Toleransi sudah
menjadi tradisi Rasulullah dan para salaf salih umat ini. Bila para sejarawan
sering memuji-muji Magna Charta sebagai dokumen fundamental peletakan
HAM di dunia, maka umat Islam enam abad sebelumnya telah memiliki Piagam
Madinah. Tradisi Rasulullah ini kemudian dilanjutkan oleh salah satu Khalifahnya
yang mulia, Umar bin Khattab. Dari peri hidup al-Faruq, ada ibrah tentang
bagaimana toleransi dirajut dan dirawat. Kita perlu belajar darinya, terutama
di masa-masa ketika banyak insiden intoleransi menimpa negri Muslim nan besar
ini.
Pesona
toleransi pemangku gelar amir al-mukminin itu ada banyak. Namun salah
satu episode monumental terjadi pasca direbutnya Jerussalem dari Bizantium. Patriak
Jerussalem, Sophronius, secara langsung menyerahkan kunci kota kepada Khalifah
Umar. Lebih dari itu ia menawarkan Umar untuk menunaikan shalat di Gereja Holy
Sepulchre. Tawaran itu ditolaknya dengan sopan. Alasan Umar menolak tawaran
sang Patriak cukup visioner; ia takut tindakannya itu kelak dijadikan
justifikasi untuk menggantikan gereja suci umat Kristen tersebut dengan masjid.
Menarik untuk
menyimak betapa bijaksananya Umar dalam kasus ini. Beliau tahu persis
signifikansi sosiologis dari sebuah rumah ibadah. Meski ia bebas untuk shalat
dan mendirikan masjid di setiap sudut Jerussalem, Umar memilih untuk tidak
mendirikannya di tempat yang menjadi pusat ibadah umat Krsiten. Sungguh berbeda
dengan mereka yang dengan dalih kebebasan mengabaikan dampak buruk pembangunan
rumah ibadah bila menabrak sensitifitas sosial dan abai terhadap aturan yang
ada. Padahal aturan itu ada agar kisruh terkait pendirian rumah ibadah bisa
dihindari. Khalifah Umar mengajarkan bahwa kebebasan pun harus dilaksanakan
dalam bingkai aturan dan menghargai nilai masyarakat setempat.
Setelah
penyerahan Jerussalem, Umar bin Khattab lalu menerbitkan al-ʿUhda
al-ʿUmariyya. Teks perjanjian itu disebutkan oleh beberapa sejarawan
seperti at-Thabari, al-Ya’qubi, al-Himyari, Mujiruddin al-Hanbali dan Ibnul
Jauzi. Sedangkan laporan dari sejarawan non Mulim bisa dilihat pada tulisan
Eutychius (Ibnu Batriq), seorang Patriak Gereja Ortodoks Yunani asal
Alexandria. Dokumen bersejarah ini pun diabadikan oleh orang-orang Yahudi
Karaisme dan Geniza.[1]
Sebelum
membahas lebih jauh, perlu diingat bahwa ada dua dokumen perjanijian dengan
negara taklukan yang disandarkan pada Umar bin Khattab. Salah satunya biasa
disebut sebagai Umar’s Pact atau Syuruthu Umar. Dokumen
ini juga memiliki banyak versi dan mengandung beberapa aturan diskriminatif
yang tidak dikenal di masa Khalifah Rasyidah. Tambahan diskriminatif tersebut,
oleh sejarawan sekelas Thomas W Arnold ditolak keasliannya.[2]
Dokumen yang kita bicarakan ini adalah dokumen yang disepakati kesahihannya,
sebab isinya bukan hanya ditemukan dalam manuskrip klasik Islam, tapi juga
Kristen dan Yahudi.
Sebagaimana
Rasulullah dalam Piagam Madinah, al-Uhdah al-Umariyah pun memuat jaminan
kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Aelia, sebutan lain untuk Jerussalem. Eutychius
menyebut veris pendek dari jaminan Umar sebagai berikut;
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah dokumen dari Umar bin al-Khattab pada penduduk Aelia. Mereka mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan anak-anak mereka. Gereja-gereja tidak akan dihancurkan, atau diambil alih oleh umat Islam”[3]
Perlakuan baik
Umar pada umat Kristiani begitu mengesankan Eutychius. Ketika muncul penguasa Muslim
yang buruk, Patriak ini mengeluh dan membandingkannya dengan masa Umar yang
toleran.[4]
Namun dibandingkan umat Nasrani, kalangan Yahudi jauh lebih bahagia dengan kehadiran
Umar. Daniel al-Qūmisī seorang tokoh Yahudi merayakan dalam tulisannya betapa akhirnya
umat Yahudi bisa berdoa lagi di Jerussalem.[5]
Menyangkut
nasib kaum Yahudi, ada yang perlu dicermati dalam al-ʿUhda al-ʿUmariyya versi
at-Thabari. Dalam laporan at-Thabari, disebutkan bahwa salah satu poin jaminan
Umar adalah dilarangnya orang Yahudi memasuki wilayah Jerussalem.[6] Tentu ini menimbulkan pertanyaan, mengapa
kiranya tabiat toleran Umar kepada Nasrani justru bertolak belakang dengan
sikapnya pada Yahudi? Bila dicermati, ini justru bukti kebijaksanaan Khalifah
Umar dalam memelihara toleransi.
Telaah mendalam
M.M Karmouz terhadap teks-teks yang ditulis sejarawan Yahudi Karaisme
menunjukan konteks larangan tersebut. Dua kaum ahlul kitab ini sering
bersitegang berebut Tanah Suci sebelum Islam datang. Sikap permusuhan itu menyusup
dalam perjanjian damai mereka dengan Umar. Nyatanya, larangan kepada Yahudi
tersebut adalah syarat dari orang-orang Kristen. Meski tampak diskriminatif,
Umar mengakomodasii aspirasi rakyatnya. Namun akhirnya, sikap Umar berubah
setelah diskusi dengan dua belah pihak. Umar membolehkan umat Yahudi memasuki
Jerussalem, tapi tidak pada daerah-daerah yang disakralkan oleh umat Kristen.[7]
Umar
mengajarkan kita bahwa tuntutan masyarakat yang sekilas tampak intoleran tetap
perlu ditampung dan didalami konteksnya. Umat Kristen keberatan sebab mereka
tidak ingin tempat-tempat yang mereka sucikan “dikotori” oleh Yahudi. Maka
sungguh bijaksana solusi Umar, Yahudi boleh memasuki Jerussalem asal tidak
berkeliaran di daerah inner Aelia yang didominasi Kristen.
Sikap Umar ini
jauh lebih baik daripada tergesa mengutuk insiden intoleransi tapi alpa
menganalisa akar masalahnya. Sayangnya, tidak jarang kealpaan seperti itu
terjadi di negri kita. Pengusa dan aktivis HAM misalnya sibuk mengutuki insiden
yang melibatkan aliran-aliran sesat, atau rumah ibadah liar. Tapi enggan
melihat akar masalahnya, bahwa ada warga yang resah sebab akidahnya terancam.
Teladan Umar sangat tepat untuk mereka ikuti. Dalami akar masalahnya, temukan
solusi terbijak.
tulisan Eutychius yang di dalamnya ada pujian buat Umar |
Demikianlah,
nama Umar sebagai pemimpn toleran tidak hanya harum di catatan sejarah umat
Islam, tapi juga Kristen dan Yahudi, bahkan orientalis sekuler. Dari kisahnya
hidupnya, bertebaran pelajaran tentang kiat merawat toleransi yang perlu kita
petik. Khususnya bagi mereka yang memgang kekuasaan. Tegas dan bijaklah seperti
Umar, maka negrimu akan aman.
[1] Mahmoud Mataz Kazmouz,. Multiculturalism
in Islam: the document of Madīnah & Umar's assurance of safety as two case
studies. Diss. University of Aberdeen, 2011.
[2] Thomas W Arnold, The Spread of Islam in the Worl, (ttp :
Goodword Books, 2001), hal 57
[3] Said ibu Batriq Eutychius, at-Tarikh al-Majmu’ ala Tahqiq wa
Tashdiq, Edisi Cheiko SJ (Beirut :SIB, 1905) vol II. hal 17.
[4] Arthur Stanley Tritton. Caliphs and Their Non-Muslim Subjects:
A Critical Study of the Covenant of'Umar ( Routledge, 2013) hal 52.
[5] Mahmoud Mataz Kazmouz,. Multiculturalism
in Islam: the document of Madīnah & Umar's assurance of safety as two case
studies. Diss. University of Aberdeen, 2011. Hal 232
[6] Abd al-Fattah M El-Awaisi. "Umar's Assurance of Aman to the People of Aelia
(Islamicjerusalem): A Critical Analytical Study of the Greek Orthodox
Patriarchate‟ s Version." World Journal of Islamic History and
Civilization 2.3 (2012), hal 130
[7]Mahmoud Mataz Kazmouz,. Multiculturalism
in Islam: the document of Madīnah & Umar's assurance of safety as two case
studies. Diss. University of Aberdeen, 2011. Hal 234