calon istri |
persoalan toleransi jika
disandingkan dengan agama seolah-olah tidak pernah akur. Sebab masih saja
ditemukan tindak kekerasan berlabelkan ajaran agama. seperti pembantaian muslim
Rohingya. Oleh ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas yang dilansir oleh
Republika, dikatakan bahwa motif kekerasan ini bermula dari kebencian Biksu ashin wirathu kepada Umat
Islam dan takut penganut agama budha menadi terkikis di negara Myanmar. belum hilang
juga dari ingatan, maraknya tuduhan teroris pada Islam pasca ledakan gedung wtc. Jauh sebelum itu, pada abad pertengahan,
pasca pengangkatan Paus Paulus IV , pihak kristen mengeluarkan dokumen yang
disebut Cum Nimis Absurdum yang salah satu isinya boleh membunuh kaum Yahudi
karena mereka pada hakikatnya adalah budak.
Perbincangan mengenai toleransi dan
agama pun menjadi sebuah pembahasan yang krusial. tawaran sikap toleransi yang
seharusnya dijalankan agama pun bermunculan. Di antaranya adalah klaim
toleransi inklusifisme. Zuhari Misrawi. Dalam “buku al-Qur’an kitab toleransi;
inklusivisme, pluralisme dan multikulturalisme”, memberikan ungkapan “umat
agama-agama lain juga akan masuk surga”
Bagi pemeluk agama yang setia,
tawaran wacana toleransi yang dibalut faham pluralisme seperti di atas bukanlah
sebuah solusi yang jitu. Sebab toleransi ini pada prosesnya akan menghilangkan
identitas agama. ujung-ujungnya moral dan akhlak yang berbasis pada nilai agama
juga akan hilang. Halalnya kawin sesama jenis dan bolehnya tindak-tanduk yang
berbau pornografi adalah di antara hasil dari
faham toleransi yang kebablasan ini.
Padahal, jika mau berkaca
kebelakang, maka kita akan menemukan konsep toleransi berkeadilan dalam Islam. Tinta emas sejarah mencatat Upaya toleransi secara
konstitusional pertama kali ditemukan dalam piagam Madinah. Seperti pada pasal
16 “bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita,
berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan
tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum”. Dalam sejarah juga digambarkan
bagaimana rakyat eropa justru mendapatkan kenikmatan ketika Islam menguasai
Andalusia. Sangat wajar Wallace-Murphy di dalam “what did Islam for us;
understanding islam’s contribution to westren civilization” mengakui bahwa
termasuk dalam hal bertoleransi, barat mempunyai hutang yang tak terbayar
kepada kaum muslim.
untuk bertoleransi, Islam memang
telah memiliki alur yang jelas. dalam Ajaran Islam, adil bertoleransi adalah
menghargai sikap, pilihan dan ajaran yang dianut tanpa perlu mengorbankan
keyakinan sendiri. Surat al-Kafirun telah menggambarkan bagaimana aqidah
muslim harus murni dari unsur ajaran lain. hal ini bukan berarti menyuruh
membenci, tetapi justru dengan berpegang teguh pada ajaran masing-masing Islam
memberikan hak untuk memilih kepercayaan sesuai apa yang diyakini.
Kebebasan memilih agama juga
membawa konsekuensi akan hak menjalankan ibadah dengan baik sesuai kepercayaan.
sehingga klaim kafir di dalam Islam bukanlah sebuah bentuk intoleran, melainkan
konsekuensi atas sebuah kepercayaan. Seperti agama-agama lain yang juga
memiliki konsep “kafir”nya. Hal tersebut lumrah saja selama tidak diungkapkan
secara anarkis
dalam bidang muamalah atau
sosial, Islam bahkan menyikapinya sangat terbuka. Seperti dalam berkepedulian,
Islam menyuruh tolong menolong tidak hanya kepada sesama Muslim saja, tapi
kepada non Muslim sekalipun. Sebab dalam Islam tolong menolong bertujuan mempercepat
terealisasinya kebaikan bersama, demi terwujudnya kesatuan dan sebagai sarana
ibadah untuk menambah ketaqwaan. Dimensi kepedulian ini pun tercermin dari
beberapa prilaku Nabi Muhammad sebagai suri tauladan. Beliau pernah berdiri
untuk menghormati mayat Yahudi yang lewat. Beliau pun pernah menggadaikan baju
besinya pada seorang Yahudi. Beliau juga pernah menjenguk orang yang selalu
menyakitanya secara lisan maupun perbuatan.
Untuk itu, Islam selalu melatih
tiap pemeluknya untuk menjunjung tinggi toleransi yang berkeadilan. Salah satunya
di bulan Ramadhan. Puasa, melatih umat muslim untuk peka terhadap keadaan
sekitar, mengontrol nafsu amarah dan membiasakan memberi maaf. Zakat pun
demikian, dari ketujuh golongan orang yang berhak mendapatkan zakat, tidak satu
pun yang dipersyaratkan harus muslim, melainkan juga untuk non muslim yang
termasuk ketujuh golongan itu. sehingga salah satu indikator tercapainya tujuan
taqwa adalah bisa bertoleransi secara adil. Peduli tanpa harus menjual
keyakinan. Menghargai tanpa perlu menukar pendirian.