بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pelajaran Berharga Dari Magelang
Srengenge Nyunar Kanthi Mulyo
Angine midit klawan reno
Manuke ngoceh ana ing wit-witan
Kewane nyenggut ana ing pasuketan
Kabeh pada muji Allah kang mulyo
Kabeh pada muji Allah kang mulyo
Telinga saya langsung akrab dengan
lagu tersebut, lagu yang sudah saya hafal sejak masih TK itu, dinyanyikan oleh
paduan suara ibu-ibu kampung berkebaya dengan apiknya, diruang samping saya
ngobrol dengan seorang rohaniawan non muslim di sebuah kampung di lereng
Merapi. Ditemani ustadz Susiyanto, pakar Darmogandul dan mas Muslih, mahasiswa
pasca sarjana CRCS UGM, saya menemui rohaniawan tersebut berkait dengan tugas
kuliah, yang saya sudah lupa mata kuliah apa. Nama ini direkomendasikan oleh
Pak Yai Dian Nafi, pengasuh pondok pesantren Al Muayad Windan. Selain sebagai
rohaniawan, tokoh yang saya temui ini juga merupakan pegiat lingkungan yang
cukup vokal dalam mengkritik kegiatan penambangan pasir di lereng Merapi yang
diyakini akan merusak lingkungan hidup. Orangnya tenang, dan diskusi kamipun
berjalan lancar dan akrab, bahkan ketika diskusi itu menyangkut masalah-masalah
sensitif di bidang keimanan. Namun bukan isi diskusi yang ingin saya kupas di
sini, saya lebih tertarik mengenai perubahan demografi keagamaan di dukuh ini.
Dukuh D, sebut saja begitu nama tempatnya. Awalnya masyarakat di dukuh tersebut adalah muslim tradisional, dengan tradisi yasinan, barzanji, manaqiban dan sebagainya. Meskipun banyak warga desa yang belum sholat, tapi bila acara komunal itu digelar, semua orang menghadirinya. Dakwah di daerah tersebut belum terlalu lama, sebab sebelumnya masyarakat di daerah tersebut adalah kaum abangan yang secara politik berafiliasi ke PKI, bahkan termasuk basis pendukung PKI. Mulai tahun 1970 ana, secara pelan tapi pasti, melalui perkumpulan yasinan dakwah mulai berkembang. Surah Yasin bagi masyarakat Jawa memang mempunyai posisi tersendiri, sebab pada surat inilah relasi santri abangan, sekuat apapun afiliasi politik memisahkan mereka, pada saat upacara kematian dan setelah kematian, surat Yasin ini tetap menjadi jembatan penghubung sesama orang Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh CC Berg dan Nakamura :
Dukuh D, sebut saja begitu nama tempatnya. Awalnya masyarakat di dukuh tersebut adalah muslim tradisional, dengan tradisi yasinan, barzanji, manaqiban dan sebagainya. Meskipun banyak warga desa yang belum sholat, tapi bila acara komunal itu digelar, semua orang menghadirinya. Dakwah di daerah tersebut belum terlalu lama, sebab sebelumnya masyarakat di daerah tersebut adalah kaum abangan yang secara politik berafiliasi ke PKI, bahkan termasuk basis pendukung PKI. Mulai tahun 1970 ana, secara pelan tapi pasti, melalui perkumpulan yasinan dakwah mulai berkembang. Surah Yasin bagi masyarakat Jawa memang mempunyai posisi tersendiri, sebab pada surat inilah relasi santri abangan, sekuat apapun afiliasi politik memisahkan mereka, pada saat upacara kematian dan setelah kematian, surat Yasin ini tetap menjadi jembatan penghubung sesama orang Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh CC Berg dan Nakamura :
Justru pada jantung religius kaum
abangan, yaitu di dalam kehidupan ritual mereka, mereka betul-betul tergantung
pada pertolongan kaum santri. Hanya santri lah yang dapat memimpin doa di dalam
ritus yang paling sentral dari orang-orang abangan, yaitu slametan. Juga
santrilah yang dapat memimpin upacara ketika seorang abangan mengalami, apa
yang disebut Malinowsky krisis yang paling utama dan paling final dalam
kehidupan, yaitu : kematian
Jamaah yasinan, yang dilengkapi dengan tahlilan itupun mulai dilengkapi dengan kegiatan pembacaan barzanji dan manaqiban. Akhirnya mushola dan masjid pun mulai didirikan. Banyak warga yang akhirnya belajar sholat dan mengaji. Aktifitas mushola dan masjid mulai hidup, karena separoh warga sudah melaksanakan sholat lima waktu, yang belum sholatpun kalau pas Jum’atan ada yang datang, sedang kalau di acara yasinan dan tahlilan hampir semuanya berpartisipasi.
Jamaah yasinan, yang dilengkapi dengan tahlilan itupun mulai dilengkapi dengan kegiatan pembacaan barzanji dan manaqiban. Akhirnya mushola dan masjid pun mulai didirikan. Banyak warga yang akhirnya belajar sholat dan mengaji. Aktifitas mushola dan masjid mulai hidup, karena separoh warga sudah melaksanakan sholat lima waktu, yang belum sholatpun kalau pas Jum’atan ada yang datang, sedang kalau di acara yasinan dan tahlilan hampir semuanya berpartisipasi.
prosesi jalan salib melalui galengan persawahan di sebuah kampung di lereng merapi |
Situasi guyub dan rukun itu menjadi
agak terusik ketika salah seorang warga desa mendatangkan seorang da’i garis
keras. Semua amalan jama’i seperti yasinan, tahlilah, manaqiban pun di
bid’ahkan, dan konsekuensi bid’ah adalah neraka. Berbeda dengan da’i kampung
bersahaja yang merintis dakwah di desa itu, dai garis keras ini fasih mengutip
ayat Al Qur’an dan Hadits. Masyarakatpun terguncang dan mulai terbelah dalam
kubu yang saling bermusuhan. Belum lagi guncangan itu reda dan menemukan
keseimbangan baru, muncul lagi kelompok yang menyatakan bahwa orang yang mati
dalam keadaan tidak berbai’at kepada amirnya akan mati jahiliyah dan
konsekuensinya adalah neraka. Suasana tambah panas, sebab masing-masing kubu
jadi menghilangkan tegur sapa satu dengan yang lainnya.
Sampai suatu ketika, seorang rohanianawan dari agama lain masuk. Ia tidak menyerang Islam, tidap pula menyerang siapapun. Ia, hanya ingin mengajak masyarakat hidup rukun, dan ruang untuk rukun itu bisa ditemukan lagi bila mereka mau nguri-uri budaya leluhur. Sebab sebelumnya mereka adalah masyarakat yang rukun. Seni macapat, jathilan dan dolanan anak tradisional mulai diajarkan, masyarakat gembira sebab setidak nya hal tersebut mencairkan ketegangan yang terjadi di masyarakat. Secara pelan dan halus, pendakwah itu mulai memasukkan beberapa nilai agamanya, kepada masyarakat. Tidak melalui konsep teologi yang rumit, tapi sebuah teologi praktis tentang betapa sesungguhnya Tuhan telah memberi karunia besar pada mereka.
Sampai suatu ketika, seorang rohanianawan dari agama lain masuk. Ia tidak menyerang Islam, tidap pula menyerang siapapun. Ia, hanya ingin mengajak masyarakat hidup rukun, dan ruang untuk rukun itu bisa ditemukan lagi bila mereka mau nguri-uri budaya leluhur. Sebab sebelumnya mereka adalah masyarakat yang rukun. Seni macapat, jathilan dan dolanan anak tradisional mulai diajarkan, masyarakat gembira sebab setidak nya hal tersebut mencairkan ketegangan yang terjadi di masyarakat. Secara pelan dan halus, pendakwah itu mulai memasukkan beberapa nilai agamanya, kepada masyarakat. Tidak melalui konsep teologi yang rumit, tapi sebuah teologi praktis tentang betapa sesungguhnya Tuhan telah memberi karunia besar pada mereka.
Teologi praksis itu ia sebut teologi
air. Ia ajak masyarakat menyusuri sungai, sawah dan hutan sambil diajarkan
tentang bagaimana Tuhan menciptakan air untuk menyangga kehidupan. Dan kini
konsep itu dikembangkan, tiap sabtu dan minggu ratusan orang dari berbagai kota
berwisata alam di daerah tersebut. Masyarakat dilibatkan jadi pemandu mereka
untuk menelusuri sungai, sawah dan hutan, dan menerangkan pada orang-orang kota
tersebut, betapa bahagianya mereka menjadi penghuni desa yang diberik berkat
banyak oleh Tuhan. Air yang jernih, sawah yang subur dan hutan yang
menyejukkan. Para ibu-ibu sibuk memasak menyiapkan aneka makanan tradisional
untuk sarapan para tamu dan oleh-oleh untuk dibawa pulang. Anak-anak kecil
mengajak para tamu anak-anak bermain congklak, sudahmanda, gobaksodor dan anek
mainan tradisional, sementara beberapa seniman muda menyuguhkan tari dan nyanyi
tradisional. Sebuah kegembiraan yang dinikmati siapa saja. Dan berapa kini
jumlah umat Islam di sana ? Tinggal 30 %, lalu kemana da’i garis keras itu yang
tak paham habitus obyek dakwahnya itu ? Tak lagi Nampak batang hidungnya.
Tiba-tiba saya ingat komentar Mbah
Nun soal dakwah yang lebih bersifat mengusir daripada memanggil ini. “Kalau
kamu ketemu dengan kucing yang jatuh di comberan yang airnya hitam dan bau,
jangan cuma kamu tuding sambil kau khotbahi, “Wahai kucing yang hidup dalam
comberan yang kotor, bangkitlah, keluarlah engkau dari kegelapan menuju cahaya,
minadz-dzulummati ila nur” Ya kucingnya paling cuma nengok sambil bilang,
meooong-meoong. Yang harus kita lakukan adalah, mengangkatnya dari comberan
kemudian memandikannya. Perkara baju kita jadi kotor-kotor sedikit tidak
apa-apa. Kotoran itu malah terlihat indah, sebab ia membuahkan pertolongan yang
menyelamatkan.” Saya lupa persisnya kalimat Mbah Nun tersebut, tapi kurang
lebihnya seperti itulah maknanya.