بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Oleh
: Ayub
kembang api, menyambut Dewa Janus |
Tidak mudah untuk menjadi Muslim yang utuh meluruh, menjadi hamba yang kaffah
berserah. Abdullah bin Salam, pemuka Yahudi yang kemudian
bersyahadat dan menjadi sahabat Rasulullah itu, tahu benar akan hal ini.
Beliaulah yang ditegur oleh Allah di dalam firman-Nya, surah al-Baqarah ayat
208; Wahai orang-orang yang beriman, masuklah
kalian ke dalam agama Islam secara kaffah. Di dalam tafsir al-Jalalaini dijelaskan bahwa teguran itu turun sebab setelah memeluk
Islam Abdullah bin Salam masih
mengagungkan hari Sabtu. Pengagungan itu adalah sisa tradisi Yahudi yang masih
membekas pada jiwa beliau.[1]
Belajar dari kisah Abdullah bin
Salam ini, ternyata bermacam tradisi yang ada di sekitar kita sangat mungkin
menjadi penghalang utama untuk menjadi Muslim yang utuh. Abdullah bin Salam
ditegur Allah sebab ia masih memuliakan hari Sabtu, meski tradisi tersebut
dulunya bagian dari perintah Allah
kepada umat Yahudi. Lalu bagaimana dengan kita yang dikepung oleh
tradisi-tradisi yang tidak jelas asal muasalnya? Tentu kita mesti lebih
hati-hati.
Akhir tahun menjadi momen yang paling berat untuk bertahan menjadi Muslim
yang utuh. Bagaimana tidak, di akhir tahun inilah salah satu tradisi asing itu
dirayakan besar-besaran oleh hampir semua orang. Banyak Muslim yang tak kuasa
menahan tarikan gelombang budaya massa ini. Mereka pun ikut berdesak-desakan
merayakan pesta tahun baru. Keadaan mereka mengingatkan kita pada sabda
Rasulullah riwayat Imam Bukhari ini ; “Kamu
akan mengikuti sunnah (kebiasaan) orang-orang sebelum kamu sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehinggakan mereka masuk ke dalam lubang
biawak (buaya) kamu tetap mengikuti mereka”
Perumpamaan Rasulullah di dalam hadisnya di atas patut direnungi.
Seseorang yang sengaja memasuki lubang biawak bisa dikatakan ceroboh. Namun
bila ada yang memasukinya karena hanya ikut-ikutan, ia bukan lagi ceroboh, tapi
lumpuh akal sehatnya. Sayangnya, fenomena inilah yang kini banyak menimpa umat
Islam. Fenomena ikut-ikutan yang berujung pada kehancuran. Hanya mengikuti tren
dan enggan memakai akalnya untuk berpikir mendalam adalah penyebab seorang
Muslim menjadi pengekor setia budaya-budaya tidak Islami. Budaya yang menggerus
keutuhan Islam mereka.
Larut hanyut dalam tren mayoritas adalah tabiat yang tidak boleh dimiliki
seorang Muslim. Kiblat hidup insan yang beriman adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Keduanya harus dijadikan alat ukur untuk melihat apakah sebuah tren itu bisa
diikuti atau mesti dijauhi. Al-Qur’an dengan sangat jelas mengingatkan hal ini,
di dalam surah al-An’am ayat 116, tiap Muslim diingatkan;
وَإِن تُطِعْ
أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ
الظَّنَّ
“Seandainya
kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan
kalian dari jalan Allah. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan (zhan) belaka”
Dalam
penjelasannya terhadap ayat ini di Tafsir al-Manar, Syaikh Rasyid Ridha menjelaskan
bahwa mayoritas umat manusia tersesat sebab hanya mengikuti prasangka mereka.
Menurut beliau, prasangka yang dimaksud di dalam ayat ini perlu dihubungkan
kepada ayat 112 di surah yang sama. Di dalam ayat tersebut disebutkan bahwa
musuh-musuh para Nabi dari golongan jin
dan manusia selalu menggoda dengan zukhruf
al-qauli ghurura, kalimat-kalimat indah yang menipu.[2]
Benar
saja, tradisi-tradisi batil yang menjadi tren sejagad seperti pesta pora di
akhir tahun memang dibungkus dengan retorika-retorika yang indah. Dikatakan
bahwa mereka bergembira sebagai ungkapan rasa syukur telah melewati setahun ini
dengan selamat. Bahkan penjualan alat kontrasepsi meningkat di malam pergantian
tahun sebab katanya seks pra-nikah tidaklah mengapa asalkan “aman”, dan saat
paling indah untuk melakukannya adalah di pesta tahun baru. Ada pula
bisikan yang lebih lembut; apa salahnya ikut bergembira, meniup terompet dan
menyalakan kembang api, bukankah semua itu sebenarnya mubah?
Muslim
yang baik tidak akan tertipu dengan logika semacam ini. Ia akan memakai akalnya
dan mengikuti petunjuk al-Qur’an dan sunnah, akan jelas baginya bahwa rasa
syukur tidak lah diungkapkan dengan pesta pora demikian. Ia bahkan akan
berpikir jauh, sebenarnya dari mana asal muasal pesta tahun baru ini? Mengapa
harus ada kembang api dan terompet? Ia akan berpikir demikian sebab ia tahu
firman Allah ini;
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu
tidak memiliki ilmunya sesungguhnya pendengaran, pengelihatan, dan hati
seluruhnya itu akan ditanya tentangnya” [QS. Al-Isra:36]
Akal yang jernih adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada
manusia. Dengan akal inilah seorang yang beriman mampu menjaga dirinya tetap
menjadi Muslim yang utuh. Permenungannya tentang perayaan tahun baru akan
membawanya pada konklusi bahwa ada banyak alasan mengapa peryaan tahun baru
seperti yang lazimnya dilakukan sebaiknya dihindari oleh seorang Muslim. Bukan
hanya soal maksiat yang rawan terjadi, tapi lebih dalam lagi, ini soal akidah.
Jika ditilik ke akar sejarahnya, perayaan tahun baru tampak jelas sebagai
sisa-sisa ritual Festival Janus. Sebuah perayaan besar bangsa pagan Romawi yang
dilakukan setiap awal tahun untuk menyambut Dewa Janus. Dari nama dewa inilah
bulan Januari berasal. Dewa Janus digambarkan memiliki dua wajah, ada yang menghadap ke depan ada
yang menghadap ke belakang. Mereka meyakini Janus sebagai dewa segala permulaan
dan peralihan. Maka ia dipuja puji, dibuatkan festival setiap awal tahun,
setiap peralihan masa.[3]
Di dalam perayaan Festival Janus, semua penganut pagan turun ke
jalan-jalan dan bergembira. Mereka berhenti sejenak dari bisnis, bahkan para
budak pun diberikan waktu liburan. Mereka bersuka ria bertukar ucapan selamat,
mungkin sama dengan perayaan Idul Fitri atau Idul Adha. Merka pun bertukar
lampu warna-warni sebagai simbol masa depan yang cerah dan ceria.[4]
Saat ini kembang apilah yang menjadi pengganti lampion-lampion itu.
Muslim yang ingin tetap utuh keislamannya tidak seharusnya keluar pula
pada malam itu. Tidak layak ia berkeliaran di jalan meniup terompet menyambut
Dewa Janus. Menyalakan kembang api sebagai bentuk doa. Muslim yang kaffah tidak
butuh berhala Janus untuk memberinya kesadaran waktu. Al-Qur’an sudah
mengingatkannya berkali-kali, setiap hari. Di akhir tahun, cukuplah seorang
Muslim merenungi kalimat indah dari Kitabullah ini ; Hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan (QS. Al-Hasyr : 18).
[1] Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir
al-Jalalayni, (Kairo :
Dar-asy-Syuruq, tt), hlm 43, Vol. I
[2] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Masyhur bi
Tafsir al-Manar, (ttp : al-Haiah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kutub, 1990),
hlm 14. Vol, VIII.
[3] Heinrich
Cornelius Agrippa von Nettesheim, , Donald Tyson, and
James Freake. Three books of occult philosophy. (ttp : Llewellyn Worldwide, 1993). hlm 658
[4]Janthoney, Festival Of Janus, God of Beginnings and Transitions,
https://storify.com/janthoney/janus,
Diakses 11 Desember 2015, jam 03.48 WIB