Analisis
dan Kesimpulan
Secara jujur penulis merasa kurang memadai memberikan analisis pada
tulisan Abdullah Saeed. Alasan terpentingnya karena apa yang dideskripsikan
secara ringkas di atas hanyalah bagian awal dari karangannya. Sehingga bgian ini
hanyalah kerangka dari kerja besarnya mengusung dan menjelaskan pendekatan
kontekstual sebagai alternatif interpretasi makna al-Qur’an. Namun demikian,
setidaknya ada beberapa pendapat dan telaah Abdullah Saeed yang bagi penulis
bisa dikomentari.
a.
Akar Pemikiran
Terkait akar gagasan pendekatan kontekstual, Abdullah Saeed sendiri
mengakui bahwa apa yang ia tuliskan di sini bukanlah ide yang baru. Gagasan ini
merupakan gagasan lama yang telah dicetuskan oleh beberapa tokoh sebelumnya
dalam ruang pembacaan teks-teks keagamaan, termasuk dalam membaca al-Qur’an itu
sendiri. Lebih spesifik lagi, akar pemikiran yang berhubungan dengan pendekatan
kontekstual ini bisa dilacak secara jelas pada tokoh-tokoh moderen yang
mengusung hermeneutika sebagai metode kontemporer.
Di antara tokoh tersebut ialah: Jurgen Habermas yang mengusung
hermeneutika kritis. Ia menyatakan bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan
ada bias dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial termasuk bias
strata kelas, suku dan gender. Pendapat Habermas ini, jika kita tarik benang
merahnya pada apa yang dijelaskan oleh Abdullah Saeed maka akan ditemukan pada
maksud “konteks” yang dijelaskannya. Luasnya cakupan konteks tersebut sangat
mungkin terilhami dari prinsip dasar yang juga menjadi landasan Hermeneutika
kriits Habermas.
Besarnya peran sejarah dalam pendekatan Abdullah Saeed, jika hendak
dilacak dapat ditemukan akar kesamaannya dengan hermeneutika yang diusung oleh Wiliam
Dilthey. Wiliam menyatakan bahwa sejarahlah yang menentukan makna dari sebuah
kata. Meskipun tidak secara eksplisit Abdullah Saeed menyebutkan peran sejarah
seperti yang dikatakan oleh Wiliam Dilthey, tapi dapat dilihat kesamaan
pentingnya peran historis tersebut pada konsep kontektor konteks Abdullah Saeed
yang menggunakan analisis hermeneutika historis.
Lebih spesifik lagi, metode menghubungkan “awal abad ketujuh”
menuju periode “abad 21” dengan makro konteks pertama dan kedua, tidaklah
terlalu berlebihan jika memiliki akar yang kuat dengan rumusan double
movement milik Fazlurrahman. Tidak jauh berbeda dari apa yang dirumuskan
oleh Abdullah Saeed, Fazlurrahman juga
merumuskan “dua perpindahan” dengan perpindahan pertama melihat teks dan
konteks sebuah ayat agar bisa dipisahkan yang mana legal spesifiknya dan idea
moralnya. Kemudian idea moralnya sebagai semangat dari legal spesifik tersebut
dipelihara dan diaplikasikan melalui perpindahan kedua menuju abad kontemporer
dengan proses-proses dalam rangka menciptakan relevansi idea moral dengan
kebutuhan dan keadaan masyarakat moderen.[1]
b.
Perlunya penjelasan perkembangan tafsir yang memadai
Penulis sepakat dengan apa yang dinyatakan oleh Abdullah Saeed
bahwa penafsiran dengan memperhatikan konteks telah dilakukan bahkan semenjak
zaman Nabi dan para Sahabat. Hal ini pun pada kenyataannya di dalam ilmu tafsir
atau ulum al-Qur’an juga dijelaskan. Bahkan tidak hanya itu, penafsiran
dengan berbagai pendekatan, dalam sejarahnya telah ada bahkan telah matang
sebelum ilmu tafsir itu sendiri ditetapkan menjadi sebuah disiplin keilmuan.
Contohnya, pendekatan aspek bahasa yang ditemukan dalam tafsir Ma’ani
al-Qur’an karya al-Zajjaj (m. 311 H), aspek teologi ditemukan dalam tafsir al-Kasysyaf
an Haqa’iq Ghawamid al-tanzil karya al-Zamakhsyari (m. 406/1016), aspek
hukum didapatkan Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (m. 370/981) dan
pendekatan-pendekatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semenjak perkembangan
awal penafsiran, berbagai pendekatan keilmuan telah dipergunakan oleh para
mufassir untuk menginterpretasi makna al-Qur’an.
Namun, yang menjadi titik penting adalah, meskipun memakai berbagai
pendekatan, ilmu tafsir meniscayakan adanya kesamaan prinsip dan tata kaidah
dasar yang semenjak dulu hingga sekarang harus dipenuhi tidak hanya dalam
menafsirkan tetapi juga menakwil ayat al-Qur’an.[2] Di
antaranya adalah setiap penafsiran tidak boleh melepaskan makna lafal,
penjelasan dari al-Qur’an dan hadis shahih serta mempertimbangkan penafsiran
yang diberikan oleh sahabat.
Hal ini jelas terlihat dari perkembangan tafsir. Setelah generasi
sahabat, para tabiin menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis Nabi
dan pendapat Sahabat. setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri
berdasarkan ijtihad. Pada masa tabi’in, tafsir belum merupakan sebuah
disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Tafsir masih merupakan bagian dari hadis.
Ini menunjukkan dengan jelas bahwa tafsir selalu terkait dengan apa yang telah
dimaknai oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
Selain itu, di dalam ilmu tafsir, terdapat pula syarat lain yang
juga harus dipenuhi ketika seseorang mau menafsirkan al-Qur’an. As-Suyuti dalam al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menyebutkan
setidaknya ada beberapa bidang yang harus dikuasai oleh mufassir, yaitu nahw, sarf, ma’ani, bayan, badi, qiraah,
usuludddin, usul, fiqh, asbab, nuzul dan
qiyas, nasikh dan mansukh fiqh serta hadis.
Semua hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang generasi
mendatang untuk memberi tambahan pengertian yang lebih luas terhadap tafsir
otoritatif yang telah ada, khususnya dalam aspek ilmu alam. Tapi mereka tidak dapat
begitu saja mengesampingkan penjelasan-penjelasan spritual, etik dan hukum
serta hubungan latar belakang historisnya. Persyaratan yang ketat dalam
al-Qur’an bukanlah suatu upaya untuk menjauhkan al-Qur’an dari orang-orang
Islam awam, tapi lebih merupakan suatu sikap yang adil terhadapnya. Franz
Rosenthal dalam Knowledge Triumphat: The Concept of Knowledge in Medieval
Islam dalam hal ini menyatakan bahwa adanya prasyarat tersebut merupakan
suatu mekanisme efektif untuk meminimalkan masuknya kesalahan dan kebingungan.
Dari pada membiarkan terjadinya liberalisasi penafsiran al-Qur’an yang
berdasarkan pada kejahilan, terkaan dan kepentingan-kepentingan pribadi
dan kelompok, Islam menggalakkan belajar dan pencarian ilmu pengetahuan sebagai
asas bagi pemahaman dan perkembangan agama, dengan meletakkan persyaratan yang
berakar pada ilmu pengetahuan dan integritas moral.
c.
Interpretasi Umar bin Khattab; Persoalan Tafsir ataukah Ijtihad
Fiqhiyyah?
Salah satu landasan penting yang diungkapkan oleh Abdullah Saeed
terkait akar pendekatan kontekstualisme di dalam buku ini adalah interpretasi
Umar bin Khattab. Pada kenyataannya, sosok Umar merupakan sosok yang memang
sering mengeluarkan fatwa-fatwa yang bersikap progressif. Di antara fatwa-fatwa
tersebut adalah penghapusan pemberian
zakat para muallaf dalam al-Qur’an, penghentian hukum had potong tangan
pada tahun kelaparan atau paceklik, penolakan Umar bin Khattab atas permintaan
sahabat untuk membagi tanah-tanah ganimah dan fatwa lainnya.
Di samping segi interpretasi, menurut penulis, fatwa-fatwa yang
dibangun Umar pada hakikatnya lebih banyak harus dilihat dengan kaca mata fiqh.
Sebab, jikalau ditela’ah secara, mendalam, maka interpretasi Umar bin Khattab
tidaklah mengubah dimensi pemaknaan dari ayat, tetapi lebih melihat apakah
suatu objek telah memenuhi syarat sehingga masuk di dalam kategori yang
dimaksudkan ayat tersebut ataukah tidak.
Semisal pada kasus Umar tidak membagi bagian Zakat kepada Muallaf
ketika beliau menjadi Khalifah. Sebagaimana pendapat Yusuf al-Qardhawi, -yang
menukil pula pendapat al-Madani- bahwa hakikatnya Umar tidak menafikan makna
ayat secara sharih, melainkan Umar melihat bahwa mereka, muallaf di
waktu itu tidak lagi termasuk muallaf yang disebutkan di dalam teks ayat
sehingga tidak lagi berhak mendapatkan harta dari bait al-mal. Dengan
kata lain, Umar tidak memasukkan mereka lagi di dalam golongan orang-orang yang
disebut oleh Nash.[3]
Dalam
ayatnya, Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-ora ng yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai
sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
bijaksana”.
Dari kaca mata ushul
fiqh, lafal الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ bisa dikategorikan sebagai lafal muqayyadah yaitu
lafal yang terikat dengan makna tertentu disebabkan keterikatan bahasa, dalam
arti makna ayat itu tidak merujuk pada semua muallaf, tetapi muallaf yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa penetapan hukum,
atau istilahnya manath al-hukm, pada kategori ini tidak bisa dengan illah
makhshushah, atau kausa hukum yang diambil dari makna sharih-nya
saja. Untuk itu, perlu ada ijtihad dalam penetapan illah mustanbathah melalui
proses takhrij al-Manath (mengeluarkan kausa hukum dari teks), tanqih
al-Manath (menetapkan kausa hukum yang berlaku) dan tahqiq al-Manath (menerapkan
kausa hukum yang telah dipilih berdasarkan ijtihad yang mendalam)
Berdasarkan pendekatan ushul tersebut,
dapat diketahui bahwa bagi Umar tidaklah semua muallaf berhak mendapatkan
bagian dari zakat, dan tidaklah semua muallaf bisa termasuk di dalam kategori
muallaf yang ditunjukkan dalam ayat tersebut secara permanen. Adapun muallaf
yang bisa masuk dalam kategori tersebut –dengan pertimbangan ijtihad- di antaranya
adalah para muallaf yang masih perlu dibujuk hatinya –dengan pemberian zakat-
demi kemashlahatan dakwah Islam, dan atau muallaf yang masih perlu diberikan
zakat untuk kemashlatannya disebabkan kondisi dirinya yang sangat memerlukan
harta untuk memenuhi kebutushan-kebutuhan hidup.
Kesimpulan yang dapat diambil –menurut
penulis- adalah terlepas dari apakah ini menjadi legitimasi pendekatan
kontekstual atas tekstual, bahwa penjelasan dari sudut pandang fiqh di atas
semakin menguatkan pernyataan tidak adanya dikotomi antara pendekatan tekstual
dan kontekstual. Sebab, kaidah-kaidah bahasa yang digunakan dalam melihat ayat
di atas, -seperti al-lafzh al-muqoyyad, manath al-hukm, takhrij al-manath,
tanqih al-manath dan tahqiq al-manath- itu termasuk dari metode qiyasi
yang masuk dalam pendekatan tekstualis (kajian bahasa) di dalam melihat
ayat. Hal yang kemudian menjembatani makna dari sudut pandang tekstual tersebut
adalah penerapannya yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ushuliyyah
sehingga bisa berdimensi kontekstual. Adapun cara penetapan dan penerapan hukum
seperti ini merupakan cara yang sudah jauh sebelumnya telah difahami dan
dilakukan oleh para ulama. sehingga memang pada dasarnya persoalan tafsir, di
dalam khazanah Islam tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang hadis, fiqh dan
ilmu-ilmu lainnya yang tergolong ilmu alat dalam melihat syariat secara
komperhensif.
[1] Pernyataan ini
diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa Abdullah Saeed pernah membuat tulisan
yang membahas fazlurrahman, berjudul, “Fazlurrahman Islamic moderenisme: its
scope, method and alternatives”. Dalam tulisan ini, Abdullah Saeed menjelaskan
bahwa Hermeneutika Rahman disebut sebagai the Systematic interpretation method.
Interpretasi ini meliputi dua gerakan ganda (dobule movement), yang
substansinya berisi model penafsiran bring the present situation to quranic
time, then back to the present.
Metodologi yang ditawarkan Rahman tersebut terdiri atas dua gerakan pemikiran
yurist: pertama, dari khusus partikular kepada ynag umum general dan kedua
dari yang umum kepada yang khusus. Abdullah Saeed, Fazlurrahman “Islamic Moderenisme:
its Scope, Method and Alternatives dalam International Journal Og Middle
Eastren Studies, vol. 1 tahun 1970, h. 329. Juga, Abdullah Saeed, Fazlur
rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-legal Content of the Qur’an”.
dalam Soha Taji-Farouki (ed). Moderen Muslim Intellectuals and The Qur’an
(London: Oxford Universty Press, 2004)
[2] Al-Jurjani misalnya, dalam kitab al-ta’rifat, menyatakan
hubungan makna tafsir dan takwil. Tawil seara asalnya bermakna kembali. Namun
secara syara’ ia bermakna memalingkan lafal dari maknanya yang zhahir kepada makna yang mungkin terkandung di
dalamnya, asal makna yang mungkin itu sesuai dengan semangat kitab dan sunnah.
Contohnya, firman Allah “Dia yang mengeluarkan yang hidup dan yang mati”
(al-Anbiya: 95). Apabila yang dimaksudkan di situ adalah mengeluarkan burung
dari telur, maka itulah tafsir. Tapi apabila yang dimaksudkan disitu adalah
mengeluarkan orang beriman dari yang bodoh, maka itulah takwil . al-Jurjani, at-Ta’rifat
ed. Ibrahim al-Abyari (dar al-Diyan at-Turats n.th.), 72
[3] Yusuf
al-Qaradhawi, al-din wa al-Siyasa,h terj. dikotomi agama dan politik,
(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2008) 112