بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
tak cinta yatim, shalatmu sia-sia |
Di nusantara, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari adalah dua
ulama yang namanya begitu harum, dakwahnya berbuah ranum. Namun keduanya punya
kecendrungan yang agak berbeda. Sang Hadratussyaikh terkenal sebagai pemikir
hebat yang gagasannya tertuang di dalam banyak kitab-kitab berharga, sedangkan
Kiyai Dahlan terkenal gemar beramal, pola pengajaran beliau selalu menekankan
aspek kesalihan sosial ajaran Islam. Salah satu bentuk nyata dari kecendrungan
tersebut adalah kisah pengajian al-Maun yang masyhur itu. Kelak, kisah ini
menjadi jiwa yang mengilhami banyak orang untuk menyayangi anak yatim.
Sebelum menjadi organisasi besar bernama Muhammadiyah, perkumpulan
yang dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan itu hanyalah sebuah forum kajian kecil.
Kiyai Dahlan membimbing murid-muridnya yang terdiri dari beberapa anak muda di
salah satu sudut Kuman, perkampungan para “kaum” di kota Yogyakarta. Suatu
ketika di forum tersebut, murid-murid Kiyai Dahlan terhran-heran, penasaran
sekaligus geregetan. Pasalnya, guru mereka terus menerus memberikan
materi pengajian yang sama, selalu surah al-Mau’un. Surah ke-107 dalam tertib
mushaf Utsmani itu sudah berlaurut-larut diajarkan. Mereka merasa sudah tahu
betul seluk-beluk penafsirannya. Tapi sang Kiyai masih saja mengulangi, sampai
bosan rasanya. Akhirnya, ada seorang murid yang memberanikan diri bertanya,
“Mengapa kita mempelajari surah ini terus, Kiyai? Kami sudah
memahaminya, apakah kita tidak melangkah ke bab berikutnya saja?
Mendengar pertanyaan muridnya tersebut, Kiyai Dahlan tersenyum,
sebab keingin tahuan seperti inilah yang beliau harapkan muncul. Maka beliau
pun memberikan jawaban yang nanti begitu berbekas di sanubari murid-muridnya.
“Kalian memang telah mengetahui kandungan ayat ini, tapi apakah
kalian semua telah mengamalkannya? Sudahkah kalian masing-masing menyantuni
seorang anak yatim atau kaum papa?”
Demikianlah kira-kira jawaban Kiyai Dahlan, sebuah jawaban yang
lalu berbuah aksi nyata. Jawaban yang begitu menghentak batin murid-muridnya.
Kita yang hidup seabad lebih setelah kisah itu, tentu juga semestinya ikut
terhenyak. Betapa tidak, surah al-Maun mengandung sebuah ancaman nyata bagi
setiap Muslim, meski ia shalat, meski lima rukun Islam telah ia penuhi, ia
tetap dianggap pendusta agama, ia justru digaransi celaka jika ia tidak cinta
kepada anak yatim dan kaum papa.
Perhatikanlah ayat pertama surah tersebut, “Tahukah engkau siapa
para pendusta agama itu?” Jika saja ayat berikutnya tidak dibaca, mungkin akan
muncul sangkaan, para pendusta agama tentulah mereka yang malas shalat, atau
tak pernah puasa. Alih-alih demikian, jawabannya justru menunjukan karkater
sejati ajaran Islam, ajaran yang mengajarkan agar mereka yang lemah dikasihi. Maka
Allah menjawabanya sendiri, “Yaitu mereka yang menerlantarkan anak yatim!”
Mereka itulah yang mendorong anak yatim menjauh dengan kata-kata yang kasar,
menzhalimi mereka, merendahkan mereka, mengejek mereka, dan enggan memberikan
bantuan kepada mereka, begitu Syaikh Ali as-Shabuni menjelaskannya di dalam
Shafwat at-Tafasir.
Tentu saja, sikap peduli terhadap anak yatim sudah semestinya ada
pada diri seorang Muslim, tapi ternyata peduli saja tidak cukup. Esensi paling
penting dari surah al-Maun adalah bantuan nyata, bantuan yang memberikan efek
manfaat kepada anak-anak malang itu. Bantuan yang memberikan manfaat itulah
yang disebut sebagai “al-Ma’un” nama dari surah yang mulia ini. Sesiapa
yang enggan memberikan bantuan seperti itu mendapatkan ancaman yang tidak
tanggung-tanggung dari Allah; “Maka celakalah mereka yang shalat! Yaitu mereka
yang lalai dari shalatnya, dan mereka yang riya’ serta enggan memberikan
bantuan yang bermanfaat (al-Ma’un)”
Demikianlah, shalat pun tidak ada artinya di hadapan mizan Allah
jika seseorang masih enggan mengulurkan tangannya membantu anak yatim dan orang
miskin. Terlebih bila ia yatim sekaligus fakir. Sebagai realisasi dari jiwa
al-Maun, maka esoknya, Kiyai Dahlan dan murid-muridnya mengumpulkan anak-anak
yatim terlantar di sekitar Kauman dan alun-alun Jogja, mereka lalu dimandikan,
diberi pakaian layak, diberi makan enak, dan yang terpenting dibukakan pintu
kepada masa depan yang cerah; pendidikan. Jiwa al-Maun tetap hidup hingga hari
ini. Gerakan al-Maun yang mulai setelah pengajian di sudut kampung Kauman itu
kini telah berkembang pesat. Saat ini setidaknya ada 318 panti asuhan di
berbagai tempat di Indonesia yang dikelola organisasi berlambang matahari
tersebut.
Tentu saja Muhammadiyah hanya salah satu titik di tengah lautan
amal umat Islam yang terus berlomba-lomba dalam kebaikan memberi kasih sayang
kepada anak yatim di seluruh dunia. Siapakah yang masih enggan mengulurkan
tangan, jika Muhammad sang junjungan pun telah berjanji, bahwa para penyantun
anak yatim kelak akan menjadi karib eratnya di surga? Semoga Allah menumbuhkan cinta anak yatim di
dalam kalbu kita, mengizinkannya berbuah amal nyata. Sebab tanpanya, shalat
kita hanya berbuah celaka bahkan divonis pendusta agama.