oleh ; Dhico Velian
al-Umm, karya Imam Syafi'i buku ushul fiqh pertama |
Di dalam al-Qur'an dan hadis, ada banyak seklai perintah dan larangan. Namun nyatanya, tidak semua perintah itu menjadi wajib, pun tidak semua larangan menjadi haram. Bagaimana cara membedaka perintah yang berarti wajib,
perintah yang berarti (mandub) sunah, dan perintah yang berarti mubah. Dan
bagaimana membedakan antara larangan yang berarti haram, dan larangan yang
berarti makruh. Pertanyaan itu muncul bersama dengan keingintahuan saya tentang
ushul fiqih.
Seiring berjalannya waktu, pertanyaan itu terlupakan, sampai
saya membaca sebuah buku yang menjelaskan akan hal ini. Kemarin membaca buku
Fikrul Islam, Bunga Rampai Pemikiran Islam, terbitan Al Azhar Press, terjawab
pertanyaan tersebut dalam salah satu babnya.
Orang yang tidak mendalami Al-Qur'an maupun hadits, bisa
saja terjebak pada kesimpulan yang tidak berdasar. Dalam Al-Qur'an dan
Al-Hadits, sering ditemui sebuah perintah dan juga larangan. Tapi tidak semua
perintah itu pasti wajib, dan tidak semua larangan itu pasti haram. Dalam
sebuah perintah kadang ada yang berarti wajib, mandub (sunah) dan mubah.
Sedangkan dalam larangan ada yang bermakna haram, atau makruh. Mengapa bisa
begitu?
Sebuah ayat atau satu hadits saja tidaklah cukup untuk
menjelaskan maksud dari sebuah perintah atau larangan. Diperlukan penguasaan
terhadap Al-Qur'an dan juga Al-Hadits untuk dapat menyimpulkan hukum suatu
perbuatan. Terdapat 5 hukum dalam Islam yang meliputi, halal, haram, mandub
(sunah), makhruh, dan mubah. Setiap perbuatan manusia pasti akan masuk dalam
salah satu dari lima hukum tersebut. Seorang Muslim yang memiliki kapasitas ini
digelari sebagai mujtahid.
Untuk mengetahui hukum suatu perbuatan yang terdapat
perintah atau larangan di dalam Al-Qur'an ataupun Al-Hadits, dibutuhkan
penjelasan lain yang memperkuat maksud dari ayat tersebut. Penjelasan tersebut
diperoleh dari indikasi (qarinah) yang digali dari sumber hukum Islam. Apakah
sebuah perintah dihukumi halal, mandub (sunah), atau mubah, dan apakah larangan
dihukumi makruh atau haram, disinilah dapat disimpulkan.
Contoh konkritnya seperti disunahkannya sholat berjamaah di
Masjid bagi laki-laki. Mengapa perintah dari Rasulullah saw. itu tidak berarti
wajib tapi sunah muakkad? Karena ada dalam waktu lain Rasulullah mendiamkan
sahabat yang sholat sendiri. Ini menegaskan bahwa sholat sendiri juga boleh
atau tidak sampai pada tingkatan wajib. Disinilah pentingnya memahami Al-Qur'an
ataupun Al-Hadits, sehingga bisa mengetahui ayat-ayat yang terkait dengan
perintah atau larangan itu. Jika tidak, akan banyak perintah atau larangan yang
akan disimpulkan tidak semestinya, segala perintah akan dikatakan wajib, dan
semua larangan akan dikatakan haram. Hanya karena membaca sebuah perintah atau
sebuah larangan, tanpa mencari indikasi (qarinah) dari ayat Al-Qur'an atau
hadits yang lain.
Sebenarnya ini termasuk pembahasan tentang ushul fiqih yang
biasanya dibahas oleh seorang mujtahid atau yang ingin menjadi mujtahid. Tapi
sebagai pengetahuan tidaklah mengapa. Sebagai tambahan pengetahuan seorang
Muslim terkait dengan penggalian hukum dan juga hukum syara'. Oh iya, pendapat
mujtahid itu adalah hukum syara' selama digali dari sumber hukum Islam yang
empat itu, yakni Al-Qur'an, Al-Hadits, ijma, dan qiyas. Seperti pendapat Imam
Hanafi, Imama Maliki, Imama Syafi'i, Imam Hambali dan mujtahid lain yang tidak
mendirikan madzhab. Pendapat mereka merupaka hukum syara'. Wallahu a'lam
bishawab
ini nih bukunya hehe |
NB: Tulisan ini sebatas pahami saya setelah membaca salah
satu Bab dalam buku Fikrul Islam. Jadi untuk lebih jelasnya silakan baca
bukunya langsung.