بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
illustrasi walisongo ; tokoh yang menyatukan Islam dengan jawa |
“Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir Tak ijo royo-royo tak
senggo temanten anyar Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi Lunyu-lunyu yo
penekno kanggo mbasuh dodotiro. Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Mumpung padhang rembulane mumpung
jembar kalangane Yo surako… surak hiyo”
Tembang itu diiringi dengan musik lesung yang rampak. Meski hanya
lesung, namun di tangan almarhum mas Slamet Gundono, dalang wayang suket, yang
memang maestro di bidang ini, iramanya menjadi sangat kaya. Nampak jelas
keriangan alami, baik dari para pemuda dan gadis yang melantunkan tembang
tersebut, bapak-bapak dan ibu-ibu yang memainkan musik lesung, maupun anak-anak
kecil yang ikut menari sambil bernyanyi sebisanya. Acara tersebut diadakan
untuk memperingati 500 tahun dakwah Sunan Kalijaga. Bagi saya hal tersebut
adalah pengalaman baru, sebab baru kali ini saya diundang untuk sharing
pengetahuan dengan beberapa teman pegiat kebudayaan Jawa, tentang peran
walisanga dalam melakukan dakwah Islam di tanah Jawa, wa bil khusus tentang
Sunan Kalijaga yang memang mendapatkan tempat tersendiri dalam diri muslim Jawa
Tema ini menjadi menarik, karena dalam beberapa tahun belakangan
ini, untuk wilayah Solo dan sekitarnya memang sedang terjadi semacam ketegangan
budaya, antara mereka yang selama ini masuk kategori muslim ber “Qur’an
Hadits”, berhadap-hadapan dengan mereka yang sering disebut sebagai kaum
tradisionalis dan kelompok abangan. Terjadi semacam pemisahan kultural yang
tegas, yang tidak hanya dalam dunia ide dan gagasan tapi sudah sampai ke ranah
sosial, seperti perebutan masjid sampai pada takfir kebudayaan.
Jawa Yang Tak Lagi Penting
Kalau kelompok kaum tradisionalis mendapat gelar Ahlul Bid’ah, maka
budaya kelompok abangan mendapat gelar yang lebih menyakitkan yakni budaya
syirik. Yang satu dinajiskan, yang satu seolah ditendang dari barisan umat
Islam lewat campaign-campaign yang intensif melalui ta’lim, bulettin maupun
radio.
Perpisahan identitas Islam dengan kebudayaan Jawa ini ternyata juga
merambah dunia perbukuan. Kalau kita menengok toko buku Gramedia Solo, ada satu
lapak khusus yang menyajikan buku-buku bertema kebudayaan Jawa. Dari sekitar
duapuluh judul buku yang di sajikan di lapak tersebut, tidak lebih dari empat
buku yang temanya berbau Islam. Itupun lebih tentang Syekh Siti Jenar versi
Abdul Munir Mulkhan. Enam belas buku lainnya bercerita kebudayaan Jawa yang
minus wacana ke Islaman.
Bahkan dalam
buku karya (terutama karya cendekiawan Katolik), sudah mulai dipopulerkan
istilah agama Jawi, sebuah istilah yang baru dikenal pasca Geertz menerbitkan
penelitiannya yag diberi judul Religion of Java. Suatu hal yang tentunya sangat
memprihatinkan, sebab agama Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat
Jawa, justru mendapatkan posisi minoritas dalam pembahasan kebudayaan Jawa.
Jawa adalah Borobudur dan Prambanan, Jawa adalah Majapahit dan Gajah Mada, yang
mafhum mukhalafahnya adalah, Jawa bukan Demak Bintoro, Sultan Agung
Hanyokrokusumo ataupun Sunan Kalijogo.
Yang menyedihkan, di tengah upaya penyingkiran identitas ke Islaman
dari budaya Jawa, dari kalangan penerbit yang katanya milik aktifis, yang muncul
malah buku dengan “Ensiklopedi Bid’ah dan Syirik Jawa”. Jadi ketika kajian
orientalis yang dimulai sejak zaman Snouck Hurgronje, yang menyatakan bahwa
Islam hanyalah lapisan tipis terluar dari kebudayaan Jawa, ibarat baju rombeng
yang bolong-bolong dan di dalamnya masih Hindu Budha sebagaimana kata Van Lith,
kini diamini dengan keras, justru oleh sebagian umat Islam sendiri, bukan umat
Islam biasa, tapi justru dari kalangan aktifis dakwahnya.
Fenomena yang
marak terjadi dimana-mana, adalah pertarungan antara pendakwah dengan komunitas
muslim tradisional. Akibatnya integrasi Islam dengan kebudayaan Jawa, yang pada
masa penjajahan Belanda saja masih terjaga, dimana kalau ada orang Jawa murtad,
disebut Wong Jawa ilang Jawane, seperti yang ditulis pendeta Jans Aritonang
dalam buku Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia, setelah enampuluh
lima tahun kita merdeka, justru definisinya jadi berubah, yakni mereka yang
merasa telah tekun ber Islam merasa tidak perlu lagi nggondheli identitas ke Jawa
annya. Yup, karena Jawa adalah bid’ah dan musyrik dalam satu paket katanya.
Hingga sepertinya syair Pangeran Diponegoro, yang dikutip
Pakubuwana V dalam Suluk tembangraras, hanya menjadi legenda yang sekedar
diingatpun menjadi tidak layak.
Setelah memeluk
agama yang suci ini (Islam)
Setiap batang
rumput di tanah Jawa
Mengikuti Sang
Nabi yang telah terpilih.
Kesatuan mistis antara Islam sebagai identitas keagamaan dengan
Jawa sebagai identitas etnis adalah dongeng masa lampau, meski sisa-sisanya
masih bisa saya rasakan di masa kecil, dimana seorang premanpun akan merasa
marah bila identitas keIslamannya diganggu. Saat dimana orang-orang abangan
yang dituduh PKI oleh orde baru pun memerintahkan anaknya untuk mengaji selepas
maghrib. Tidak hanya tembang lir-ilir yang dihafal oleh hampir semua anak
kecil, tapi juga Kidung Rumeksa Ing Wenginya Sunan Kalijaga, menjadi lantunan
para orang tua yang tidak taat syareat sekalipun. Meski “dereng saged
nglampahi”, kala itu Islam tetap sebuah identitas yang tidak akan pernah
dilepas
tulisan ini adalah buah pena guru saya, ust. Arif Wibowo, pegiat PSPI (Pusat Studi Peradaban Islam) Solo, beliau pemerhati Islam khususnya dalam hubungannya dengan budaya Jawa dan dinamika Kristenisasi. Meski gitu ustad Arif selalu ngaku bakul beras padahal emang iya. hehe.