Fitnah dalam peristilahan Islam bukan hanya berarti menjatuhkan tuduhan dusta pada seseorang. Kata ini juga berarti ujian yang besar, ujian yang berat. Akhir-akhir ini, gelombang propoganda LGBT bisa dikatakan adalah fitnah yang tengah dihadapi umat manusia. Persoalan ini pun menjadi topik pembicaraan
hangat pasca legalisasi LGBT di Amerika Serikat. Di tanah air gejolak pro kontra LGBT
menguat. Beberpa media memberitakan seminar LGBT yang dibubarkan paksa oleh
ormas tertentu. Propoganda aktivis LGBT tidak mau menyerah. Di masyarakat kita, tampaknya hanya ada dua pilihan; bila
tidak menjadi pendukung fanatik dengan dalih HAM, maka harus menjadi lawan yang
sangar yang tidak mau tahu soal seksualitas kaum LGBT, pokoknya haram!
Di tengah dua
pilihan ini, hadirlah kelompok-kelompok yang ingin mengerti perasaan kaum SSA
(same sex attraction, suka sesama jenis), menjadi sahabat mereka tapi tidak
terjebak pada “pengertian” ala AS ; membiarkan mereka menjadi gay. Mereka
terdiri dari para akademisi yang sudah faham betul teori-teori psikologi
tentang SSA dan praktisi yang sudah makan garam dalam mendampingi kaum SSA.
Dua di antara
kelompok itu adalah Peduli Sahabat dan
Share Consulting. Pada hari Ahad, 15 November 2015 yang lalu bekerja sama
dengan Program Magister Sains Psikologi Universitas Ahmad Dahlan mengadakan
seminar tentang topik ini. Acara yang bertempat di Auditorium JIH Yogyakarta tersebut dihadiri
puluhan peserta dengan berbagai latar belakang.
Mahasiswa, guru PAUD, ibu rumah tangga, dan “seorang teman yang peduli
pada sahabatnya yang SSA”. Acara tersebut diberi tajuk “Sexual Education and
Islamic Parenting” menghadirkan dua pembicara. Pembicara pertama adalah Dr.
Nina Zulina S, M. S. I, psikolog dari UAD dan Sinyo Egie, founder Peduli
Sahabat dan penulis buku “Anakku Bertanya tentang LGBT” Berikut ini kami sampaikan notulensi seminar
tersebut.
Pembicara pertama, Dr. Nina Zulina, M. s.
i.
Pembicara
pertama menekankan bahwa masalah LGBT ini sudah gawat, tapi orang tua masih
apatis. Mereka mungkin merasa bahwa “itu masalah anaknya orang” Seakan-akan
fenomena orientasi seks diluar fitrah ini adalah masalah yang jauh. Padahal
tidak ada jaminan bahwa anak kita selamat dari ancaman dan potensi terjerumus
ke dalam dunia seks menyimpang.
Lebih baik
mencegah daripada mengobati, begitu pula untuk masalah SSA. Sekarang ini ada
banyak factor yang bisa “merampas” anak kita. Mulai dari pronografi dalam
genggaman (gadget), media, hingga lingkungan.
Secara akademik, memang etiologi (sebab) munculnya SSA masih
diperdebatkan. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa factor lingkungan memiliki pengaruh
besar. Orang tua,
tidak bisa tidak, harus melindungi anaknya.
Hal pertama yang harus mereka miliki adalah ilmu yang mencukupi.
Sayangnya, dalam seminar ini tampaknya tidak banyak orang tua yang hadir.
Pembicara kedua, Sinyo Egie (Agung
Sugiharto)
Pembicara kedua
adalah praktisi yang belajar dari pengalaman disamping bacaannya yang luas. Ia tidak memiliki latar
belakang psikologi atau psikiatri, awalnya masuk dunia LGBT karena ingin
menulis tentangnya, untuk ikut lomba menulis. Ia mencari narasumber “gay yang
sudah sembuh” Ia malah dicaci maki oleh komunitas gay sebab bagi mereka SSA
bukan penyakit! Tapi untunglah ia bertemu dengan komunitas Hijrah_Euy yang
memiliki pandangan berbeda. Mereka SSA tapi tidak mau mengikuti kecendrungan
tersebut. Grup tersebut dikelola oleh seorang psikolog senior di Jawa Timur.
Kak Sinyo,
sapaan akrab beliau memberikan penegasan pertama bahwa SSA beda dengan LGBT. Seorang hanya disebut
LGBT jika ia sudah “mensyukuri dan menerima” kecendrungan SSA-nya, dan lebih
jauh lagi ingin agar nikah sesama jenis legal. Harus diingat bahwa ada SSA yang
tidak ingin menjadi LGBT. Mereka ini harus diwadahi! Inilah awal beliau ingin
terjun lebih dalam. Bahkan akhirnya beliau memundurkan diri dari
pekerjaan-pekerjaan yang mapan. Bagi beliau, ini sudah bencana nasional. Beliau
tidak mau hanya melaknat, beliau ingin meberikan solusi.
Di Indonesia
sangat ironi. Sebab masyarakat kita cenderung hanya menjudge, hanya menghakimi
tanpa peduli secara psikologis. Harus diingat bahwa dalam Islam SSA bukanlah
dosa! Jika itu hanya keinginan buruk tidaklah dosa. Bahkan jika punya keinginan
buruk lalu dibatalkan ia justru dapat pahala. Maka SSA yang dilawan justru
bentu kebaikan yang besar.
Diperkirakan 12
juta lebih kaum muslimin SSA. Dari klain selama ini kebanyakan (sekitar 60%)
adalah aktivis Islam. Mereka melarikan diri dari dunia itu ke dunia aktivisme,
tapi ternyata itu belumlah cukup. Ini masalah umat, harus di atasi.
Catatan penting
lainnya, kegiatan homoseksual tidak selamanya dilakukan oleh mereka yang
SSA. Tindakan liwat ini banyak dilakukan
sebab lebih aman “jangan sekali-kali seorang laki-laki melakukan tindakan seks
kepada pria, karena ia akan melupakan wanita” Nasihat dari seorang klein.
Kekhawtiran kita antara lain;
- Pukulan telak bagi “STOP Pacaran”]\
- Tindakan homoseksual membiak dengan cepat.
- Sekarang ini mungkin kita merasa bahwa situs porno sudah diblokir, padahal media-media sosial menjadi ajang berbagi konten-konten porno
- Kecemasan bagi para jomblo, terutama wanita. Di FB, ada grup “Menanti Mentari” isinya adalah wanita-wanita yang pasangannya SSA. Ada yang 14 tahun menikah baru disentuh sekali.
- Para ortu cemas
- Jalan dakawh berat. Sebab homoseksualitas justru banyak di pondok. Bukan lagi sebuah rahasia.
Tentang Peduli Sahabat
Ada klein yang
awalnya sudah ke ustadz, dukun, psikolog, psikiatri, dan akhirnya mereka malah pergi ke Peduli
Sahabat. Ternyata salah satu factor utamanya adalah di institusi2 itu mereka
diposisikan sebagai “pasien” “pendosa” dan lainnya yang sifatnya objek. Di
peduli Sahabat, klein dan konselor tidak ada, yang ada adalah dua sahabat
berbagi kegelisahan.
Trus, PS tidak
pernah menjanjikan “sembuh” dan lainnya. Ia hanya ingin mendampingi mereka
untuk melawan niat buruknya. Tapi meski begitu, ada SSA akut yang akhirnya bisa
menikah dan punya anak. SSA itu, bahka ia bingung jika jumatan, sebab ia bisa
terangsang jika bersentuhan dengan jamaah lain yang ganteng. Ada yang mimpipun
dengan sesama laki-laki. Tapi bisa
berubah!
Dari pengalaman sebagai konselor beberapa sebab jadi SSA
- Salah role model tapi terpaksa ketika balita (atau usia sekolah), misalnya seorng anak laki-laki harus menjadi “ibu” pengganti bagi adik-adik atau saudaranya. Ini terjadi di keluarga non-harmonis. Bukan berarti keluarganya broken home, tapi non-harmonis adalah keluarga yang tidak ada role model ayah, tiada role model ibu. Terutama role model ayah! Di Indoensia kita sudah darurat ayah! Seharusn ya, bagi anak laki-laki ayah adalah idola dan ingin menjadi seperti dia. Bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertama. Keluarga yang salah satunya terlalu mendominasi juga tidaklah ideal bagi pecarian role model bagi anak-anak. (ini salah model )
- Over protective. Misalnya anak bungsu, anak tuggal, satu-satunya laki atau satu-satunya perempuan. Kadang pula anak yang “istimewa” yakni mereka yang memiliki potensi lebih dari saudara-saudarnya, rupawan, pintar sehingga terlalu dimanjakan dan kehilangan karakter maskulinnya. (ini terlalu dilindungi )
- Anak yang dibiarkan bebas, liar. Asal nafkah sudah dicukupi, tidak lagi dipedulikan (tidak ada model).
- Tidak selamanya “melambai” adalah SSA. Sebab bisa saja pengaruh budaya. Misalnya orang Jawa tengah lebih lembut dari orang Median atau Makassar
Fase-Fase Perkembangan Potensi SSA Anak dan
Bentuk Pola Asuh yang Tepat
6-10 tahun
Dalam usia ini,
anak bisa dikuatkan. Sebab di masa inilah bisa ditanamkan kebaikan. Anak yang usai ininya kuat meski mengalami
pelecehan dan kekerasan seksaul sesama jenis, misalnya sodomi. Ia tidak serta
merta menjadi homoseksual juga.
Dalam usia ini,
kenalkanlah pada anak ;
- Tidak boleh dipaksa dicium, meski oleh keluarganya sendiri. Jika hendak dicium, dipeluk, harus minta izin.
- Ajarkan bahwa bagian-bagian seksualnya, tidak boleh disentuh orang sembarangan. Ucapkan saja secara gamblang, ini vaginamu yang boleh sentuh Cuma kamu dan umi.
- Melihat adegan kekerasan orang yang dicintai. Ada klein yang jadi SSA karena sempat melihat ayahnya “memaksa” ibunya ketika masih kecil.
- Penguatan defenisi karakter ; jika laki suka nangis ajari baik-baik bahwa lelaki tidak harusnya begitu
- Jangan bilang “bu anakmu kok cantik sekali” padahal laki-laki. Meski ini bercanda, tapi jika dilakukan di depan mereka, bisa berakibat buruk.
- Amatilah pilihan favoritnya, idolanya dalam budaya pop atau serial kartun dll. Hal ini menggambarkan pilihan jiwa. Di usia ini mereka “jujur” memilih idolanya. Mereka tidak bisa menutup-nutupi. Maka lihatlah apa yang jadi pilihannya. Jika “salah pilih” maka ini indikasi. Antisipasi nya adalah jika mereka mau bicara tentang karakter pilihannya, jangan putus komunikasi! Jika anak lelaki perlihatkan gambar robot lihatlah dengan antusias! Komentari dengan bergairah!
- Anak dalam usia ini harus diinclude kan dalam masalah-masalah keluarga dengan porsinya sendiri.
- Dipisah selimut seperti anjuran Rasulullah.
- Gender role-nya jelas, laki-laki diberikan kegaitan yang laki dan perempuan pun begitu.
14 tahun.. (kebingungan dan
pengautan)
- Disinilah mereka pertama kali mengenal sex lewat bacaan, film, kartun, manga, bahkan dalam kehidupa nyata.
- Jika sebelumnya ia tidak suka hal-hal yang tidak normal pada jendernya lalu mulai suka pada usia ini perhatikanlah. Misalnya, ia laki-laki yang awalnya melambai dan tiba-tiba mau ikut karate. Ini artinya ia ingin melawan sesuatu dalam dirinya. Pada usia ini, kadang sudah tidak bisa hanya ortu, pelru intervensi konselor. Menjembatani anak dan ortunya.
15 (pengkristalan)
- Jika ia memang ada indikasi itu, ia akan merasa berdosa, merasa kotor, meski mungkin belum pernah sex.
- Ia bisa gabung dengan komunitas pro LGBT jika ia terpapar bacaan-bacaan yang liberal. Jika ini terjadi, JANGAN DITINGGALKAN! Bahkan jika anak murtad pun, janganlah ditinggal. Tetap doakan dan berusaha. Allah lah yang membolak-balikan hati.
- Atau menutup diri bila bingung.
- Jika celaka, ia bisa saja ditemukan oleh mereka yang menyebut diri gay hunter! (pengalaman klien PS)
SESI DISKUSI
1.
Perlakuan istimewa bisa membunuh
karakter?
Tindakan
pengistimewaan yang mengarah pada over protective kadang tidak disadari, bisa
mematikan karakter maskulin anak laki-laki.
Bila terjadi perselisihan antara anak
berlakulah adil, jangan
utamakan salah satu anak.
2.
Sebagian “muslim reformis” misal
Musdah Mulia, Irshad Manji, mengnggapnya sebagai sebuah hal yang boleh. Di
Sul-Sel bahkan ada budaya bissu,
penjaga tradisi yang justru “banci”. So, ketika dianggap menyimpang apakah yang
jadi standarnya?
ü Yang dilarang
dalam Islam yang sudah jelas dilarang adalah tindakan homoseksual. Bukan
orientasi seksual. Dalam Islam (bukan Cuma yg “reformis”) orientasi seks
bukanlah dosa. Nah apakah jika gay boleh menikah apa mungkin tidak terjadi
“tindakan seks”?
ü Bila para
muslim reformis punya opini beda, monggo. Di Peduli Sahabat, pro kontra LGBT
tidaklah jadi fokus diskusi. Kami hanya mendampingi. Silakan hadapkan
masalah-masalah itu ke pihak yang punya otoritas; akademisi, ulama, dll.
ü Energi hanya
habis dalam perdebatan. Lebih baik diarahkan pada pendampingan
3.
Ada hal-hal yang dianggap ciri dini
justru “bias gender”, misalnya lelaki suka pink.
ü Pink (atau
hal-hal lain yang dianggap identitas hasil konstruk sosial/jender) tidaklah
salah, tapi preventif aja agar anaknya nanti tidak jadi objek bully jika ia
terbiasa melakukan hal-hal yang rawan dijadikan objek olokan masyarakat. Dia
akan sakit dan akan
pengalaman buruk itu bisa berakibat tidak baik secara psikologis di masa depannya.
4.
Konselor dan klein.
ü Konselor memang
secara teoritis tidak boleh terlalu intim dengan kelin agar bisa objektif. Tapi
dalam praktiknya, kadang kedekatan itu perlu.
ü Secara
teoritis, nilai priadi konselor tidak boleh jadi alat ukur untuk menghakimi
masalah klein. Tapi dalam Islamic psychology, jika itu adalah hal yang munkar,
harus disampaikan.
5.
Kasus di PAUD; jika anak-anak suka
memluk dan minta “lebih” apakah wajar atau perlu diselidki?
ü Jelaskan secara
jujur tapi tidak vulgar.
ü Misalnya
memakai perumpamaan kawinnya hewan. Tapi kalo orang, harus nikah. Kalau tidak
nikah itu sama aja dengan binatang, dek.
ü Bila perlu
gunakan media; video dll.
ü Beri pengertian
bahwa jika ia rajin belajar dan nanti sudah SMP, dapat pelajaran soal itu.
ü Nak kamu suka
melihat “itu” boleh, tapi kalau mau pegang harus minta ijin yang punya.
ü Kesan salah
pada anak yang tidak dijelaskan bisa berakibat buruk.
6.
Bagaimana dengan anak PAUD yang
harus dicebokin, bukankah itu akan membuatnya biasa saja bila disentuh orang
asing?
ü Beri pengertian
bahwa bu guru hanya membantu, dia harus bisa sendiri sebab tidak semua orang boleh
menyentuh dia.
7.
Belum ada kurikulum tentang
persoalan2 SSA, untuk sementara apa yang bisa kami bawa ke lembaga pendidikan
kami, sebab sudah ada kasus-kasus yang bikin kuageet.
ü Bila ada kasus
jangan hanya dihukum, tapi berikan pengertian.
ü Penegasan soal
aurat, lewat metode yang sesuai. Jujur
tapi jangan vulgar.
8.
Jika anak terlalu sayang kepada ibu gimana? Dan dikahwatirkan sebab
sudah ada tanda-tanda seperti itu.
Salah satunya adalah berikan / sediakan waktu
luang agar ia bisa intim dengan ayahnya. Misalnya ajak dia keluar jalan-jalan
dengan ayahnya.
9.
Bagaimana jika ia sudah punya pengalaman sexual dengan temannya?
Jelaskan
dengan baik-baik, bicarakan dengan intim tentang keadaannya itu. Jangan sering
diungkit sebab bisa melukai hatinya. Tetap bangun komunikasi erat agar jika ada
lagi perkembangan dalam kecendrungannya ia akan mengungkapkannya kepada orang
tua.
10. Apakah wajar
jika sang ibu/ortu jika melihat kecendrungan SSA pada anak lalu dia malah
menyangkalnya mencari-cari pembenaran bahwa “anakku tidak begitu!”
Jika
anak pada usia 7-10 pernah bilang suka sama perempuan, itu tidak apa-apa. Pada usia 11-remaja, maka lihatlah dia apakah
cenderung pada laki atau tetap pada
perempuan.
11. Bagaimana
seorang perempuan yang awalnya hetero, tiba-tiba menjadi homo? Saya hetero tapi
pernah ada perempuan lain yang raba-raba. Lalu suatu ketika saya melihat
perempuan yang pakaiannya terbuka, kok saya ada perasaan lain?
Laki-laki
beda dengan cewek. Laki sangat dominan pada seksnya. Sedangkan pada wanita
perkara seksnya sangat samar dan ada banyak bias kultural. Misalnya cewek
“sayang-sayangan” dengan sesama jenis biasa aja. Tapi jika sudah ada 1. Hati
debar-debar 2. Merasa cemburu jika cwek tertentu itu dekat dengan orang lain 3.
Merasa nyaman. Jika ini terjadi, maka
hati-hatilah. Namun perempuan lebih dominan ke “klik di hati” bukan “on
nafsunya” maka selain didampingi, maka ia juga sangat perlu mencari seorang
laki-laki yang klik, nyaman, dan lama-lama akan jatuh cinta. Cuma perlu
dicatat, bahwa pasangannya nanti sebisa mungkin harmonis sebab jika ada trouble
di rumah tangganya, biasanya seorang perempuan SSA bisa timbul lagi kalo sedih,
12. Bagaimana untuk
anak berkebutuhan khusus?
Pada
anak kebutuhan khusus harus ditangani kasus per kasus susah ditemukan adanya
pola umum.
13. Seorang gay
yang ingin berubah, tapi tidak tahu cara mendekati perempuan. Mencoba lalu
tidak ada respon, akhirnya semakin trauma pada perempuan. Dan dia bahkan mau CO
pada masyarakat umum. Gimana seagai temannya?
Pertama,
ia harus punya visi jelas dulu soal pernikahan. Bisa lewat Peduli Sahabat.
Notulen ; Prof. Dr. Ayub. S-Lilin (alias admin blog ini huehehe).