بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Seorang yang mendapatkan
hasil dari sepetak tanah secara zhalim, tidak memiliki hak apa-apa atasnya!”
(HR Abu Daud, Nasai, Tirmidzi)
Akhir-akhir ini salah satu isu
yang menjadi sorotan banyak media yang mengafiliasikan diri ke Islam adalah
kebangkitan kembali komunis. Bahkan ada istilah untuk fenomena ini, KGB,
Komunis Gaya Baru. Sebuah istilah agitatif yang segera membuat kita mengingat
KGB, intel milik mendiang raksasa Komunis, Uni Soviet. Bukan Cuma pemberitaan yang bombastis,
konfrensi menolak kebangkitan komunis pun diadakan. Isu ini sama hangat dan
(ditekankan) gawatnya oleh banyak tokoh umat dengan isu kebangkitan Syiah.
Banyak beredar selebaran elektronik yang tak henti-hentinya mengingatkan; awas PKI
akan bangkit!
Saya tidak tahu persis, patokan
kebangkitan PKI ini. Namun yang pasti, ada
penyakit di bumi pertiwi yang jika dibiarkan saja, maka jangan salahkan bila
kelak komunis kembali menguat. Sebab, pada isu-isu demikianlah derita kaum papa
ditanam dan disemai menjadi revolusi. Penyakit ini sebenarnya warisan kolonial,
dan hingga kini belum juga usai. Sayangnya, umat Islam tampaknya belum
betul-betul peduli pada penyakit ini. Diluar kenyataan pahit bahwa korbannya seringkali adalah orang Islam sendiri.
Penyakit itu bernama konflik
agraria ; persoalan perebutan pengelolaan lahan yang kebanyakan melibatkan
petani kecil vis a vis perusahaan besar. Dengan mempolitisir persoalan agrarian,
PKI berhasil meraih suara besar pada PEMILU 1955. Popularitas Aidit cs salah
satunya berkat dukungan total mereka atas implementasi UUPA.[1]
Betapa besar dukungan PKI atas pembaruan agraria, hingga isu ini menjadi
identik dengan isu PKI. Bahkan atas
dalih persoalan tanah inilah, banyak kiyai yang dilabeli “setan desa” yang
layak dihabisi.
Tentu banyak yang tidak menyukai
cara-cara PKI menangani kasus agraria, tapi perhatian mereka pada masalah ini
tak dipungkiri adalah sesuatu yang baik. Saat ini, umat Islam perlu
menjadikannya isu sentral. Pasalnya, Konflik
ini tidak main-main, konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama masa
pemerintahan SBY saja, terjadi 1.520 konflik agraria dengan luasan areal
konflik seluas 6.541.951.00 hektar, yang melibatkan 977.103 KK. Ricuh akibat sengketa agriaria pun sangat
rakus memakan korban . KPA mengungkapkan bahwa akibat konflik agraria yang ditangani
lewat represi aparat keamanan telah menelan 85 korban tewas, 110 tertembak, 633
luka-luka dianiaya dan 1.395 ditangkap selama sepuluh tahun terakhir.[2]
korban konflik agraria |
Data di atas berasal dari zaman SBY, tapi tampaknya keadaan tidak
begitu membaik di bawah kekuasaan Jokowi-JK.
Kasus-kasus bentrok petani kecil dengan korporasi seperti Samin, Urutsewu, Rembang, dan lainnya masih
belum jelas akhirnya. Bahkan 26 September lalu, seorang tumbal kembali jatuh. Salim
Kancil, petani di desa Selok Awar-Awar,
Lumajang, Jawa Timur yang meninggal setelah dianiaya. Dosa Salim adalah
penolakannya atas kehadiran tambang pasir di desanya. Tambang itu merusak
ekosistem dan lahan pertanian miliknya. Bersama beberapa rekan, Salim membentuk
komunitas untuk menolak kehadiran tambang yang merugikan itu. Ia menempuh
langkah-langkah hukum, dan jawabannya adalah gergaji di leher, diestrum, dan
hantaman batu berkali-kali di kepalanya.
Kasus Salim seketika menjadi top
story di berbagai media. Pegiat HAM dan aktivis lingkungan bersegera
mengambil tindakan, dibantu berbagai kekuatan sipil. Namun, dari daftar
nama-nama yang disebutkan di media
tengah mengadvokasi, tak terlihat jejak ormas-ormas Islam. Padahal dalil tentang pembelaan terhadap kaum lemah
bertebaran di teks-teks suci kita. Bahkan khusus terhadap persoalan agraria,
Nabi tercinta telah mengingatkan bahwa seorang yang menuai hasil dari sepetak
tanah secara zhalim, tidak memiliki seujung kuku pun hak atasnya.
Adalah sebuah harapan besar agar
orams-ormas Islam tampil di depan mengadvokasi petani korban konflik agraria.
Sebab, hal ini jelas merupakan pelanggaran atas maksud syariah diturunakn di
bumi ; hifz al-mal (menjaga harta) dan hifz an-nafs (memlihara
nyawa), belum lagi jika mengingat hifz al-bi’ah, penjagaan pada
lingkungan yang juga amanat al-Qur’an. Apa bedanya perkara ini dengan usaha
legalisasi pernikahan sejenis dan beda agama, penjualan miras, atau penyebaran
akidah sempalan yang sering ditentang keras itu?