بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِالرَّحِيمِ
Melalui akun twitternya, @lukmansaifuddin, Menteri Agama Lukman Saifuddin berceloteh,Warung2 tak perlu dipaksa tutup. Kita hrs hormati juga hak mrk yg tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa. (Jumat, 5/6/2015)
Kicauan Pak Menag tak pelak menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, antara lain adalah tuduhan bahwa masyarakat Muslim gila hormat, hingga harus dihormati ketika berpuasa di bulan Ramadhan.
Muslim Indonesia bukanlah muslim yang manja. Dalam hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan, ummat Muslim telah sangat biasa menjalankan ibadah-ibadah yang juga meminta pengorbanan fisik seperti puasa-puasa sunnah.
Para Laskar FPI memang giat melakukan sweeping jelang Ramadhan, namun mereka tujukan hal tersebut kepada warung atau toko yang menjual minuman keras atau tempat-tempat hiburan malam.
Perdebatan klasik seperti apa yang disampaikan oleh Menteri Agama nampaknya tidak pernah ada, atau tidak menjadi hal strategis dipermasalahkan di kalangan masyarakat. Masyarakat Indonesia, tanpa adanya himbauan, telah beradat untuk saling menghormati sejak dulu kala.
Di daerah saya, warung-warung hanya berpindah jam buka, misalnya sejak tengah hari hingga pagi sebelum subuh, sebab secara hitungan ekonomi di jam-jam itulah akan ada perputaran uang atau kegiatan konsumsi. Masyarakat Tionghoa juga tetap buka, dengan wujud toleransi seperti menutup sebagian penutup jendelanya. Pendek kata, persepsi bahwa ummat Muslim minta untuk dihormati di bulan Ramadhan hingga semua warung makan harus tutup adalah terlalu mengada-ada.
Lagipula, warung-warung makanan itu efeknya jelas tidak berbahaya sebab tidak sampai masuk ke ruang-ruang privat di lingkungan keluarga. Dalam rangka menghormati Bulan Ramadhan, akan lebih strategis jika kita mempersoalkan hal lain, seperti hadirnya tayangan TV yang dipenuhi oleh candaan-candaan nirnalar dan melecehkan akal sehat kita sebagai manusia. Acara semacam itu biasanya muncul di waktu sahur dan berbuka.
Kegelisahan masyarakat akan tayangan TV yang bukan hanya tidak mendidik namun sekaligus pembodohan kultural yang massif tersebut telah lama berlangsung. Tahun lalu, salah satu acara joget-joget massal di salah satu televisi swasta pun telah dicabut hak tayangnya sebab terbukti melakukan banyak sekali pelanggaran frekuensi publik. Kenyataannya, peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama ini nampak seperti tidak serius. Banyak acara sejenis yang senantiasa bermunculan. Alih-alih hilang, mereka akan muncul kembali dengan judul dan kemasan yang sedikit berbeda. Pengisi acara tetap sama, konten acara tetap sampah.
Selama ini, masyarakat terus dihimbau untuk selektif dalam memilih tayangan televisi. Padahal secara logika, tanggung jawab atas tayangan TV ada pada pemilik industri, bukan pada remote tv di ruang keluarga. Hal ini disebabkan karena media televisi bekerja dengan prinsip supply driven, bukan demand driven. Artinya, televisi selalu menyediakan berbagai ragam tontonan sesuai kehendak industri tanpa sedikitpun campur tangan masyarakat.
Darisini, kita dapat menyimpulkan bahwa acara yang ada di televisi adalah selera pemilik Industri. Media kemudian menyimpulkan secara sepihak bahwa seolah-olah acara yang ada di televisi adalah selera masyarakat. Padahal, kenyataannya tidak sama sekali.
Menyambut bulan Ramadhan, alangkah baiknya jika sensor pada tayangan TV yang berkonten candaan melecehkan, gosip, mengekspos hal-hal pribadi artis secara berlebihan, serta acara joget-joget massal, kita beri perhatian yang lebih serius.
Tayangan TV sampah memiliki efek yang sangat berbahaya sebab ia menjajah ruang-ruang privat keluarga. Data statistik juga membuktikan bahwa tayangan TV memiliki pengaruh atas perilaku, gaya hidup, cara pandang dan selera masyarakat. Terhadap hal ini, saya yakin semua masyarakat beragama pasti bersetuju. Menemukan musuh bersama semacam ini lebih efektif untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama daripada perdebatan-perdebatan klasik yang tidak produktif serta justru memicu permusuhan.
Ditulis Kalis Mardiash...
Ditulis Kalis Mardiash...