengertian hakama
versi Schacht (penengahan berdasarkan kebijaksanaan beliau sendiri)
ketika telah terdapat teks hukum dari al-Qur’an. Sistem tersebut hanya
dilakukan bila tidak terdapat teks al-Qur’an. Sedangkan menurut Schacht dan
Tayen, sistem hukum yang dilakukan Nabi seluruhnya menggunakan arbitrage,
sebuah pedapat yang menafikan wahyu. Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi tidak
pernah mengajarkan sebuah sistem hukum adalah pendapat umum di kalangan
orientalis. Maka HM. Rasjidi dengan terang-terangan tanpa tedeng aling-aling
menentang raksasa-raksasa orientalis di markas besar mereka.
Ketika
keadaan mulai tegang karena kedua pendapat tersebut tidak bisa dihakimi begitu
saja, mulia ada suara yang menyatakan sulitnya Bahasa Arab untuk dipahami, dan
betapa kosa katanya banyak yang ambigu. Di tengah keadaan tersebut majulah ahli
semantik yang kita bicarakan di awal tadi, Prof. Izutsu. Persoalan ini
berakar pada kesimpulan berbeda yang ditarik Schahct dan HM. Rasjidi dari kata hakama
dan qadha, tentu pendapat seorang yang otoritasnya diakui dalam
bidang kajian semantik bisa menarik kata putus. Di depan audiens berujarlah
Prof Izutsu "yang benar adalah Profesor sawo matang!"
kisah ini terdapat di buku beliau Empat Kuliah Agama Islam.